Hak Mewarisi Anak Perempuan Pada Masyarakat Angkola Di Sipirok

(1)

HAK MEWARISI ANAK PEREMPUAN

PADA MASYARAKAT ANGKOLA

DI SIPIROK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

O L E H

INTAN SAKINAH SIREGAR 100200290

DEPARTEMEN: HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

HAK MEWARISI ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKAT ANGKOLA

DI SIPIROK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

O L E H

INTAN SAKINAH SIREGAR 100200290

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

Disetujui oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Dr, Hasim PurbaS.H., M.Hum

.

Pembimbing I Pembimbing II

Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum

Malem Ginting, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : INTAN SAKINAH SIREGAR NIM : 100200290

Judul : HAK MEWARISI ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKAT

ANGKOLA DI SIPIROK

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuat oleh orang lain.

Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk sanki pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Medan, 8 September 2015

NIM. 100200290


(4)

ABSTRAK

Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum* Malem Ginting,SH, M.Hum**

Intan Sakinah Siregar***

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

*** Mahasiswa Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara

Hukum waris (erfrecht) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.

Permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana hak mewarisi anak perempuan menurut hukum adat disipirok, bagaimana pergeseran nilai hukum adat terhadap hak mewarisi anak perempuan di Sipirok dan hambatan – hambatan apa yang ada dalam hak mewarisi anak perempuan di Sipirok.

Hak mewarisi anak perempuan menurut hukum adat di Sipirok adalah

Holong ate yaitu Pemberian seorang bapak kepada anak perempuan sewaktu

melangsungkan perkawinan disebut holong ate. Holong ate diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang perempuan sewaktu perkawinan berlangsung. Pemberian ini adalah berupa alat-alat rumah tangga sebagai bekal untuk memulai kehidupan berumah tangga. Abit na so ra buruk ini diperoleh seorang anak perempuan yang sudah kawin dari bapaknya terutama sesudah bapaknya meninggal dunia. Abit na so ra buruk ini adalah semacam hak waris kepada anak perempuan yang telah berkeluarga. Pergeseran nilai hukum adat dikarenakan sudah banyaknya masyarakat daerah di Sipirok yang sudah merantau ke perkotaan dan berpendidikan, selain dari pengaruh Hukum Perdata Nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak dan adanya persamaan hak antara anak laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan pada saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Hambatan yang ada dalam hak mewarisi anak perempuan di Sipirok karena masih ketatnya menaati budaya hukum pada masyarakat di Sipirok, masih taatnya pengargaan dalam hukum adat di Sipirok yaitu dalam hal masih menggunakan Hukum Patrilineal dalam pembagian harta warisan yang lebih mengutamakan anak laki-laki dan hambatan yang ketiga yaitu kurangnya Pemahaman masyarakat tentang Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 yang sudah menyamakan kedudukan hak waris anak perempuan dan hak waris laki-laki pada masyarakat batak.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga penulis persembahkan kepada Junjungan Kita Nabi Besar Muhammad SAW telah membawa kabar tentang pentingnya ilmu bagi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Medan Area. Skripsi ini berjudul “HAK MEWARISI ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKAT

ANGKOLA DI SIPIROK”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta staf-stafnya.

- Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.


(6)

- Ibu Maria Kaban, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

- Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran tentang segala ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menyelesaikan studinya.

- Kepada Ayahanda Ir. H. Ali Turki Siregar.,MM dan Juga Ibunda tercinta Hj. Masnidar.,SH.,M.Kn yang telah memberikan kasih saying dan seluruh perhatiannya serta selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studinya.

- Kepada Saudara kandung tercinta Indra Prima Hasyim Siregar., ST, Ilham Rizki Aldana Siregar., SH dan Imam Anugerah Patuani Siregar yang

telah memberikan semangat serta motivasi agar penulis menyelesaikan studinya dengan segera.

- Teman-teman Curhat serta sedudukan bersama Kinan.,SH, Dekna.,SH, Maslim.,SH, Rendi.,SH, Budi.,SH, Imam.,SH, Josua.,SH, Jodi.,SH, Agung.,SH dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu. - Rekan-rekan se-almamater Stambuk 2010 di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, atas segala budi baik semua pihak kiranya mendapat ridho Allah SWT dan semoga ilmu yang telah dipelajari selama masa perkuliahan dapat berguna untuk kepentingan dan kemajuan Agama, Bangsa dan Negara.


(7)

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 8 September 2015 Penulis

NIM : 100200290


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penelitian... 6

F. Keaslian Penulisan ... 6

G. Sistematika Penulisan. ... 7

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT .... 9

A. Pengertian Hukum Waris Adat Menurut Menurut Para Ahli. ... 9

B. Pengertian dan Macam-macam Harta Warisan ... 11

C. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat ... 18

D. Unsur-unsur Pewarisan ... 23


(9)

BAB III. KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN TERHADAP

HARTA WARISAN ... 31

A. Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan

menurut KUH Perdata ... 31 B. Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan

menurut Hukum Islam ... 32 C. Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan

menurut Hukum Adat ... 43 D. Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan

berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.

179/K/SIP/1961 ... 46

BAB IV. HAK MEWARISI ANAK PEREMPUAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT

ANGKOLA DI SIPIROK ... 52

A. Gambaran Umum Desa Sipirok, Tapanuli Selatan ... 52 B. Hak Mewarisi Anak Perempuan menurut Hukum Adat

Angkola Di Sipirok ... 59 C. Bagian Harta Untuk Anak Perempuan menurut Hukum

Adat Angkola Di Sipirok ... 74 D. Pergeseran Nilai Hukum Adat Terhadap Hak Mewarisi

Anak Perempuan Pada Masyarakat Angkola Di Sipirok ... 79 E. Hambatan Hak Mewarisi Anak Perempuan Pada


(10)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 92


(11)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 ... 53

2. Tabel 2 ... 54

3. Tabel 3 ... 55


(12)

ABSTRAK

Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum* Malem Ginting,SH, M.Hum**

Intan Sakinah Siregar***

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

*** Mahasiswa Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara

Hukum waris (erfrecht) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.

Permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana hak mewarisi anak perempuan menurut hukum adat disipirok, bagaimana pergeseran nilai hukum adat terhadap hak mewarisi anak perempuan di Sipirok dan hambatan – hambatan apa yang ada dalam hak mewarisi anak perempuan di Sipirok.

Hak mewarisi anak perempuan menurut hukum adat di Sipirok adalah

Holong ate yaitu Pemberian seorang bapak kepada anak perempuan sewaktu

melangsungkan perkawinan disebut holong ate. Holong ate diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang perempuan sewaktu perkawinan berlangsung. Pemberian ini adalah berupa alat-alat rumah tangga sebagai bekal untuk memulai kehidupan berumah tangga. Abit na so ra buruk ini diperoleh seorang anak perempuan yang sudah kawin dari bapaknya terutama sesudah bapaknya meninggal dunia. Abit na so ra buruk ini adalah semacam hak waris kepada anak perempuan yang telah berkeluarga. Pergeseran nilai hukum adat dikarenakan sudah banyaknya masyarakat daerah di Sipirok yang sudah merantau ke perkotaan dan berpendidikan, selain dari pengaruh Hukum Perdata Nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak dan adanya persamaan hak antara anak laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan pada saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Hambatan yang ada dalam hak mewarisi anak perempuan di Sipirok karena masih ketatnya menaati budaya hukum pada masyarakat di Sipirok, masih taatnya pengargaan dalam hukum adat di Sipirok yaitu dalam hal masih menggunakan Hukum Patrilineal dalam pembagian harta warisan yang lebih mengutamakan anak laki-laki dan hambatan yang ketiga yaitu kurangnya Pemahaman masyarakat tentang Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 yang sudah menyamakan kedudukan hak waris anak perempuan dan hak waris laki-laki pada masyarakat batak.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda hanyalah sifat atau tingkat perubahannya. Perubahan pada masyarakat ada yang terlihat dan ada yang tidak terlihat, ada yang cepat dan ada yang lambat, dan perubahan-perubahan itu ada yang menyangkut hal yang fundamental dalam kehidupan masyarakat, hal ini disebabkan manusia tidak hanya merupakan kumpulan sejarah manusia melainkan tersusun dalam berbagai kelompok dan pelembagaan, sehingga kepentingan masyarakat menjadi tidak sama dan jika ada kepentingan yang sama maka mendorong timbulnya pengelompokan diantara mereka, maka dibentuklah peraturan hukum untuk mengatur kepentingan manusia.1

Dari segi terbentuknya maka hukum dapat berupa hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, dan di Indonesia hukum tidak tertulis dikenal dengan Hukum Adat2 yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia, dan menurut Soepomo bahwa corak atau pola-pola tertentu dalam hukum adat yang merupakan perwujudan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu adalah:3

1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat artinya manusia menurut hukum

adat merupakan bentuk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat rasa kebersamaan.

2. Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan

hidup alam Indonesia.

1

Abdul Manan, “Aspek-Aspek Pengubah Hukum”, (Jakarta: Kencana Prenada Meda Group, 2005), hal 71

2 Ibid hal. 19

3 R. Soepomo. “Sistem Hukum Di Indonesia, Sebelum Perang Dunia Kedua”, (Jakarta:


(14)

3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkrit, artinya hukum adat

sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang konkrit tadi dalam mengatur pergaulan hidup.

4. Hukum adat mempunyai sifat visual artinya hubungan-hubungan hukum

hanya terjadi oleh karena ditetapkannya dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.

Bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda.4 Secara teoritis sistem keturunan itu berhubungan dengan pembagian harta warisan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Adapun sistem kekerabatan masyarakat adat di Indonesia dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu:5

1. Susunan kekerabatan Patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak) dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.

2. Susunan kekerabatan Matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu) dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan.

3. Susunan kekerabatan Parental, yaitu dimana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu, dimana kedudukan pria maupun kedudukan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan.

4 Hilman Hadikusuma, “Hukum Waris Adat”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),

hal 23

5Soerojo Wignjodipoero, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat”, (Jakarta: Haji Masagung,


(15)

Hukum Waris Adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan penerusan dan peralihan kekayaan material dan immaterial dari keturunan ke keturunan.6

Hukum Waris Adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan pada masyarakat bersangkutan yang berpengaruh terhadap penetapan ahli waris pembagian maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan. Adapun sistem pewarisan yang dikenal dalam hukum adat yaitu :7

1. Sistem Pewarisan Individual, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan.

2. Sistem Pewarisan Kolektif, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif), sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris.

3. Sistem Pewarisan Mayorat, yaitu sistem pewarisan dimana penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta warisan itu dialihkan dalam keadaan tidak terbagi-bagi dari pewaris kepada anak tertua laki (mayorat laki-laki) atau anak tertua perempuan (mayorat perempuan) yang merupakan pewaris tunggal dari pewaris.

Salah satu sifat hukum adat termasuk hukum waris adat adalah dinamis artinya selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan pewarisan pada masyarakat sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Istilah ini dipakai untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta

6Ter Haar, “Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat”, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991),

hal 202

7 Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW”,


(16)

kekayaan yang akan ditinggalkan pewaris atau perbuatan melakukan pembagian harta warisan kepada para warisnya, jadi ketika pewaris masih hidup, pewarisan berarti penerusan atau penunjukan dan setelah pewaris wafat pewarisan berarti pembagian harta warisan.8

B. Rumusan Masalah

Dalam pembuatan suatu karya ilmiah khususnya skripsi, maka untuk mempermudah penulis dalam pembahasan perlu dibuat suatu permasalahan sesuai dengan judul yang diajukan penulis. Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana hak mewarisi anak perempuan menurut hukum adat Angkola di Sipirok ?

2. Bagaimana pergeseran nilai hukum adat terhadap hak mewarisi anak perempuan pada masyarakat Angkola di Sipirok ?

3. Hambatan – hambatan apa yang ada dalam hak mewarisi anak perempuan pada masyarakat Angkola di Sipirok ?

C. Tujuan Penulisan

Permasalahan hak waris dalam hukum adat ini sangat luas cakupannya dan tidak pernah habis-habisnya untuk dibicarakan karena masalahnya sangat kompleks dan sifatnya bersifat kekeluargaan, baik ditinjau dari dasar pemikiran dan pelaksanaannya di setiap daerah-daerah karena memiliki adat dan peraturan yang berbeda dan beraneka ragam. Dan secara singkat tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :


(17)

1. Untuk memenuhi dan melengkapi syarat kesarjanaan hukum pada jurusan Hukum Keperdataan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Untuk mengetahui hak mewarisi anak perempuan menurut hukum adat

Angkola di Sipirok.

3. Untuk mengetahui pergeseran nilai hukum adat terhadap hak mewarisi anak perempuan pada masyarakat Angkola di Sipirok.

4. Untuk mengetahui hambatan apa yang ada dalam hak mewarisi anak perempuan pada masyarakat Angkola di Sipirok.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah : 1. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuaan hukum keperdataan, khususnya terkait mengenai hak mewarisi anak perempuan pada masyarakat angkola di sipirok dan dikaitkan dengan hukum adat dan juga hukum waris islam dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Secara praktis

Memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang hak mewarisi anak perempuan pada masyarakat angkola di sipirok. kepada Almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai bahan masukan bagi sesama rekan-rekan mahasiswa.


(18)

E. Metode Penelitian

Untuk mengetahui data yang dipergunakan dalam penulisan ini maka penulis mempergunakan 2 (Dua) metode:

1. Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan melakukan

penelitian terhadap berbagai sumber bacaan yaitu buku-buku, majalah hukum, pendapat para sarjana dan juga bahan-bahan kuliah, jurnal-jurnal hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait.

2. Field Research (Penelitian Lapangan) yaitu dengan melakukan kelapangan

dalam hal ini penulis langsung mengadakan penelitian pada masyarakat angkola dengan mewawancarai bagaimana tentang kedudukan perempuan dalam hal pembagian harta warisan dan tentang gambaran umum masyarakat angkola di sipirok.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dengan membaca literature buku yang terkait dan informasi yang ada khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, tulisan (skripsi) mengenai hak waris, hak waris islam, dan hak waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dengan mencari informasi dari narasumber yaitu masyarakat angkola yang berada di sipirok sebagai bahan tambahan tentang hak waris perempuan tersebut di daerah sipirok, sehingga keaslian tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan.


(19)

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan proses pembahasan tulisan dan membantu penulis dalam penguraiannya, maka keseluruhan dari isi skripsi ini dirangkum dalam sistematika penulisan sebagai suatu paradigma berpikir.

Dengan pedoman pada sistematika penulisan karya ilmiah pada umumnya maka penulis berusaha untuk mendeskripsikan gambaran umum yang berhubungan dengan cakupan skripsi ini, sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Didalam bab ini diuraikan mengenai pendahuluan pengantar yang mengantarkan kita menuju uraian-uraian selanjutnya. Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT

Terdiri dari tentang Pengertian Dan Macam-Macam Harta Warisan, Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat, Unsur-Unsur Pewarisan, Pengertian Pewaris dan Ahli Waris.

BAB III : KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN TERHADAP HARTA

WARISAN

Bab ini secara umum membahas tentang Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan Menurut Hukum Islam, Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan Menurut Hukum Adat, dan Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 179/K/SIP/1961.


(20)

BAB IV : HAK MEWARISI ANAK PEREMPUAN MENURUT HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT ADAT ANGKOLA DI SIPIROK

Bab ini secara umum akan membahas tentang: Gambaran Umum Desa Sipirok, Tapanuli Selatan, Hak Mewarisi Anak Perempuan menurut Hukum Adat Angkola di Sipirok, Bagian Harta Untuk Anak Perempuan menurut Hukum Adat Angkola Di Sipirok, Pergeseran Nilai Hukum Adat Terhadap Hak Mewarisi Anak Perempuan Pada Masyarakat Angkola di Sipirok dan Hambatan Hak Mewarisi Anak Perempuan Pada Masyarakat Angkola di Sipirok.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir yang menutup seluruh pembahasan dalam skripsi ini, dalam bab ini penulis mencoba merumuskan kesimpulan yang merupakan inti dalam pembahasan yang diuraikan pembahasan sebelumnya pada bab-bab terdahulu yang merupakan pembahasan sebelumya, selanjutnya di ikuti dengan saran-saran seperlunya.


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ADAT

A. Pengertian Hukum Waris Adat Menurut Para Ahli

Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Burgerlijk Wetboek (BW).9

“Hukum Waris Adat memuat peraturan-peraturan yang (mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) pada turunannya”.

Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.

Sehubungan dengan Hukum Waris Adat, akan dikemukakan beberapa pendapat sarjana antara lain,

R. Soepomo berpendapat bahwa :

10

“Aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke turunan”.

Sedangkan Ter Haar Hukum Waris Adat adalah,

11

Hukum Waris Adat memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.

9 Himan Hadikusuma Op Cit hal. 47

10 R. Soepomo, “Bab-bab Tentang Hukum Adat”, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1986),


(22)

Pendapat Soerojo Wignjodipoero mengatakan Hukum Waris Adat adalah,

“Norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immateriil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya”.12

“Aturan-aturan yang bertalian dengan proses yang terus menerus dari abad ke abad, ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik materiil maupun immateriil dari suatu angkatan ke angkatan berikutnya”.

