Sejarah Batik Bakaran Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Potensi Batik Bakaran dalam Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Pati T1 152010020 BAB IV

a. Kerajinan Kuningan Juwana merupakan salah satu pusat kerajinan kuningan terbesar di Indonesia. Berbagai macam produk kerajinan kuningan dapat dengan mudah didapatkan di sini. Produk kerajian tersebut antara lain guci, interior rumah, baut, engsel, klem aki, handle pintu, berbagai miniatur kendaraan, dan masih banyak lagi hasil kerajinan lainya. b. Batik Bakaran Batik Bakaran merupakan batik khas dari Pati. Sentra pembuatan batik ini terdapat di Desa Bakaran, Kecamatan Juwana. Pengunjung dapat memilih berbagai motif yang diminati baik itu motif klasik maupun motif kontemporer dengan pilihan warna yang beragam. Beberapa motif batik bakaran antara lain Padas Gempal, Gringsing, Bregat Ireng, Truntum, dsb. c. Kacang Khas Pati Kacang tanah merupakan salah satu produk unggulan di bidang pertanian. Di kabupaten Pati terdapat 13 pabrik kacang yang dua diantaranya bersekala besar dan 11 lainnya berskala mengengah. Berbagai jenis kacang dengan variasi rasa yang beraneka ragam dapat dijadikan sebagai oleh-oleh. d. Kelapa Kopyor Kelapa Kopyor merupakan produk khas Kabupaten Pati yang telah diakui menjadi hak milik kekayaan Pemerintah Kabupaten Pati. Populasi kelapa Kopyor Pati mempunyai enam variasi warna buah, yaitu hijau, hijau kecoklatan, coklat kehijauan, kuning, dan oranye gading. Data Base Kabupaten Pati Tahun 2013

B. Sejarah Batik Bakaran

Menurut legenda Batik Bakaran sudah ada sekitar abad XIV. Keberadaan batik ini berhubungan dengan seorang abdi dalem yang bertugas membuat pakaian prajurit dari Kerajaan Majapahit yang bernama Nyi Danowati. Ia datang ke Desa Bakaran untuk mencari tempat persembunyian karena dikejar-kejar oleh prajurit Demak. Waktu itu Kerajaan Majapahit diperintah oleh Girindrawardhana yang bergelar Brawijaya VI 1478-1498 berada dalam desakan Kerajaan Demak yang menganut Islam. Sejumlah pengikut Brawijaya yang beragama Hindu memilih meninggalkan Majapahit karena tidak mau masuk Islam. Bersama tiga saudaranya, yaitu Ki Dukut, Kek Truno, dan Ki Dalang Becak, mereka menyusuri pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nyi Danowati dan dua saudaranya berpisah dengan Ki Dalang Becak. Ia melanjutkan perjalanan hingga ke kawasan rawa-rawa yang penuh pohon druju atau sejenis semak berduri, sedangkan Ki Dalang Becak menetap di Tuban. Bersama Ki Dukut, Nyi Danowati membuka lahan di rawa itu sebagai tiras pandelikan atau tempat persembunyian. Lantaran Ki Dukut seorang lelaki, ia mampu membuka lahan yang sangat luas, sedangkan lahan Nyi Danowati sempit. Kemudian Nyi Danowati mengadakan perjanjian dengan Ki Dukut. Ia meminta sebagian lahan Ki Dukut dengan cara menentukan batas lahan melalui debu hasil bakaran tersebut. Usulandisetujui oleh Ki Dukut dan jadilah lahan Nyi Danowati lebih luas. Sebagian lahan Nyi Danowati diberikan pada Kek Truno yang tidak melakukan babat alas. Lahan Nyi Danowati diberi nama Bakaran Wetan sedangkan lahan Kek Truno diberi nama Bakaran Kulon. Di Bakaran Wetan itulah Nyi Danowati membangun pemukiman baru. Agar tidak dicurigai bahwa ia pemeluk Hindu, Nyi Danowari merubah namanya menjadi Nyai Ageng Siti Sabirah. Ia juga mendirikan mushola tanpa mihrab yang disebut Sigit . Di pelataran Sigit itulah Nyi Danowati mengajarkan warga membatik. Motif yang diajarkan Nyi Danowati adalah motif batik Majapatit, misalnya liris, padas gempal, gandrung, dan lain-lain . Wawancara Bukhari, 2242014

C. Batik Bakaran