Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye (Studi Kasus : Putusan Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN)

(1)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009

TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR : 199/PID/2009/PT.MDN)

TESIS

Oleh :

097005026/HK DODI CANDRA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009

TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR : 199/PID/2009/PT.MDN)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

097005026/HK DODI CANDRA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009 TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE

(STUDI KASUS: PUTUSAN NOMOR:

199/PID/2009/PT.MDN) Nama Mahasiswa : Dodi Candra

Nomor Pokok : 097005026

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

K e t u a

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum)

(Dr. Faisal Akbar Nasution,SH, M.Hum)

A n g g o t a A n g g o t a

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 15 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum ANGGOTA : 1. Dr. Faisal Akbar Nasution,SH, M.Hum

2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum 4. Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum legislatif tahun 2009 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewaan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

Dalam tahapan penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2009 jika terjadi tindak pidana pemilihan umum laporan disampaikan kepada pengawas pemilu. Dalam upaya penegakan hukum perkara tindak pidana pemilihan umum sistem peradilan pidana terdiri dari sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan, sub sistem advokat, dan sub sistem lembaga pemasyarakatan.

Perkara tindak pidana pemilihan umum yang disangkakan dan didakwakan terhadap H. Iskan Qolab Lubis, MA, karena diduga melanggar pasal 84 ayat (1) huruf i jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 sehubungan adanya temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa penempelan pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilihan umum legislatif tahun 2009, berlogo Komisi Pemilihan Umum, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat, persoalan ini semestinya dapat diselesaikan diluar proses hukum pidana (non-penal policy). Menurut Hoefnagels penyelesaian non-penal policy dapat dilakukan diantaranya dengan penggunaan hukum sivil dan hukum administratif (administrative & civil law).

Dalam penegakan hukum perkara tindak pidana pemilihan umum pada pemilihan umum legislatif 2009 terdapat kebuntuan hukum bagi Jaksa Penuntut Umum jika pengadilan negeri memberikan putusan bebas, hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor : 116/pid.B/2009/PN Psp. atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis, MA yang diputus bebas oleh Majelis Hakim,


(6)

kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sebagai upaya hukum terakhir ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum dengan pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 tidak mengatur acara pemeriksaan ditingkat banding maka selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan mengunakan K.U.H.A.P. sedangkan menurut pasal 67 K.U.H.A.P. terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan banding.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dilengkapi dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp Jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN.

Kata Kunci :

- Penegakan Hukum,


(7)

KATA PENGANTAR

ﻡﻴﺤﻠﺍﻦﻤﺤﺭﻟﺍ ﷲﺍ ﻡﺴﺑ

Innalhamdalillah, segala kesyukuran penulis hanyalah kepada Allah Subhanaatu Wa Ta’ala yang senantiasa memberikan nikmat, rahmat dan karunia yang tak terhingga kepada hamba-hamba-Nya. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu `Alaihi Wassalam semoga kita mendapat syafaat diakhirat kelak.

Kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sungguh dirasakan sebagai rezeki yang tak disangka-sangka dan menjadi bagian dari perjalan diri penulis. Dengan mengharapkan ridho Allah Subhanaatu Wa Ta’ala penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan Judul : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009 TENTANG PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR : 199/PID/2009/PT.MDN).

Tugas akhir ini disusun sebagai satu bagian dari syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (MH) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak baik berupa moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada :


(8)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc. (CTM), Sp.A (K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum, sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

7. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

8. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum, sebagai Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen yang telah menyampaikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat kepada penulis.


(9)

10. Para staf di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Rekan-rekan pada Kantor Advokat/Penasihat Hukum “DODI CANDRA,SH” & Rekan, yang telah bersama-sama berjuang dalam penegakan hukum.

12. Irwansyah, SH, MH, dan Ganda Maulana, S.Ag, SH (Direktur dan Sekretaris Pusat Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia Cabang Sumatera Utara) serta semua rekan-rekan yang selama ini sama-sama berjuang dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Juga selalu memberikan dukungan dan bantuan dalam pendidikan ini.

Teristimewa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Abah dan Omak (Rasyid Bakar dan Masni) yang telah mendidik, mengasuh dan

selalu mendo’akan untuk kesehatan dan keberhasilan anaknya. Begitu juga Bapak dan Ibu mertua (H. Muhammad. Amin Simanjuntak dan Hj. Asriah Nasution) dan semua keluarga di Panyabungan.

2. Istri (Amiria Agustina, Am. Keb) yang selalu sabar dan memberikan dukungan untuk melanjutkan pendidikan. Anak-anakku tersayang (Muhammad Fahri Candra dan Muhammad Fajri Candra).

3. Sanak, saudara, keluarga besar penulis yang selalu memberikan dukungan kepada penulis dalam mengikuti pendidikan.

4. Rekan-rekan sekalian yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dan semua pihak pihak yang memberikan bantuan selama proses pendidikan.


(10)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa materi yang terdapat dalam tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan tesis ini senantiasa penulis harapkan.

Dengan mengharap ridho Allah Subhanaatu Wa Ta’ala semoga tesis ini dapat memberikan banyak manfaat, sehingga memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum legislatif tentang pelanggaran larangan kampanye.

Jazakumullah Khairan Katsira

Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, Agustus 2011 Penulis,

(Dodi Candra) NIM. 097005026


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Dodi Candra

Tempat / Tgl Lahir : Peranap / 27 Juli 1976 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam Kewarganegaraan : Indonesia Pekerjaan : Advokat

Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Negeri 001 Peranap (Lulus Tahun 1988) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 01 Peranap (Lulus

Tahun 1991)

3. Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Peranap (Lulus Tahun 1994)

4. Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan (Lulus Tahun 1999)

5. Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Lulus Tahun 2011)


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT ……….... iii

KATA PENGANTAR ………... v

RIWAYAT HIDUP ………... ix

DAFTAR ISI ……….. x

BAB I: PENDAHULUAN ……….1

A. Latar Belakang ………..………..….…...1

B. Rumusan Masalah ………..………..12

C. Tujuan Penelitian ………..………12

D. Manfaat Penelitian ………13

E. Keaslian Penelitian ………...13

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ………..14

G. Metode Penelitian ……….22

BAB II: KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE………...25


(13)

B. Tugas Dan Wewenang Pengawas Pemilihan Umum…………...29

BAB III: PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA…....…37

A. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Pemilihan Umum Dalam Sistem Hukum Di Indonesia……….……….37

B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilihan Umum Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye .……..………...………52

C. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilihan Umum Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye………...59

D. Penegakan Hukum Dalam Perkara Tindak Pidana Pemilihan Umum Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye………...68

BAB IV: AKIBAT HUKUM TERHADAP CALON LEGISLATIF YANG MENJADI TERSANGKA DALAM MENGIKUTI TAHAPAN PEMILIHAN UMUM…...…………115

A. Proses dan Syarat Untuk Menjadi Calon Legislatif Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009………..115

B. Akibat Hukum Terhadap Calon Legislatif yang Menjadi Tersangka Dalam Mengikuti Tahapan Pemilihan Umum………123

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN………..…..129

A. Kesimpulan………..………129

B. Saran…..………..130


(14)

ABSTRAK

Pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum legislatif tahun 2009 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewaan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

Dalam tahapan penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2009 jika terjadi tindak pidana pemilihan umum laporan disampaikan kepada pengawas pemilu. Dalam upaya penegakan hukum perkara tindak pidana pemilihan umum sistem peradilan pidana terdiri dari sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan, sub sistem advokat, dan sub sistem lembaga pemasyarakatan.