Kemudian Bushar Muhammad Hukum Waris Adat meliputi,

13

“Suatu proses penerusan dari pewaris kepada ahli waris tentang barang-barang materiil maupun barang-barang-barang-barang immateriil yang mana hal ini berarti bahwa penerusan ini menyangkut penerusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban”.

Sehingga Hukum Waris Adat mempunyai arti yang luas berupa penyelenggaraan pemindahan dan peralihan kekayaan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya baik mengenai benda materiil maupun benda immateriil. Namun demikian pengertian Hukum Waris Adat Bali menurut Ayu Putu Nantri adalah :

14

Di samping itu, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

11 Ter Haar, Lo Cit. hal. 202

12 Soerojo Wignjodipoero, Op Cit hal. 161

13 Bushar Muhammad, “Pokok-pokok Hukum Adat”, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1981),


(23)

masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dengan menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.

Dengan pengertian HukumWaris Adat yang telah disebutkan di atas, maka dapatlah dikemukakan bahwa Hukum Waris Adat itu mengandung beberapa unsur yaitu :15

a. Hukum Waris Adat adalah merupakan aturan hukum. Aturan hukum b. tersebut mengandung proses penerusan harta warisan.

c. Harta warisan yang diperoleh atau diteruskan dapat berupa harta benda yang berwujud dan yang tak berwujud.

Penerusan atau pengoperan harta warisan ini berlangsung antara satu generasi atau pewaris kepada generasi berikutnya atau ahli waris.

B. Pengertian dan Macam-Macam Harta Warisan

Hukum waris (erfrecht) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.

14 Ayu Putu Nantri, “Kedudukan Ahli Waris Yang Beralih Agama Menurut Hukum Adat

Waris di Kabupaten Badung”, (Denpasar, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas

Udayana, 1982), hal.1.

15 Djaren Saragih, “Pangantar Hukum Adat Indonesia”, (Bandung, Tarsito, 1984),


(24)

Hukum waris dapat dipaparkan sebagai seluruh aturan yang menyangkut penggantian kedudukan harta kekayaan yang mencakup himpunan aktiva dan pasiva orang yang meninggal dunia.16 Pewarisan hanya terjadi bilamana ada kematian (dari pewaris). Prinsip ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 830 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Civil Code/Burgerlijke Wetboek).17

Setelah harta warisan dibagi-bagikan, maka masing-masing ahli waris satu per satu sesuai porsi yang diterimanya menggantikan kedudukan pewaris sebagai pemilik harta kekayaan pewaris. Maka itu pula masing-masing ahli waris tidak dapat dianggap memperoleh kebendaan yang bukan bagiannya. Notaris dapat

Harta kekayaan pewaris sebagai satu kesatuan pada prinsipnya menjadi milik seluruh ahli waris bersama-sama. Konsekuensi hukum dari itu ialah bahwa dalam hal pengalihan, semua ahli waris harus bersama-sama menyepakati pengalihan demikian.

Ketentuan Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa pemegang hak waris tidak dapat dipaksa untuk membiarkan atau mempertahankan warisan dalam keadaan tidak terbagi. Pembagian waris dapat dituntut setiap saat, terlepas dari adanya kesepakatan bersama para ahli waris yang melarang pembagian demikian. Sekalipun begitu, para ahli waris dapat membuat perjanjian atau kesepakatan untuk menunda pembagian atau pemberesan boedel atau kekayaan pewaris untuk sementara waktu. Perjanjian demikian akan berlaku dan mengikat hanya selama 5 (lima) tahun, dan dapat diperbaharui setiap kali jangka waktu tersebut terlampaui.

16 M.J.A Van Mourik, “Studi Kasus Hukum Waris”, (Bandung : Eresco, 1993), hal.1 17 Wilbert D. Kolkmanet.al.(eds), “Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum

Waris Di Belanda Dan Indonesia”, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia,


(25)

dilibatkan dalam proses pembagian ataupun pemberesan harta warisan. Setelah dibagi-bagi dan dibereskan, harta kekayaan pewaris tidak lagi berstatus sebagai milik bersama para ahli waris.

Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan – ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.

Hukum yang mengatur tentang peralihan harta warisan dari pewaris kepada ahli waris dinamakan hukum kewarisan, yang dalam hukum Islam dikenal dengan beberapa istilah seperti: Faraid, Fiqih Mawaris, dan lain-lain, yang kesemua pengertiannya oleh para fuqaha (ahli hukum fiqh) dikemukan sebagai berikut :

a. Hasbi Ash-Shidiq, hukum kewarisan adalah :

Suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara membaginya.18

b. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah :

Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya.19

Dari defisini-definisi di atas dapatlah dipahami bahwa ilmu faraid sebagai ilmu yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup, baik

18 Hasbi Ash-Shidiq, “Fiqhul Mawaris”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal 18

19Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim Sahih Fikih Sunnah, “Penterjemah


(26)

mengenai harta yang ditinggalkan, orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), bagian masing-masing ahli waris maupun cara penyelesaian pembagiannya. Kompilasi Hukum Islam yang tertuang dalam format perundang- undangan yang mengatur ketentuan kewarisan dipakai sebagai pedoman dalam hukum kewarisan Islam.

Pada awalnya, setiap harta peninggalan yang ditinggal oleh pewaris dinamakan dengan tirkah dan harta warisan. Tirkah adalah harta yang ditinggal oleh pewaris secara keseluruhan, sedangkan harta waris adalah harta yang akan dibagikan kepada ahli waris setelah dikurangi hutang atau dikurangi hal-hal lain seperti perlengkapan prosesi pemakaman.

Dalam perkembangan selanjutnya, jenis harta dalam Fiqih waris dapat di bagi menjadi beberapa bagian berdasarkan jenisnya masing-masing, yaitu:

1. Ditinjau dari segi asal harta

Ditinjau dari segi asal harta, maka harta yang ditinggalkan oleh pewaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) :

a. Harta bawaan

Harta bawaan adalah “harta benda milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah”.

Barang bawaan dapat dibedakan atas : 1) Barang asal keturunan (warisan).

2) Barang asal keturunan yang bukan pewarisan yang dinamakan hadiah.


(27)

3) Barang asal pencaharian yaitu barang-barang yang telah diperoleh oleh masing-masing suami/isteri sebelum masuk jenjang perkawinan Apabila kita sebutkan semua golongan barang asal/bawaan, maka yang termasuk golongan barang bawaan yaitu :

a) Pemberian orang tua, barang keturunan warisan dan barang keturunan hadiah. Kedua barang ini sering juga disebut barang pusaka, dan barang ini kemudian dibawa masuk ke dalam perkawinan.

b) Pemberian dari orang tua sebagai hadiah selama perkawinan. c) Warisan sebelum dan selama perkawinan.

b. Harta bersama

Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama.

Sesuai dengan pengertian pokok tersebut, maka barang gono gini ini ialah milik bersama suami isteri, tidak dapat diganggu gugat oleh silsilah ke atas maupun ke bawah selama masih ada seseorang diantaranya (suami/isteri) yang masih hidup. Keluarga pihak suami maupun keluarga pihak isteri tidak berhak menuntut sepenuhnya atau sebagian barang gono gini apabila salah seorang suami/isteri masih hidup. Barang gono gini terletak di luar lingkungan hak dari harta asal.

Yang termasuk golongan harta gono gini ialah :


(28)

2) Pemberian-pemberian kepada suami isteri atas nama bersama selama perkawinan.

3) Pengganti barang gono gini. 4) Hasil dari barang gono gini. 2. Ditinjau dari bentuk harta

Ditinjau dari bentuk harta, maka harta warisan dapat dibagi menjadi 2 macam pula:

a. Harta peninggalan

Semua harta berwujud benda, benda tidak bergerak seperti alat perlengkapan pakaian adat dan perhiasan adat, alat senjata, alat-alat pertanian, perikanan, peternakan, jimat dan yang tidak berwujud benda seperti ilmu-ilmu gaib, amanat atau pesan tidak tertulis, semuanya berasal dari beberapa generasi menurut garis keturunan ke atas, dan zaman nenek moyang dan paling rendah dan zaman buyut / canggah.

Semua harta warisan yang juga tidak terbagi-bagi, yang berasal dari mata pencaharian jerih payah kakek/nenek atau ayah Abu, dan kebanyakan juga di kampung halaman atau sudah di luar kampung halaman yang sudah jauh atau di perantauan.

b. Harta warisan

Harta warisan adalah Harta kekayaan yang akan diteruskan oleh pewaris ketika ia masih hidup atau setelah meninggal dunia, untuk dikuasai atau dimiliki oleh para ahli waris menurut sistem kekerabatan dan pewarisan yang berlaku dalam masyarakat adat yang bersangkutan


(29)

Menurut Wirjono pengertian “Warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.20

20 Wirjono Projodikoro, “Hukum Warisan di Indonesia”, (Bandung, Sumur, 1976), hal 6

Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara menyelesaikan hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia. Karena manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya sedangkan cara menyelesaikan itu sebagai akibat dari kematian seorang. Selain itu, ada yang mengartikan warisan itu adalah bendanya dan penyelesaian harta benda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat.

