Formulasi Biskuit Substitusi Tepung Ubi Kayu dan Ubi Jalar dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai serta Mineral Fe dan Zn untuk Balita Gizi Kurang

(1)

FORMULASI BISKUIT SUBSTITUSI TEPUNG UBI KAYU DAN UBI

JALAR DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI

SERTA MINERAL Fe DAN Zn UNTUK BALITA GIZI KURANG

HANIFAH DWIYANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

ABSTRACT

HANIFAH DWIYANI. Formulation of Moderate Undernutrition Children’s Biscuit Made of Cassava Flour, Sweet Potato Flour, and Soy Protein Isolate with Addition of Fe and Zn.Under guidance of LILIK KUSTIYAH.

Moderate undernutrition is one of major nutritional problems in Indonesia, with a prevalence of 13%. Instead of lack of energy and protein intake, undernutrition children commonly are deficient in iron and zinc. One of the effort to overcome this problem is by giving them foods which contain high energy and protein as well as met with iron and zinc requirement. The objective of this research was to formulate biscuit which were made of cassava flour, sweet potato flour, and soy protein isolate with addition of Fe and Zn as side dish of moderate undernutrition children. Cassava and sweet potato flour is an indigenous food of Indonesia which high in energy content, so can be used to substitute wheat flour in making biscuits as source of energy. To increase protein content of biscuit, it was used soy protein isolate which contains about 90% protein. Gizikita is a multivitamin mineral supplement containing high iron and zinc in microcapsules form. Design of this research was experimental which factors that used were kind of flour (cassava, sweet potato, and composite flour) and level of flour substitution (20%, 40%, and 60%). Based on organoleptic test showed that the selected formula was A1B1 (20% cassava substitution). Biscuits A1B1 has 457 Kcal/100g of gross energy; 2.960,2 gram force of hardness; 8,31% water content (wb); 3,12% ash (db); 13,93% protein (db); 14,23% fat (db); 68,71% carbohydrate (db); 8,38 mg/100g Fe; 10,61 mg/100g Zn; 81,48% protein digestibility; 10,87% bioavailability of Fe ; and 29,45% bioavailability of Zn.


(3)

RINGKASAN

HANIFAH DWIYANI. Formulasi Biskuit Substitusi Tepung Ubi Kayu dan Ubi Jalar dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai serta Mineral Fe dan Zn untuk Balita Gizi Kurang.Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH.

Gizi kurang adalah salah satu masalah gizi utama di Indonesia dengan prevalensi sebesar 13% (Depkes 2010). Konsekuensi dari KEP adalah pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat pada anak-anak (Hull & Johnston 2008). Upaya perbaikan status gizi masih terfokus pada penderita gizi buruk, sedangkan penderita gizi kurang belum mendapat perhatian yang cukup (Kustiyah et al. 2010). Jika penderita gizi kurang tidak mendapat perhatian yang cukup maka mereka rentan jatuh dalam kondisi gizi buruk. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk menanggulangi gizi kurang. Salah satu caranya adalah dengan pemberian makanan tambahan yang tepat, yaitu makanan yang mampu mencukupi kebutuhan energi dan tinggi protein, besi, serta seng. Pada penelitian ini, jenis makanan tambahan yang dibuat adalah biskuit.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat formula biskuit dengan substitusi tepung ubi kayu dan ubi jalar dengan penambahan isolat protein kedelai serta multivitamin mineral sebagai makanan tambahan untuk balita gizi kurang. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mempelajari pembuatan tepung ubi kayu dan ubi jalar, 2) membuat formula biskuit balita gizi kurang (BGK), 3) menguji daya terima serta menganalisis pengaruh jenis serta taraf tepung pensubstitusi terhadap mutu hedonik biskuit, 4) menganalisis gross energy, sifat fisik, dan sifat kimia biskuit formula terpilih dan kontrol, 5) menganalisis keberadaan perbedaan gross energy, sifat fisik, dan sifat kimia antara biskuit formula terpilih dengan kontrol.

Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu pembuatan tepung ubi kayu dan ubi jalar; formulasi dan pembuatan biskuit BGK; uji organoleptik; serta analisis gross energi, sifat fisik, dan sifat kimia. Pembuatan tepung ubi kayu dan ubi jalar berdasarkan modifikasi metode Kustiyah et. al (2010). Tahapannya terdiri dari pemilihan bahan, pengupasan, pencucian, pengirisan, perendaman, pembilasan, pengukusan, penghalusan hingga menjadi pasta, pengeringan dengan drum dryer, penghalusan dengan disk mill, dan pengayakan.

Formulasi biskuit memperhitungkan kebutuhan energi dan zat gizi perhari serta pembatas energi dan zat gizi bagi balita 4-5 tahun. Formulasi biskuit BGK didasarkan pada modifikasi resep Anwar et al. (1993). Biskuit yang dibuat adalah biskuit formula dan biskuit kontrol. Biskuit formula terbagi dalam 9 formula, yaitu: A1B1, A1B2, A1B3, A2B1, A2B2, A2B3, A3B1, A3B2, dan A3B3. Faktor yang dipakai dalam penelitian ini adalah jenis dan taraf tepung pensubstitusi. Jenis tepung yang mensubstitusi tepung terigu adalah tepung ubi kayu (A1), tepung ubi jalar (A2), dan tepung komposit atau campuran tepung ubi kayu dan ubi jalar dengan perbandingan 1:1 (A3). Adapun taraf tepung pensubstitusi terdiri dari 20% (B1), 40% (B2), dan 60% (B3). Proses pembuatan biskuit BGK merupakan hasil modifikasi metode Mervina (2009). Tahapan pembuatan biskuit terdiri dari penimbangan bahan, pencampuran dan pengadukan, pendinginan, pemipihan, pencetakan, serta pemanggangan.

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dan mutu hedonik. Hasil uji hedonik menunjukkan jenis formula mempengaruhi tingkat kesukaan panelis pada atribut aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan. Namun jenis formula tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis pada atribut warna. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan jenis formula berpengaruh terhadap warna, aroma harum,


(4)

tekstur, dan rasa biskuit. Namun jenis formula tidak berpengaruh terhadap aroma obat dan aftertaste pada biskuit.

Jenis dan taraf tepung pensubstitusi berpengaruh terhadap atribut warna. Namun, interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh. Biskuit tepung ubi kayu memiliki warna lebih terang dibandingkan dengan biskuit tepung ubi jalar dan komposit. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung ubi kayu dapat menyebabkan biskuit berwarna lebih terang. Biskuit bertaraf 20% memiliki warna lebih terang dibandingkan dengan biskuit bertaraf 40% dan 60%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah taraf tepung pensubstitusi maka warna biskuit cenderung semakin terang.

Jenis dan taraf tepung pensubstitusi berpengaruh terhadap atribut aroma harum. Namun, interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh. Biskuit tepung ubi kayu memiliki aroma harum lebih kuat dibandingkan dengan biskuit tepung ubi jalar dan komposit. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung ubi kayu dapat meningkatkan aroma harum. Biskuit bertaraf 60% memiliki aroma harum lebih kuat dibandingkan dengan biskuit bertaraf 20% dan 40%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf tepung pensubstitusi maka aroma harum biskuit semakin kuat.

Jenis tepung pensubstitusi, taraf tepung pensubstitusi, dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh terhadap atribut aroma obat. Jenis tepung pensubstitusi tidak berpengaruh terhadap atribut tekstur. Namun, taraf tepung pensubstitusi dan interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap atribut tekstur. Biskuit bertaraf 20% memiliki tekstur lebih renyah dibandingkan dengan biskuit bertaraf 40% dan 60%. Biskuit bertaraf 40% memiliki tekstur lebih renyah dibandingkan dengan biskuit bertaraf 60%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah taraf tepung pensubstitusi maka tekstur biskuit semakin renyah.

Jenis dan taraf tepung pensubstitusi berpengaruh terhadap atribut rasa. Namun, interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh. Biskuit tepung ubi kayu memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan dengan biskuit tepung komposit. Namun biskuit tepung ubi jalar tidak berbeda dengan keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung ubi kayu dapat meningkatkan rasa manis. Biskuit bertaraf 20% memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan dengan biskuit bertaraf 40%. Namun biskuit bertaraf 60% tidak berbeda dengan keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah taraf tepung pensubstitusi maka rasa biskuit semakin manis.

Jenis tepung pensubstitusi berpengaruh terhadap atribut aftertaste. Namun, taraf tepung pensubstitusi dan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh terhadap atribut aftertaste. Biskuit tepung ubi jalar memiliki aftertaste yang lebih kuat dibandingkan dengan biskuit tepung ubi kayu dan tepung komposit. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung ubi jalar dapat meningkatkan aftertaste.

Formula terpilih ditentukan berdasarkan persen penerimaan, nilai rata-rata, nilai modus, dan berdasarkan atribut keseluruhan. Formula terpilih pada penelitian ini adalah A1B1 (substitusi tepung ubi kayu 20%). Biskuit formula terpilih (FT) memiliki gross energy 457 Kal/100g; nilai kekerasan 2.960,2 gram force; kadar air 8,31%bb; kadar abu 3,12%bk; kadar protein 13,93%bk; kadar lemak 14,23%bk; kadar karbohidrat 68,71%bk; kadar Fe 8,38 mg/100g; kadar Zn 10,61 mg/100g; daya cerna protein 81,48%; bioavailabilitas Fe 10,87%; dan bioavailabilitas Zn 29,45%.