Perkara tindak pidana pemilihan umum yang disangkakan dan didakwakan terhadap H. Iskan Qolab Lubis, MA, karena diduga melanggar pasal 84 ayat (1) huruf i jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 sehubungan adanya temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa penempelan pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilihan umum legislatif tahun 2009, berlogo Komisi Pemilihan Umum, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat, persoalan ini semestinya dapat diselesaikan diluar proses hukum pidana (non-penal policy). Menurut Hoefnagels penyelesaian non-penal policy dapat dilakukan diantaranya dengan penggunaan hukum sivil dan hukum administratif (administrative & civil law).

Dalam penegakan hukum perkara tindak pidana pemilihan umum pada pemilihan umum legislatif 2009 terdapat kebuntuan hukum bagi Jaksa Penuntut Umum jika pengadilan negeri memberikan putusan bebas, hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor : 116/pid.B/2009/PN Psp. atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis, MA yang diputus bebas oleh Majelis Hakim,


(15)

kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sebagai upaya hukum terakhir ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum dengan pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2008 tidak mengatur acara pemeriksaan ditingkat banding maka selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan mengunakan K.U.H.A.P. sedangkan menurut pasal 67 K.U.H.A.P. terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan banding.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dilengkapi dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp Jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN.

Kata Kunci :

- Penegakan Hukum,


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.

Pemilihan umum untuk selanjutnya disebut pemilu yang diselenggarakan secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pengakuan tentang kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan didalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan “pemilihan umum untuk selanjutnya disebut pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Makna dari kedaulatan rakyat tersebut adalah:1 pertama rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintah guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Kedua rakyat memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

1

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836.


(17)

Tujuan pemilu menurut ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tujuan pemilu legislatif tahun 2009 menurut ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebutnya sebagai negara yang demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu.2

Komisi Pemilihan Umum untuk selanjutnya disebut KPU adalah suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana diatur pada Pasal 22E, Angka 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penyelenggaraan pemilu oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mendiri merupakan amanat konstitusi. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi

2

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar HTN Indonesia, (Jakarta: CV. Sinar Bakti, Pusat Study HTN Fakultas Hukum UI, 1988), hlm. 329.


(18)

perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemikiran Hatta tentang demokrasi (untuk Indonesia), yaitu kedaulatan rakyat atau demokrasi dalam kehidupan politik dan ekonomi, berdasarkan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan, yang menunjukan perbedaannya yang nyata dengan demokrasi barat.3

Pemilihan umum di Indonesia sebagai salah satu upaya mewujudkan negara yang demokrasi haruslah dapat dilaksanakan dengan baik, wilayah Negara Indonesia yang luas dan jumlah penduduk yang besar dan menebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

4

Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas, sebagaimana dimaksud pada huruf (b) Pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu.

Dalam hal ini diharapkan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dapat melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu terlepas dari pengaruh serta kepentingan dari pihak manapun.

3

Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara), hlm. 183.

4

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721.


(19)

Adapun yang menjadi peserta pada pemilu legislatif tahun 2009 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah partai politik. Sedangkan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Ketentuan tentang peserta pemilu ini diatur pada Pasal 7 dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.

Dalam pelaksanaan pemilu meskipun telah ada undang-undang serta peraturan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan pemilu supaya dapat berjalan dengan baik namun masih juga terjadi pelanggaran dan kecurangan. Pelanggaran dan kecurangan ada yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, oleh peserta pemilu dan bahkan oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu pengawasan supaya pemilu benar-benar dapat dilaksanakan berdasarkan asas pemilu sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Adapun yang menjadi pengawas untuk selanjutnya disebut panwaslu dalam penyelenggaraan pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pengawasan penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Paswaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.


(20)

Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Pembentukan Pengawas Pemilu tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu.5

Dengan adanya pengawasan terhadap penyelenggara pemilu dari dalam dan dari luar lembaga penyelenggara diharapkan pemilu dapat terlaksana dengan demokratis dan memenuhi asas pemilu.

Pada tahapan pelaksanaan pemilu, Panwaslu baik di pusat maupun di daerah berhak melakukan pengawasan terhadap peserta pemilu dan juga terhadap penyelenggara pemilu. Apabila dalam tahapan pemilu ditemukan adanya pelanggaran maka panwaslu akan melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya.

Jika dari data dan fakta yang ditemukan panwaslu menganggap telah terjadi pelanggaran administrasi maka persoalan tersebut dapat dilimpahkan kepada KPU, Jika panwaslu menemukan adanya pelanggaran pidana maka perkara tersebut akan dilanjutkan kepada pihak kepolisian selaku penyidik.

Pada pemilu legislatif tahun 2009 KPU telah menetapkan partai politik yang menjadi peserta pemilu yaitu terdiri dari 34 (tiga puluh empat) partai politik nasional dan 6 (enam) partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.

5 Ibid.


(21)

Adapun nama dan nomor urut partai politik nasional pada pemilu legislatif tahun 2009 adalah :6

1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 2. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)

3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) 4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)

5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 6. Partai Barisan Nasional (Barnas)

7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

9. Partai Amanat Nasional (PAN)

10.Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) 11.Partai Kedaulatan

12.Partai Persatuan Daerah (PPD) 13.Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 14.Partai Pemuda Indonesia (PPI)

15.Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenis 16.Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) 17.Partai Karya Perjuangan (PKP)

18.Partai Matahari Bangsa (PMB)

19.Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 20.Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) 21.Partai Republika Nusantara (PRN) 22.Partai Pelopor

23.Partai Golkar

24.Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 25.Partai Damai Sejahtera (PDS)

26.Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) 27.Partai Bulan Bintang (PBB)

28.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 29.Partai Bintang Reformasi (PBR)

30.Partai Patriot 31.Partai Demokrat

32.Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) 33.Partai Indonesia Sejahtera (PIS)

34.Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)

Partai Politik sebagai peserta pemilu menunjuk anggota ataupun kader partai untuk menjadi calon legislatif. Untuk dapat memperoleh kursi legislatif partai politik

6


(22)

dan calon legislatif harus bisa mendapatkan dukungan suara dari pemilih. Untuk mendapatkan perolehan suara yang maksimal dari pemilih, partai politik dan calon legislatif akan melakukan berbagai upaya diantaranya dengan melakukan kampanye atau sosialisasi kepada pemilih.

Menurut ketentuan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 pelaksana kampanye pada pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terdiri dari pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Selanjutnya menurut ketentuan pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, kampanye pemilu dapat dilaksanakan melalui:

a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka;

c. media massa cetak dan media massa elektronik; d. penyebaran bahan kampanye kepada umum; e. pemasangan alat peraga ditempat umum; f. rapat umum, dan

g.kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan;

Pada Pemilu Legislatif tahun 2009, Partai Keadilan Sejahtera nomor urut (8) sebagai salah satu partai peserta pemilu mengajukan kader partai sebagai calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.