Pembagian warisan atau harta peninggalan melalui dua cara, yaitu adanya cara sukarela dan cara paksaan. Terlepas dari unsur Pasal 1321 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Pembagian harta peninggalan melalu cara sukarela ialah pembagian yang dilaksanakan sesuai dengan kehendak seluruh ahli waris, baik secara undang-undang yang menyatakan tegas bagian masing-masing para ahli waris, termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maupun terlepas dari peraturan pembagian tersebut. Maksudnya lebih kepada pembagian berupa barang langsung tidak dinominalkan terlebih dahulu.


(30)

Pembagian warisan dengan cara sukarela tidak selamanya harus langsung dibagi untuk masing-masing ahli waris, bisa saja pada mulanya untuk pemilikan bersama terhadap harta tersebut, seperti yang telah dijelaskan di atas. Dengan pelaksanaan secara sukarela adanya perdamaian yang ahli waris buat di hadapan Notaris untuk awal permulaan pelaksanaan pembagian waris. Perdamaian mana dibuat sesuai dengan pernyataan setiap ahli waris setuju dengan pelaksanaan pembagian waris yang mana telah disepakati bersama.

C. Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat

Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalam harta warisan adalah harta pusaka, harta perkawinan, harta bawaan dan harta dapatan. Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan. Waris adalah istilah untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta warisan. Cara pengalihan adalah proses penerusan harta warisan dari pewaris kepada waris, baik sebelum maupun sesudah wafat. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerus harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang dikatakan oleh Ter Haar:

“Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara

bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut”.21


(31)

Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele

goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunannya.22

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dari dua pendapat di atas juga terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 (empat) unsur pokok, yaitu :23

1. Adanya Pewaris; 2. Adanya Harta Waris; 3. Adanya ahli Waris; dan

4. Penerusan dan Pengoperan harta waris.

Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :24

1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para

22 R. Soepomo, Op Cit hal. 29 23 Wirjono Projodikoro Op Cit hal. 9 24 Hilman Hadikusuma, Op Cit hal. 24


(32)

ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.

3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.

Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip (asas umum) , diantaranya adalah sebagai berikut :25

1. Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya ke atas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.

2. Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya.


(33)

3. Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dari ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya. 4. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana hak dan

kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (Kandung ).

Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta warisan akan dibagi, maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain :

1. Orang lain yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris) atau; 2. Anak laki-laki tertua atau perempuan;

3. Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana;

4. Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang minta, ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris.

Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan sistem keturunan dan kekerabatan adat masih tetap dipertahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan bahwa:


(34)

“…hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral.”26

a. Pertalian keturunan menurut garis laki-laki (Patrilineal)

Untuk bidang hukum waris adat misalnya, pluralisme itu terjadi pada umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari susunan/kekerabatan yang dianut di Indonesia. Adapun susunan tersebut antara lain :

Contoh : Batak , Bali , Ambon

b. Pertalian keturuman menrut garis perempuan (matrilineal)

Contoh : Minangkabau, Kerinci (Jambi), Semendo- (Sumetera Selatan) c. Pertalian keturunan menurut garis Ibu & bapak ( Parental / Bilateral ) d. Misalnya : Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan (Dayak) , dan lain-lain.

Disamping itu, dalam hal sistem pewarisanyapun bermacam-bermacam pula , yakni terbagi atas 3 ( tiga ) bagian yaitu :

1. Sistem Pewarisan Individual

Misalnya: Pada susunan kekeluargaan bilateral (jawa) & kekeluargaan

Patrilineal (Batak).

2. Sistem Pewarisan Kolektif

Misalnya : Harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanah dati di Ambon. 3. Sistem Pewarisan Mayorat

Misalnya : di Bali , Lampung, dan lain-lain.


(35)

D. Unsur-unsur Pewarisan

Di dalam membicarakan hukum waris maka ada 3 (tiga) hal yang perlu mendapat perhatian, di mana ketiga hal ini merupakan unsur – unsur pewarisan :

1. Orang yang meninggal dunia / Erflater

Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Menurut ketentuan Pasal 874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan demikian, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada dua macam waris :

a. Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris ab intestato (tanpa wasiat).

b. Hukum waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau testamentair

erfrecht.

2. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu / Erfgenaam

Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Lalu, bagaimana dengan bayi yang ada dalam kandungan. Menurut Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana keperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan demikian seorang anak yang ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi


(36)

karena dalam pasal ini hukum membuat fiksi seakan – akan anak sudah dilahirkan.

Unsur-unsur Hukum Kewarisan Menurut hukum kewarisan Islam ada tiga unsur yaitu :27

a. Pewaris (Muwarit )

Yaitu: Seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.

b. Ahli Waris (Warits).

Yaitu: Orang yang berhak mendapat warisan karena mempunyai hubungan dengan pewaris, berupa hubungan kekerabatan, perkawinan atau hubungan lainnya.

c. Warisan (Mauruts)

Yaitu : Sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak

Sebelum seseorang mewaris haruslah dipenuhi tiga syarat yaitu : a. Meninggal dunianya pewaris

Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi karena seseorang baru disebut pewaris setelah dia meninggal dunia yang berarti jika seseorang memberikan hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan waris. Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan :

1. Mati haqiqy (sejati), adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca

indra.

27Amir Syarifuddin, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat


(37)

2. Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang disebabkan

adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maupun sudah mati. 3. Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitu kematian yang didasarkan ada

dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.28 b. Hidupnya ahli waris

Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia karena seseorang akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. c. Tidak ada penghalang-penghalang untuk mewaris

E. Pengertian Pewaris dan Ahli Waris

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf b mendefisikan Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf c, menyatakan ahli waris adalah : Orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

1. Hak Pewaris

Pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam

testament atau wasiat yang isinya dapat berupa, erfstelling / wasiat pengangkatan

28 H.R.Otje Salman S, “Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam”, (Bandung: PT.Refika


(38)

ahli waris (suatu penunjukkan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan seluruh atau sebagian harta peninggalan (menurut Pasal 954 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), wasiat pengangkatan ahli wari ini terjadi apabila pewaris tidak mempunyai keturunan atau ahli waris (menurut Pasal 917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

legaat / hibah wasiat (pemberian hak kepada seseorang atas dasar wasiat

yang khusus berupa hak atas satu atau beberapa benda tertentu, hak atas seluruh benda bergerak tertentu, hak pakai atau memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan (menurut Pasal 957 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

2. Kewajiban Pewaris

Pewaris wajib mengindahkan atau memperhatikan legitime portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan atau dikurangi dengan wasiat atau pemberian lainnya oleh orang yang meninggalkan warisan (menurut Pasal 913 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Jadi, pada dasarnya pewaris tidak dapat mewasiatkan seluruh hartanya, karena pewaris wajib memperhatikan legitieme portie, akan tetapi apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka warisan dapat diberikan seluruhnya pada penerima wasiat.

a. Ahli waris menurut undang – undang (abintestato)

Ahli waris ini didasarkan atas hubungan darah dengan si pewaris atau para keluarga sedarah. Ahli waris ini terdiri atas 4 (empat) golongan yaitu :

1. Golongan I

Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak, suami/duda, istri/janda dari si pewaris. Ahli waris golongan pertama mendapatkan


(39)

hak mewaris menyampingkan ahli waris golongan kedua, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan pertama masih ada, maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil.

Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Seorang anak biarpun dari perkawinan yang berlain – lainan atau waktu kelahiran, laki atau perempuan, mendapat bagian yang sama (mewaris kepala demi kepala). Anak adopsi memiliki kedudukan yang sama seperti anak yang lahir di dalam perkawinannya sendiri .

Berbicara mengenai anak, maka, kita dapat menggolongkannya sebagai berikut : a. Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang

perkawinan dengan tidak mempermasalahkan kapan anak itu dibangkitkan oleh kedua suami istri atau orang tuanya. Anak sah mewaris secara bersama – sama dengan tidak mempermasalahkan apakah ia lahir lebih dahulu atau kemudian atau apakah ia laki – laki atau perempuan.

b. Anak luar perkawinan, yaitu anak yang telah dilahirkan sebelum kedua suami istri itu menikah atau anak yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri dengan orang lain sebelum mereka menikah. Anak luar perkawinan ini terbagi atas :

1) Anak yang disahkan, yaitu anak yang dibuahkan atau dibenihkan di luar perkawinan, dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, dengan pengakuan menurut undang – undang oleh kedua orang tuanya itu sebelum pernikahan atau atau dengan pengakuan dalam akte perkawinannya sendiri.


