pada petani padi memiliki kecenderungan lebih terhadap keberanian mengambil resiko lebih rendah Tabel 21. Hal ini karena pendidikan yang tinggi, juga
mengakibatkan pengetahuan lebih luas dan lebih baik pula. Hal demikian juga terjadi pada petani tanaman padi maupun tanaman sayuran. Bila pengetahuan
petani semakin luas mengakibatkan petani lebih rasional dan semakin mempertimbangkan lebih tepat sehingga lebih berani dalam menghadapi resiko
usahatani yang dijalankan. Dengan demikian para petani dalam menjalankan usahatani dengan resiko yang kecil cenderung bukan semata-mata karena takut
terhadap resiko yang akan dihadapi, tetapi lebih karena memiliki pengetahuan yang terbatas sehingga cukup rasional apabila petani menjalankan kegiatan
usahatani sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya. Temuan ini mendukung hasil kajian Popkin 1986 tentang petani rasional di pulau Jawa.
Hubungan umur petani dengan tingkat keberanian mengambil resiko dalam berusahatani pada Tabel 22 menunjukkan bahwa petani padi memiliki
tingkat keberanian lebih rendah dibandingkan dengan petani sayuran. Tingkat keberanian mengambil resiko petani padi yang termasuk kategori rendah hingga
sangat rendah sebagian besar ditunjukkan petani berumur di bawah 31 tahun dan
Tabel 22. Sebaran Tingkat Keberanian Mengambil Resiko menurut Umur Petani
Umur Petani Padi
1
Sayuran
2
Tingkat Keberanian
Mengambil Resiko
31 31- 40 41-50 50 Total 31 31- 40 41-50 50 Total
Sangat Rendah 0.0 6.7 3.6
2.4 12.7
0.0 2.8
1.1 5.1 9.0 Rendah
1.8 4.8
6.1 13.9
26.7 1.1
5.1 6.8
5.1 18.1
Tinggi
1.2 13.3 22.4
13.3 50.3
8.5 18.1
16.4 16.4 59.3
Sangat Tinggi 0.0
2.4 6.1
1.8 10.3
0.0 5.6
3.4 4.5 13.6
Total
3.0 27.3 38.2
31.5 100.0 9.6
31.6 27.7 31.1 100.0
Keterangan : 1 Hasil uji Chi-square berbeda sangat nyata =0,01. 2 Hasil uji Chi-square tidak berbeda nyata.
petani berumur lebih dari 50 tahun, sedangkan pada petani sayuran tampak bahwa cenderung lebih berani dalam mengambil resiko baik yang berumur tua mupun
yang umur lebih muda. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Puspadi 2002 pada petani lahan sawah di Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Timur yang
menyimpulkan bahwa petani berumur relatif muda cenderung lebih berani menghadapi resiko yang diwujudkan dengan memilih tanaman hortikultulra
melon dibanding menanam padi. Keberanian mengambil resiko berkaitan juga dengan pengalaman petani dalam berusahatani dan tingkat resiko jenis tanaman yang
diusahakan. Kecenderungan petani sayuran dan hortikultura dalam mengambil resiko terus meningkat hingga mencapai umur kurang dari 50 tahun yang kemudian diikuti
dengan penurunan terhadap tingkat keberanian dalam mengambil resiko usahatani.
Faktor Lingkungan Usahatani
Petani dalam melakukan kegiatan usahatani tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, baik berupa lingkungan tempat usahatani berlangsung maupun lingkungan
tempat petani tersebut bertempat tinggal. Interaksi kedua faktor lingkungan tersebut mempengaruhi perilaku petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya.
Secara garis besar faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kegiatan usahatani petani dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu lingkungan fisik dan
lingkungan ekonomi sosial budaya esobud.
Lingkungan Fisik
Usaha pertanian di Indonesia sebagian besar yang dilakukan petani masih sangat tergantung kepada kondisi alam tempat kegiatan usahatani. Kondisi alam
yang merupakan kondisi fisik dapat berupa iklim, ketersediaan air, kondisi tanah maupun faktor lain yang dapat menentukan tingkat keberhasilan suatu proses 1
kegiatan usahatani. Kondisi lingkungan fisik tampak mendukung untuk melakukan kegiatan usahatani kecuali tipologi lahan seperti kelerengan lahan
untuk usahatani sayuran berkategori rendah. Indikator lingkungan fisik usahatani padi dan usahatani sayuran menunjukkan perbedaan nyataTabel 23.