(23)

Salah satu calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Partai Keadilan Sejahtera untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Utara II adalah H. Iskan Qolba Lubis, MA.

H. Iskan Qolba Lubis, MA, sebagai salah seorang calon legislatif dalam upaya untuk mendapatkan dukungan suara dari masyarakat pernah melakukan kampanye dan sosialisasi kepada masyarakat disekitar rumah orang tuanya di pasar Sibuhuan, Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara. Salah satu bentuk sosialisai yang dilakukan adalah memperagakan cara mencontreng pada saat pemilu dengan menunjukan contoh surat suara yang berlogo KPU, nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA Calon Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada urutan ke-1.

Pada hari Sabtu, tanggal 31 Januari 2009 Ketua Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun menerima laporan bahwa di kedai kopi milik Nazaruddin Nasution di Desa Pasar Ipuh, Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara dan di kedai kopi milik Indo Hasibuan, di Desa Paringgonan, Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara telah terpasang selebaran contoh cara mencontreng surat suara pemilu tahun 2009, berlogo KPU, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA sebagai calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesi pada urutan ke-1.


(24)

Menurut Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilu legislatif tahun 2009, berlogo KPU, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera, nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesi pada urutan ke-1, hal tersebut termasuk pelanggaran terhadap larangan kampanye sebagaimana dimaksud Pasal 84 ayat (1) huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang: membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu lain yang bersangkutan”.

Temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun ini kemudian diberitahukan kepada Panwaslu Kabupaten Padang Lawas. Panwaslu Kabupaten Padang Lawas berpendapat bahwa temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilu legislatif tahun 2009, berlogo KPU, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera, nomor (8) terdapat nama H.Iskan Qolba Lubis, MA sebagai calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada urutan ke-1, merupakan tindak pidana pemilu. Kemudian persoalan tersebut dilimpahkan kepada Kepolisian Resort Tapanuli Selatan untuk proses penyidikan.

Kepolisian Resort Tapanuli Selatan setelah menerima laporan dari Panwaslu Kabupaten Padang Lawas kemudian menjadikan H.Iskan Qolba Lubis, MA sebagai tersangka dalam perkara pidana melanggar larangan kampanye pemilu membawa


(25)

atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008. Kemudian perkara pidana pemilu ini oleh Kepolisian Resor Tapanuli Selatan dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan.

Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan kemudian menetapkan H. Iskan Qolba Lubis, MA sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana pemilu “membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.

Pengadilan Negeri Padangsidimpuan telah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis,MA, dalam putusannya menyatakan terdakwa H. Iskan Qolba Lubis,MA tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 (Putusan No: 116/Pid.B/2009/PN Psp).

Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan kemudian mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan menyatakan menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum, (Putusan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN).


(26)

Jika dilihat dari contoh kasus tindak pidana pada pemilu legislatif tahun 2009 sebagaimana diuraikan diatas, kemudian dibandingkan dengan upaya penegakan hukum yang dilakukan, terlihat begitu rumitnya upaya penegakan hukum yang dilakukan mulai dari penyidikan dikepolisian, penututan oleh Jaksa Penuntut Umum, persidangan di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, kemudian upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Medan.

Demikian juga H. Iskan Qolba Lubis,MA, sebagai calon legislatif semestinya konsentrasi dalam melaksanakan kampanye kepada masyarakat, akan tetapi akhirnya disibukan oleh proses hukum dalam perkara pidana pemilu tersebut mulai dari penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan.

Dari uraian yang telah penulis kemukakan tentang pemilu di Indonesia khususnya tentang pemilu legislatif tahun 2009 beserta tahapannya dan upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan mengajukan contoh kasus, memotifasi penulis untuk melakukan penelitian dan menganalisis terhadap penegakan hukum tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye. Dalam perkara pidana atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis, MA Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Perkara pidana Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN. di Pengadilan Tinggi Medan, tentang membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.


(27)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kewenangan dari Pengawas Pemilihan Umum dalam menangani perkara tindak pidana Pemilihan Umum tentang pelanggaran larangan kampanye.

2. Bagaimana sistem pengaturan tindak pidana pemilihan umum dalam penegakan hukum di Indonesia.

3. Bagaimana akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi tersangka dalam mengikuti tahapan pemilihan umum.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan dari Pengawas Pemilu dalam menangani perkara tindak pidana Pemilu tentang pelanggaran larangan kampanye. 2. Untuk mengetahui system pengaturan tindak pidana pemilu dalam

penegakan hukum di Indonesia.

3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi tersangka dalam mengikuti tahapan pemilu.


(28)

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

penelitian ini diharapkan dapat memeberikan manfaat dalam bentuk sumbangan pemikiran dan saran demi kemajuan dan perkembangan ilmu hukum khususnya yang berhubungan dengan upaya penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pemilu legislatif tentang pelanggaran larangan kampanye.

2. Secara praktek

penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, menjadi masukan dan membantu semua lapisan masyarakat terutama pengurus partai politik, calon legislatif, para penegak hukum untuk lebih memahami tentang tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif, khususnya tentang pelanggaran larangan kampanye.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada dan yang sedang dilaksanakan pada Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Tesis mengenai “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/Pid.B/2009 PN Psp Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.Mdn)” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.


(29)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi tentang hukum”, adalah keseluruhan pernyataan (statement, claim, bewenngen) yang saling berkaitan.7 Sedangkan kerangka teori merupakan” kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.8

Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis, menurut Soerjono Soekamto untuk penelitian hukum normatif, diperlukan kerangka teoritis lain, yang khas ilmu hukum.9

Dalam membahas mengenai analisis penegakan hukum tindak pidana pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye, penulis terlebih dahulu akan mengemukakan tentang penegakan hukum.

Kerangka teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonsrtuksi keterkaitan antara konsep secara dedukatif ataupun indukatif.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang dimaksudkan adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakan

7

M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, (Medan: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 3.

8

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80 9

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI press, Universitas Indonesia, 1986), hlm.127


(30)

kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Aristoteles dalam bukunya berjudul Politics menyimpulkan bahwa negara memang harus diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku (rule of law).10

Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Didalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya:11 1. jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;

2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;

3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum;

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata12

10

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 27

.

11

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI 2008), hlm. 46-47

12

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. Vii


(31)

Dalam hal penegakan hukum sehubungan terjadinya tindak pidana pemilu maka upaya penegakan hukum yang akan dilakukan semestinya melihat kembali apa yang menjadi tujuan dari pemilu tersebut, bagaimana pengaruh pelanggaran hukum yang terjadi dihubungan dengan tujuan yang hendak dicapai pada pemilu. Pemilu di Indonesia merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada negara yang demokrasi pemilu ditandai dengan keikutsertaan partai politik sebagai peserta pemilu. Dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintah negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens).13

Menurut Schattscheider (1942) didalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi dikatakan “Political parties created democracy” partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, partai politik merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis.14

13

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 709, 710.

