Subyek dan Obyek Hukum dalam Hukum Waris Adat Batak Toba

37 d Punsutali adalah pemberian seorang ayah kepada cucunya yang paling besar dari anak perempuannya. Pemberian ini merupakan pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuan tersebut apabila ayahnya meninggal dunia. b. Harta yang diperoleh bersama selama perkawinan. Harta ini mereka dapat pada umumnya setelah mereka manjae. Harta kekayaan ini terdiri dari: 67 1. Harta yang didapatkan atas hasil jerih payah suami istri berdua. Pengadaan harta ini dengan sendirinya tergantung dari keuletan dan kerajinan mereka berdua selama perkawinan. Seandainya mereka bekerja dengan rajin dan ulet, maka harta ini akan terkumpul lebih banyak. 2. Harta yang diperoleh dari keluarga masing-masing, selama perkawinan berjalan. Ada kemungkinan ayah si laki-laki itu pada waktu manjae baru memberikan sebagian. Kemudian setelah beberapa lama mereka manjae ayah si laki-laki itu memberikan sebagian lagi. Di samping itu ada kemungkinan seorang laki-laki menerima bagian warisan yang menjadi haknya, baik dari keluarganya, maupun dari ayahnya sendiri. Demikianlah harta yang diterima oleh kedua suami istri itu, sejak mereka manjae, dan sepanjang perjalanan perkawinan mereka. Semua harta ini akan dipergunakan sebagai modal keluarga untuk kelangsungan hidup mereka beserta keturunannya.

2. Subyek dan Obyek Hukum dalam Hukum Waris Adat Batak Toba

Yang merupakan subyek hukum dalam hukum waris adat Batak Toba adalah: 68 a. Pewaris Orang atau subyek yang berkedudukan sebagai pemilik harta kekayaan yang meneruskanmewariskan harta peninggalannya ketika ia masih hidup atau 67 Hasil wawancara dengan B.Butar-Butar, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan Medan Baru, hari Jumat, tanggal 17 Mei 2014, pukul 14.00 WIB 68 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981, hal 152 Universitas Sumatera Utara 38 ketika ia sudah meninggal dunia. Pada suku Batak yang bersistem kekerabatan Patrilineal maka biasanya yang disebut pewaris adalah pihak laki-laki. b. Ahli Waris Ahli waris utama yang berlaku di tanah Batak adalah anak laki-laki, meskipun harta benda yang telah dibawakan kepada anak-anak perempuan tidak boleh diabaikan. Menurut asas hukum waris adat Batak Toba, bahwa yang berhak atas warisan seorang ayah hanyalah anak laki-laki, hal ini dapat diperlunak dengan pembekalan tanah pertanian atau ternak si ayah kepada anak perempuannya yang tidak kawin atau yang akan kawin, serta pemberian kepada keturunan sulung dari anak perempuannya seperti yang telah dijelaskan di atas. Biasanya yang menjadi ahli waris dari harta peninggalan orang tuanya adalah anak kandung, atau dapat juga anak angkat sah yang telah diakui secara adat. Sedangkan yang merupakan obyek dalam hukum waris adat Batak adalah harta warisan, yaitu semua harta warisan yang dimiliki oleh si pewaris yang diteruskan semasa hidupnya atau yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia; dapat diteruskan dalam keadaan tidak terbagi-bagi maupun dalam keadaan terbagi-bagi. Jenis-jenis harta warisan tersebut antara lain harta bawaan, harta pencaharian, maupun hutang-hutang si pewaris. 69 Adapun proses pembagian warisan dalam hukum adat Batak Toba yaitu : 70 a. Pada waktu pewaris masih hidup Seperti telah diuraikan bab di atas bahwa umumnya yang menjadi ahli waris adalah hanya anak laki-laki saja, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa anak perempuan tidak mendapat apapun dari harta kekayaan ayahnya. Sudah menjadi kebiasaan untuk memberikan hadiahpauseang kepada anak perempuan yang sudah menikah atau akan menikah ketika pewaris ayah masih hidup. b. Pada waktu pewaris telah meninggal dunia Pada masyarakat kekerabatan patrilineal istri masuk kekerabatan suaminya dan tetap merupakan anggota keluarga pihak suami, apabila pewaris wafat 69 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983, hal 302 70 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hal 109 Universitas Sumatera Utara 39 meninggalkan istri dan anak-anak maka harta warisan terutama harta bersama suami istri yang di dapat sebagai harta pencaharian dapat dikuasai oleh janda dan dapat menikmatinya selama hidupnya untuk kepentingan dirinya dan kelanjutan hidup anak-anaknya.