Gross energy biskuit FT lebih kecil dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung ubi kayu dapat menurunkan gross energy. Nilai kekerasan biskuit FT lebih besar dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung ubi kayu dapat menaikkan nilai kekerasan. Kadar air biskuit FT


(5)

lebih besar dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung ubi kayu dapat menaikkan kadar air. Kadar abu biskuit FT tidak berbeda dengan kontrol. Kadar protein biskuit FT lebih kecil dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung ubi kayu dapat menurunkan kadar protein. Kadar lemak biskuit FT tidak berbeda dengan kontrol. Kadar karbohidrat biskuit FT lebih besar dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi tepung ubi kayu dapat menaikkan kadar karbohidrat. Kadar Fe dan Zn, daya cerna protein, serta bioavailabilitas Fe dan Zn biskuit FT tidak berbeda dengan kontrol.


(6)

FORMULASI BISKUIT SUBSTITUSI TEPUNG UBI KAYU DAN UBI

JALAR DENGAN PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI

SERTA MINERAL Fe DAN Zn UNTUK BALITA GIZI KURANG

HANIFAH DWIYANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(7)

Judul : Formulasi Biskuit Substitusi Tepung Ubi Kayu dan Ubi Jalar dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai serta Mineral Fe dan Zn untuk Balita Gizi Kurang

Nama : Hanifah Dwiyani

NIM : I14070045

Menyetujui:

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M. Si NIP. 19620507 198703 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Formulasi Biskuit Substitusi Tepung Ubi Kayu dan Ubi Jalar dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai serta Mineral Fe dan Zn untuk Balita Gizi Kurang”. Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini. Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar senantiasa membimbing penulis dalam penyusunan skripsi dan memberikan nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi penulis baik dalam penyusunan skripsi maupun dalam kehidupan penulis.

2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan atau saran yang sangat berguna bagi penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Mashudi atas kesabaran dan bantuannya baik selama penelitian maupun penyusunan skripsi serta atas nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi kehidupan penulis.

4. Kedua orangtua tercinta (Achmad Munawar & Muftichah), adik tersayang (Muhammad Sufi Naritsul Ardhi), serta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa, nasihat, dukungan, semangat, dan pengertian kalian sehingga penulis dapat terus berjuang dalam menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik mungkin. 5. Seluruh staff Departemen Gizi Masyarakat: Bu Rizky, Bu Titi, Bu Nina, Pak

Ugan, Teh Santi, Pak Karya, dan semua staff lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuannya selama ini.

6. Keluargaku di PT Melia Sehat Sejahtera: Ir. Nuraeni, Dr. Ir. Winarso D Widodo, MS, Andini, Adi, Zulmy, Ghieah, Widya, seluruh downline, upline, leader, dan crossline yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas motivasi, dukungan, doa, pengertian, dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis untuk berusaha melakukan yang terbaik dalam kehidupan.

7. Sahabat-sahabatku tercinta: Latifah, Asia, Khonita, Anita, Anggi, dan Wina atas motivasi, doa, dan semangatnya.

 

8. Teman-teman kost Tri Regina: Laras, Pasha, Linda, Fia, Dhanis, Mbak Uwi, Mbak Apong, Besta, Tita, Kak Resti, Nilam, dan Rossy atas bantuan, doa, dan semangatnya.


(9)

9. Teman-teman senasib dan seperjuangan di laboratorium: Kak Eva, Kak Aim, Atis, Eka, Yulia, Ade, Ai, Anti, Agus, Ibnu, Rohman, Yusti, dan teman-teman yang lain atas bantuan, doa, dan semangatnya.

10. Teman-teman pembahas seminar: Anti, Wiwi, Agus, dan Bibi.

11. Teman-teman GM 44, GM 45, GM 46, dan GM 47 atas bantuannya selama penelitian dan kehadirannya dalam seminar.

12. Teman-teman di IAAS

13. Semua pihak yang secara langsung maupun tak langsung telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan kebaikan yang lebih baik dan lebih besar. Sesungguhnya tiada balasan untuk suatu kebaikan melainkan dengan kebaikan pula.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, masukan, saran, dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Bogor, Februari 2013


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ungaran pada tanggal 1 Agustus 1989. Penulis adalah putri dari pasangan Bapak Achmad Munawar dan Ibu Muftichah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 02 Ungaran dari tahun 1995 sampai 2001. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama di SLTP Negeri 1 Ungaran dari tahun 2001 sampai 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Ungaran dari tahun 2004 sampai 2007

Pada tahun 2007 penulis berhasil diterima sebagai mahasiswa di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama masa kuliah, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi, yaitu IAAS ( International Association of student in Agricultural and related Sciences), HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi), dan Klub Kulinari. Penulis mendapatkan amanah di IAAS sebagai staff Departemen Exchange Program (2008-2009), ketua Departemen Exchange Program (2009-2010), sekretaris Departemen Exchange Program (2010-2011), dan Control Council IAAS Local Committee IPB (2011-2012). Penulis juga mendapatkan amanah di HIMAGIZI sebagai staff Departemen Keprofesian (2009). Selain itu, penulis mendapatkan amanah di Klub Kulinari sebagai Bendahara (2010) dan Steering Committee (2011).

Penulis pernah berkesempatan mengikuti beberapa perlombaan dan international event. Beberapa perlombaan tersebut diantaranya adalah Jawara Politik (2008) sebagai semifinalis, Environment Projects in Contribution to Save The World (2009) yang diselenggarakan oleh AIESEC Malaysia sebagai juara pertama, dan Duta FEMA (2010) sebagai delegasi dari Departemen Gizi Masyarakat. Adapun beberapa international event yang pernah diikuti oleh penulis adalah IPB International Student Conference (2008) sebagai panitia (staff Divisi Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi), Youth Leader Conference (2008) sebagai peserta, International MIRACLE Youth Conference (2009) sebagai peserta, dan World Congress of IAAS (2010) sebagai panitia (ketua Divisi Acara).

Penulis telah mendapatkan banyak pengalaman berharga selama masa kuliah. Selain pengalaman organisasi, penulis juga mendapatkan beberapa pengalaman kerja. Beberapa pengalaman kerja tersebut diantaranya adalah manager bimbingan belajar EXPRESS (2008-2009), asisten peneliti pada


(11)

kegiatan penelitan yang berjudul “Mikroenkapsulasi Mineral Besi dan Seng dalam Pembuatan Makanan Tambahan untuk Balita Gizi Kurang” (2010-2011), asisten praktikum mata kuliah Analisis Zat Gizi Mikro (2010-2011 & 2012-2013), dan asisten praktikum mata kuliah Percobaan Makanan (2012-2013). Sebelum melaksanakan tugas akhir, penulis berkesempatan mengikuti internship dietetik di RSAB Harapan Kita (2011) dengan topik kajian penatalaksanaan diet pada penyakit bronchopneumonia (BP), gizi kurang, dan down syndrome. Saat ini penulis aktif sebagai seorang leader di PT Melia Sehat Sejahtera yang bergerak di bidang pemasaran produk kesehatan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

 

DAFTAR ISI... i 

DAFTAR TABEL ... iv 

DAFTAR GAMBAR ... vi 

DAFTAR LAMPIRAN ... vii 

PENDAHULUAN ... 1 

Latar Belakang ... 1 

Tujuan ... 4 

Tujuan Umum ... 4 

Tujuan Khusus ... 4 

Manfaat ... 4 

TINJAUAN PUSTAKA ... 5 

Gizi Kurang ... 5 

Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) ... 6 

Tepung Ubi Kayu ... 8 

Ubi Jalar (Ipomoea batatas) ... 10 

Tepung Ubi Jalar ... 12 

Isolat Protein Kedelai ... 14 

Gizikita ... 15 

Mineral ... 15 

Zat Besi (Fe) ... 16 

Seng (Zn) ... 17 

Makanan Balita ... 18 

Biskuit ... 19 

Klasifikasi Biskuit ... 20 

Bahan-bahan Pembuat Biskuit ... 20 

Uji Organoleptik ... 22 

Uji Hedonik ... 23 

Uji Mutu Hedonik ... 23 

METODE ... 24 


(13)

Bahan dan Alat ... 24 

Tahapan Penelitian ... 25 

Pembuatan Tepung Ubi Kayu dan Ubi Jalar ... 25 

Formulasi dan Pembuatan Biskuit Balita Gizi Kurang ... 25 

Analisis Organoleptik Biskuit Balita Gizi Kurang ... 27 

Analisis gross energy, sifat fisik, dan sifat kimia ... 28 

Rancangan Percobaan ... 28 

Pengolahan dan Analisis Data ... 29 

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30 

Pembuatan Tepung Ubi Kayu dan Ubi Jalar ... 30 

Tepung Ubi Kayu ... 30 

Tepung Ubi Jalar ... 34 

Rendemen ... 37 

Formulasi dan Pembuatan Biskuit ... 38 

Formulasi Biskuit ... 38 

Pembuatan Biskuit ... 44 

Karakteristik Organoleptik Biskuit BGK ... 47 

Hedonik ... 48 

Mutu Hedonik ... 51 

Pengaruh Jenis dan Taraf Tepung Pensubstitusi terhadap Mutu Hedonik Biskuit ... 54 

Karakteristik Daya Terima Formula Terpilih ... 62 

Karakteristik Spesifik Formula Terpilih ... 65 

Gross Energy, Sifat Fisik, dan Sifat Kimia Biskuit Formula Terpilih dan Biskuit Kontrol ... 67 