Tabel 23. Sebaran Petani dan Rataan Skor Lingkungan Fisik Usahatani
Sebaran Petani Sayuran
Padi T o t a l
Mlg Psr Mlg Psr Sayuran Padi
Indikator Lingkungan
Fisik Kategori
n=95 n=82 n=80 n=85 n=177 n=165
Buruk
12.6 9.8
10.0 8.2
11.3 9.1
Baik
33.7 18.3
52.5 62.4
26.6 57.6
X
1.1
Kondisi Iklim
Sangat Baik
53.7 72.0
37.5 29.4
62.1 33.3
Sangat Rendah
3.2 4.9
0.0 0.0
4.0 0.0
Buruk
21.1 18.3
8.8 14.1
19.8 11.5
Baik
37.9 46.3
67.5 67.1
41.8 67.3
X
1.2
Kondisi Kebutuhan Air
Sangat Baik
37.9 29.3
21.3 21.2
33.9 21.2
Sangat Buruk
17.9 13.4
12.5 7.1
15.8 9.7
Buruk
27.4 46.3
38.8 21.2
36.2 29.7
Baik
31.6 20.7
25.0 57.6
26.6 41.8
X
1.3
Tipologi Lahan
Sangat Baik
12.6 19.5
23.8 14.1
15.8 18.8
Sangat Rendah
9.5 3.7
10.0 0.0
6.8 4.8
Jelek
34.7 41.5
23.8 30.6
37.9 27.3
Baik
32.6 39.0
48.8 47.1
35.6 47.9
X
1.4
Kondisi dan sifat lahan
Sangat Baik
23.2 15.9
17.5 22.4
19.8 20.0
Rataan Skor
Sayuran Padi T o t a l
1
Selang Skor 0-100
Mlg Psr Mlg Psr Sayuran Padi Perbedaan
X
1.1
Kondisi Iklim 85,0 85,4 81,1 84,1 85,2 82,7 2,5
X
1.2
Kondisi Kebutuhan Air 77,3 72,2 72,0 71,3 74,9 71,6 3,3
X
1.3
Tipologi Lahan 46,6 50,6 59,7 69,1 48,4 64,5 16,1
X
1.4
Kondisi dan sifat lahan 65,1 52,0 66,6 64,9 59,0 65,6 6,6
Total rataan skor 68.5 60.0 69.8 72.3 66.8 71.1 4,3
Keterangan 1: berbeda sangat nyata pada α=0,01 dan berbeda nyata pada α=0,05
Mlg: Malang dan Psr: Pasuruan
Kondisi iklim yang terdiri dari suhu dan kelembaban udara secara diskriptif termasuk kategori sangat baik dengan rata-rata skor 84. Kondisi iklim antara lokasi
usahatani padi dan usahatani sayuran menunjukkan perbedaan nyata. Perbedaan disebabkan tingkat kesesuaian kondisi untuk kegiatan kedua komoditas tersebut
berbeda yakni usahatani sayuran menghendaki suhu rendah dengan kelembaban
tinggi basah, sebaliknya usahatani padi menghendaki suhu sedang dengan kelembaban rendah kering. Kondisi suhu dan kelembaban untuk usahatani padi
dan usahatani sayuran tersebut tampak telah sesuai dengan zonasi agroekologi seperti yang disarankan oleh Legowo dkk., 2003.
Curah hujan dan kebutuhan air untuk kegiatan usahatani kedua usahatani tersebut menunjukkan perbedaaan yang nyata dengan rata-rata skor 73,3 rentang
skor 0 – 100 dan tergolong kategori baik. Perbedaan usahatani terkait dengan jenis tanaman yang diusahakan yaitu petani sayuran dalam mengusahakan tanaman
tidak terlalu memerlukan ketersediaan sepanjang umur tanaman, sebaliknya usahatani padi relatif membutuhkan lebih banyak ketersediaan air.
Curah hujan dan kebutuhan air untuk usahatani sayuran telah mencapai lebih dari 75 persen tergolong baik sesuai dengan kebutuhan, sedangkan untuk
tanaman padi yang memiliki kategori baik hingga sangat baik mencapai 88 persen. Tidak ditemukan kondisi kebutuhan air yang tergolong kategori sangat
jelek pada usahatani tanaman padi baik yang berada di Kabupaten Malang maupun usahatani padi yang berada di Kabupaten Pasuruan.