D. Penyebab Timbulnya Sengketa Warisan

Secara harafiah hukum waris berarti hukum mengenai harta benda peninggalan orang mati. 71 Keturunan dalam hukum waris adat Batak tradisional adalah anak laki-laki maka merekalah yang menjadi ahli waris. Anak perempuan bukan ahli waris dari yang meninggal, mereka tidak bertanggung jawab atas hutangnya, walaupun mereka perempuan dapat meminta sesuatu barang dari peninggalan ayahnya secara baik-baik kepada ahli waris laki-laki, dan mereka harus menyetujui permintaan itu. 72 Dari kedudukan anak perempuan dalam hukum perkawinaan Adat Batak Toba, maka anak perempuan tidak berhak mewaris harta kekayaan ayahnya bila ia sudah kawin dan tinggal di rumah tangganya. Kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat Batak Toba menyebabkan rasa ketidakadilan bagi anak perempuan karena dalam hukum adat Batak Toba tidak menjadikan anak perempuan menjadi ahli waris sehingga menimbulkan kesadaran mengenai hak yang melahirkan gugatan untuk merubah 71 Vergouwen membedakan hukum waris secara jelas menjadi 3 bagian pokok, yaitu: hak menggantikan menurut keturunan langsung dalam alur laki-laki; pertumbuhan atau percabangan hak ke alur laki-laki yang sejajar; pembagian untuk anak perempuan diturunkan dari leluhur yang sama tetapi dalam alur yang berlain-lainan 72 Hasil wawancara dengan T. B Situmorang, Ketua Adat Kecamatan Medan Baru, tanggal 17 Mei 2014, pukul 17.00 WIB Universitas Sumatera Utara 40 posisi karena merasa dilahirkan dari perut yang ibu yang sama yang tanpa disadari telah menjadi gerakan yang kolektif . 73 Menurut B. Hutagaol “timbulnya sengketa dalam harta warisan di Kecamatan Medan Baru pertama, disebabkan karena adanya ketidakadilan dalam pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan, maka seharusnya pembagian harta warisan adalah adil dan sama rata antara masing-masing anak berdasarkan haknya di samping itu perkembangan zaman yang menuntut persamaan kedudukan dalam hak dan kewajiban antara anak laki-laki dan anak perempuan. Alasan yang kedua, anak perempuan menuntut haknya sebagai anak, yang sering terjadi ketika orang tua sakit dan pada usia yang sudah tua maka yang mengurus orang tua dalam keadaan tersebut kebanyakan anak perempuan. Anak perempuan lebih banyak meluangkan waktunya dalam mengurus orang tua, bahkan dalam membiayai kehidupan orangtuanya, karena itulah anak perempuan menuntut haknya yang sama dengan anak laki-laki.” 74 Keberanian anak perempuan dalam memperjuangkan haknya yang sama dengan anak laki-laki didukung pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 ayat 1 bahwa “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 75 Hal tersebut diatas menjadi salah satu faktor yang mendorong keberanian anak perempuan dalam menuntut keadilan untuk haknya dalam pewarisan. Banyak sengketa yang terjadi di dalam masyarakat Batak Toba, adapun jenis- jenis sengketa tersebut adalah : 76 1. Sengketa di bidang hubungan kekeluargaan a. Sengketa di bidang warisan biasanya terjadi setelah Pewaris wafat 73 J.C. Vergouwen, Op.cit, hal 386 74 Wawancara dengan B. Hutagaol, Ketua Adat Kecamatan Medan Baru, hari Jumat, 9 Mei 2014, pukul 11.30 WIB 75 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 76 JP. Sitanggang, Op.cit, hal 19 Universitas Sumatera Utara 41 b. Sengketa di bidang perkawinan dan perceraian c. Sengketa atau perselisihan suami istri 2. Sengketa di bidang hubungan kemasyarakatan a. Sengketa tanah b. Sengketa adat karena masalah adat tidak sesuai dengan pelaksanaannya dalam suatu acara adat tertentu, sehingga ada pihak yang merasa dirugikan c. Sengketa pasangan muda mudi kawin lari d. Sengketa karena pelanggaran asusila Namun sesuai dengan judul penelitian maka yang akan lebih banyak dibahas di bab selanjutnya adalah sengketa di bidang warisan.