Gross Energy. ... 67 

Sifat Fisik ... 68 

Sifat Kimia ... 69 

Kontribusi Energi dan Zat Gizi Biskuit Balita Gizi Kurang terhadap AKG Balita 4-5 Tahun ... 75 

KESIMPULAN DAN SARAN ... 78 

Kesimpulan ... 78 

Saran ... 80 


(14)

LAMPIRAN ... 88   


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Syarat mutu tepung ubi kayu menurut SNI 01-2997-1992 ... 9   

Tabel 2 Komposisi zat gizi tepung ubi kayu ... 9   

Tabel 3 Syarat mutu tepung ubi jalar menurut SNI 1996 ... 12   

Tabel 4 Komposisi zat gizi tepung ubi kayu ... 13   

Tabel 5 Angka kecukupan gizi balita (per orang per hari) ... 18   

Tabel 6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan balita ... 19   

T  

Tabel 8 Faktor-faktor dalam pembuatan biskuit formula ... 26  abel 7 Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 ... 20   

Tabel 9 Formula biskuit balita gizi kurang per 100 gram biskuit ... 26   

Tabel 10 Rendemen tepung ubi kayu dan ubi jalar ... 37   

Tabel 11 Resep biskuit standar (Anwar et al. 1993) ... 38   

Tabel 12 Faktor-faktor dalam pembuatan biskuit formula ... 40   

Tabel 13 Komposisi bahan dari resep biskuit formula dan biskuit kontrol ... 41   

Tabel 14 Formula biskuit balita gizi kurang per 100 gram biskuit ... 45   

Tabel 15 Hasil uji hedonik biskuit balita gizi kurang ... 49   

Tabel 16 Hasil uji mutu hedonik biskuit balita gizi kurang ... 52   

Tabel 17 Hasil ANOVA dari atribut mutu hedonik warna biskuit balita gizi kurang ... 55   

Tabel 18 Hasil ANOVA dari atribut mutu hedonik aroma keharuman biskuit balita gizi kurang ... 57   

Tabel 19 Hasil ANOVA dari atribut mutu hedonik aroma obat biskuit balita gizi kurang ... 58   

Tabel 20 Hasil ANOVA dari atribut mutu hedonik tekstur biskuit balita gizi kurang ... 59   

Tabel 21 Hasil ANOVA dari atribut mutu hedonik rasa biskuit balita gizi kurang ... 60   


(16)

 

Tabel 23 Karakteristik mutu hedonik, hedonik, dan persen penerimaan dari formula terpilih (FT) pada berbagai atribut ... 64   

Tabel 24 Hasil analisis gross energy, sifat fisik, dan sifat kimia biskuit formula terpilih dan biskuit kontrol ... 67   

Tabel 25 Kontribusi energi dan zat gizi biskuit baita gizi kurang terhadap AKG balita 4-5 tahun ... 76 


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Ubi kayu ... 7   

Gambar 2 Ubi jalar ... 11   

Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung ubi kayu ... 25   

Gambar 4 Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar ... 26   

Gambar 5 Diagram alir pembuatan biskuit BGK ... 27   

Gambar 6 Ubi kayu ... 30   

Gambar 7 Pasta ubi kayu ... 32   

Gambar 8 Double drum dryer ... 33   

Gambar 9 Produk kering ubi kayu ... 34   

Gambar 10 Tepung terigu dan tepung ubi kayu ... 34   

Gambar 11 Ubi jalar ... 35   

Gambar 12 Pasta ubi jalar ... 36   

Gambar 13 Produk kering ubi jalar ... 36   

Gambar 14 Tepung terigu dan tepung ubi jalar ... 37   

Gambar 15 Biskuit formula dan biskuit kontrol ... 48   

Gambar 16 Biskuit formula terpilih (A1B1) ... 65   

Gambar 17 Karakteristik mutu hedonik atribut aroma obat dan aftertaste pada biskuit formula terpilih ... 66 


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Perhitungan formulasi biskuit balita gizi kurang ... 89   

Lampiran 2 Lembar penilaian uji organoleptik tahap I biskuit balita gizi ... 92   

Lampiran 3 Lembar penilaian uji organoleptik tahap II biskuit balita gizi ... 97   

Lampiran 4 Prosedur analisis gross energy, sifat fisik, dan sifat kimia ... 102   

Lampiran 5 Perhitungan rendemen tepung ubi kayu dan ubi jalar ... 107   

Lampiran 6 Data kandungan gizi bahan-bahan biskuit balita gizi kurang per 100 gram bahan ... 108   

Lampiran 7 Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada uji hedonik biskuit ... 109   

Lampiran 8 Hasil ANOVA dan uji lanjut Duncan pada uji mutu hedonik ... 111   

Lampiran 9 Hasil two-way anova (General Linear Model) dan uji lanjut ... 113   

Lampiran 10 Persen penerimaan biskuit balita gizi kurang ... 116   

Lampiran 11 Nilai rata-rata uji hedonik biskuit balita gizi kurang ... 117   

Lampiran 12 Nilai modus uji hedonik biskuit balita gizi kurang ... 117   

Lampiran 15 Perhitungan kadar air biskuit balita gizi kurang ... 118   

Lampiran 16 Perhitungan kadar abu biskuit balita gizi kurang ... 119   

Lampiran 17 Perhitungan kadar protein biskuit balita gizi kurang ... 120   

Lampiran 18 Perhitungan kadar lemak biskuit balita gizi kurang ... 121   

Lampiran 19 Perhitungan kadar karbohidrat biskuit balita gizi kurang ... 122   

Lampiran 20 Perhitungan kadar Fe biskuit balita gizi kurang ... 122   

Lampiran 21 Perhitungan kadar Zn biskuit balita gizi kurang ... 123   

Lampiran 22 Perhitungan daya cerna protein biskuit balita gizi kurang ... 124   

Lampiran 23 Perhitungan bioavailabilitas Fe biskuit balita gizi kurang ... 125   

Lampiran 24 Perhitungan bioavailabilitas Zn biskuit balita gizi kurang ... 126   


(19)

Lampiran 26 Penentuan jumlah biskuit yang harus dikonsumsi dalam ... 130   


(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah kurang energi protein merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Data Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa secara nasional prevalensi balita dengan status undernutrition (gizi buruk dan kurang) sebesar 17,9%, yaitu gizi kurang sebesar 13% dan gizi buruk sebesar 4,9% (Depkes 2010). Berdasarkan cut off point Depkes (1996), prevalensi balita gizi kurang tergolong masalah kesehatan masyarakat kategori sedang, sedangkan prevalensi balita gizi buruk tergolong masalah kesehatan masyarakat. Konsekuensi dari KEP adalah pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat pada anak-anak (Hull & Johnston 2008).

Perbaikan status gizi merupakan salah satu prioritas Pembangunan Kesehatan 2010-2014 (Minarto 2010). Oleh karena itu, pemerintah melakukan berbagai macam upaya untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Namun, upaya-upaya tersebut masih terfokus pada penderita gizi buruk, sedangkan penderita gizi kurang belum mendapat perhatian yang cukup (Kustiyah et al. 2010). Jika penderita gizi kurang tidak mendapat perhatian yang cukup maka mereka rentan jatuh dalam kondisi gizi buruk. Pada umumnya, satu persen dari balita berstatus gizi kurang akan jatuh pada kasus gizi buruk (Yumarlis 2011).

Terdapat berbagai macam cara untuk menanggulangi masalah gizi kurang, salah satunya adalah melalui pemberian makanan tambahan yang tepat, yaitu makanan yang mengandung energi dan protein yang tinggi serta mampu memenuhi kecukupan besi dan seng. Pada penelitian ini, jenis makanan tambahan yang dibuat adalah biskuit.

Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dengan proses pemanasan dan pencetakan (SNI 01-2973-1992 dalam DSN 1992b). Menurut Manley (2000), biskuit merupakan makanan yang cukup populer. Hal ini dapat dilihat dari penjualan biskuit di Indonesia pada tahun 2012 yang meningkat 5-8% menurut asosiasi industri (Saksono 2012). Hal tersebut menunjukkan permintaan pasar yang semakin tinggi terhadap biskuit. Permintaan pasar yang semakin meningkat merupakan indikator diterimanya biskuit sebagai pangan alternatif.

Di rumah sakit, diet-diet yang diberikan untuk anak penderita gizi kurang berupa pemberian biskuit. Biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus


(21)

manusia (Manley 2000). Biskuit dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia, salah satunya adalah kebutuhan gizi anak gizi kurang jika dilakukan substitusi dan fortifikasi terhadap biskuit tersebut. Fortifikasi adalah komplementasi atau proses penambahan zat gizi (vitamin dan mineral) ke dalam makanan olahan (Makfoeld 2002). Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, biskuit merupakan makanan tambahan yang cocok bagi penderita gizi kurang.

Biskuit yang umum digunakan sebagai makanan tambahan masih berupa makanan pabrikan yang berbasis tepung terigu. Namun, sampai saat ini seluruh kebutuhan biji gandum sebagai bahan baku pembuatan tepung terigu masih harus diimpor dari luar negeri (Welirang 2011). Oleh karena itu, perlu dikembangan produk alternatif yang mampu mensubstitusi komoditas tepung terigu. Pada penelitian ini, bahan pangan yang digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu adalah tepung ubi kayu dan ubi jalar.