Kondisi topografi untuk usahatani tanaman sayuran berada pada ketinggian antara 500 hingga 700 meter d.p.l, sedangkan untuk usahatani
tanaman padi di Kabupaten Malang berada pada kisaran 100 hingga 400 meter d.p.l dan untuk Kabupaten Pasuruan berada pada ketinggian antara 10 hingga
150 meter d.p.l. Kelerengan lahan untuk usahatani sayuran dan padi pada kedua lokasi penelitian terdapat perbedaan yang nyata dengan nilai rata-rata 56,2 yang
tergolong pada kategori rendah Tabel 23. Lebih dari 65 persen lahan untuk usahatani sayuran memiliki kelerengan antara 5 hingga 10 persen dengan bentuk
lahan berteras-teras. Sebagian besar lahan-lahan yang diusahakan untuk tanaman sayuran sudah memiliki teras yang relatif permanen dengan bentuk teras bangku
dengan penguat dari batu dan rumput gajah. Kondisi lahan yang bergelombang dan berteras karena kondisi lahan yang
terletak pada dataran tinggi dan di lereng-lereng pegunungan. Usahatani sayuran dataran tinggi di Kabupaten Malang banyak ditemukan pada lereng pegunungan di
kawasan barat dan lereng gunung Panderman, Anjasmoro dan Arjuna di utara,
sedang pada kawasan timur dan utara terletak pada lereng gunung Bromo. Untuk usahatani sayuran dataran tinggi di Kabupaten Pasuruan hanya terletak pada
kawasan lereng gunung Bromo. Oleh sebab itu sangat wajar bila tanaman sayuran dataran tinggi memiliki kelerengan lahan yang dominan.
Hal yang relatif sama juga terjadi pada usahatani padi yang ada di lokasi penelitian di desa Sumberpucung yang mempergunakan lahan berteras-teras tetapi
bentuk terasnya relatif lebar mengingat kondisi lahannya bergelombang. Lain halnya dengan lahan yang digunakan untuk usahatani padi di Kabupaten Pasuruan
yang sebagian besar memiliki lahan yang datar karena sudah termasuk lahan pantura pantai utara dan juga sudah relatif jauh dari lereng pegunungan.
Kondisi dan sifat kesuburan tanah kedua lokasi yang digunakan usahatani sayuran dan padi menunjukkan tidak beda nyata. Hal ini memberikan
indikasi bahwa tingkat kesuburan tanah yang digunakan petani untuk usahatani sayuran dan padi memiliki kondisi dan sifat kesuburan yang sama. Rata-rata
kondisi dan tingkat kesuburan tanah pada kedua lokasi tergolong kategori baik walaupun berada pada batas bawah dari kategori baik tersebut. Kondisi dan sifat
kesuburan tanah yang menunjukkan persentase terbesar pada kategori baik ditemukan di Kabupaten Pasuruan pada usahatani padi yang mencapai 74 persen.
Sebaliknya, kondisi dan sifat kesuburan tanah yang memiliki kategori sangat jelek juga ditemukan pada usahatani padi yang terletak di Kabupaten Malang dengan
nilai persentase sebesar 15 persen. Kondisi lahan usahatani padi di Kabupaten Malang tergolong intensif yang
ditunjukkan oleh 5 kali panen padi dalam dua tahun sehingga penggunaan unsur hara dalam tanah cenderung terus menerus dilakukan. Sebagai akibatnya tingkat
kesuburan tanah mengalami penurunan. Temuan ini mendukung hasil penelitian Suwono dan Suyamto 2002 menghasilkan bahwa kondisi lahan sawah
khususnya di Pulau Jawa memiliki tingkat kandungan bahan organik rendah, salah satu penyebabnya adalah penggunaan lahan yang intensif dan kurang diberi pupuk
organik pupuk kandang. Kondisi lingkungan fisik yang dideskripsikan pada penelitian ini menurut
Legowo dkk.2003, termasuk dalam zona agroekologi di Jawa Timur mempunyai cakupan luasan lebih besar dari 20.000 ha. Terdapat 17 zona agroekologi yang
mempunyai cakupan luas di antaranya Kecamatan Pujo, Kecamatan Sumber pucung. Kecamatan Tutur dan Kecamatan Kejayan. Oleh karena itu kondisi
lingkungan fisik pada hasil penelitian merupakan representatif dari kondisi lingkungan fisik usahatani sayuran dan usahatani padi di Jawa Timur.