E. Para Pihak yang Ada dalam Sengketa Warisan

Dalam proses penyelesaian sengketa warisan Batak Toba, maka para pihak yanga dalam sengketa warisan adalah pihak perempuan, 77 pihak lawan sengketa, 78 dan hakim hakim adat dan hakim negara. Pihak perempuan yang bersengketa dapat dikategorikan yaitu: 79 1. Pihak perempuan berhadapan dengan institusi hukum adat, tetapi karena putusan adat dirasa tidak mendatangkan keadilan, maka ia mengadakan tuntutan ke pengadilan. Artinya, mula-mula perempuan menggunakan hukum adat, namun kemudian menyatakan menolak meneruskan diri kepada hukum adat dan sepenuhnya menundukkan diri kepada hukum negara. 2. Pihak perempuan di pengadilan negara menyatakan tunduk pada sebagian hukum adat, yang menyatakan bahwa peresapan tidak berhak terhadap harta pusaka. Namun berargumentasi bahwa yang diperebutkannya adalah harta perkawinan, bukan harta pusaka. Dengan demikian perempuan menundukkan diri sebagian pada hukum adat dan sebagian pada hukum negara. 77 Sulistyowati Irianto, Op.cit, hal 212, yang dimaksud pihak perempuan adalah mereka yang berkedudukan sebagai anak perempuan atau janda beserta keluarganya. Namun bisa saja pihak perempuan di sini adalah suaminya atau anaknya yang laki-laki, di mana si istri telah meninggal, maka yang meneruskan perkara adalah suaminya. 78 Ibid, Pihak lawan sengketa tidak selalu berarti laki-laki saja, meskipun kebanyakan adalah demikian. Dapat juga pihak laki-laki di sini adalah termasuk istrinya. 79 Ibid, hal 212-213 Universitas Sumatera Utara 42 3. Pihak perempuan menundukkan diri sepenuhnya kepada hukum negara, yaitu ketika ia memang harus siap melayani gugatan terhadap dirinya di pengadilan negara. 4. Pihak perempuan tidak mampu membawa sengketa ke pengadilan, tetapi ia tunduk sebagian kepada hukum negara secara terbatas, yaitu ketika misalnya ia mengurus surat-surat sertifikat harta perkawinan, atau pergi kepada hakim untuk minta legalisasi bahwa dia adalah ahli waris suaminya. 5. Pihak perempuan tidak mampu membawa sengketa ke pengadilan negara, tetapi ia juga tidak mau menyelesaikan sengketa secara adat, yaitu ketika lawan sengketa menawarkan besarnya pembagian harta waris yang dirasakan tidak adil. Pihak lawan sengketa yang pada umumnya adalah laki-laki menginginkan menggunakan hukum adat, yang berisi pembatasan-pembatasan terhadap perempuan untuk mendapatkan akses kepada harta waris. Argumentasi untuk menggunakan hukum adat dapat terjadi di pengadilan negara, maupun di luar pengadilan penyelesaian adat. 80 Artinya pada umumnya pihak laki-laki menginginkan untuk sepenuhnya tunduk pada hukum adat. Pola-polanya adalah sebagai berikut: 81 1. Pihak laki-laki menyatakan menundukkan diri kepada hukum negara ketika ia mereka menggugat perempuan ke pengadilan negara, atau melayani gugatan perempuan di pengadilan negara. 2. Di pengadilan negara pihak laki-laki ada yang menolak menundukkan diri kepada hukum negara, yaitu ketika menolak diberlakukannya vonis pengadilan yang menghasilkan yurisprudensi, yang justru memberi hak mewaris kepada perempuan. Dalam hal ini pihak laki-laki mendasarkan argumentasinya pada substansi adat. Artinya pihak laki-laki, meskipun berada di pengadilan negara, tunduk sebagian, saja pada hukum negara, dan tunduk sebagian pada hukum adat. 3. Di pengadilan negara pihak laki-laki ada juga yang menundukkan diri kepada hukum negara, yaitu ketika mengacu pada vonis pengadilan yang tidak memberi hak mewaris kepada perempuan. Vonis ini dijatuhkan berdasarkan aman kepada hukum adat. Artinya pihak laki-laki sebesarnya tunduk pada hukum adat yang dikemas oleh hukum negara. 80 Ibid 81 Ibid, hal 213-214 Universitas Sumatera Utara 43 Hakim adalah pihak yang menyelesaikan suatu perkara dengan keputusannya maka hakim dalam penyelesaian perkara sengketa sesuai institusinya dibedakan atas yaitu : 82 1. Hakim adat Putusan hakim adat bervariasi, yaitu a memutuskan perkara berdasarkan ketentuan adat lama yang tidak memberi waris terutama harta pusaka kepada perempuan, b memperlunak ketentuan tersebut dengan memberi hak kelola bukan hak milik kepada anak perempuan. 2. Hakim Negara: Hakim-hakim negara di tiga tingkat Peradilan Negara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung memutuskan perkara secara bervariasi pula. Variasi dari putusan hakim negara adalah: 1. Memberi kemenangan kepada perempuan dengan cara a mengabaikan hukum adat, b mengadopsi perkembangan hukum adat yang “baru” yang lebih emansipatip terhadap perempuan, artinya membuat rumusan putusan yang baru, atau c mengacu pada yurisprudensi sebelumnya yang memberi hak mewaris kepada perempuan. 2. Hakim menjatuhkan putusan yang mengakibatkan kekalahan bagi perempuan melalui diacunya ketentuan adat lama yang tidak memberi hak waris kepada perempuan. 3. Menjatuhkan putusan dengan cara memberi win-win solution kepada para pihak, artinya perempuan dimenangkan sebagian atau tuntutannya dipenuhi sebagian dengan cara mengadopsi perkembangan hukum adat yang baru.