(40)

2) Anak yang diakui, yaitu dengan pengakuan terhadap seorang anak di luar kawin, timbulah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya tahu dengan kata lain, yaitu anak yang diakui baik ibunya saja atau bapaknya saja atau kedua – duanya akan memperoleh hubungan kekeluargaan dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akte kelahiran anak atau pada saat perkawinan berlangsung atau dengan akta autentik atau dengan akta yang dibuat oleh catatan sipil.

3) Anak yang tidak dapat diakui, terdiri atas; anak zina (anak yang lahir dari orang laki – laki dan perempuan, sedangkan salah satu dari mereka itu atau kedua – duanya berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain), anak sumbang (anak yang lahir dari orang laki – laki dan perempuan, sedangkan diantara mereka terdapat larangan kawin atau tidak boleh kawin karena masih ada hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk kedua anak ini tidak mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya.

2. Golongan II

Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu, bapak, ibu dan saudara – saudara si pewaris. Ahli waris ini baru tampil mewaris jika ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat. Dalam hal tidak ada saudara tiri.

Pasal 854 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

Jika golongan I tidak ada, maka yang berhak mewaris ialah : bapak, ibu, dan saudara. Ayah dan ibu dapat : 1/3 bagian, kalau hanya ada 1 saudara; ¼ bagian,


(41)

kalau ada lebihh dari saudara. Bagian dari saudara adalah apa yang terdapat setelah dikurangi dengan bagian dari orang tua.

Pasal 855 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Jika yang masih hidup hanya seorang bapak atau seorang ibu, maka bagiannya ialah : ½ kalau ada 1 saudara; 1/3 kalau ada 2 saudara; ¼ kalau ada lebih dari 2 orang saudara. Sisa dari warisan, menjadi bagiannya saudara (saudara–saudara) Pasal 856 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Kalau bapak dan ibu telah tidak ada, maka deluruh warisan menjadi bagian saudara – saudara.

Pasal 857 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Pembagian antara saudara-saudara adalah sama, kalau mereka itu mempunyai bapak dan ibu yang sama.

3. Golongan III

Keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu kakek, nenek baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Golongan IV, terdiri dari sanak keluarga dari pancer samping (seperti, paman, bibi).29

b. Ahli waris menurut wasiat (testamentair erfrecht).

Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu dalam Pasal 874 BW, setiap orang yang diberi wasiat secara sah oleh pewaris wasiat, terdiri atas, testamentair

erfgenaam yaitu ahli waris yang mendapat wasiat yang berisi suatu erfstelling

(penunjukkan satu atau beberapa ahli waris untuk mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan); legataris yaitu ahli waris karena mendapat wasiat yang isinya

29 Amanat, Anisitus, “Membagi Warisan Berdasarkan Pasal – Pasal Hukum Perdata”,


(42)

menunjuk seseorang untuk mendapat berapa hak atas satu atau beberapa macam harta waris, hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu, hak untuk memungut hasil dari seluruh atau sebagian dari harta waris.

1. Hak Ahli Waris

Setelah terbukanya warisan ahli waris mempunyai hak atau diberi hak untuk menentukan sikapnya, antara lain, menerima warisan secara penuh, menerima dengan hak untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan atau menerima dengan bersyarat, dan hak untuk menolak warisan.

2. Kewajiban Ahli Waris

Adapun kewajiban dari seorang ahli waris, antara lain, memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan itu dibagi, mencari cara pembagian sesuai ketentuan, melunasi hutang – hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang, dan melaksanakan wasiat jika pewaris meninggalkan wasiat.


(43)

BAB III

KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN TERHADAP HARTA WARISAN

A. Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata

Menurut undang-undang yang berhak untuk menerima ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun keluar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan. Dalam hal ini baik keluarga sedarah maupun si yang hidup terlama antara suami istri, tidak ada maka segala harta peninggalan si yang meninggal menjadi milik negara, yang mana wajib melunasi segala utangnya, sekedar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu. 30

Pada umumnya menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata baik anak perempuan maupun laki-laki memiliki kedudukan yang sama dalam hal menerima hak ahli waris, dan bagi tiap-tiap ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperjuangkan hak warisnya sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku. Perempuan berhak mendapat harta warisan meski hanya satu-satunya pewaris atau hanya sebagian dari pewaris yang ada yang berhak menerima harta warisan yang ditinggalkan.

Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang meninggal. Jika timbul suatu perselisihan sekitar soal siapakah ahli warisnya dan siapakah yang berhak memperoleh hak milik seperti di atas. Maka hakim memerintahkan agar segala harta peninggalan si yang meninggal di taruh terlebih dahulu dalam penyimpanan.


(44)

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jika pembagian harta warisan dilakukan dengan cara tidak adil dapat mengajukan gugatan. Gugatan ini dimaksudkan untuk menuntut supaya diserahkan apa yang menjadi haknya dalam warisan tersebut tanpa ada membedakan baik itu anak perempuan maupun anak laki-laki.

B. Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan menurut

Hukum Islam

Pengaturan terhadap harta pasca meninggalnya seseorang menjadi hal yang sangat penting dalam rangka menjaga kedamaian dan keselamatan, baik bagi orang yang telah meninggal, para ahli warisnya, maupun bagi pihak ketiga. Meskipun seseorang telah meninggal, akan tetapi kewajibannya tidak secara otomatis terhapuskan. Ada beberapa kewajiban terkait dengan harta peninggalan orang yang sudah meninggal yang harus ditunaikan (tentunya ditunaikan oleh orang yang masih hidup), antara lain menyangkut dengan hutang, zakat, wasiat dan pembagian warisan. Karena itu berkenaan dengan pembagian harta warisan ini menjadi penting untuk mendapatkan pengaturan yang rinci agar tidak terjadi perebutan harta warisan di kalangan ahli waris serta kemaslahatan yang diharapkan tidak berubah dan menjelma menjadi kemudharatan serta dapat mewujudkan keadilan yang berimbang.

Hukum kewarisan merupakan hukum yang mengatur tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan/atau kewajiban atas harta


(45)

kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.31 Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masingnya.32 Dengan demikian pada intinya hukum kewarisan mengatur tentang cara peralihan harta milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup menurut ketentuan yang telah ditetapkan.

Al-Qur’an sebagai sumber utama Hukum Islam telah mengatur mengenai masalah kewarisan ini secara relatif detail, baik berkenaan dengan subjek hukumnya (siapa-siapa yang menjadi ahli waris) maupun mengenai hak bagian masing-masing ahli waris tersebut, sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat (QS) An-Bisa’ ayat 7-14, QS. An-Nisa’ ayat 33, QS. An-Nisa’ ayat 176 dan QS. Al-Anfal ayat 75. Namun demikian ada kalanya dalam Al-Qur’an tersebut masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Penjelasan ini ada yang diberikan langsung oleh Rasul melalui Sunnahnya (Hadist), dan ada pula melalui penafsiran para ulama. Ketika Rasul masih hidup, kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat dapat langsung ditanyakan kepadanya sehingga mendapatkan ketentuan hukum yang pasti, namun setelah Rasulullah wafat dalam beberapa kasus, seiring mendapatkan penyelesaian yang berbeda diantara para sahabat, misalnya antara Abu Bakar dengan Umar Bin Khathab, dengan Zaid Bin Tsabit atau dengan Ibnu Abbas dan juga beberapa sahabat lainnya. Hal ini disebabkan penafsiran atau interpretasi yang berbeda dikalangan mereka terhadap teks ayat atau hadis dan juga sangat dipengaruhi oleh konteks

31 Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam,


(46)

masyarakat pada masa itu. Perbedaan tersebut semakin berkembang lagi setelah timbulnya berbagai macam mazhab dalam Islam disebabkan perbedaan dalam memahami ketentuan Al-Qur’an yang bersifat umum, atau dalam memberikan makna suatu lafadh ataupun dalam menginterpretasikan Hadist Rasul.

Dalam kurun waktu hampir dua dasa warsa terakhir ini, di Indonesia telah terjadi pergeseran sistem kewarisan Islam dari yang semula berpegang teguh kepada aliran/pendapat Jumhur Fuqaha’ kepada sistem kewarisan campuran beberapa pendapat (penggabungan beberapa mazhab) sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang konon merupakan perwujudan fikih Indonesia yang merupakan hasil ijtihad jamay para ulama Indonesia.33 Dan apabila dicermati dengan seksama ketentuan dalam Buku II KHI34 tentang Hukum Kewarisan, sesungguhnya banyak hal-hal baru yang diatur di dalamnya, yang berbeda dengan pendapat jumhur fuqaha’, diantaranya seperti Pasal 174 yang mengatur tentang susunan atau urutan ahli waris, Pasal 181 dan 182 tentang kalalah, Pasal 185 tentang ahli waris pengganti, Pasal 209 tentang wasiat wajibah. Meskipun menurut pendapat jumhur fuqaha, dan dalam ketentuan KHI sama-sama mengakomodir hak laki-laki dan perempuan, akan tetapi jumhur fuqaha menempatkan ahli waris laki-laki jauh lebih dominan daripada ahli waris perempuan dibanding menurut KHI. Hal ini terlihat pada persamaan kedudukan anak (baik laki-laki maupun perempuan) sebagai ahli waris, adanya ahli waris pengganti dan pengaturan tentang wasiat wajibah bagi anak dan orang tua angkat

32

Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam.