14


(32)

Penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pemilu di Indonesia haruslah disesuaikan dengan tujuan negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terkait erat

dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materil. Pelaksanaan paham negara hukum materil akan mendukung dan mempercepat

terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia.15

Hukum itu tidak akan bisa tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak akan mampu mewujudkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalam undang-undang dengan sendiri, akan tetapi dalam penegakan hukum selalu melibatkan manusia yakni para penegak hukum dan juga masyarakat.

Ketika terjadi suatu peristiwa pidana dalam upaya melakukan penegakan hukum, tidak bisa terlepas dari politik kriminal atau criminal policy yaitu berupa usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana. Politik kriminal atau criminal policy merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Politik kriminal atau criminal policy pernah dikemukakan oleh Marc Ancel dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society, Sedangkan G. Peter Hoefnagels bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”.16

15

Op. Cit. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 48

16

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta, Kencana, 2008), hlm. 1 dan 2.


(33)

Adapun sejarah timbulnya criminal policy adalah dari usulan negara-negara dalam beberapa pertemuan internasional diantaranya:17

1. Kongres PBB Ke- 4 Tahun 1970 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Kyoto Jepang;

2. Kongres Ke- 5 PBB Tahun 1975 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Geneva;

3. Kongres Ke- 6 PBB Tahun 1980 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Caracas;

4. Kongres Ke- 7 PBB Tahun 1985 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milan;

5. Kongres Ke- 8 PBB Tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Havana;

6. The International Seminar Course 1973 di Jepang tentang Reform in Criminal Justice.

Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat dimaknai sebagai suatu kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Hubungan antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial dapat digambarkan dengan skematis sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief berikut ini:18

17

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 51,52, 53, 54.

18

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op. Cit, hlm.3.

Social Welfare Policy

Social Defence

Criminal

Social Policy Tujuan

Penal


(34)

Kebijakan penanggulangan tindak pidana menurut Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non-penal policy)19

Dari uraian diatas dapat dilihat dengan jelas bahwasanya kebijakan penaggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

A. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy)

B. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non-penal policy).

Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana (penal policy) berawal dari bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (legislatif). Kebijakan yang dilakukan oleh pembuat undang-undang (legislatif) sangat berpengaruh dan menentukan kepada tahapan-tahapan penegakan hukum berikutnya. Dalam hal ini lembaga legislatif yang merumuskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan perbuatan kriminal atau tidak.

Sudarto berpendapat kriminalisasi dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses itu diakhiri

19

Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.17.


(35)

dengan terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.20

2. Kerangka Konsepsi

Supaya konsep yang dipergunakan dalam penelitian, terutama konsep-konsep yang terkait langsung dengan variabel penelitian tidak ditafsirkan berbeda, maka perlu dirumuskan kerangka konsep atau dengan menggunakan model defenisi operasional.21 Sedangkan pentingnya defenisi operasional menurut Tan Kamelo, “Untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian.22

a. Penegakan hukum

Selanjutnya penulis akan mencantumkan beberapa defenisi operasional sebagai berikut:

Menurut Andi Hamzah penegakan hukum merupakan tindakan untuk mencapai kebenaran dan keadilan.23

b. Tindak pidana pemilu

Menurut Topo Santoso tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu24

20

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 39-40.

. Dengan cakupan dan

21

Pedoman penulisan usulan penelitian dan tesis, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hlm. 72.

22

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 31.

23

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 158. 24


(36)

pengertian seperti ini akan dengan mudah mencari tindak pidana pemilu, yaitu didalam undang-undang pemilu.

c. Pemilihan umum (pemilu)

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Defenisi tentang pemilu ini disebutkan pada pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008. d. Kampanye

Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Defenisi tentang kampanye pemilu ini disebutkan pada pasal 1 angka (26) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.

e. Pelanggaran

Pelanggaran overtrading; violation; contravention. Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang oleh undang-undang pidana ditentukan lebih ringan pidananya daripada kejahatan. Pelanggaran undang-undang, wetschending perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang; misalnya, orang yang melanggar larangan, atau tidak melakukan kewajiban hukum pidana.25

f. Legislatif

Legislatif dapat diartikan yang berkuasa dalam merancang undang-undang. Badan legislatif berarti dewan yang berkuasa dalam merancang

undang-25


(37)

undang. Legislator berarti perancang undang, penyusun undang-undang.26

G. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal reaserch) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).27

Adapun data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperolah dari penelitian penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data lainnya yang dibahas oleh penulis.

Tentang penggunaan pendekatan yuridis normatif pada penelitian ini karena masalah yang akan diteliti berkisar mengenai keterkaitan beberapa peraturan undang-undang sehubungan dengan penegakan hukum tindak

26

Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English Press, 2002) hlm. 848.

27

Ronal Dworkin Dalam Bismar Nasution, Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2003), hlm. 1.


(38)

pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif maksudnya penelitian dengan menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penerapan peraturan perundang-undangan dalam kasus tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye. (Studi kasus perkara pidana Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Perkara pidana Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN. di Pengadilan Tinggi Medan).

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan pengadilan dalam perkara pidana Nomor: 116/Pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Putusan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN di Pengadilan Tinggi Medan, yang berkaitan dengan penelitian.


(39)

4. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan ditelaah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:

1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

2. Mengelompokan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah aspek hukum pidana terkait dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu tentang pelanggaran larangan kampanye dalam hal menggunakan tanda gambar dan atau atribut selain partai yang bersangkutan.

3. Menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah.

4. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai peraturan perundang-undangan dengan permasalahan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan berupa kesimpulan dari permasalahan.


(40)

BAB II

KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM

PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE A. Pengertian Tindak Pidana Pemilihan Umum.

Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 terdapat ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana yang berhubungan dengan Pemilu. Selain itu didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga terdapat ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan tindak pidana Pemilu.

Walaupun ada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang tindak pidana pemilu, akan tetapi tidak ada satupun peraturan perundang-undangan dimaksud yang memberikan defenisi pengertian tindak pidana pemilu.

Adanya defenisi tentang tindak pidana pemilu merupakan suatu yang penting untuk membantu membedakan antara tindak pidana pemilu dengan tindak pidana lainnya, defenisi diperlukan supaya ada pemahaman yang sama antara penegak hukum, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, peserta pemilu dan semua lapisan masyarakat tentang tindak pidana pemilu.

Sebelum meguraikan defenisi tentang tindak pidana pemilu, penulis akan menguraikan terlebih dahulu defenisi tentang tindak pidana secara umum. Adapun defenisi tindak pidana menurut pendapat bebrapa ahli hukum adalah sebagai berikut:

Djoko Prakoso mengatakan didalam perundang-undangan sering dipakai berbagai istilah seperti: perbuatan pidana (UU Drt. 1951 No. 1), peristiwa pidana (Konstitusi RIS maupun UUDS 1950), tindak pidana (sering


(41)

dipergunakan dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Subversi). Sedangkan didalam beberapa keputusan sering dipakai istilah pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perkara hukuman perdata, dan lain sebagainya. Didalam ilmu pengetahuan hukum, secara universal dikenal dengan istilah “delik”28.