F. Penyelesaian Sengketa Harta Warisan 1. Penyelesaian di Luar Pengadilan

a. Marhata Musyawarah Keluarga

Marhata pada masyarakat Batak Toba sebagai suatu institusi adat bisa diselenggarakan kapan saja, ketika ada peristiwa penting dalam kehidupan seorang Batak yang menyangkut keluarga termasuk bila terdapat perselisihan atau sengketa. 82 Ibid, hal 214 Universitas Sumatera Utara 44 Dalam pelaksanaan pembagian warisan, sering terjadi perselisihan atau sengketa. Biasanya terjadi karena ada pihak keluarga yang merasa tidak puas atas bagiannya terhadap harta warisan yang dibagi, atau bahkan karena ia tidak mendapat bagian. Perselisihan tersebut dapat menyebabkan konflik di antara anggota keluarga tersebut, dan umumnya konflik yang terjadi adalah karena anak perempuan tidak mendapat bagian warisan. Biasanya sengketa tersebut diselesaikan terlebih dahulu dengan cara marhata musyawarah antar anggota keluarga, yang dipimpin oleh orang yang dituakan dalam keluarga, misalnya paman tulang, anak laki-laki sulung yang dituakan, atau saudarakerabat dari pihak ayah. Aturan dan prosedur dalam marhata adalah sangat formal, karena dilakukan dengan tutur bahasa yang halus, dan ada prosedur mengenai siapa saja yang mempunyai hak untuk berbicara, hak untuk berbicara terlebih dahulu, dan menjadi jura bicara. Orang-orang yang tergabung dalam satuan upacara marhata, adalah orang-orang yang berada dalam satuan Dalihan Na Tolu, yaitu yang mempunyai hak bicara pertama ada pada boru kelompok pemberi anak perempuan, kedua dongan tubu teman selahir, kelompok kerabat baik dari hula-hula maupun boru, tetapi yang asal-usulnya masih dapat ditelusuri secara jelas dihitung dari garis laki-laki, ketiga hula-hula kelompok penerima perempuan; dan keempat bila ada dongan sa huta teman se kampung dalam musyawarah tersebut tulang dalam kelompok boru Universitas Sumatera Utara 45 mempunyai kedudukan yang istimewa, karena ia yang berhak memutuskan, sekaligus menutup marhata. 83 Dari kasus waris yang sedikit yang diselesaikan dengan cara marhata musyawarah, kasus yang ada di Kecamatan Medan Baru adalah : Kasus I D boru Simatupang salah satu responden yang menyatakan bahwa setelah suaminya P. Pardede meninggal, maka beliau menetapkan bahwa rumah yang ditinggalkan suaminya boleh dijual setelah beliau meninggal dunia, tetapi harta yang lainnya dibagi secara rata diantara semua anak-anaknya, termasuk harta leluhur suaminya yaitu sebuah rumah yang berada di jalan Sei Putih, Medan Baru. Keputusannya ini dirembukkan secara marhata diantara seluruh anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan yang juga disaksikan saudara-saudara terdekatnya. Beliau merasa pembagian yang sama rata itu berdasarkan perekonomian anak- anaknya. Karena anaknya yang perempuan, walaupun telah bersuami namun kehidupan ekonominya masih kurang sedangkan anak laki-lakinya cukup mapan bahkan masing-masing telah memiliki rumah sendiri dari hasil pencahariannya. Dan akhirnya keputusan D boru Simatupang disetujui kedua anak