33 Firdaus Muhammad Arwan, “Keahliwarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Sebuah

Pengaturan Yang Belum Tuntas”, (Jakarta, Majalah Hukum Suara Uldilag No. 13, Mahkamah

Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama, Juni 2008 M/Jumadi Awal 1429 H.), hal. 5.


(47)

dalam sistem kewarisan menurut KHI, sedangkan dalam sistem kewarisan jumhur hal itu tidak dikenal.35

Beberapa hal baru menyangkut dengan hukum kewarisan yang telah diatur dalam KHI tersebut tentu diperlukan kajian dan pemikiran kritis secara mendalam dan komprehensif untuk mendapatkan sebuah konsepsi hukum yang berorientasi kepada keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat serta sesuai dengan dinamika perkembangan struktur dan kultur masyarakat Indonesia. Tindakan ini sangat diperlukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap hukum yang progresif serta sesuai dengan perasaan keadilan yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat.

Diantara permasalahan kewarisan yang perlu mendapat kajian dan pemikiran kritis adalah berkenaan dengan kedudukan dan hak anak perempuan dalam hukum kewarisan. Inti persoalannya menyangkut dengan kedudukan anak perempuan ketika ia mewarisi bersama-sama dengan saudara atau bersama-sama dengan paman dan juga apakah anak perempuan dapat menghabiskan seluruh harta atau hanya mendapat 1/3 bila anak perempuan itu sendiri dan mendapat 2/3 apabila anak perempuan tersebut dua orang atau lebih dan dua orang dan kepada siapakah sisa harta warisan itu diberikan apabila tidak ada ahfi waris lain yang berkedudukan sebagai ‘ashabah.

Meskipun ketentuan mengenai hukum kewarisan Islam telah diatur secara rinci dan mendetil dalam Al-Qur’an ditambah lagi dengan penjelasan langsung dan Nabi dalam beberapa hadisnya, namun dalam beberapa hal, ketentuan yang telah ada dalam ayat-ayat dan hadist tersebut belum menyelesaikan persoalan


(48)

secara tuntas dan menyeluruh terhadap semua kasus yang terjadi dalam komunitas masyarakat. Dalam kasus-kasus tertentu diperlukan nalar untuk menginterpretasikan ayat-ayat dan hadist tersebut untuk pemecahannya dan bahkan apabila ditemukan kasus-kasus yang belum petunjuk yang tegas ayat dan hadist, maka mau tidak mau ijtihad harus dilakukan agar persoalan kewarisan yang muncul di tengah-tengah masyarakat dapat terselesaikan dengan baik dan benar.

Diantara permasalahan yang belum tuntas dan memerlukan interpretasi dalam penerapannya adalah menyangkut dengan kedudukan dan hak anak perempuan terhadap harta peninggalan orang tuanya, baik ketika ia mewarisi sendiri ataupun ketika mewarisi bersama dengan saudara-saudaranya yang lain dan pengaruhnya terhadap ahli waris yang lain dengan keberadaan anak perempuan tersebut.

Pembahasan tentang kedudukan anak perempuan dalam hukum kewarisan Islam ini menyangkut dengan suatu kondisi di mana seseorang meninggal dunia meninggalkan anak perempuan (seorang atau lebih) bersama dengan saudara, baik laki-laki, maupun perempuan. Persoalan yang muncul adalah apakah keberadaan anak perempuan dapat menghijab (menghalangi atau mengurangi) hak saudara dalam menerima warisan dan kemungkinan persoalan ini muncul disebabkan dalam ayat 11 Surat An-Nisa’ sudah ditemukan secara tegas hak bagian atau porsi bagi anak perempuan, baik dalam keadaan ia sendirian (mendapat 1/2) maupun dalam keadaan ia lebih dari seorang (mendapat 2/3), sedangkan apabila ia mewarisi bersama dengan saudara-saudara pewaris, tidak terdapat pembagian yang tegas yang mengaturnya.


(49)

Untuk membahas permasalahan ini perlu dikaji pengertian dan kata Aulad yang terdapat dalam ayat 11 dan 12 surat An-Nina’ tersebut dan juga ada kaitannya dengan ayat 176 surat An-Nisa’.

Kata Aulad adalah bentuk jamak (plural) dari Walad yang berarti anak, baik laki-laki maupun perempuan, karena apabila yang dimaksud dengan anak laki-laki, maka ia disebut ibn dan apabila yang dimaksud adalah anak perempuan maka disebut dengan bint.36 Pengertian jamak (plural) di sini dapat berlaku dalam

garis horizontal yang berarti beberapa orang anak dalam garis yang sama, dapat juga berlaku dalam garis vertikal yang berarti anak dan keturunannya (cucu, cicit dan sebagainya).37

Jumhur ulama sepakat dalam menafsirkan kata Walad - Aulad yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12 dengan arti anak laki-laki dan perempuan,38 sehingga konsekuensinya sebagaimana diterangkan dalam ayat tersebut, dengan adanya anak pewaris (baik laki-laki ataupun perempuan) maka akan mengurangi hak ibu dari 1/3 menjadi 1/6, hak suami dari 1/2 menjadi 1/4, hak isteri dari 1/4 menjadi 1/8 dan ayah mendapat 1/6 apabila tidak ada anak laki-laki atau perempuan. Meskipun dalam hal persoalan yang lain, kedudukan ayah sebagai ashabah tertutup dengan adanya anak laki-laki dan apabila yang ada hanya anak perempuan maka kemungkinan ayah menjadi ashabah masih terbuka.

Akan tetapi terhadap pengertian kata Walad yang disebutkan dalam ayat 176 surat An-Nisa’ yang menjelaskan tentang Kalalah,39 para ulama berbeda

36 Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 54. 37

Ibid., hal. 67.

38 Ibid., hal. 54.

39 Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II Yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI Tahun

1995/1996, hal. 365, disebutkan pengertian Kalalah adalah seseorang yang meninggal dunia meninggalkan bapak dan anak.


(50)

pendapat. Jumhur ulama Ahlus Sunnah (Ulama Sunni) berpendapat bahwa kata

Walad dalam ayat tersebut berarti anak laki-laki saja, tidak mencakup anak

perempuan, sehingga menurut ulama Sunni, anak perempuan tidak menghijab saudara (baik laki-laki maupun perempuan) untuk menerima hak warisan. Sedangkan menurut ulama Syiah Imamiyah, kata Walad dalam ayat tersebut mencakup pengertian anak laki-laki dan juga anak perempuan, sehingga sebagaimana halnya anak laki-laki, anak perempuan juga dapat menghijab saudara (baik laki-laki maupun perempuan).40

Dalam hal ini terlihat adanya inkonsistensi pendapat mayoritas para ulama (khususnya ulama Sunni yang juga dianut dan berkembang di Indonesia) dalam memahami arti kata Walad, karena terhadap kata Walad yang disebutkan dalam ayat 11 dan 12 dipahami dengan pengertian anak laki-laki dan anak perempuan, tetapi terhadap kata Walad yang disebutkan dalam ayat 176 dipahami dengan pengertian anak laki-laki saja.

Pendapat jumhur ulama Ahlus Sunnah tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem kewarisan yang mereka anut yaitu sistem kewarisan patrilineal yaitu sistem kewarisan yang menarik garis keturunan dari pihak bapak atau garis laki-laki. Sistem Patrilineal ini mengikuti atau dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan adat Arab pra Islam (Oahiliyah) yang disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan kewarisan syar’i.

Selanjutnya yang perlu dikaji adalah ketentuan mengenai hukum kewarisan yang telah diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam (Vide Inpres No. 1 Tahun 1991), karena ketentuan dalam KHI ini telah menjadi pedoman bagi


(51)

masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dan telah menjadi hukum terapan (salah satu hukum materil) bagi Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dalam mengadili dan menyelesaikan persengketaan atau kasus-kasus yang diajukan kepadanya.