Delik bukan saja berarti tindakan aktif dari pelaku tindak pidana akan tetapi dapat juga diartinkan dalam bentuk pengabaian ataupun kelalaian seseorang dalam suatu peristiwa pidana yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian.

Andi Hamzah mengemukakan, delik, delict, strafbaar feit, pffence, criminal act. Istilah yang umum dipakai dalam perundang-undangan Indonesia ialah “tindak pidana”, suatu istilah yang sebenarnya tidak tepat, karena delik itu dapat dilakukan tanpa berbuat atau bertindak, yang disebut pengabaikan (Belanda: nalaten; Inggris, negligence) perbuatan yang diharuskan. Oleh karena itu, orang Belanda memakai istilah strafbaar feit, yang jika diterjemahkan harfiah berarti peristiwa yang dapat dipidana. Dipakai istilah feit maksudnya meliputi perbuatan dan pengabaian.29

H.R.Abdussalam mengatakan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Untuk dapat dipidananya perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, perbuatan tersebut harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat30. Tindak pidana dalam bahasa asing disebut dengan “Strafbare Feit” sering diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan berbagai macam terjemahan diantaranya diterjemahkan menjadi “Perbuatan yang dapat dihukum”, “Peristiwa pidana”, “Perbuatan pidana dan Tindak Pidana”, Para pakar hukum pun berbeda dalam menerjemahkan istilah tersebut, misalnya Moeljanto dan Ruslan Saleh menerjemahkan sebagai perbuatan pidana, sementara Ultrecht menganjurkan untuk memakai istilah peristiwa pidana, dan Satochid Kartanegara menganjurkan pemakaian istilah tindak pidana.31

28

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: CV. Rajawali 1987), hlm. 120. 29

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana , Op Cit, hlm. 47 dan 48. 30

H.R. Abdussalam, Hukum Pidana Prospek Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat (1) Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 13.

31

Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm 207-208.


(42)

Bahwa membahas tentang tindak pidana secara umum tentunya tidak bisa lepas dari ketentuan yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Buku Kesatu diatur tentang Ketentuan Umum, Buku Kedua tentang Kejahatan dan pada Buku Ketiga tentang Pelanggaran.

Sedangkan pengertian tentang tindak pidana pemilu beberapa ahli hukum telah memberikan defenisi sebagai berikut:

Djoko Prakoso mengemukakan tindak pidana pemilu adalah “Setiap orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau menggangu jalannya pemilu yang diselenggarakan menurut undang-undang”32

H. Muhsin mengemukakan tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 adalah “tindak pidana yang diatur secara limitative pada UU No. 10 tahun 2008, yang bila dirinci terdapat sebanyak 59 pasal. Berdasarkan pengertian tersebut, maka bila terjadi tindak pidana dalam proses pelaksanaan Pemilu yang bentuknya diluar sebagaimana diatur didalam UU tersebut, yaitu sebanyak 59 pasal, maka tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai tindak pidana pemilu, tetapi merupakan tindak pidana biasa.

.

33

Topo Santoso mengemukakan ada tiga kemungkinan pengertian dan cakupan dari tindak pidana pemilu: pertama, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam undang-undang pemilu; kedua, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur baik didalam maupun diluar undang-undang pemilu (misalnya dalam UU Partai Politik ataupun didalam KUHP); dan ketiga, semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan (kekerasan), perusakan dan sebagainya). Namun dia lebih memilih bahwa pengertian tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana

32

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, Op. Cit, hlm. 148. 33


(43)

yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu.34

Eko Wiyono didalam tulisannya tentang Optimalisasi Eksekusi Putusan Tindak Pidana Pemilu Legislatif 2009 mengemukakan pelanggaran pidana pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008.35

Pelaksanaan Pemilu Legislatif tahun 2009 dalam rangka memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan dengan beberapa tahapan, adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut36

1. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; :

2. Pendaftaran peserta Pemilu; 3. Penetapan peserta pemilu;

4. Penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan;

5. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota; 6. Masa Kampanye;

7. Masa Tenang;

8. Pemungutan suara dan penghitungan suara terdiri dari: a. Pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan TPSLN;

b. Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, PPLN, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi;

9. Penetapan hasil pemilu, terdiri dari: a. Penetapan hasil pemilu;

b. Penetapan perolahan kursi dan calon terpilih; 10.Pengucapan sumpah/janji anggota:

a. DPRD Kabupaten/Kota; b. DPRD Provinsi;

34

Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Op. Cit, hlm. 4 dan 5. 35

Eko Wilyono, Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2009), hlm. 23. 36

Diktum ke- 5 (lima) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Perubahan Terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2008 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Rakyat Daerah tahun 2009.


(44)

c. DPR dan DPD;

Menurut Eko Wilyono pada setiap tahapan dalam penyelenggaraan pemilu tersebut ternyata tidak terlepas dari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu yang dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan pemilu khususnya pada tahapan kampanye yang sangat riskan dan berpotensi menimbulkan pelanggaran terutama adanya money politics sebagai salah satu cara efektif yang dapat digunakan oleh para peserta pemilu guna meraup suara sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak sah yang lazim terjadi dinegara sedang berkembang yang pada akhirnya akan dapat tidak hanya menghambat tapi juga dapat menggagalkan pesta demokrasi yang sangat diharapkan oleh semua pihak elemen bangsa dapat berlangsung dengan baik dan lancar37.

Dalam tahapan pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2009 sering terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemilu. Pelanggaran tersebut ada yang berupa pelanggaran administrasi pemilu dan ada berupa pelanggaran pidana pemilu.

Pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan terhadap ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU, sedangkan pelanggaran pidana pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008.38

B.Tugas Dan Wewenang Pengawas Pemilihan Umum.

Penyelenggara pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 terdiri dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, Panitia Pemilihan Luar Negeri, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri. Dalam rangka penyelenggaraan pemilu legislatif

37

Eko Wilyono, Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2009), Op cit. hlm. 22.

38


(45)

tahun 2009 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Penyelenggara Pemilu haruslah berpedoman kepada asas :

a. Mandiri; b. Jujur; c. Adil;

d. Kepastian hukum;

e. Tertib penyelenggara Pemilu; f. Kepentingan umum;

g. Keterbukaan; h. Proporsionalitas; i. Profesionalitas; j. Akuntabilitas; k. Efisiensi; dan l. Efektivitas.

Supaya penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya mentaati asas penyelenggara pemilu maka diperlukan adanya pengawasan. Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan “Pengawasan penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri”.

Pengangkatan pengawas pemilu dilakukan melalui beberapa tahapan seleksi. Untuk pengangkatan Anggota Bawaslu setelah dinyatakan layak dan patut oleh Tim Seleksi maka pengesahannya ditetapkan dengan keputusan Presiden, untuk Anggota Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu, untuk anggota Panwaslu Kabupaten Kota ditetapkan dengan keputusan Bawaslu, anggota Panwaslu Kecamatan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota


(46)

Pengawas Pemilu Lapangan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kecamatan, pengawas Pemilu Luar Negeri dapat dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu atas usulan kepala Perwakilan Republik Indonesia.