laki-lakinya yaitu mereka mau membagi harta warisan dengan sama rata bahkan mereka membuat surat pernyataan persetujuan mereka. Kasus II 83 Hasil wawancara dengan B. Butar-Butar, Ketua Adat Batak Toba di Kecamatan Medan Baru, tanggal 17 Mei 2014, pukul 14.00 WIB Universitas Sumatera Utara 46 R boru Manurung adalah anak perempuan satu-satunya dari almarhum P. Manurung, almarhum memiliki tujuh saudara laki-laki. Pada saat P. Manurung meninggal salah satu dari saudara laki-laki almarhum menuntut harta warisan bagian mereka sebagai saudara laki-laki. Akhirnya setelah upacara adat kematian masalah tersebut diselesaikan secara marhata dengan disaksikan seluruh saudara laki-laki almarhum dan saudara terdekat lainnya begitu juga ada ayah dan ibu almarhum. Hasil keputusan dari marhata itu enam dari saudara laki-laki almarhum menyetujui keputusan dari marhata dan menyatakan bahwa R boru Manurung lebih berhak atas seluruh dari harta almarhum ayahnya karena harta itu adalah harta pencaharian ayahnya yang secara otomatis adalah haknya dan seharusnya mereka mempunyai kewajiban melindungi R boru Manurung bukan malah sebaliknya. Akhirnya keputusanya R Manurung berhak atas harta alamarhum sepenuhnya dan salah satu dari saudaranya yang tidak setuju tersebut harus dapat menerima keputusan itu. Kasus III C boru Sihite adalah salah satu responden yang menceritakan kasusnya yaitu, ayahnya P Sihite memiliki tiga orang anak perempuan, sebelum beliau meninggal dunia, pada saat sakit ternyata beliau telah berpesan kepada istrinya K boru Tobing yang disaksikan oleh ketua adat agar kelak membagi semua hartanya yaitu tiga rumah yang ada di Kecamatan Medan Baru, dua rumah yang ada di kecamatan Medan Perjuangan dan harta leluhurnya yang ada di Medan yaitu sebidang tanah dan kebun di daerah Dolok Sanggul, maka seluruh harta tersebut dibagi semuanya kepada anak perempuannya begitu juga harta leluhur ayahnya. Maka setelah P Sihite meninggal, isterinya K boru Tobing menyampaikan amanah suaminya tersebut kepada saudara- Universitas Sumatera Utara 47 saudaranya baik itu saudara suaminya maupun saudaranya dalam marhata. Tetapi JR Sihite anak laki-laki dari saudara laki-laki almarhum merasa keberatan, karena harta leluhur yang dimiliki P Sihite semunya dibagi kepada ketiga anak perempuannya, apalagi selama ini kebun tersebut dikelolah oleh JR Sihite. Maka akhirnya hasil dari putusan marhata tanpa melanggar amanah dari almarhum dan kerelaan hati C Sihite dan kedua saudara perempuannya dengan menghargai usaha JR Sihite selama ini dalam mengelolah kebun tersebut. Maka hasil dari penyelesaian masalah ini semua sepakat bahwa kebun leluhur tidak dapat diperjual belikan dan tetap dikelolah terus dan hasilnya dibagi dua antara JR Sihite dan C boru sihite bersama kedua saudara perempuannya. Dari contoh kasus di atas bahwa marhata atau musyawarah merupakan institusi alternatif yang paling dekat bagi seorang Batak dalam membicarakan berbagai hal yang menyangkut masalah keluarga khususnya sengketa waris.