Lingkungan Ekonomi dan Sosial dan Budaya
Indikator kondisi lingkungan ekonomi dan sosial budaya Esobud meliputi kesesuaian usahatani dengan adat istiadat dan sistem nilai, tingkat
keterlibatan dan dukungan keluarga, tingkat penguasaan aset ekonomi, serta dukungan tokoh masyarakat. Terdapat perbedaan sangat nyata antara lingkungan
ekonomi dan sosial budaya pada usahatani sayuran dengan usahatani padi Tabel 24. Tingkat dukungan lingkungan esobud pada usahatani sayuran tampak lebih
tinggi dibanding usahatani padi. Rendahnya dukungan lingkungan esobud pada usahatani padi terutama disebabkan oleh penguasaan aset ekonomi yang rendah.
Tingkat kesesuaian usahatani dengan adat istidat dan sistem nilai terhadap kegiatan usahatani petani sayuran dengan petani padi tergolong tinggi sesuai.
Terdapat perbedaan yang nyata antara usahatani sayuran dan usahatani padi terhadap kesesuaian dengan adat istiadat dan sistem nilai yang ada pada masyarakat
setempat. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh tradisi petani yakni pada usahatani sayuran lebih menekankan kepada pasar sedangkan usahatani padi lebih
menekankan kepada kondisi musim ketersediaan air. Tingkat kesesuaian dengan adat istiadat dan sistem nilai yang tergolong tinggi
pada usahatani sayuran mencapai 66 persen sedangkan usahatani padi mencapai 72 persen. Usahatani sayuran di Kabupaten Malang tampak memiliki tingkat
kesesuaian dengan adat istiadat dan sistem nilai lebih tinggi dibanding di Kabupaten Pasuruan. Demikian pula pada usahatani padi yang dilakukan petani
padi di Kabupaten Malang tampak memiliki tingkat kesesuaian lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten Pasuruan. Pengamatan di lapangan tampak bahwa
adat istiadat dan sistem nilai yang berlaku cenderung mengarah ke modern. Hal ini terbukti pada petani sayuran yang lebih berorientasi pasar sehingga segala
kegiatan usahatani cenderung dinamis misalnya penentuan jenis sayuran yang akan
Tabel 24. Sebaran Petani dan Rataan Skor Lingkungan Ekonomi dan Sosial Budaya Petani Responden
Sebaran Petani Sayuran
Padi T o t a l
Mlg
Psr
Mlg
Psr
Sayuran Padi Lingkungan
Ekonomi dan Sosial Budaya
Kategori
n=95 n=82 n=80 n=85 n=177
n=165
Sangat Rendah
3.2 6.1
3.8 11.8
4.5 7.9 Rendah
30.5 26.8
18.8 20.0
28.8 19.4 Tinggi
32.6 45.1
56.3 47.1
38.4 51.5 X
2.1
K
esesuaian dengan sistem
nilai dan norma yang dianut
Sangat tinggi 33.7
22.0 21.3
21.2 28.2 21.2
Sangat Rendah
25.3 25.6
28.8 20.0
25.4 24.2 Rendah
36.8 39.0
48.8 40.0
37.9 44.2 Tinggi
26.3 26.8
18.8 31.8
26.6 25.5 X
2.2
Tingkat Penguasaan aset
ekonomi Sangat tinggi
11.6 8.5
5.0 8.2
10.2 6.7
Sangat Rendah
12.6 8.5
7.5 9.4
10.7 8.5 Rendah
46.3 39.0
40.0 35.3
42.9 37.6 Tinggi
27.4 29.3
35.0 40.0
28.2 37.6 X
2.3
Keterlibatan Keluarga
Sangat tinggi 13.7
23.2 17.5
15.3 18.1 16.4
Sangat Rendah
12.6 52.4
20.0 24.7
31.1 22.4 Rendah
53.7 29.3
38.8 40.0
42.4 39.4 Tinggi
22.1 11.0
30.0 29.4
16.9 29.7 X
2.4
Interaksi dengan Tokoh
Masyarakat Sangat tinggi
11.6 7.3
11.3 5.9
9.6 8.5
Rataan Skor
Sayuran Padi T o t a l
1
Selang Skor 0-100
Mlg Psr Mlg Psr Sayuran Padi
Perbedaan
X
2.1
K
esesuaian dengan sistem nilai dan norma yang dianut
74,9 71,5 67,3 66,0 73,3 66,7 6,6
X
2.2
Tingkat Penguasaan aset ekonomi
74,6 56,9 47,9 45,8 66,4 46,8 19,6 X
2.3
Keterlibatan Keluarga 72,6 75,6 72,8 72,8 74,0 71,7
2,3 X
2.4
Interaksi dengan Tokoh
Masyarakat 66,8 45,9 54,8 53,8 57,1 54,3 2,8