Ubi kayu adalah salah satu bahan pangan lokal yang potensial karena memiliki produksi dan produktivitas yang tinggi di Indonesia. Menurut data BPS (2012), produksi ubi kayu pada tahun 2011 adalah 24.044.025 ton/tahun dan produktivitasnya sebesar 202,96 kwintal per hektar. Salah satu produk turunan ubi kayu adalah tepung kasava. Tepung kasava atau tepung ubi kayu atau tepung singkong atau cassava flour adalah tepung yang dibuat dari ubi kayu segar yang memanfaatkan semua kandungan gizi ubi kayu, termasuk pati dan seratnya (Djuwardi 2011).

Ubi jalar juga merupakan salah satu bahan pangan lokal yang memiliki produksi dan produktivitas yang tinggi di Indonesia. Menurut data BPS (2012), produksi ubi jalar pada tahun 2011 adalah 2.196.033 ton/tahun dan produktivitasnya sebesar 123,29 kwintal per hektar. Salah satu produk turunan ubi jalar adalah tepung ubi jalar.

Penderita gizi kurang mengalami kekurangan energi dan protein. Balita penderita gizi kurang membutuhkan makanan yang mengandung energi dan protein yang tinggi sehingga diperlukan biskuit dengan kandungan energi dan protein yang tinggi. Oleh karena itu, digunakan bahan pangan dengan kandungan energi yang tinggi berupa tepung ubi kayu dan tepung ubi jalar sebagai pensubstitusi tepung terigu yang merupakan salah satu sumber energi dalam pembuatan biskuit.

Tepung ubi kayu dan tepung ubi jalar adalah bahan pangan yang memiliki kandungan energi yang tinggi. Menurut Daftar Komposisi Bahan Makanan atau


(22)

DKBM dalam Depkes (1981 & 2007), kandungan energi tepung ubi kayu adalah 363 kkal per 100 gram bahan pangan. Adapun kandungan energi tepung ubi jalar menurut Food Composition Table for use in East Asia dalam FAO (2011) adalah 339 kkal per 100 gram.

Tepung ubi kayu dan ubi jalar meskipun memiliki kandungan energi yang tinggi, namun memiliki kandungan protein yang rendah. Menurut Daftar Komposisi Bahan Makanan atau DKBM dalam Depkes (1981 & 2007), kandungan protein tepung kasava adalah 1,1 gram per 100 gram bahan pangan. Adapun kandungan protein tepung ubi jalar menurut Food Composition Table for use in East Asia dalam FAO (2011) adalah 2,85 gram per 100 gram. Oleh karena itu, diperlukan tambahan bahan pangan lain untuk meningkatkan kandungan protein biskuit. Pada penelitian ini, bahan pangan yang digunakan untuk meningkatkan kandungan protein biskuit adalah isolat protein kedelai.

Isolat protein kedelai adalah bentuk protein yang paling murni karena minimal mengandung 90% protein berdasarkan berat kering (Astawan 2009). Jenis protein yang dipilih dalam pembuatan biskuit adalah isolat protein kedelai karena sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibanding konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai. Hal ini dikarenakan isolat protein kedelai adalah suatu produk berbentuk tepung halus yang hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak (Koswara 1995).

Anak yang mengalami masalah kurang gizi biasanya mengalami kekurangan mineral besi dan seng dalam tingkat yang berat, sehingga diperlukan intervensi untuk mengatasi masalah kekurangan mineral besi dan seng melalui penambahan dalam bahan makanan yang dikonsumsinya (fortifikasi). Pada penelitian ini, digunakan mutivitamin mineral dengan merek gizikita untuk meningkatkan kandungan besi dan seng pada biskuit. Gizikita adalah suplemen multivitamin dan mineral untuk anak berusia 2-5 tahun (Sarihusada 2012). Mineral besi dan seng yang terkandung di dalam gizikita tinggi karena dalam setiap sachet (5 g) gizikita mampu memenuhi 50% AKG.

Penggunaan mineral besi dan seng secara bersamaan dapat menyebabkan interaksi yang pada akhirnya menyebabkan penurunan bioavailabilitas salah satu dari mineral tersebut sehingga fortifikasi tidak mencapai sasaran (Kustiyah et al. 2010). Oleh karena itu, mineral besi dan seng perlu dimikroenkapsulasi sebelum difortifikasi ke biskuit agar fortifikasi kedua mineral tersebut dapat lebih mencapai sasaran karena molekul mineral akan


(23)

tersalut oleh bahan pengisi sehingga interaksi kedua mineral tersebut dapat dikurangi. Selain itu, mikroenkapsulasi juga dapat mengurangi bau tidak sedap yang timbul karena penggunaan mineral besi (Kustiyah et al. 2010).

Multivitamin dan mineral dalam gizikita berada dalam bentuk mikrokapsul sehingga dapat dicampurkan ke dalam makanan atau minuman tanpa mengubah rasa. Berdasarkan alasan-alasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan formulasi biskuit yang disubstitusi oleh tepung ubi kayu dan ubi jalar dengan penambahan isolat protein kedelai serta multivitamin mineral (gizikita) untuk balita gizi kurang.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat formula biskuit yang disubstitusi tepung ubi kayu dan ubi jalar dengan penambahan isolat protein kedelai serta multivitamin mineral sebagai makanan tambahan untuk balita gizi kurang.

Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk:

1. Mempelajari pembuatan tepung ubi kayu dan ubi jalar 2. Membuat formula biskuit balita gizi kurang (BGK)

3. Menguji daya terima serta menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penilaian organoleptik

4. Menganalisis gross energy, sifat fisik, dan sifat kimia biskuit formula terpilih dan kontrol

5. Menganalisis keberadaan perbedaan gross energy, sifat fisik, dan sifat kimia antara biskuit formula terpilih dan kontrol

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif solusi dalam menanggulangi masalahan gizi kurang pada balita di Indonesia melalui pengembangan produk biskuit. Produk biskuit tersebut disubstitusi dengan tepung ubi kayu dan ubi jalar dengan penambahan isolat protein kedelai serta multivitamin mineral yang tinggi energi, protein, besi, dan seng.


(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Gizi Kurang

Gizi kurang adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya asupan zat gizi makro dan mikro (vitamin dan mineral) dalam jangka waktu lama (Kustiyah et al. 2010). Berdasarkan penelitian Widya (2012), rata-rata konsumsi energi dalam sehari pada balita gizi kurang di Kabupaten Sukabumi sebesar 706±188,7 Kal dan tingkat kecukupan energinya sebesar 45,55%. Adapun rata-rata konsumsi proteinnya dalam sehari sebesar 17,3±4,3 g dan tingkat kecukupan proteinnya sebesar 44,36%. Menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat (2006), seorang anak disebut menderita gizi kurang jika hasil penilaian status gizi secara antropometri (BB/U, TB/U, dan BB/TB) menunjukkan -2 sampai -3 SD. Adapun jika dinilai secara klinis, anak tersebut tampak kurus. Menurut Kustiyah et al. (2010), anak gizi kurang biasanya kekurangan energi protein (KEP), menderita anemi gizi besi (AGB), dan kekurangan mineral seng.

Kurang Energi Protein (KEP) adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Balita adalah salah satu golongan yang rawan kekurangan gizi, termasuk KEP. Penyebab KEP digolongkan menjadi dua, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung berupa faktor makanan yang tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi dan protein serta faktor infeksi. Adapun penyebab tidak langsung berupa ketahanan pangan yang rawan di keluarga, pola pengasuhan anak yang kurang baik, pelayanan kesehatan yang kurang dapat dijangkau, dan lingkungan yang tidak sehat (Soekirman 2000).

Pada gizi kurang, KEP berdampak pada penurunan status gizi anak dari bergizi baik atau normal menjadi bergizi kurang (Soekirman 2000). Keadaan gizi kurang menunjukkan kejadian tubuh pendek (stunting) tingkat sedang dan pelisutan tubuh (wasting) tingkat sedang. Stunting tingkat sedang ditunjukkan dengan tinggi badan menurut usia (BB/U) -2 sampai -3 SD. Adapun wasting tingkat sedang ditunjukkan dengan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) -2 sampai -3 SD (Gibney et al. 2009).

Berdasarkan cut off point Depkes (1996), prevalensi balita gizi kurang digolongkan menjadi bebas masalah kesehatan masyarakat (<5%), masalah kesehatan masyarakat kategori ringan (5 - 9,9%), masalah kesehatan masyarakat kategori sedang (10 – 19,9%), dan masalah kesehatan masyarakat


(25)

kategori berat (≥ 20%). Konsekuensi dari KEP adalah pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat pada anak-anak (Hull & Johnston 2008). Bahkan menurut Soekirman (2000), KEP berdampak terhadap kematian anak.

Anak yang mengalami masalah kurang gizi biasanya mengalami kekurangan mineral besi dan seng dalam tingkat yang berat. Keadaan kurang besi terjadi secara perlahan-lahan dan berlanjut melewati beberapa tingkatan sebelum sampai kepada anemi (Kustiyah et al. 2010). Anemi Gizi Besi (AGB) adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan cadangan besi yang sangat parah di dalam hati sehingga jumlah hemoglobin darah menurun di bawah normal (Soekirman 2000).