b. Lembaga Adat

Lembaga adat dalihan na tolu sebagai suatu lembaga musyawarah mufakat adat Batak yang mengikutsertakan para penatuaketua adat yang benar-benar memahami, menguasai, dan menghayati adat istiadat Batak Toba. Jika dalam proses marhata musyawarah keluarga dilakukan dengan kerabat keluarga, dan apabila tidak ada kesepakatan penyelesaian maka perkara dapat dibawa ke lembaga adat guna diselesaikan oleh para ketua adat. Keberadaan lembaga hukum adat Batak yang ada di kecamatan Medan Baru memiliki peranan yang sangat strategis dalam penyelesaian sengketa hukum yang Universitas Sumatera Utara 48 terjadi khususnya dalam perkara perdata waris dimana dalam beberapa kasus yang terjadi. Hukum adat yang dijalankan oleh lembaga adat merupakan perwujudan nilai- nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat, oleh karena itu hukum adat -baik secara yuridis normatif, filosofis, maupun secara sosiologis sebagai sentral seharusnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah segala macam aturan hukum positip Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya disamping itu pula berguna terciptanya sebuah Hukum Indonesia yang lebih baik, yakni Hukum Indonesia yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sendiri. Dari kasus waris yang sedikit yang di bawa ke lembaga adat, kasus yang ada di Kecamatan Medan Baru adalah : Kasus I N boru Siahaan yaitu salah satu responden hanya mempunyai seorang kakak wanita dan tidak mempunyai saudara laki-laki. Ibunya K boru Simatupang menikah dengan bapaknya M. Siahaan pada tahun 1960. Keluarga ini merantau ke Medan dan tinggal di daerah Kecamatan Medan Baru. Bapak M. Siahaan sebagai anak laki-laki terkecil dalam keluarga ompungkakek mereka berhak atas warisan sawah di Dolok Sanggul. Pada Tahun 2000 Bapak M. Siahaan meninggal dunia dan meninggalkan warisan berupa sawah di Dolok Sanggul, rumah di Kecamatan Medan Baru dan Tanah di daerah Deli Serdang. Menurut kesepakatan mereka rumah yang di Kecamatan Medan Baru dan tanah yang ada di Deli Serdang dijual setelah ibunya meninggal dunia, sedangkan sawah yang ada di daerah Dolok Sanggul yang Universitas Sumatera Utara 49 merupakan warisan ompung mereka kepada ayahnya dibiarkan dikuasai oleh anak laki-laki dari amangtuanya saudara laki-laki bapak mereka. Namun setelah ibunya meninggal, anak laki-laki dari amangtuanya juga meminta haknyabagiannya pada rumah yang ada di Kecamatan Medan Baru dan tanah yang ada di Deli Serdang yang akan dijual oleh mereka, dengan alasan mereka tidak memiliki saudara laki-laki dan haknya ada juga, dan dia mengetahui bahwa riwayat tanah yang dibeli di Deli Serdang yaitu ada sebelum pernikahan Bapak M. Siahaan dengan K Boru Simatupang. Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan cara marhata musyawarah, karena N boru Siahaan dan kakaknya tidak menyetujui hasil putusan marhata. Pada akhirnya penyelesaiannya dibawa ke lembaga adat, hasilnya kedua anak perempuan tersebut berhak atas rumah yang ada di Kecamatan Medan Baru begitu juga dengan tanah yang ada di Deli Serdang, sedangkan sawah yang ada di Dolok Sanggul diberikan kepada anak laki-laki amangtuanya selain merupakan warisan leluhur di samping itu jika ditaksir harganya sudah lebih besar nilai nominalnya daripada tanah yang ada di Deli Serdang dan rumah di Medan Baru. Kasus II Responden L Boru Tampubolon mempunyai empat orang anak. Beliau membagi harta warisan yang ditinggalkan suaminya baik harta pencaharian maupun harta