Total rataan skor 71,4 62,3 60,7 58,2 66,1 57,4 8,7
Keterangan 1: berbeda sangat nyata pada α=0,01
Mlg: Malang dan Psr: Pasuruan
ditanam dapat berubah setiap musim. Demikian pula pada petani padi juga cenderung mengikuti musim tanam yang sesuai misalnya untuk menghindari
hama dan penyakit. Dengan demikian petani sayuran dan petani padi lebih leluasa dalam berusahatani tanpa ada suatu tekanan yang berarti dari adat istiadat dan
sistem nilai pada masyarakat. Tingkat penguasaan aset ekonomi yang meliputi penguasaan lahan, kecukupan
modal usahatani, sarana produksi, transportasi dan komunikasi tergolong tinggi pada usahatani sayuran sedang pada usahatani padi rendah Tabel 24. Terdapat
perbedaan yang nyata antara penguasaan aset ekonomi petani sayuran dan petani padi. Rata-rata penguasaan aset ekomoni petani sayuran yang tergolong lebih
tinggi dibanding petani padi. Tingkat penguasaan aset ekonomi petani padi yang rendah terutama terkait dengan penguasaan lahan yang sempit, modal usahatani
dan sarana produksi yang sangat terbatas. Skala penguasaan lahan usahatani menurut sejumlah petani bukan ditinjau
dari luas lahan tetapi dari aspek modal dan sarana produksi yang dibutuhkan. Bagi usahatani padi dengan luas lahan 0,5 ha termasuk sempit, sedang pada usahatani
sayuran termasuk luas. Hal ini ditunjukkan dari total biaya usahatani yang dibutuhkan seperti diungkapkan sejumlah petani padi dan petani sayuran bahwa
rata-rata biaya usahatani padi seluas 0,5 ha sekitar 1,5 juta sedang untuk sayuran Kubis mencapai 4 hingga 5 juta. Biaya yang dibutuhkan usahatani sayuran kubis
tersebut tampak lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Agussabti 2002 di Provinsi Jawa Barat yang mencapai 10 hingga 15 juta per ha. Oleh
karena itu tampak secara nominal penguasaan aset ekonomi petani sayuran lebih tinggi dibanding padi.
Keterlibatan dan dukungan keluarga pada kegiatan usahatani tergolong tinggi dan berbeda sangat nyata antara petani sayuran dan petani padi. Dukungan
keluarga meliputi tingkat keterlibatan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan, penentuan dalam pemilihan jenis tanaman yang akan diusahakan,
pertimbangan dalam menjual hasil usahatani, curahan tenaga kerja selama kegiatan usahatani dan penentuan serta pemilihan tenaga kerja luar keluarga.
Tingkat keterlibatan dan dukungan keluarga pada usahatani padi kategori tinggi hingga sangat tinggi menunjukkan lebih besar dibandingkan
dengan petani sayuran. Dukungan keluarga petani sayuran di Kabupaten Malang
menunjukkan lebih rendah dibandingkan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan. Rendahnya dukungan keluarga pada usahatani sayuran di Kabupaten Malang
akibat dari tingkat kemandirian petani tersebut terutama pada posisi pengambilan keputusan. Sejumlah anggota keluarga memberikan alasan karena lebih percaya
kepada Bapak petani pengelola usahatani, selain lebih berpengalaman juga lebih mengetahui tentang sesuatu yang mesti dilakukan.
Dukungan tokoh masyarakat yang meliputi tokoh formal maupun informal terhadap usahatani yang dijalankan petani masih dalam kategori rendah. Terdapat
perbedaan sangat nyata antara usahatani sayuran dengan usahatani padi. Dari Tabel 24 tampak bahwa dukungan tokoh mayarakat kepada kegiatan usahatani
sayuran yang memiliki kategori tinggi hingga sangat tinggi baru mencapai 26,5 persen, sedangkan pada usahatani padi mencapai 38,2 persen.