Bila diteliti secara cermat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 174, Pasal 177 sampai dengan Pasal 182 KHI, maka dapat dipahami bahwa KHI mengartikan kata Walad tidak membatasi pada anak laki-laki saja, tetapi mencakup juga anak perempuan, begitu pula keturunannya (cucu-cicit), juga tidak membatasi pada keturunan dan anak laki-laki saja, tetapi mencakup juga keturunan anak perempuan. Hal ini terlihat dari rumusan isi pasal-pasal tersebut yang hanya menyebutkan anak dalam pengaturan yang menyangkut dengan kedudukan atau keberadaan anak, tidak membedakan antara laki-laki atau perempuan, 41 kecuali dalam hal penegasan tentang penentuan ahli waris, hak masing-masing ahli waris dan perbandingan hak yang akan diterima oleh anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana terlihat dalam Pasal 174 ayat (1) dan Pasal 176.42 Begitu pula halnya dalam penyebutan terhadap anak angkat sebagaimana diatur dalam Pasal 209, juga tidak dibedakan antara anak angkat yang laki-laki atau anak angkat yang perempuan.

Berdasarkan ketentuan dari beberapa pasal dalam KHI tersebut dapat dipahami bahwa dengan lahirnya KHI telah membawa perubahan yang cukup signifikan tentang sistem kewarisan Islam di Indonesia. KHI telah merubah sistem

41 Pasal 176 KHI berbunyi “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh

bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”

42 Hazairin, “Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur an dan Hadits”, (Jakarta,


(52)

kewarisan Patrilineal yang dianut oleh jumhur ulama dan telah dari dulu berkembang di Indonesia, kepada sistem kewarisan bilateral sesuai dengan yang tercermin dalam Al Qur’an Surat An ‘Nisa’ ayat 7 dan ayat 11, dimana baik anak laki maupun anak perempuan, begitu juga cucu-cucu dari pancar anak laki-laki dan cucu-cucu dari pancar anak perempuan, sama-sama sebagai ahli waris. Hal ini sesuai dengan pula dengan pendapat Hazairin yang telah memperluas pengertian anak dengan keturunannya yang mencakup setiap orang yang berada di garis lurus ke bawah baik melalui anak laki-laki maupun anak perempuan.

Penafsiran kata walad dengan pengertian anak (mencakup laki-laki dan perempuan) ternyata juga dipergunakan oleh para Hakim Agung di Mahkamah Agung RI. Ada beberapa putusan Mahkamah Aging RI yang telah menjadi yurisprudensi tetap, isinya menetapkan bahwa anak, baik laki-laki maupun perempuan, menghijab hirman hak kewarisan saudara baik saudara laki-laki maupun perempuan. Putusan tersebut antara lain:

1. Putusan MARl Reg. No. 86 K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995.

2. Putusan MARl Reg. No. 184 K/AG/1995 tanggal 30 September 1996. Dari Putusan tersebut terlihat jelas bahwa Mahkamah Agung RI telah memberi hak dan kedudukan penuh dan permanen kepada anak perempuan sebagai ahli waris yang dapat menghijab saudara baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian berarti Mahkamah Agung telah menggeser kemapanan stelsel kewarisan patrilineal yang dikembangkan ulama sunni kearah

stelsel kewarisan bilateral atau parental yang berwawasan keadilan yang luhur


(53)

Perbedaan dalam memahami makna lafadh (arti kata) walad dalam ayat-ayat waris dikalangan para ulama juga telah mengakibatkan berbedanya garis hukum yang diterapkan dalam penyelesaian kasus-kasus kewarisan. Selain dari apa yang telah diuraikan di atas, perbedaan dalam memahami suatu lafadh, telah berpengaruh pula dalam penetapan hak kewarisan terhadap cucu dari pancar/keturunan anak perempuan. Disatu sisi cucu dari anak perempuan diakui sebagai kerabat atau orang yang mempunyai pertalian rahim dengan pewaris sebagaimana cucu dari pancar/keturunan anak laki-laki, namun dalam penetapan golongan ahli waris menurut jumhur ulama ahlus sunnah, cucu-cucu dari keturunan anak perempuan dikategorikan sebagai Zawil Arham, yang notabene adalah orang-orang yang tidak akan menerima warisan.

Dalam hal ini ulama Syi’ah juga berbeda pendapat dengan ulama Sunni. Menurut mereka keturunan atau cucu dari anak perempuan adalah ahli waris yang sah sebagai Zawil Furudh sebagaimana keturunan atau cucu dari anak laki-laki. Alasan rasional dari kalangan ulama Syi’ah bahwa Allah SWT telah menyamakan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam mendapatkan hak (sama-sama mendapat hak warisan), lalu mengapa manusia mendiskriminasikan anak keturunan mereka.

Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11i telah ditetapkan secara jelas dan tegas mengenai hak anak perempuan dalam hukum kewarisan yaitu apabila ia sendiri mendapatkan 1/2 (seperdua) bagian dan apabila ia lebih dari satu maka haknya adalah 2/3 (dua pertiga) bagian.

Bila dilihat secara sepintas, ketentuan tentang hak atau porsi warisan bagi anak perempuan dalam ayat 11 surat An-Nisa’ tersebut tidak ada permasalahan,


(54)

terutama mengenai ketentuan hak/porsi bagi anak perempuan tunggal, karena secara tekstual, aturan hukum yang diatur dalam ayat tersebut sudah sangat jelas dan tegas. Akan tetapi jika dikaji dan dianalisis secara lebih mendalam dan mendetail, teks ayat tersebut dapat menimbulkan multi tafsir atau minimal dwi tafsir (dua macam interpretasi) dalam memahaminya khususnya menyangkut dengan aturan hukum tentang furudh (hak/porsi) bagi anak perempuan yang jumlahnya lebih dari seorang.

Arti ayat berbunyi: Zahir teks bermakna “...Bila anak perempuan itu lebih

dari dua orang maka mereka mendapat duapertiga”43

Berdasarkan bunyi lafadh/zahir teks ayat di atas, sangat jelas bahwa furudh atau hak bagian 2/3 (dua pertiga) itu adalah untuk anak perempuan yang jumlahnya 3 orang atau lebih, karena kata Fawgasnataini berarti lebih dari dua orang dan secara harfiah tidak mencakup pengertian apabila jumlahnya hanya dua orang saja. Penafsiran demikian sesuai dengan pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa jika yang ada hanya dua orang anak perempuan saja, maka mereka mendapat 1/2 (seperdua) bagian dan tidak berhak 2/3 (dua pertiga) bagian.

Akan tetapi mayoritas ulama lainnya berpendapat bahwa walaupun hanya ada dua orang anak perempuan, mereka berhak mendapatkan 2/3 (dua pertiga) bagian. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Jabir Bin Abdullah yang menjelaskan bahwa Nabi pernah menetapkan hak bagian 2/3 (dua pertiga) kepada dua orang anak perempuan Sa’ad Bin Rabi’. Di samping didasarkan kepada hadis tersebut, jumhur ulama juga mengqiaskan/ menganalogikan hak ini kepada ketentuan dalam ayat 176 Surat An-Nina’ yang menjelaskan hukum tentang hak bagian dua orang saudara perempuan adalah 2/3


(55)

(dua pertiga). Oleh karena itu maka dua orang anak perempuan juga berhak mendapatkan 2/3 (dua pertiga) bagian dari harta warisan yang ditinggalkan orang tuanya.44

Apabila dibandingkan antara pendapat Ibnu Abbas dengan pendapat jumhur ulama tersebut di atas, maka menurut penulis, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama, karena pendapat tersebut didukung oleh dalil yang kuat yaitu hadist tersebut di atas. Dan apabila diikuti pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan hak bagi dua orang anak perempuan adalah 1/2 (seperdua) bagian, maka akan terasa ketidakadilan dan diskriminatif bila dibandingkan dengan hak atau porsi yang diterima oleh dua orang saudara perempuan yaitu 2/3 (dua pertiga) sebagaimana ditentukan dalam ayat 176.

C. Kedudukan Anak Perempuan Terhadap Harta Warisan menurut

Hukum Adat

Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat dinamis yang senantiasa dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan peradapan manusia itu sendiri. Bila hukum adat yang mengatur mengerti sesuatu bidang kehidupan dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan warganya maka warganya itu sendiri yang akan mengubah hukum adat tersebut agar dapat memberi manfaat untuk mengatur kehidupan mereka. Hal ini akan terlihat dari keputusan-keputusan yang mereka sepakati. Faktor penyebab dari pergeseran nilai suatu hukum adat tertentu dapat disebabkan oleh adanya interaksi sosial, budaya yang sifatnya heterogen, dan lain sebagainya.

43 Amir Syarifuddin, Op. Cit., hal. 47. 44 Ibid. hal. 48


(1)

Bahwa masyarakat Batak khususnya yang sudah merantau ke perkotaan dan berpendidikan, selain dari pengaruh Hukum Perdata Nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak dan adanya persamaan hak antara anak laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan pada saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan.