leluhur suaminya dibaginya sama rata, tetapi seorang anak laki-lakinya merasa keberatan atas putusan L Boru Tampubolon dan meminta warisan leluhur ayahnya yang ada di daerah Balige dibagi sama rata antara dia dan seorang saudara laki- lakinya, karena menurutnya yang berhak atas harta leluhur adalah anak laki-laki. Universitas Sumatera Utara 50 Masalah ini akhirnya diselesaikan melalui lembaga adat, pada saat dikumpulkan punguan marga, malahan salah satu saudara laki-lakinya tidak mendukung keingginan saudara laki-lakinya yang merasa keberatan. Saudara laki-lakinya tersebut justru mendukung putusan ibunya bahwasannya seluruh harta dibagi sama rata dengan saudara perempuannya. Namun kedua saudara perempuannya menyatakan tidak mempermasalahkan jika yang dipermasalahkan harta warisan dari kakeknya yang terletak di daerah asal menerima dengan hukum adat Batak Toba yang melandasinya maka punguan marga memutuskan bahwasanya harta warisan yang dituntut salah satu saudara laki-lakinya yang memang merupakan harta leluhur ayahnya diwariskan kepada kedua saudara laki-lakinya sesuai dengan hukum waris adat Batak Toba. Kasus III M boru Pasaribu, adalah anak dari Bapak T. Pasaribu, dimana Bapak T. Pasaribu telah meninggal dunia sebelum ayahnya W. Pasaribu. Sebelum W. Pasaribu meninggal ternyata beliau telah membuat surat wasiat untuk membagi seluruh hartanya dengan sama rata untuk seluruh anak-anaknya bahkan cucu-cucu dari almarhum anak-anaknya, tanpa pengecualian perempuan maupun laki-laki. Pada saat W. Pasaribu meninggal dunia maka setelah acara adat kematian, wasiatpun dibacakan, namun dua orang anak laki-laki W. Pasaribu keberatan dengan surat wasiat yang dibuat W. Pasaribu tersebut. Ketika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara marhata dan diselesaikan oleh punguan marga, karena para tetua adat yang ada di Kecamatan Medan Baru juga berpendapat bahwa anak perempuan Universitas Sumatera Utara 51 itu punya hak atas harta ayahnya, apalagi adanya surat wasiat itu telah memperkuat suatu putusan, maka hasilnya M. boru Pasaribu juga berhak atas harta yang ditinggalkan kakeknya W. Pasaribu. Dalam kasus tersebut di atas keberadaan lembaga adat sebagai suatu institusi adat yang diakui dapat ditempuh bila diperlukan, dimana ini untuk mengantisipasi terjadinya suatu sengketa waris dalam keluarga.

2. Penyelesaian di Pengadilan

Dokumen yang terkait

Ekspresi Peran Perempuan Pekerja Pengasuh Anak di Dalam Masyarakat (Studi Pada Perempuan Pengasuh Anak Etnis Batak Toba) di Kelurahan Sei Agul, Kecamatan Medan Barat, Medan

1 62 105

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Pelacuran Anak Di Bawah Umur Dalam Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Republik Indonesia (Studi Kasus Di Polsek Medan Baru)

1 49 134

Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir)

3 77 127

Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan Dan Janda Pada Masyarakat Batak Toba Di Perkotaan (Suatu Penelitian di Kelurahan Sudi Rejo II, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan)

0 28 127

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Hak Mewarisi Anak Perempuan Pada Masyarakat Angkola Di Sipirok

1 117 107

Penerapan Unsur Persamaan Pada Pokoknya Dalam Penentuan Sengketa Merek (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 194K/PDT.SUS/2011)

3 78 98

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan

0 0 26

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

0 0 14