Netralitas dan independensi pengawas pemilu dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu legislatif tahun 2009 pada setiap tahapannya sangat diharapkan, karena pada pemilu sebelumnya ketidakberdayaan panwaslu didaerah dalam melaksanakan tugasnya sangat jelas terlihat, persoalan ini sangat terkait dengan netralitas dari lembaga tersebut dalam melakukan pengawasan.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu memberikan perubahan dalam hal independensi. Meskipun tidak signifikan. Meskipun panwaslu di daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, namun Bawaslu sendiri masih dipilih oleh DPR. Kita sudah mafhum, bahwa fit and proper test yang dilakukan DPR sesungguhnya hanyalah formalitas semata. Sebab pilihan mereka sesungguhnya sudah jadi setelah lolos 15 nama dari hasil seleksi. Lima nama calon Bawaslu yang akan dipilih sebenarnya sudah jadi dan terkompromikan atas nama kepentingan politik yang tidak lepas dari unsur pragmatisme.39

Pengawasan didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam kata lainnya disebut juga berupa kontrol, pemeriksaan, pengendalian.40

39

Dengan adanya pengawasan diharapkan orang ataupun suatu lembaga dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya.

Rakyat), Panwaslu dan Bawaslu, Serupa Tapi (Tetap) sama, tanggal 1/6/2011, hlm. 2.

40

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2009). hlm. 592.


(47)

Adapun kedudukan dan tugas pengawas pemilu masing-masing berbeda sesuai dengan tingkatannya. Pasal 1 angka (15), (16), (17), (18), (19) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan : Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu adalah Panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota, Panwaslu Kecamatan adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah kecamatan atau nama lain, Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di desa atau nama lain/kelurahan, Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.

Dalam membahas tentang tugas dan wewenang pengawas pemilu, untuk memudahkan kita memahaminya perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian tugas dan wewenag tersebut.

Tugas dalam kata lainnya dapat disebut sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggungjawab seseorang pekerjaan yang dibebankan, pegawai hendaklah menjalankan masing-masing dengan baik.41

41

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op cit, hlm. 1215.


(48)

kekuasaan untuk bertindak, dan kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain.42

Tulisan ini membahas tentang analisis penegakan hukum tindak pidana pemilu legislatif tentang pelanggaran larangan kampanye dengan mengemukakan contoh kasus tindak pidana pemilu pelanggaran larangan kampanye tentang menggunakan atribut dan/atau tanda gambar selain atribut dan/atau tanda gambar peserta pemilu yang bersangkutan pada pemilu legislatif tahun 2009 yang terjadi di Kabupaten Padang Lawas dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Pengadilan Tinggi Medan . Untuk itu akan diuraikan tentang tugas dan wewenang serta kewajiban Panwaslu Kabupaten/Kota.

Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan:

(1). Tugas dan wewenag Panwaslu Kabupaten/Kota adalah:

a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten/kota yang meliputi:

1 pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap;

2. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;

3. proses penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;

42


(49)

4. penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;

5. pelaksanaan kampanye;

6. perlengkapan pemilu dan pendistribusiannya;

7. pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil pemilu; 8. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara; 9. pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;

10. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU kabupaten/kota dari seluruh kecamatan;

11. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu Lanjutan, dan Pemilu susulan; dan

12. proses penetapan hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;

b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;

c. menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana;

d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti;

e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;

f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota;

g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu yang sedang berlangsung;

h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilu; dan

i. melaksanakan tugas dan wewenag lain yang diberikan oleh undang-undang. (2). Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Panwaslu

Kabupaten/Kota berwenang;

a. memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g;


(50)

b. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu.

Dari ketntuan Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 dapat dikelompokan beberapa bentuk tugas dan wewenang dari Panwaslu Kabupaten/Kota diantaranya yaitu:

1. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan kelengkapan administrasi; 2. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan pelaksanaan kampanye; 3. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan perlengkapan pemilu,

pendistribusian dan pelaksanaan pemungutan suara;

4. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan prnghitungan suara hingga penetapan hasil pemilu;

5. Kewenangan berhubungan dengan menerima laporan, memproses laporan, meneruskan laporan, dan memberikan rekomendasi kepada yang berwenang. Adapun tentang kewajiban Panwaslu Kabupaten/kota diatur pada Pasal 79 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 yang menyatakan Panwaslu Kabupaten/Kota berkewajiban:

a. Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Panwaslu

pada tingkatan dibawahnya;

c. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;

d. Menyampaikan laporan kepada Panwaslu Provinsi sesuai dengan tahapan pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan;

e. Menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu Provinsi berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU


(51)

Kabupaten/Kota yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan pemilu ditingkat kabupaten/kota; dan

f. Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Dari uraian tentang tugas dan wewenang Panwaslu kabupaten/kota, jika terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu maka Panwaslu kabupaten/kota berwenang untuk menerima laporan dan kemudian menyelesaikan permasalahan tersebut atau meneruskan kepada instansi yang berwenang.

Dalam hal adanya temuan atau laporan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu maka Panwaslu kabupaten/kota berwenang untuk menerima laporan kemudian memberikan rekomendasi kepada yang berwenang, Dalam hal ini batasan tugas dan kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota jelas hanya sampai ketingkat pemberian rekomendasi, sedangkan kewenangan untuk melakukan penyidikan tetap ada pada Kepolisian.


(52)

BAB III

PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM DAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

A. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Pemilihan Umum Dalam Sistem Hukum Di Indonesia.

Istilah sistem sudah tidak asing dalam pembicaraan sehari-hari, meskipun penggunaan istilah tersebut tepat atau tidak namun begitu banyak orang dalam komunikasinya menggunakan kata sistem, sebagai contoh yang sering didengar sehari-hari adalah istilah sistem politik, sistem hukum dan lain sebagainya.

Istilah sistem ternyata telah dirumuskan banyak ahli, sehingga bunyi batasannya pun berbeda-beda satu sama lainnya. Gabriel A. Almond, misalnya telah mengartikan sistem sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukan adanya suatu organisasi yang berinteraksi dengan satu lingkungan yang mempengaruhi maupun yang dipengaruhinya.43

Berpikir secara sistem, berarti berpikir secara menyeluruh. Hal-hal yang didekati tidak lagi bermula dari bagian-bagian, melainkan berasal dari keseluruhan. Kenyataan ini semakin menonjol di saat kini, yaitu ketika kehidupan bergulir menjadi semakin kompleks dan disaat terjadi perubahan-perubahan yang begitu cepat datangnya. Dengan demikian, pada prinsipnya berpikir sistem adalah suatu konseptual untuk memahami gejala-gejala dengan semua kendala yang terkandung didalam lingkunan internalnya.44 Apabila kita kaitkan defenisi sistem diatas terhadap pengertian sistem hukum, maka yang dimaksud dengan sistem hukum adalah suatu kesatuan yang utuh dari

43

Ali Mufiz, Sistem Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Karunika, 1985), hlm. 137. 44

Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, (Bandung:Refika Aditama, 2000), hlm. 73.


