Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3
adalah bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan nasional menurut TAP MPR RI No. IIMPR1998 bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.3 Pengertian RPSA Rumah Perlindungan Sosial Anak
RPSA yang dulunya lebih dikenal dengan sebutan rumah singgah adalah suatu wahana yang disiapkan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak
yang akan membantu anak jalanan. Ciri-ciri rumah singgah adalah sebagai berikut.
a. Lokasi rumah singgah berada dekat dengan lokasi anak-anak jalanan.
b. Rumah singgah terbuka 24 jam bagi anak jalanan, namun mungkin ada aturan
yang membatasi jam buka tersebut. c.
Rumah singgah bukan tempatmenetap, namun hanya merupakan tempat persinggahan.
Rumah singgah dapat dimanfaatkan oleh anak jalanan kapan saja agar anak mendapat perlindungan. Di sini anak bebas melakukan berbagai aktivitas
membaca, menulis, bermain, bercanda, dan sebagainya. Tetapi di rumah singgah
ini mereka dilarang melakukan kegiatan yang tidak baik misalnya mencuri, berjudi, minum minuman keras, dan sebagainya.
Fungsi dari rumah singgah adalah untuk membantu anak jalanan, memperbaiki atau membetulkan sikap dan perilaku yang keliru, memberi proteksi,
mengatasi masalah, dan menyediakan berbagai informasi yang berkaitan dengan anak jalanan. Tugas tersebut dilakukan oleh pengurus dan petugas sosial. Para
pekerja sosial membina anak jalanan dengan bertindak sebagi teman, bertindak sejajar dengan anak jalanan, dan pembinaan ini bersifat kekeluargaan. Diharapkan
dengan cara tersebut anak tidak mengalami hambatan untuk menyampaikan keluhan, masalah, dan bersedia untuk merubah sikap dan perilaku yang keliru.
2.4 Anak jalanan
Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah. Ada beberapa pengertian anak jalanan menurut beberapa ahli
hukum. a.
Sandyawan memberikan pengertian bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang berusia
maksimal 16 tahun, telah bekerja dan menghabiskan waktunya di jalanan.
b. Peter Davies memberikan pemahaman bahwa fenomena anak-anak jalanan
sekarang ini merupakan suatu gejala global. Pertumbuhan urbanisasi dan
membengkaknya daerah kumuh di kota-kota yang paling parah keadaannya
adalah di negara berkembang, telah memaksa sejumlah anak yang semakin
besar untuk pergi ke jalanan ikut mencari makan demi kelangsungan hidup keluarga dan bagi dirinya sendiri dalam Rosdalina, 2007:71.
Anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam. a.
Anak jalanan on the streetroad, yaitu anak-anak yang ada di jalanan, hanya sesaat saja di jalanan, dan meliputi dua kelompok yaitu kelompok dari luar
kota dan kelompok dari dalam kota Rosdalina, 2007:72. Anak-anak jalanan pada kategori ini memberikan sebagian penghasilan mereka kepada orang
tuanya. Menurut Suyanto 2010:187 fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena
beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
b. Anak jalanan of the streetroad atau anak-anak yang tumbuh dari jalanan,
seluruh waktunya dihabiskan di jalanan, tidak mempunyai rumah, dan jarang atau tidak pernah kontak dengan keluarganya Rosdalina, 2007:72.
c. Anak jalanan From Families of the Street, yaitu anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup di jalanan. Anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari
satu tempat ke tempat yang lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak
masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia, kategori ini dengan mudah ditemui di kolong-kolong jembatan, rumah-rumah liar
sepanjang rel kereta api, dan sebagainya walau secara kumulatif jumlahnya belum diketahui secara pasti Suyanto, 2010:187.
Adapun ciri-ciri anak jalanan secara umum antara lain: a.
berada di tempat umum jalanan, pasar, pertokoan, dan tempat hiburan selama 3-24 jam sehari;
b. berpendidikan rendah kebanyakan putus sekolah dan sedikit sekali yang
tamat SD; c.
berasal dari keluarga-keluarga yang tidak mampu kebanyakan kaum urban dan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya; dan
d. melakukan aktivitas ekonomi atau melakukan pekerjaan pada sektor informal
Rosdalina, 2007:72. Rosdalina 2007:202 menarik kesimpulan dari jurnal penelitian tersebut
yaitu: adanya ciri umum tersebut di atas, tidak berarti bahwa fenomena anak
jalanan merupakan fenomena yang tunggal. Penelusuran yang lebih empatik dan intensif ke dalam kehidupan mereka menunjukkan adanya
keberagaman. Keberagaman tersebut antara lain: latar belakang keluarga, lamanya berada di jalanan, lingkungan tempat tinggal, pilihan pekerjaan,
pergaulan, dan pola pengasuhan. Sehingga tidak mengherankan jika terdapat keberagaman pola tingkah laku, kebiasaan, dan tampilan dari
anak-anak jalanan.
Ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebab munculnya fenomena anak jalanan Rosdalina 2007:72, yaitu:
a. sejumlah kebijakan makro dalam bidang sosial ekonomi telah menyumbang
munculnya fenomena anak jalanan; b.
modernisasi, industrialisasi, migrasi, dan urbanisasi menyebabkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan gaya hidup yang membuat dukungan
sosial dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang;
c. kekerasan dalam keluarga menjadi latar belakang penting penyebab anak
keluar dari rumah dan umumnya terjadi dalam keluarga yang mengalami tekanan ekonomi dan jumlah anggota keluarga yang besar;
d. terkait permasalahan ekonomi sehingga anak terpaksa ikut membantu orang
tua dengan bekerja di jalanan; e.
orang tua
rumah dan terpaksa hidup di jalanan. Menurut penjelasan Justika S. Baharsjah, kebanyakan anak bekerja di jalanan bukanlah atas kemauan mereka sendiri,
melainkan sekitar 60 persen diantaranya karena dipaksa oleh orang tuanya dalam Suyanto, 2003:197.
Berdasarkan studi yang dilakukan UNICEF pada anak-anak yang dikategorikan children of the street dalam Suyanto, 2003:197, menunjukkan
bahwa motivasi anak turun ke jalan bukan hanya karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga tetapi juga karena adanya kekerasan dan keretakan
kehidupan rumah tangga orang tuanya. Keadaan ini menjadikan mereka menilai bahwa kehidupan di jalan memberikan alternatif dibandingkan hidup dalam
keluarganya yang penuh kekerasan yang tidak dapat dihindari. Adapun aktivitas yang biasa dilakukan anak jalanan di jalan untuk mencari
uang menurut pengamatan RPSA Gratama Semarang antara lain mengamen, jual koran, semir sepatu, ngelap kaca mobil, meminta-minta, menjadi tukang parkir,
pemulungpencari barang bekas, dan jual mainan. Menurut Tata Sudrajat dalam Suyanto, 2003:201, selama ini ada tiga
pendekatan yang biasa dilakukan oleh LSM dalam penanganan anak jalanan yaitu sebagai berikut.
a. Street based, yaitu model penanganan anak jalanan di tempat anak jalanan itu
berasaltinggal. Para street educator datang kepada mereka untuk berdialog, mendampingi mereka bekerja, memahami dan menerima situasinya, serta
menempatkan diri sebagai teman. Dalam beberapa jam, anak-anak diberikan materi pendidikan dan keterampilan yang berguna bagi pencapaian tujuan
intervensi. Disini para street educator memberikan kehangatan hubungan dan perhatian yang bisa menumbuhkan kepercayaan satu sama lain.
b. Centre based, yaitu pendekatan dan penanganan anak jalanan di lembaga atau
panti. Di sini anak-anak ditampung dan diberikan pelayanan, makanan, perlindungan, serta perlakuan yang hangat dan bersahabat dari pekerja sosial.
Pada panti yang permanen, bahkan disediakan pelayanan pendidikan, keterampilan, kebutuhan dasar, kesehatan, kesenian, dan pekerjaan bagi anak
jalanan. c.
Community based, yaitu model penanganan yang melibatkan seluruh potensi masyarakat, terutama keluarga atau orang tua anak jalanan. Pendekatan ini
bersifat preventif atau pencegahan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah anak agar tidak masuk dan terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Kegiatan
penyuluhan tentang pengasuhan anak dan upaya untuk meningkatkan taraf hidup diberikan kepada keluarga, sedangkan anak-anak diberikan kesempatan
memperoleh pendidikan formal maupun informal serta kegiatan lainnya yang bemanfaat. Pendekatan ini ditujukan agar orang tua mandiri dan lebih
bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Menurut Suyanto 2003:202 dari berbagai pendekatan tersebut tidak
berarti satu pendekatan lebih baik dari pendekatan lainnya. Pendekatan yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi anak
jalanan. Menurut Suyanto, secara keseluruhan modal awal yang dibutuhkan untuk menangani permasalahan anak jalanan sesungguhnya adalah sikap empati dan
komitmen yang benar-benar tulus dari kita semua agar masalah anak jalanan dapat
terselesaikan sampai tuntas. Namun menurut Suyanto, selama ini penanganan masalah anak jalanan masih dilakukan secara temporer, segmenter, dan terpisah
sehingga hasilnya pun menjadi kurang maksimal.
2.5 Kerangka Berfikir