Prevalensi AGB ditentukan oleh kadar hemoglobin dalam darah. Titik cut off point kadar hemoglobin darah digunakan untuk mendefinisikan anemia yang berbeda menurut usia (Gibney MJ et al. 2009). Anak yang berumur 6 bulan sampai 5 tahun dinyatakan menderita AGB jika kadar hemoglobinnya kurang dari 11 gram/dl (Soekirman 2000). Berdasarkan cut off point Depkes (1996), prevalensi anemi balita digolongkan menjadi masalah ringan (<15%), masalah sedang (15 – 40%), dan masalah berat (≥ 40%). Menurut Soekirman (2000), AGB berdampak terhadap keluhan fisik (cepat lelah), kematian bayi, keterlambatan pertumbuhan fisik anak, keterbelakangan perkembangan mental dan motorik, serta gangguan perilaku sosial dan emosional anak.

Menurut Soekirman (2000), masalah kekurangan mineral seng atau defisiensi zinc (Zn) merupakan masalah zat gizi mikro yang termasuk pendatang baru dalam perkembangan ilmu gizi. Menurut Gibney MJ et al. (2009), prevalensi defisiensi Zn tidak diketahui, tetapi keadaan ini lazim ditemukan dalam populasi yang mengonsumsi sedikit daging dan memakan makanan dengan kandungan fitat serta serat yang tinggi sehingga mengurangi bioavailabilitas Zn. Pola makan seperti ini sangat sering dijumpai di banyak negara berkembang. Zn juga hilang dari tubuh ketika terjadi penyakit diare. Kebutuhan Zn meningkat selama periode pertumbuhan yang cepat seperti pada bayi. Oleh karena itu, kemungkinan terdapatnya defisiensi Zn pada banyak negara berkembang sangat besar karena anak-anak kecil menunjukkan pola makan yang buruk dan penyakit diare yang sering terjadi (Soekirman 2000).

Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)

Ubi kayu merupakan tanaman tropis yang termasuk ke dalam divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), subdivisi Angiospermae (berbiji tertutup),


(26)

kelas Dicotyledonae (biji berkeping dua), ordo Euphorbiales, dan famili Euphorbiaceae (Deptan 2011). Menurut sejarah botani, ubi kayu berasal dari Brazil kemudian menyebar ke Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok, dan beberapa negara yang terkenal daerah pertaniannya. Ubi kayu masuk ke Indonesia pada abad ke 18 dengan mendatangkan plasma nutfah dari Suriname (Rukmana R 1997). Ubi kayu di Indonesia memiliki beberapa nama daerah, yaitu ketela pohon, singkong, ubi jenderal, ubi inggris, telo puhung, boled, bodin, telo jenderal, dan kaspe (Jawa); sampeu, huwidangdeur, dan huwi jenderal (Sunda); kasbek (Ambon); serta ubi perancis (Padang).

Tanaman ubi kayu memiliki tinggi 1,5 – 4 m. Batangnya tumbuh tegak beruas, berkayu, dan berbuku-buku. Warna batangnya hijau muda, setelah tua berubah menjadi putih kelabu atau hijau kelabu. Daunnya menjari, tumbuh di sepanjang batang dengan tangkai yang agak panjang. Umbinya mempunyai warna kulit coklat, kelabu, atau kombinasi dari kedua warna tersebut. Bentuk umbi antara besar memendek atau kecil memanjang. Daging umbi berwarna putih atau kuning (Wargiono 1979 dalam Kadarisman & Sulaeman 1992). Bentuk umbi kayu dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ubi kayu

Tanaman ubi kayu umumya ditanam di daerah-daerah berlahan kering dengan sistem pengairan tadah hujan (Soetanto 2008). Tanaman ini memiliki berbagai macam keunggulan, yaitu: masih dapat tumbuh di daerah yang kurang subur bahkan tandus, pertumbuhannya sangat baik, dan hasilnya cukup melimpah (Kadarisman & Sulaeman 1992). Menurut Soetanto (2008), Indonesia termasuk salah satu negara utama penghasil ubi kayu setelah Brazil dan Zaire. Bahkan Indonesia merupakan negara utama penghasil ubi kayu di kawasan Asean. Menurut Deptan (2012), Provinsi Lampung adalah daerah penghasil ubi kayu terbesar (24%), diikuti Jawa Timur (20%), Jawa Tengah (19%), Jawa Barat (11%), Nusa Tenggara Timur (4,5%), dan DI Yogyakarta (4,2%).

Ubi kayu mengandung senyawa kimia yang tergolong cyanogenic glycoside yang disebut linamarin. Senyawa ini dapat menghasilkan HCN yang dikenal dengan sebutan racun biru karena dapat menyebabkan gejala keracunan dengan keadaan tubuh biru-biru dan pucat karena kekurangan oksigen


(27)

(Kadarisman & Sulaeman 1992). Menurut Kadarisman & Sulaeman (1992), ubi kayu dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan kandungan HCN-nya, yaitu:

a. Jenis yang tidak beracun (ubi kayu manis)

Kandungan HCN ubi kurang dari 50 mg/kg umbi basah kupas. Jenis ini aman untuk dikonsumsi secara langsung.

b. Jenis setengah beracun (ubi kayu agak pahit)

Kandungan HCN ubi antara 50-100 mg/kg umbi basah kupas. Jenis ini tidak disarankan untuk dikonsumsi secara langsung.

c. Jenis sangat beracun (ubi kayu pahit)

Kandungan HCN ubi lebih dari 100 mg/kg umbi basah kupas. Jenis ini dilarang untuk dikonsumsi secara langsung, namun harus diolah dulu atau dibuat produk olahan lain yang dalam prosesnya dapat memungkinkan terlarutnya atau hilangnya racun sianida tersebut.

Hampir semua bagian dari ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Namun, hasil utama ubi kayu adalah umbinya (Rukmana & Yuniarsih 2001). Umbi ubi kayu umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 6-12 bulan. Setiap tanaman umumnya dapat menghasilkan 5-25 kg umbi, tergantung jenis dan tingkat kesuburan tanahnya (Soetanto 2008). Menurut Kadarisman & Sulaeman (1992), umbi ubi kayu merupakan makanan sumber energi (kalori) dan karbohidrat. Sayangnya umbi ketela segar hanya dapat disimpan 4-5 hari. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya pengolahan umbi ubi kayu menjadi berbagai macam produk olahan agar dapat memperpanjang daya simpannya dan meningkatkan harga jualnya. Contoh produk olahan umbi ubi kayu adalah tepung ubi kayu, tepung gaplek, dan tepung tapioka (Soetanto 2008).

Tepung Ubi Kayu

Ubi kayu segar dapat diolah menjadi tiga macam bentuk tepung, yaitu tepung ubi kayu (cassava flour), tepung gaplek (cassava chip flour), dan tepung tapioka (tapioca starch) (Kadarisman & Sulaeman 1992). Menurut Soetanto (2008), tepung ubi kayu (tepung kasava) merupakan tepung kering berwarna putih yang diolah dari ubi kayu segar melalui beberapa tahap pemrosesan. Tepung ubi kayu dibuat tanpa adanya penambahan bahan pengawet, bahan pewarna, ataupun bahan perasa sehingga tepung ubi kayu memiliki rasa gurih dan memiliki aroma khas ketela asli. Daerah penghasil utama tepung ubi kayu di Indonesia adalah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Tepung ubi kayu


(28)

memiliki beberapa syarat mutu yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2997-1992), seperti yang tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Syarat mutu tepung ubi kayu menurut SNI 01-2997-1992

No Uraian Satuan Persyaratan

1 2 3 4

1 Keadaan

1.1 Bau Khas singkong

1.2 Rasa Khas singkong

1.3 Warna Putih

2 Benda-benda asing Tidak boleh ada

3 Derajat putih %, b/b Minimal 85

(BaSO4) = 100% Maksimal 1,5

4 Abu %, b/b Maksimal 1,5

5 Air %, b/b Maksimal 12

6 Derajat asam ml N NaOH/100 g Maksimal 3

7 Asam sianida mg/kg Maksimaln 40

8 Kehalusan % (lolos ayakan 80 mesh) Minimal 90

9 Pati %, b/b Minimal 75

10 Bahan tambahan makanan Sesuai SNI 01-0222-1995

11 Cemaran logam  

11.1 Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 1,0 

11.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maksimal 10,0

11.3 Seng (Zn) mg/kg Maksimal 40,0 

11.4 Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 0,05 

12 Arsen (As) mg/kg Maksimal 0,5 

13 Cemaran mikroba  

13.1 Angka lempeng total -koloni/gram Maksimal 1,0x106

13.2 E. Coli APM/gram Maksimal< 3

12.3 Kapang -koloni/gram Maksimal 1,0x104

Sumber: DSN (1992)

Pengolahan ubi kayu menjadi tepung ubi kayu merupakan alternatif utama dengan prospek yang cukup baik. Hal ini dikarenakan pengolahannya cukup sederhana, tidak mudah rusak, dapat disimpan lebih lama, memberikan nilai tambah yang lebih tinggi, dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, serta berfungsi sebagai subtitusi tepung terigu (Madethen 1989 dalam Kadarisman & Sulaeman 1992). Tabel 2 menunjukkan komposisi zat gizi tepung ubi kayu per 100 gram bahan.

Tabel 2 Komposisi zat gizi tepung ubi kayu

No Komponen Jumlah

1 Energi 363 Kal

2 Protein 1,10 g

3 Lemak 0,50 g

4 Karbohidrat 88,20 g

5 Kalsium (Ca) 84,00 g

6 Fosfor (P) 125,00 g

7 Besi (Fe) 1,00 g

8 Vitamin B1 0,04 g

9 Air 9,10 g


(29)

Tepung ubi kayu bahan pangan yang memiliki kandungan energi yang tinggi. Menurut Daftar Komposisi Bahan Makanan atau DKBM dalam Depkes (1981 & 2007). Kandungan energi tepung ubi kayu adalah 363 kkal per 100 gram bahan pangan. Tepung ubi kayu juga merupakan sumber karbohidrat yang cukup baik karena per 100 gram bahan pangan terkandung karbohidrat sebesar 82 g. Dibandingkan dengan sumber karbohidrat lain (beras, jagung, gandum), tepung ubi kayu mempunyai kandungan serat yang cukup tinggi dan kandungan gula yang rendah (Soetanto 2008).