(53)

tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama yang lain berhubungan dan kait mengkait secara erat.45

Sistem hukum tersebut dapat dibagi dalam bagian atau komponen. Menurut Lawrence M. Friedman didalam buku Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, suatu sistem hukum dapat dibagi kedalam tiga bagian atau komponen, yaitu:46

a. Komponen Struktural;

b. Komponen Substansi;

c. Komponen Budaya Hukum.

Komponen Struktural, adalah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak didalam suatu mekanisme. Contohnya lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakan hukum.

Komponen Substansi, adalah suatu hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil nyata ini dapat berbentuk hukum in-concreto atau kaidah hukum individual, maupun hukum in-abstracto atau kaidah hukum umum. Contoh kaidah hukum individual seperti pengadilan menghukum terpidana, polisi memanggil saksi guna keperluan proses verbal. Sedangkan kaidah hukum umum, yaitu ketentuan aturan hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang. Misalnya, Pasal 362 KUH Pidana tentang pencurian.

Komponen Budaya Hukum, adalah sikap tindak warga masyarakat beserta nilai-nilai yang dianutnya. Atau dapat juga dikatakan, bahwa budaya hukum adalah keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum beserta sikap-tindak yang mempengaruhi hukum. Misalnya, adanya rasa malu dan rasa salah apabila melanggar hukum.

Dari uraian tentang sistem hukum yang dimaksudkan oleh Lawrence M. Friedman diatas disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari komponen sistem hukum secara substansi. Secara substansi pengaturan tentang tindak pidana pemilu di Indonesia diatur didalam 2 (dua) undang-undang yaitu:

45

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberti, 1986), hlm. 31. 46


(54)

1. Ketentuan tentang tindak pidana pemilu yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.U.H.P.).

2. Ketentuan tentang tindak pidana pemilu yang diatur didalam undang-undang pemilu. Pada pemilihan umum legislatif tahun 2009 diatur didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.

A.1 Tindak Pidana Pemilihan Umum Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.U.H.P.) Indonesia terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, pasal-pasal tersebut dicantumkan didalam BAB IV tentang Kejahatan Mengenai Perlakuan Kewajiban Negara Dan Hak-Hak Negara. Adapun pasal-pasal tentang tindak pidana pemilu didalam K.U.H.P. adalah sebagai berikut:

Pasal 148 K.U.H.P. menyatakan “Barangsiapa pada waktu pemilihan yang diadakan menurut undang-undang umum, dengan sengaja dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalangi seseorang akan melakukan haknya memilih dengan merdeka dan tidak terganggu, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan.

Ketentuan pidana didalam K.U.H.P. yang mengatur tentang tindak pidana Pemilu menurut seperti Pasal 148, demikian pula pasal 149, 150, 151 dan 152 adalah pasal dari K.U.H.P. yang pada uu nya menjamin agar supaya setiap warga negara dapat menentukan pilihannya dengan bebas terhadap wakil untuk duduk dalam dewan pemerintah atau dewan perwakilan rakyat dan agar


(55)

supaya pemilihan umum itu dapat dilakukan dengan bersih, jujur dan bebas dari segala macam kecurangan.47

Pasal 149 (1) K.U.H.P. menyatakan: Barangsiapa pada waktu pemilihan yang diadakan menurut undang-undang umum, dengan pemberian atau perjanjian memberi suap kepada seseorang supaya ia tidak melakukan haknya memilih, atau supaya ia menjalankan hak itu dengan jalan tertentu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-

Pasal 149 (2) K.U.H.P. menyatakan: Hukuman itu juga dijatuhkan kepada sipemilih, yang menerima suap atau perjanjian akan berbuat sesuatu.

Penyuapan itu harus dilakukan dengan “pemberian” atau “perjanjian” yang berupa apa saja. Yang dihukum menurut pasal ini bukan saja orang yang menyuap, akan tetapi juga orang yang menerima suap itu, misalnya A berkata kepada B : “Jika kamu menusuk (memilih) tanda gambar partai X, saya beri uang Rp 50,-“. Apabila pemilih (B) menerima pemberian atau perjanjian itu dan ia menusuk (memilih) apa yang dikehendaki oleh A, maka A dan B kedua-duanya dihukum. Seorang dari partai politik yang menganjurkan supaya memilih partainya dengan tidak memakai pemberian suatu apa itu tidak diancam hukuman. Menurut juris prodensi, maka menawarkan suatu pemberian atau perjanjian itu merupakan permulaan dari pelaksanaan kejahatan tersebut sehingga sudah dapat dipandang sebagai “percobaan” pada kejahatan dalam pasal ini.48

Pasal 150 K.U.H.P. menyatakan: Barangsiapa pada waktu pemilihan yang diadakan menurut undang-undang umum melakukan suatu perbuatan menipu, sehingga suara seorang pemilih tidak berharga atau seorang lain dari pada yang dimaksudkan sipemilih itu jadi terpilih. Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan.

47

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.U.H.P.) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor, Politea, Cetak ulang 1993), hlm. 128

48


(56)

“Perbuatan menipu” artinya kecurangan-kecurangan misalnya memasukan kartu pemilih yang masih kosong (blanko) dan kemudian menukar kartu itu dengan kartu yang berisi suara orang lain atau mengambil kartu-kartu suara dalam kotak pemungutan suara dan diganti dengan kartu-kartu suara dengan nama-nama atau gambar lain. Tidak semua perbuatan menipu diancam dengan pasal ini, akan tetapi hanyalah perbuatan-perbuatan menipu yang berakibat: suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau seorang lain dari pada yang dimaksudkan oleh pemilih itu menjadi terpilh.49

Pasal 151 K.U.H.P. menyatakan: Barangsiapa dengan sengaja turut memilih dalam pemilihan yang diadakan menurut undang-undang umum, dengan mengaku dirinya orang lain, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan.

Mengaku dirinya orang lain” sama dengan misalnya ia bernama A (tidak berhak memilih) lalu mengaku bernama B (orang yang berhak memilih). Ini dapat terjadi baik dengan tegas mengatakan: “Saya B” maupun waktu ditanya : “Apakah Saudara B ?”, ia menjawab : “ya”. Dikatakan “turut memilih”, apabila orang, itu sudah mengeluarkan suaranya, selama kartu suara itu belum dimasukan dalam kotak suara, maka perbuatan itu baru hanya merupakan “percobaan” saja. Sebaliknya adalah bukan syarat yang diharuskan oleh pasal ini, bahwa suara yang dipungut secara sah itu mempengaruhi pada hasil pemungutan suara. Apabila dengan perbuatan itu hasil pemungutan suara dipengaruhinya, maka peristiwa itu masuk dalam pasal 152, karena “mengatakan dirinya orang lain” itu masuk perbuatan menipu”.50

Pasal 152 K.U.H.P. menyatakan: Barangsiapa pada waktu pemilihan yang diadakan menurut undang-undang umum, dengan sengaja membatalkan pemungutan suara yang telah selesai atau melakukan sesuatu perbuatan menipu sehingga menyebabkan putusan pemungutan suara itu jadi berlainan daripada yang harus diperoleh dengan surat pemungutan suara yang sah dimasukkan atau dengan suara yang sah dikeluarkan dihukum penjara selama-lamanya dua tahun.