Tokoh informal seperti aparat pemerintahan desakecamatan, aparat dinas teknis dalam memberi dukungan hanya sebatas nasehat ataupun saran yang sulit
untuk dilaksanakan oleh petani. Sebagai misal, kasus pemasaran hasil petani sering terperangkap oleh permainan para pedagang terutama pedagang
pengumpul, saran dari para tokoh masyarakat agar petani menjual langsung kepada pasar ternyata masih menghadapi banyak resiko.
Menurut petani padi di Sumberpucung bahwa petani lebih percaya kepada sesama petani yang telah berhasil dibanding sesorang yang dianggap tokoh tetapi
belum pernah mengusahakan padi secara berhasil. Demikian pula petani sayuran di Ngadirejo mengungkapkan bahwa sebagian besar petani sayuran diam-diam
melihat dan menilai petani yang berhasil maupun pedagang yang sering tepat memberi dukungan.
Tampaknya para petani menganggap bahwa para tokoh masyarakat yang banyak menjadi panutan adalah tokoh masyarakat yang juga merangkap sebagai
petani. Dengan demikian yang dianggap tokoh masyarakat bukan hanya sikap dan pengetahuan yang dimiliki cukup baik tetapi juga harus trampil dalam
menjalankan usahatani.
Ketersediaan Inovasi dan Aksesbilitas Informasi Ketersediaan inovasi
Inovasi merupakan suatu obyek, baik yang berupa ide, gagasan maupun bentuk teknis yang dianggap baru dan dinilai lebih bermanfaat keberadaan dalam
lingkungan usaha kegiatan usahatani petani. Ketersediaan inovasi dapat berbentuk teknis maupun dalam bentuk sosial ekonomis. Sebagian besar inovasi
yang diterima petani dalam bentuk teknih baik pada usahatani sayuran maupun usahatani padi sedangkan inovasi yang berbentuk sosial ekonomis relatif kecil
Tabel 25. Tabel 25. Bentuk Inovasi yang Diterima Petani
Bentuk inovasi Jenis usahatani
Teknis Sosial ekonomi
Sayuran 90 10
Padi 75 25
Bentuk inovasi tehnik antara lain ditunjukkan oleh teknik budidaya tanaman, tehnik pengendalian hama dan penyakit, tehnik pemupukan dan tehnik
pasca panen, sedangkan bentuk inovasi sosial seperti cara mengakses modal, meningkatkan posisi tawar hasil produksi dengan berkelompok berasosiasi
maupun menjalin kemitraan relatif kecil. Hal tersebut menggambar-kan bahwa ketersedian inovasi pada petani masih menekankan kepada peningkatan produksi
yang belum tentu diikuti peningkatan pendapatan petani. Selain itu, inovasi yang dibutuhkan baik yang berupa teknis maupun sosial ekonomi masih belum tersedia
sesuai kebutuhan petani baik pada usahatani sayuran maupun usahatani padi. Temuan ini tampak sejalan dengan hasil penelitian Puspadi 2002 bahwa materi
penyuluhan yang disampaikan kepada petani padi berupa teknologi budidaya mencapai lebih 90 persen pada kasus di Kabupaten Ngawi Jawa Timur.
Menurut Rogers dan Shoemaker 1987, agar inovasi diterima dengan mudah dan berkelanjutan, maka sifat inovasi juga memiliki peran penting. Sifat
inovasi menunjukkan perbedaan sangat nyata antara usahatani sayuran dan usahatani padi. Rata-rata skor ketersediaan inovasi sayuran adalah tinggi 66,8
sedangkan pada padi adalah rendah 50,8. Sifat inovasi yang menjadi indikator dalam penelitian ini meliputi 1 tingkat keuntungan relatif, 2 kesesuaian
inovasi dengan kondisi petani, 3 kerumitan penerapan inovasi, 4 kemudahan inovasi untuk dicoba petani sesuai kondisi yang dimiliki petani menunjukkan
perbedaan sangat nyata kecuali 5 kemudahan pengamatan dan mengkomunikasi- kan hasil penerapan inovasi tidak berbeda nyata Tabel 26.