Tepung ubi kayu hanya sedikit mengandung protein dan tidak mengandung protein gluten yang selalu dibutuhkan dalam proses pengembangan adonan mie, roti, kue, dan biskuit. Tidak adanya gluten tersebut mengakibatkan produk kue dan biskuit menjadi keras atau kaku. Oleh karena itu, pemanfaatan tepung ubi kayu untuk produk pangan biasanya dikombinasikan dengan tepung terigu atau tepung lain yang dikenal sebagai tepung campuran atau composite flour (Wirakartakusumah et. al 1989 dalam Marlina 2001). Selain itu, penggunaan ubi kayu sebagai bahan pangan utama sebaiknya dikombinasikan dengan bahan pangan lain yang banyak mengandung protein seperti kacang-kacangan (Marlina 2001).

Ubi Jalar (Ipomoea batatas)

Ubi jalar termasuk ke dalam divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), subdivisi Angiospermae (berbiji tertutup), kelas Dicotyledonae (biji berkeping dua), ordo Convolvulales, dan famili Convolvulaceae (suku kankung-kangkungan) (Juanda & Cahyono 2000). Ubi jalar berasal dari daerah tropik dan subtropik Amerika kemudian menyebar ke daerah tropik dan subtropik lainnya (Kadarisman & Sulaeman 1992). Menurut sejarah botani, ubi jalar berasal dari Amerika bagian tengah kemudian menyebar ke Spanyol melalui Tahiti, Kepulauan Guam, Fiji, dan Selandia Baru. Ubi jalar dibawa masuk ke Indonesia oleh orang Spanyol pada abad ke 16 (Rukmana 1997). Menurut Suprapti (2003), ubi jalar di Indonesia memiliki beberapa nama daerah, yaitu telo rambat (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan huwi bolet (Jawa Barat)

Tanaman ubi jalar memiliki batang menjalar 1-5 meter, berdiameter 3-10 mm, dan dalamnya bergetah. Pada batang tumbuh daun-daun dengan warna dan bentuk yang bermacam-macam. Pada ketiak daun tumbuh beberapa akar yang sifatnya bisa berubah dan membesar menjadi umbi. Bentuk dan


(30)

penampakan bunga mirip dengan bunga morning glories (Kadarisman & Sulaeman 1992).

Umbi tanaman ubi jalar sebenarnya adalah akar yang membesar dan menyimpan cadangan makanan bagi tanaman. Bentuknya antara lonjong sampai agak bulat. Warna kulit umbi bervariasi, ada yang putih kotor, kuning, merah muda, jingga, dan ungu tua. Warna daging juga bervariasi, ada yang putih, krem, merah muda, kekuning-kuningan, jingga, dan keungu-unguan. Hal ini tergantung pada jenis dan banyaknya pigmen yang terdapat di dalam kulit. Pigmen yang terdapat dalam umbi ubi jalat adalah karotenoid dan antosianin (Steinbaurer & Kushman 1971 dalam Kadarisman & Sulaeman 1992). Bentuk umbi ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Ubi jalar

Tanaman ubi jalar paling baik ditanam di tanah yang tingkat kesuburannya sedang. Tanaman ini memiliki berbagai macam keunggulan, yaitu: dapat tumbuh di sembarang tanah dan sembarang tempat, dapat dihasilkan dalam waktu relatif singkat (waktu tanam cepat), dan hasilnya melimpah (Kadarisman & Sulaeman 1992 serta Suprapti 2003). Indonesia merupakan negara produsen ubi jalar ketiga di dunia setelah RRC dan Vietnam (Woolfe dalam Deptan 2012b). Sentra produksi utama ubi jalar di Indonesia adalah Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, NTT, dan Papua (BPS 2008 dalam Deptan 2012b).

Bagian dari ubi jalar yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan adalah umbinya (Purwono & Purnamawati 2007). Menurut Kadarisman & Sulaeman (1992), umbi ubi kayu umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 4-6 bulan bagi ubi jalar berumur pendek dan 8-9 bulan bagi ubi jalar berumur panjang. Ubi jalar mempunyai potensi yang besar sebagai bahan pangan sumber karbohidrat (Kadarisman & Sulaeman 1992). Meskipun ubi jalar adalah sumber karbohidrat, namun ubi jalar memiliki indeks glikemik yang rendah (Marwati 2011).

Sampai saat ini pemanfaatan ubi jalar masih terbatas sebagai bahan pangan yang dikonsumsi secara langsung. Potensi ubi jalar dapat lebih


(31)

dikembangkan lagi apabila diolah menjadi bahan setengah jadi atau bahan baku bagi industri lain (Destialisma 2012). Pengolahan ubi jalar menjadi bahan setengah jadi, seperti tepung ubi jalar, dapat memperpanjang masa simpan dan meningkatkan nilai ekonomi (Marwati 2011). Ubi jalar sangat cocok digunakan sebagai bahan baku agroindustri tepung karena: (1) tanaman ubi jalar berumur pendek, jangka waktu penanaman sampai panen kurang lebih hanya memakan waktu 4-5 bulan; (2) jumlah produksi per hektar relatif tinggi (15-30 ton/hektar); (3) belum terlalu banyak dimanfaatkan untuk industri; (4) harga produksi relatif rendah yang akan berimplikasi pada harga jual produk rendah tetapi tetap menguntungkan petani (Destialisma 2012).

Tepung Ubi Jalar

Tepung ubi jalar merupakan hancuran ubi jalar yang dihilangkan sebagian airnya (Widjanarko 2008). Tepung ubi jalar tersebut dapat dibuat secara langsung dari ubi jalar yang dihancurkan dan kemudian dikeringkan, tetapi dapat pula dibuat dari gaplek ubi jalar yang dihaluskan (digiling) dengan tingkat kehalusan ± 80 mesh (Suprapti 2003). Tepung ubi jalar memiliki beberapa syarat mutu yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia atau SNI (1996) dalam Widjanarko (2008), seperti yang tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat mutu tepung ubi jalar menurut SNI 1996

No Uraian Satuan Persyaratan

1 2 3 4

1 Abu %, b/b Maksimal 2

2 Air %, b/b Maksimal 15

3 Derajat asam ml N NaOH/100 g Maksimal 4

4 Pati %, b/b Minimal 55

5 Serat %, b/b Maksimal 3

Sumber: Widjanarko (2008)

Pembuatan tepung ubi jalar adalah salah satu jenis pengolahan yang penting (Kadarisman & Sulaeman 1992). Menurut Wiriano et al. (1985) dalam Kadarisman & Sulaeman (1992), pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar dapat mengurangi jumlah umbi yang rusak atau tercecer sehingga dapat menambah persediaan pangan, khususnya karbohidrat, serta menunjang penganekaragaman jenis serta mutu gizi masyarakat. Tepung ubi jalar bersifat stabil, tahan lama disimpan, serta praktis dalam pengangkutan dan penyimpanan (Kadarisman & Sulaeman 1992). Menurut penelitian Yusuf et al. (1985) dalam Kadarisman & Sulaeman (1992), tepung ubi jalar yang disimpan selama 9 bulan masih berwarna putih, tanpa ditumbuhi jamur, dan mempunyai rasa yang normal. Selain itu, tepung ubi jalar memiliki pangsa pasar yang jauh lebih besar karena


(32)

dapat diperdagangkan antarprovinsi bahkan sebagai komoditas ekspor (Destialisma 2012).

Tabel 4 menunjukkan komposisi zat gizi tepung ubi jalar per 100 gram bahan.

Tabel 4 Komposisi zat gizi tepung ubi kayu

No Komponen Jumlah

1 Energi* 339 Kal

2 Protein 2,85 g

3 Lemak 0,45 g

4 Karbohidrat 79,36 g

5 Kalsium (Ca)* 50,00 g

6 Fosfor (P)* 95,00 g

7 Besi (Fe)* 2,00 g

8 Vitamin B1* 0,24 g

9 Air 4,50 g

10 Abu 2,05 g

Sumber: Anwar, Sulaeman, & Setiawan (1993)

*Food composition table for use in East Asia dalam FAO (2012)

Tepung ubi jalar memiliki kandungan energi yang tinggi, yaitu 339 g per 100 gram bahan pangan (Food composition table for use in East Asia dalam FAO 2012). Berdasarkan penelitian Anwar et al. (1993), tepung ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang cukup baik karena per 100 gram bahan pangan terkandung karbohidrat sebesar 79,36 g. Akan tetapi kandungan proteinnya rendah, yaitu 2,85 g per 100 gram bahan pangan (Anwar et al. 1993).

Pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar merupakan salah satu cara untuk membuka peluang pemanfaatan ubi jalar secara lebih luas dan bervariasi. Bahan pangan dalam bentuk tepung biasanya lebih mudah dan lebih fleksibel penggunaannya. Bentuk ini dapat diolah menjadi beranekaragam bahan pangan atau produk lainnya (Kadarisman & Sulaeman 1992). Tepung ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bagi pembuatan kue kering, kue basah, mie, bahan aditif, dan lain-lain (Destialisma 2012).