49

Ibid, hlm. 130, 131. 50


(1)

Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Tersangka, Terdakwa Dan Terpidana, Bandung: Alumni, 2006

Kamelo, Tan, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung: PT. Alumni, 2006

Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002

Kusnardi, Moh dan Harmaily Ibrahim, Pengantar HTN Indonesia, Jakarta: Cv. Sinar Bakti, Pusat Study HTN Fakultas Hukum UI, 1988

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik Dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994

Marpaung, Laden, Proses Penanganan Perkara Pidana Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Kasasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Machmudin, Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Bandung: Refika Aditama, 2000

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI 2008

Manan, Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, Yogyakarta :FH UII Press, 2005

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberti, 1986 Mufiz, Ali, Sistem Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Karunika, 1985

Muladi. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002

Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Prees, 2008


(2)

Nasution, Bismar, Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Medan: Fakultas Hukum USU, 2003

Partai Keadilan Sejahtera, Platform Kebijakan Pembangunan Falsafah Dasar Perjuangan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, Jakarta: 2008 Prasetyo Teguh, Barkatullah, Halim, Abdul, Politik Hukum Pidana Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2009

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986

---, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009

Santoso Topo, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta: Sinar Grafika, 2006

Simangunsong Bonar, Sinuraya, Daulat. Negara Demokrasi dan Berpolitik Yang Profesional, Jakarta: Kharisma Virgo Print, 2004

Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI press, Universitas Indonesia, 1986

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983

---, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981

Suleman, Zulkifli, Demokrasi Untuk Indonesia, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.U.H.P.) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea, Cetak ulang 1993

Wiignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990), Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1993


(3)

B.Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan penjelasannya

Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Indonesia, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Indonesia, Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan penjelasannya

Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan penjelasannya

Indonesia, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2008 tentang

Perubahan Terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2008 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tahun 2009.

C.Putusan Pengadilan

Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Putusan No. 116/Pid.B/2009/PN Psp, Padangsidimpuan, 12 Maret 2009


(4)

D. Surat-Surat

Sole Hasibuan, Berita Acara Klarifikasi, Sibuhuan, 3 Pebruari 2009

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Tapanuli Selatan, Surat Panggilan No. Pol.: S. PGL./06/II/2009/Gakkumdu Pemilu, Padangsidimpuan, 7 Februari 2009.

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Tapanuli Selatan, Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Padangsidimpuan, 11 Februari 2009

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Tapanuli Selatan, Surat Panggilan No. Pol.: S. PGL./09/II/2009/Gakkumdu Pemilu, Padangsidimpuan, 12 Februari 2009

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Tapanuli Selatan, Berita Acara Pemeriksaan Tersangka-Lanjutan, Padangsidimpuan, 17 Februari 2009

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Tapanuli Selatan, Surat Panggilan No. Pol.: S. PGL./10/II/2009/Gakkumdu Pemilu, Padangsidimpuan, 25 Februari 2009.

Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan, Surat Dakwaan Reg. Perkara Nomor : PDM-01/PSP/P/02/2009, Padangsidimpuan, 27 Februari 2009

Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan, Surat Tuntutan (Requiitorir) Perkara Pidana Nomor : PDM-01/Psp/P02/2009, Padangsidimpuan, 11 Maret 2009 Advokat/Penasihat Hukum Dodi Candra,SH & Rekan, Nota Pembelaan (Pledooi)

Dalam Perkara Pidana Nomor. 116/Pid.B/2009/PN-PSP, Medan, 11 Maret 2009

Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan, Reflik/Tanggapan Atas Pembelaan/Pledooi Penasihat Hukum Terdakwa Haji Iskan Qolba Lubis, MA Dalam Perkara Pidana No. 116/Pid.B/2009.PN.Psp, Padangsidimpuan, 11 Maret 2009

Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan, Memori Banding atas nama terdakwa Haji Iskan Qolba Lubis,MA Terhadap Putusan Pengadilan Negeri


(5)

Padangsidimpuan Nomor: 116/Pid.B/2009/PN.psp Tanggal 12 Maret 2009, Padangsidimpuan 13 Maret 2009

Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Relas Pemberitahuan Pernyataan Banding Nomor: 116/Pid.B/2009/PN.Psp, Padangsidimpuan, 14 Maret 2009 Advokat/Penasihat Hukum Dodi Candra,SH & Rekan, Konta Memori Banding atas

Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor :

116/Pid.B/2009/PN.psp Tanggal 12 Maret 2009, Medan 17 maret 2009

E.Makalah/Tulisan

Arrasjid, Chainur, Diktat Sistem Peradilan Pidana, Program S2 Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005

Kalo, Syafruddin Kalo, Teori & Penemuan Hukum, Diktat Untuk Mata Kuliah Teori Hukum Dan Penemuan Hukum Pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004

Lubis, Solly. M, Modul Teori Hukum, Medan: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009

Mulyadi, Mahmud, Diktat Sistem Peradilan Pidana, Bahan Kuliah Semester Ganjil (III) Tahun Akademik 2007/2008 Konsentrasi Hukum Pidana, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU

Universitas Sumatera Utara, Pedoman penulisan usulan penelitian dan tesis, Medan

F. Surat Kabar/Majalah

Harian Kompas, Nama Dan Nomor Urut Partai Politik Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009, Tgl. 10 Juli 2008

H. Muchsin, Varia Peradilan, Muchsin.H, Tindak Pidana Pemilu Serta Tugas Peradilan Umum, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2008 Varia Peradilan, Wilyono, Eko, Optimalisasi Eksekusi Putusan Tindak Pidana Pemilu


(6)

G.Internet

Mawardi, Irvan, Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat, Panwaslu dan Bawaslu,

Serupa Tapi (Tetap) sama,

diakses Tgl. 1 Juni 2011


Dokumen yang terkait

Implementasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Tentang Pembatasan Alat Peraga Kampanye (Studi: Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Medan Pada Pemilihan Legislatif Kota Medan 2014 di Kecamatan Medan Sunggal)

4 77 149

Peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pemilihan Umum Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Studi Kasus: Panwaslu Kota Medan)”

11 109 155

Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye (Studi Kasus : Putusan Nomor : 199/PID/2009/PT.MDN)

2 55 152

Perbandingan Pemilihan Umum Indonesia Dengan Malaysia (Studi Kasus : Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004 Dengan Pemilihan Umum Malaysia Tahun 2004)

12 111 239

Perilaku Pemilih Masyarakat Etnis Simalungun Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 (Studi Kasus : Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun).

1 43 94

Etnisitas dan Politik Suatu Studi Partisipasi Politik Etnis Karo Dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 (Studi Kasus : Partisipasi Masyarkat Etnis Karo Dalam Pemilihan Umum Legislative Di Desa Tengah, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang)

0 38 102

Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kota Metro Terhadap Pelanggaran Pemilu Legislatif Tahun 2014

4 36 76

BAB II BENTUK-BENTUK PERBUATAN YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM - Peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pemilihan Umum Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara

0 0 52

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah - Peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pemilihan Umum Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Studi Kasus: Panwaslu Kota M

0 0 34

Memerhatikan : Putusan Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum tanggal 26

0 0 13