aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1
dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke
atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
Mangunkusumo dan Rifki, 2007.
2.1.3. Sinus Etmoidalis
Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5
cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. Soetjipto, 2007. Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel
yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila Soetjipto
dan Mangunkusumo, 2007.
2.1.4. Sinus Sfenoidalis
Sinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum
intersfenoid. Soetjipto, 2007. Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml
0,05-30 ml. Benninger, 2003. Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat
fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus Hilger, 1997
Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang Hazenfield, 2009
2.2.1. Definisi Rinosinusitis
Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat alergi atau infeksi karena bakteri, virus atau jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat
dibahagikan kepada 3 yaitu ; rinosinusiitis akut apabila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut apabila gejalanya
berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis apabila gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan Mangunkusumo dan Rifki, 2003.
Terdapat 4 jenis sinus yaitu sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis dan sfenoidalis. Apabila rinosinusitis terjadi pada beberapa sinus,maka ia dikenali sebagai
multisinusitis,sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal dikenal sebagai pansinusitis Rosenfeld, 2007.
2.2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
a. Virus Virus yang lebih sering menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus
parainfluenza, respiratory syncitial virus RSV dan virus influenza. Setiap virus mempunyai banyak serotype yang mempunyai potensi tersendiri untuk
memperparahkan infeksi tersebut. Infeksi akibat rhinovirus merupakan penyebab
tersering rinosinusitis pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan influenza pula akan merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di
awal musim semi. b. Bakteri
Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya
rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering pada rinosinusitis bakteri kronis adalah s. aureus, staphylococcus
koagulase negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative. Brown, 2008 c. Jamur
Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau
kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan
imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat,gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama
histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis adalah kasus yang jarang mengenai hidung. Boeis, 1997
d. Alergi Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin.
Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya sel mast,
basofil, eosinofil, makrofag. Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil
pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera
yang timbul , misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang
selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit. Boeis, 1997.
e. Kelainan anatomi dan struktur hidung Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar
secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip,
konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar. Hilger, 1997
f. Hormonal Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61 wanita yang hamil pada
trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum jelas. Brook, 2012
g. Lingkungan Perubahan mukosa dan kerusakan silia dapat terjadi apabila terpapar pada
oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering. Kebiasaan merokok juga memicu hal yang sama. Mangunkusumo E, 2007
2.2.3. Patofisiologi