Berdasarkan penelitian Anwar et al. (1993), tepung ubi jalar dapat mensubtitusi tepung terigu dalam pembuatan biskuit dan cookies sampai 80%. Akan tetapi, dalam pengembangan produk kaya protein yang bergizi tinggi harus diupayakan untuk mencampur tepung ubi jalar dengan sumber lain yang tinggi protein mengingat kandungan proteinnya yang rendah. Disamping itu, nutrifikasi mineral-mineral yang kandungannya rendah atau tidak ada sama sekali perlu dilakukan untuk melengkapi kandungan gizinya (Kadarisman & Sulaeman 1992).


(33)

Isolat Protein Kedelai

Isolat protein kedelai (IPK) adalah suatu produk berbentuk tepung halus yang hampir bebas dari hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak (Astawan 2009). Sebagian besar komponen penyusun kedelai dihilangkan sehingga tinggal protein (Winarsi 2010). IPK merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, yaitu minimal mengandung 90% protein berdasarkan berat kering (Astawan 2009).

IPK dibuat dengan cara melarutkan protein tepung kedelai dengan larutan basa encer pada pH 7-9 kemudian membuang endapan tidak larutnya dengan cara pemusingan atau penyaringan. Ekstrak yang didapat kemudian diasamkan sampai pH-nya mencapai 4,5 agar terjadi pengendapan protein. Endapan protein ini selanjutnya dinetralkan dengan basa dan dikeringan dengan pengering semprot (spray dryer) sampai diperoleh bentuk tepung (Astawan 2009).

Sifat-sifat fungsional IPK jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai (Astawan 2009). IPK kaya protein, berwarna agak mengkilat, dan memiliki flavour ringan. IPK memiliki flavour yang lebih netral dibandingkan konsentrat protein kedelai karena dalam pembuatannya semua komponen karbohidrat dihilangkan sehingga flavour kedelai juga hilang.

IPK merupakan protein kedelai yang serbaguna. IPK dapat digunakan secara luas dalam produk pangan pabrikan maupun aplikasinya dalam pangan fungsional (Winarsi 2010). IPK baik sekali digunakan dalam formulasi makanan karena dapat berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi. Selain itu, IPK dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan, tekstur, serta flavour produk. Penggunaan IPK sangat luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti, dan biskuit (Koswara 1995).

IPK memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi karena protein kedelai bersifat hidrofilik (suka air) dan mempunyai celah-celah polar seperti gugus karboksil dan amino yang dapat mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya serap IPK dipengaruhi oleh pH makanan. Daya serap IPK sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods) karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan memudahkan penanganannya. Selain itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara 1995).


(34)

Gizikita

Gizikita merupakan produk suplemen multivitamin mineral untuk anak berusia 2-5 tahun yang diproduksi oleh PT Sari Husada. Gizikita dibuat untuk membantu melengkapi gizi anak setiap hari. Suplemen ini dibuat dari protein whey, maltodekstrin, vitamin, dan mineral (Sari Husada 2011). Suplemen ini mengandung zat besi, kalsium, seng, yodium, selenium, vitamin (A, D, E, K, C, B1, B2, B3, B6, B12), asam folat, asam pantotenat, natrium, protein, dan karbohidrat

Gizikita tersedia dalam kemasan sachet 5 gr (Sari Husada 2011). Dalam setiap sachetnya mampu memenuhi 50% AKG zat besi, seng, yodium, dan kalsium; 45% AKG vitamin A, D, dan E; 40% AKG vitamin C, K, B1, B3, B6, B12, asam folat, asam pantotenat, dan selenium; serta 15% AKG vitamin B2. Cara mengonsumsi gizikita adalah dengan cara ditaburkan atau dicampurkan ke makanan ataupun minuman. Meskipun gizikita dicampurkan ke dalam makanan ataupun minuman tapi tidak akan mengubah rasa (Sari Husada 2011).

Mineral

Mineral merupakan bahan inorganik (unsur abu) yang mempunyai fungsi fisiologis di dalam tubuh. Mineral dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu (Kustiyah & Marliyati 2008 dalam Nasoetion & Damayanthi 2008):

a. Mineral makro

Mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah ≥ 100 mg per hari. Mineral makro terdapat ≥ 0,01% di dalam tubuh. Mineral makro meliputi kalsium, fosfor, magnesium, natrium, kalium, dan klor.

b. Mineral mikro

Mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah < 100 mg per hari. Mineral mikro diperlukan tubuh < 0,01% dari berat badan total. Mineral mikro diantaranya meliputi besi dan seng.

Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 1982 dalam Dewi 2011). Kandungan mineral yang terkandung dalam bahan makanan dan minuman dapat berkurang atau hilang karena proses pengolahan. Proses pengolahan seperti canning, boiling, steaming, blanching,


(35)

dan baking merupakan proses-proses yang dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan mineral dari bahan pangan (Smith 1989 dalam Alfitra 2009).

Zat Besi (Fe)

Zat besi adalah salah satu zat gizi penting yang terdapat pada setiap sel hidup (Soekirman 2000).Tubuh manusia terdiri dari 3-4 gram zat besi sebagai bagian dari protein yang bernama hemoglobin yang terdapat di sel darah merah (lebih dari 65%) dan myoglobin di sel-sel otot (Soekirman 2000 dan Devi 2010). Tempat penyimpanan atau cadangan utama zat besi adalah hati. Zat besi yang disimpan di hati dikirim ke sel darah merah melalui sumsum tulang belakang (Soekirman 2000). Jumlah besi dalam tubuh manusia berhubungan dengan berat badan serta kondisi fisiologi seperti usia, jenis kelamin, kehamilan, dan masa pertumbuhan.

Zat besi berfungsi membantu hemoglobin mengangkut oksigen, membantu myoglobin menyimpan oksigen, membantu berbagai macam enzim dalam mengikat oksigen untuk pembakaran (membantu metabolisme energi sebagai kofaktor enzim-enzim), berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh, dan pelarut obat-obatan (Soekirman 2000 dan Almatsier 2006). Angka kecukupan zat besi bagi anak yang berumur 4-5 tahun adalah 8 mg/hari (WNPG 2004 dalam Kustiyah et al. 2010). Bila anak kekurangan zat besi atau menderita AGB dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, menurunkan kemampuan intelektual dan prestasi belajar, menurunkan kekebalan tubuh (Kustiyah et al. 2010).

Zat besi diperoleh dari luar tubuh berupa makanan atau suplemen. Zat besi dalam makanan ada yang berbentuk zat besi heme dan zat besi nonheme. Zat besi heme terdapat dalam daging, ayam, dan ikan. Adapun dan zat besi nonheme terdapat dalam susu, telur, beras, sereal, sayuran, dan buah-buahan. Dalam memilih makanan sumber zat besi, perlu diperhatikan jumlahnya yang terdapat dalam makanan, daya serap, dan nilai biologisnya. Makanan yang mengandung banyak zat besi yang mudah diserap dan nilai biologinya tinggi adalah makanan dari hewan (hati, daging, ayam, dan ikan). Zat besi heme lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan zat besi nonheme.

Daya serap dan nilai biologi zat besi makanan dipengaruhi oleh jumlah kandungan zat besi, bentuk kimia-fisik zat besinya, adanya makanan atau zat lain yang memacu atau menghambat absorbsi zat besi, dan cara pengolahan makanan. Zat yang aktif memacu penyerapan zat besi (enhancers) adalah


(36)

vitamin C, asam sitrat, asam malat, asam tartarat, dan asam amino cistein. Adapun zat yang aktif menghambat penyerapan zat besi (inhibitor) adalah pitat, polipenol, kalsium, dan fosfat (Soekirman 2000).

Seng (Zn)

Total seng dalam tubuh kita adalah 1,5 – 2,5 g. Seng sebagian besar ada dalam tulang dan tidak dapat digunakan untuk metabolisme (Linder 2006 dalam Taufiqurrahman 2009). Almatsier (2004) merincikan lagi bahwa seng sebagian besar berada di dalam hati, pankreas, ginjal, otot dan tulang. Jaringan yang banyak mengandung seng adalah bagian mata, kelenjar prostat, spermatazoa, kulit rambut, dan kuku.

Seng berperan penting dalam pembentukan enzim, pertumbuhan, fungsi imun, kematangan seksual, pertumbuhan rambut, dan mempercepat penyembuhan luka, gangguan perilaku, serta depresi (Smith 1988 dalam Kustiyah et al. 2010). Selain itu, seng diperlukan untuk sintesa DNA, pergantian sel, dan sintesa protein (Firmansyah 2004 dalam Taufiqurrahman 2009). Linder (2006 dalam Taufiqurrahman 2009) juga menyebutkan bahwa seng juga berperan dalam reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Studi yang dilakukan pada anak-anak telah membuktikan peranan penting dari seng dalam hubungannya dengan fungsi meningkatkan pertumbuhan pada anak yang stunting dan gizi buruk (Brown 2002 diacu dalam Taufiqurrahman 2009).

Angka kecukupan seng bagi anak yang berumur 4-5 tahun adalah 9,7 mg/hari (WNPG 2004 dalam Kustiyah et al. 2010). Kekurangan seng dapat menyebabkan terganggunya pembentukan enzim tertentu yang berperan dalam metabolisme zat gizi, seperti dalam metabolisme protein dan lemak, sehingga akan menghambat pertumbuhan (Smith 1988 dalam Kustiyah et al. 2010).