Adanya perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat adat inilah diantaranya mengakibatkan pembagian warisan tidak lagi banyak dilakukan lagi secara hukum adat, walaupun masih ada pembagian warisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku, hal ini juga didukung dengan persamaan kedudukan dalam hukum antara wanita dengan pria yang dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) menyatakan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini berarti menjamin persamaan kedudukan antara pria, wanita di muka hukum dan di dalam segala peraturan perundangan.74

Di samping itu didukung dengan asas kesamaan dalam Hukum Waris Nasional. Menurut Hilman Hadikusuma asas kesamaan hak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang modern, terutama bagi keluarga-keluarga yang telah maju dan bertempat tinggal di kota-kota dimana alam pikirannya cendrung pada sifat-sifat yang individualistis telah mempengaruhi dan ikatan kekerabatan sudah mulai renggang.75

74 Bambang Sunggono, dan Aries Harianto, “Bantuan Hukum dan HAM” (Bandung.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Hak mewarisi anak perempuan menurut hukum adat Angkola di Sipirok.

a. Holong ate yaitu Pemberian seorang bapak kepada anak perempuan

sewaktu melangsungkan perkawinan disebut holong ate. Holong ate diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang perempuan sewaktu perkawinan berlangsung. Pemberian ini adalah berupa alat-alat rumah tangga sebagai bekal untuk memulai kehidupan berumah tangga.

b. Abit na so ra buruk ini diperoleh seorang anak perempuan yang sudah

kawin dari bapaknya terutama sesudah bapaknya meninggal dunia. Pemberian ini dapat berbentuk pesan (tona) dari bapaknya sebelum meninggal dunia. Pemberian ini biasanya terdiri dari tanah pertanian dan tidak boleh diperjual belikan, penguasaannya turun temurun kepada anak laki-laki. Abit na so ra buruk ini adalah semacam hak waris kepada anak perempuan yang telah berkeluarga. Apabila suatu harta warisan telah terbuka untuk dibagi-bagikan kepada ahli warisnya. Diadakan pembagian warisan dengan dihadiri oleh pengetua adat dan dalihan na tolu (kahanggi,

mora, anak boru).

2. Pergeseran nilai hukum adat dikarenakan sudah banyaknya masyarakat daerah Angkoa di Sipirok yang sudah merantau ke perkotaan dan berpendidikan, selain dari pengaruh Hukum Perdata Nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak dan adanya persamaan hak antara anak laki-laki

75 Hilman Hadikusuma, Op.cit ,hal 3


(3)

dan perempuan maka pembagian warisan pada saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan.

3. Hambatan yang ada dalam hak mewarisi anak perempuan Angkola di Sipirok karena masih ketatnya menaati budaya hukum pada masyarakat Angkola di Sipirok, masih taatnya pengargaan dalam hukum adat Angkola di Sipirok yaitu dalam hal masih menggunakan Hukum Patrilineal dalam pembagian harta warisan yang lebih mengutamakan anak laki-laki dan hambatan yang ketiga yaitu kurangnya Pemahaman masyarakat tentang Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 yang sudah menyamakan kedudukan hak waris anak perempuan dan hak waris laki-laki pada masyarakat batak.

B. Saran

1. Kedudukan anak perempuan sebagai anggota masyarakat perlu mendapat penghargaan, baik secara hukum adat agama dan khususnya sebagai ahli waris. Istilah ahli waris ini perlu dirumuskan sehingga tak seorang keluarga pun yang tidak termasuk ahli waris dan tidak menerima waris.

2. Upaya untuk mewujudkan suatu kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat Batak Angkola di Sipirok terutama terhadap harta peninggalan, diharapkan pemerintah segera mengeluarkan suatu peraturan pelaksana dari hukum harta perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan. 3. Masyarakat sebaiknya lebih mencari informasi tentang Peraturan yang

berlaku tentang perkembangan pembagian harta warisan seperti yurisprudensi Mahkamah Agung dan peraturan yang baru untuk perkembangan dalam hukum adat yang ada di daerah yang ada di Indonesia khusunya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Anisitus, Amanat, “Membagi Warisan Berdasarkan Pasal – Pasal Hukum

Perdata”, Semarang. Citra Aditya Bakti, 2001.

Ash-Shidiq, Hasbi, “Fiqhul Mawaris”, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Friedmann, W. Legal Theory, “Terjemahan Muhammad Arifin: Teori dan Filsafat

Hukum”, Jakarta: Raja Grafindo Persada Cetakan II,1994.

Haar, Ter, “Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat”, Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.

Hadikusuma, Hilman, “Hukum Waris Adat”, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Hazairin, “Bab-bab Tentang Hukum Adat”, Jakarta : Pradnya Paramita. 1975. ____________, “Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur an dan Hadits”,

Tinta Mas, Jakarta, 1976.

Husny, T. Abdurrahman, “Hukum Adat I”, Medan. 1983.

Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Disertasi Antropologi. Universitas Indonesia, 2000.

Kamal, Abdullah Malik Bin As-Sayyid Salim Sahih Fikih Sunnah, “Penterjemah

Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh”, Jakarta, Pustaka Azzam,

2007.

Kolkmanet.al.(eds),Wilbert D. “Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan

Hukum Waris Di Belanda Dan Indonesia”, Denpasar: Pustaka

Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012.

Manan, Abdul, “Aspek-Aspek Pengubah Hukum”, Jakarta: Kencana Prenada Meda Group, 2005.

Mertokusumo, Sudikno, “Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di

Indonesia”, Yogyakarta: Liberty, 1983.

____________, “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”, Yogyakarta: Liberty, 1999. Muhammad, Bushar, “Pokok-pokok Hukum Adat”, Pradnya Paramita, Jakarta,

1981.


(5)

Poerwadarminta, W.J.S. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta. Balai Pustaka, 1976.

Projodikoro, Wirjono, “Hukum Warisan di Indonesia”, Sumur, Bandung, 1976. Rahardjo, Satjipto, “Hukum dan Perubahan Sosial”, Bandung, Alumni.1989. Saragih, Djaren, “Pangantar Hukum Adat Indonesia”, Tarsito, Bandung, 1984. Suparman, Eman, “Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan

BW”, Bandung: Aditama, 2005.

Sunggono, Bambang, dan Aries Harianto, “Bantuan Hukum dan HAM” Bandung. Alumni. 1994.

Syarifuddin, Amir, “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan

Adat Minangkabau”, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Salman S, H.R.Otje, “Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam”, Bandung: PT.Refika Aditama. 2006.

Soepomo, R. “Bab-Bab tentang Hukum Adat”, Pradnya Paramita, Jakarta. 1993. ____________, “Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia Kedua”,

Jakarta: Prandnja paramita, Cet. 15, 1997.

Soekanto, Soerjono, “Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat”, Jakarta: Academica, 1979.

Van Mourik, M.J.A “Studi Kasus Hukum Waris”, Bandung : Eresco, 1993.

Wignjodipoero, Soerojo, “Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat”, Jakarta:Haji Masagung, 1987.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukup Perdata

Kompilasi Hukum Islam

Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Persamaan Gender

Yurisprudensi Keputusan MA-RI No. 415/K/SIP/1970, tanggal 30 Juni 1971. Yurisprudensi Keputusan MA-RI No. 528/K/SIP/1972, tanggal 17 Januari 1973. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961


(6)

C. Jurnal dan Tesis

Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II Yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI Tahun 1995/1996.

Daud Ali, Muhammad, “Asas-Asas Hukum Kewairisan Dalam Kompilasi Hukum

Islam”, Majalah Mimbar Hukum No.9 Yayasan Al-Hikmah, Jakarta,

1993.

Mairita Achmad, Syafera, “Tinjauan Yuridis Mengenai Hak dan Kedudukan

Janda dan Anak Perempuan di Bidang Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Perdata”, Tesis Mahasiswa. Magister keotariatan

Universitas Indonesia, 2003.

Muhammad Arwan, Firdaus, “Keahliwarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam

Sebuah Pengaturan Yang Belum Tuntas”, Majalah Hukum Suara

Uldilag No. 13, Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Juni 2008 M/Jumadi Awal 1429 H.

Nantri, Ayu Putu, “Kedudukan Ahli Waris Yang Beralih Agama Menurut Hukum

Adat Waris di Kabupaten Badung”, Laporan Penelitian, Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 1982.

Putusan Hakim yang memberi hak mewaris kepada anak perempuan Batak pertama kali adalah putusan Mahkamah Agung untuk suatu kasus tanah pada tahun 1961.

D. Hasil Wawancara

Adam Ali Hasyim Harahap pada tanggal 20 Maret2015 Asrul Ali Sregar pada tanggal 22 Maret 2015

Azhari Harahap pada tanggal 21 Maret 2015

E. Internet