Rataan tingkat keuntungan inovasi antara usahatani sayuran dan usahatani padi menunjukkan perbedaan nyata. Rata-rata skor keuntungan inovasi relatif
pada usahatani sayuran tinggi nilai skor 66,4 sedangkan petani padi rendah nilai skor 46,8. Perbedaan keuntungan dalam penerapan inovasi pada usahatani
sayuran lebih tinggi dibanding usahatani padi karena 1 hasil usahatani sayuran memiliki nilai lebih tinggi, sedang hasil usahatani padi hampir dapat dipastikan
turun tatkala panen. Oleh karena itu petani padi dalam menerapkan inovasi baru sering mendapatkan keuntungan lebih rendah dibanding petani sayuran, 2 harga
nilai produksi sayuran tergantung kepada pasar sedangkan harga nilai produksi padi masih banyak diikuti dengan kebijakan politis pemerintah.
Selain itu, terdapat hal yang menarik selama pelaksanaan penelitian yaitu introduksi inovasi baru padi hibrida yang berupa demo plot. Dari hasil kunjungan
para ketua kelompok tani menyimpulkan seperti yang diungkapkan Kelompok Tani Rukun Makmur Sumberpucung bahwa:
“kalau padi hibrida hanya seperti itu, untuk apa susah-susah menanam. Selain harga benihnya mahal, hasilnya saya kira tidak jauh berbeda
dengan hasil padi yang saya tanam dengan varietas Ciherang.”
Tampaknya kasus tersebut cukup mendukung bahwa keuntungan ekonomi inovasi padi masih rendah. Kondisi ini mempersulit penyuluh untuk meningkatkan
pendapatan petani dan memperlemah kredibilitas penyuluh sebagai pemberi informasi untuk dipercaya petani.
Tabel 26. Sebaran dan Rataan Skor Petani Sayuran dan Petani Padi menurut Sifat Inovasi
Sebaran Petani Sayuran Padi
T o t a l Mlg Psr Mlg Psr Sayuran
Padi Sifat
Inovasi Kategori
n=95 n=82n=80 n=85 n=
177
n=
165 Sangat rendah
8.4 11.0
26.3 27.1
9.6 26.7 Rendah 49.5
70.7 50.0
43.5 59.3
46.7 Tinggi 34.7
14.6 21.3
20.0 25.4
20.6
X
3.1
Tingkat Keuntungan
Ekonomi Inovasi
Sangat tinggi 7.4
3.7 2.5
9.4 5.6
6.1
Sangat rendah
10.5 20.7
13.8 0.0
15.3 6.7 Rendah 36.8
54.9 50.0
43.5 45.2
46.7 Tinggi 26.3
13.4 23.8
47.1 20.3
35.8
X
3.2
Kesesuaian inovasi dengan
petani Sangat tinggi
26.3 11.0
12.5 9.4
19.2 10.9
Sangat rumit
5.3 13.4
23.8 24.7
9.0 24.2 Rumit 23.2
36.6 45.0
27.1 29.4
35.8 Mudah 40.0
41.5 21.3
30.6 40.7
26.1
X
3.3
Kerumitan penggunaan
inovasi Sangat mudah
31.5 8.5
10.0 17.6
20.9 13.9
Sangat sulit
6.3 4.9
15.0 32.9
5.6 24.2 Sulit 37.9
52.4 48.8
41.2 44.6
44.8 Mudah 33.7
32.4 25.0
20.0 33.5
22.5
X
3.4
Kemudahan mencoba
inovasi Sangat mudah
22.1 10.3
11.2 5.9
15.3 8.5
Sangat sulit
6.3 7.3
8.8 10.6
6.8 9.7 Sulit 18.9
41.5 27.5
32.9 29.4
30.3 Mudah 40.0
35.4 43.8
25.9 37.9
34.5
X
3.5
Kemudahan pengamatan
penerapan inovasi
Sangat mudah 34.7
15.9 20.0
30.6 26.0
25.5
Rataan Skor
Sayuran Padi
T o t a l
1
Selang Skor 0-100
Mlg Psr Mlg Psr Sayuran
Padi Perbedaan
X
3.1
Tingkat Keuntungan
Ekonomi Inovasi
74.6 56.9
47.9 45.8
66.4 46.8 19,6
X
3.2
Kesesuaian inovasi dengan petani
72.7 53.6
48.1 42.5
63.8 45.2 18,6
X
3.3
Kerumitan penggunaan
inovasi
72.4 63.9
47.1 57.3
68.4 52.3 16,1 X