Makanan sumber seng adalah daging tanpa lemak (dada ayam & sirloin), seafood (kerang, kepiting, tiram, ikan tuna, dan kacang-kacangan (Wirakusumah 2004). Penyerapan seng makanan berkisar antara 14-41% (Solomon 1985 dalam Kustiyah et al. 2010). Adapun Prasad (1985 dalam Kustiyah et al. 2010) menyatakan bahwa penyerapan seng berkisar antara 20-30%. Ada beberapa faktor yang dapat membantu dan menghambat penyerapan seng. Faktor yang dapat membantu penyerapan seng diantaranya adalah zat yang berbobot molekul tinggi seperti metionin, histidin, sistein, dan sitrat (Sanstead & Evan 1984 dalam Kustiyah et al. 2010). Faktor penghambat penyerapan seng dibagai


(37)

menjadi faktor penghambat organik dan anorganik. Faktor penghambat organik penyerapan seng adalah fitat, hemiselulosa, lignin, dan oksalat (Sanstead & Evan 1984 dan Prasad 1985 dalam Kustiyah et al. 2010). Adapun faktor penghambat anorganiknya adalah kadmium, tembaga, fosfat, kalsium, dan besi nonheme (Sanstead & Evan 1984 dalam Kustiyah et al. 2010).

Penelitian tentang interaksi antara mineral besi dan seng sudah banyak dilakukan dan beberapa peneliti menemukan bahwa terjadi interaksi antara keduanya selama pencernaan (Kustiyah et al. 2010). Penyerapan seng berkompetisi dengan penyerapan zat besi (Linder 2006 dalam Taufiqurrahman 2009). Dosis tinggi zat besi yang diberikan akan mempengaruhi penyerapan seng. Pada rasio besi : seng sebesar 40:1 menunjukkan bahwa penyerapan seng dapat berkurang sampai 40%. Konsumsi besi dan seng yang tidak seimbang dapat berakibat pada berkurangnya penyerapan seng dan lebih lanjut dapat menyebabkan terjadinya kekurangan seng yang nyata (Kustiyah et al. 2010).

Makanan Balita

Anak balita adalah anak-anak yang berumur di bawah lima tahun. Anak balita merupakan salah satu sasaran utama program gizi (Wiyati 2004 dalam Mervina 2009). Semakin meningkat usia anak balita, semakin meningkat pula kebutuhan akan zat gizinya. Anak balita dibagi ke dalam empat golongan umur berdasarkan angka kecukupan zat gizinya. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk balita dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Angka kecukupan gizi balita (per orang per hari)

Zat gizi Golongan umur

0-6 bulan 7-11 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun

Energi (Kal) 550,0 650,0 1000,0 1550,0

Protein (g) 10,0 16,0 25,0 39,0

Vitamin A (RE, µg) 375,0 400,0 400,0 450,0

Tiamin (mg) 0,2 0,4 0,5 0,8

Riboflavin (mg) 0,3 0,4 0,5 0,6

Piridoksin (mg) 0,1 0,3 0,5 0,6

Niasin (mg) 2,0 4,0 6,0 8,0

Vitamin B12 (mg) 0,4 0,5 0,9 1,2

Asam folat (mg) 65,0 80,0 150,0 200,0

Vitamin C (mg) 40,0 50,0 40,0 45,0

Kalsium (mg) 200,0 400,0 500,0 500,0

Fosfor (mg) 100,0 225,0 400,0 400,0

Besi (mg) 0,3 10,0 7,0 8,0

Seng (mg) 5,5 7,5 8,2 9,7

Iodium (µg) 90,0 120,0 90,0 120,0


(38)

Sejak usia tertentu, anak balita diberi makanan tambahan disamping ASI. Makanan tambahan adalah makanan yang diberikan untuk membantu mencukupi kebutuhan akan zat gizi yang diperlukan (Wiyati 2004 dalam Mervina 2009). FAO/WHO (1994) telah mengeluarkan petunjuk pengembangan formula makanan bagi anak balita. Komposisi zat gizi dari formula makanan tambahan untuk balita dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan balita

Zat gizi Jumlah per 100 g

Energi (Kal) 400,00

Protein (g) 15,00

Lemak (g) 10-25

Vitamin A (µg/RE) 266,70

Vitamin D (µg) 6,70

Vitamin E (mg) 3,30

Vitamin C (mg) 13,30

Tiamin (mg) 0,30

Riboflavin (mg) 0,50

Niasin (mg) 6,00

Vitamin B6 (µg) 0,60

Asam folat (µg) 33,30

Vitamin B12 (µg) 0,70

Kalsium (mg) 533,30

Besi (mg) 8,00

Seng (mg) 6,67

Sumber: FAO/WHO 1994

Biskuit

Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dengan proses pemanasan dan pencetakan (SNI 01-2973-1992 dalam DSN 1992b). Departemen Perindustrian (1990) mendefinisikan biskuit sebagai produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diijinkan. Whiteley (1971 dalam Kadarisman & Sulaeman 1992) menambahkan bahwa pengertian biskuit harus memenuhi persyaratan, yaitu: dibuat dari bahan serealia (seperti gandum, jagung, dan sebagainya), jika bahan utamanya kurang dari 60% bukan serealia maka tidak disebut biskuit, mengandung kurang lebih 5% kadar air, jika diisi atau didekantasi dengan bahan lain (seperti krim, krim gula, jelly, jam) maka kadar airnya melebihi 5%.

Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 seperti yang terdapat dalam Tabel 7.


(39)

Tabel 7 Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992

Komponen Syarat Mutu

Air Maksimum 5%

Protein Minimum 9%

Lemak Minimum 9,5%

Karbohidrat Minimum 70%

Abu Maksimum 1,5%

Logam berbahaya Negatif

Serat kasar Maksimum 0,5%

Kalori Minimum 400 Kal/100g

Jenis tepung Terigu

Bau dan rasa Normal, tidak tengik

Warna Normal

Sumber: DSN (1992b)

Menurut Charley (1982), biskuit yang bermutu baik adalah biskuit yang memiliki lapisan kulit berwarna coklat keemasan dengan tanpa adanya noda-noda coklat, bentuknya simetris, serta bagian atasnya rata dan halus. Selain itu, remah-remahnya berwarna putih hingga putih krem, terasa halus, dan lunak. Selain itu, menurut Matz dan Matz (1978), biskuit umumnya memiliki permukaan agak licin, bentuk dan ukurannya seragam, kering, renyah, ringan, serta aromanya menyenangkan.

Klasifikasi Biskuit

Biskuit dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi ataupun rendah. Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih, rasanya mengarah asin, dan relatif renyah. Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat. Adapun wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar, relatif renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga (SII 0177-90 dalam Departemen Perindustrian 1990).

Bahan-bahan Pembuat Biskuit

Bahan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk adonan yang kompak. Bahan pengikat terdiri dari tepung, susu, putih telur, dan air. Adapun bahan perapuh terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan pengembang, dan kuning telur (Matz & Matz 1978).


(40)

Tepung. Tepung merupakan komponen pembentuk struktur dan pengikat telur (Sultan 1983 dalam Kadarisman & Sulaeman 1992). Menurut Sunaryo (1985), tepung berfungsi membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya, serta mendistribusikannya secara merata. Selain pembentuk struktur, tepung juga berperan penting dalam pembentukan citarasa (Matz & Matz 1978). Matz & Matz (1978) menambahkan bahwa semua jenis tepung dapat digunakan dalam pembuatan biskuit. Menurut Vail et al. (1978), jenis tepung terigu yang cocok digunakan untuk pembuatan biskuit adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein 8%.

Susu. Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah sebagai pembentuk warna karena terjadi reaksi pencoklatan, pembentuk flavor, pembentuk aroma, penambah keempukan karena adanya laktosa, bahan pengisi, pengikat air, serta pembentuk struktur yang kuat dan poros karena adanya protein berupa kasein. Selain itu, susu dapat meningkatkan nilai gizi terutama kandungan energi biskuit karena kandungan lemak dan laktosa. Susu bubuk lebih banyak digunakan dalam pembuatan biskuit karena lebih mudah dalam penanganannya dan memiliki daya simpan yang cukup lama (Matz & Matz 1978).

Air. Fungsi air dalam pembuatan biskuit adalah untuk mengontrol kepadatan adonan serta melarutkan dan menyebarkan bahan-bahan bukan tepung secara merata agar terbentuk adonan yang mudah dicetak (Sunaryo 1985).

Telur. Menurut Matz & Matz (1978), telur dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pengemulsi yang dapat membantu mempertahankan kestabilan adonan serta meningkatkan dan menguatkan aroma, warna, dan kelembutan. Penggunaan kuning telur akan menghasilkan biskuit yang empuk dan mengembang.

Lemak. Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah (Matz & Matz 1978). Lemak juga berfungsi sebagai penghalus dan pelunak tekstur sehingga dapat terbentuk struktur biskuit yang elastis (Sunaryo 1985). Pada saat pengadukan atau pencampuran adonan, lemak akan mengelilingi terigu sehingga jaringan gluten terputus. Hal ini menyebabkan biskuit bertekstur lembut dan renyah (Husain 1993 dalam Marlina 2001). Selain itu, lemak dapat memberikan sumbangan terhadap cita rasa biskuit yang khas dan membuat biskuit cepat melunak saat di mulut (Sunaryo 1985).


(41)

Gula. Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten, pembentuk tekstur (pelembut), pembentuk flavour, pembentuk warna coklat pada biskuit melalui reaksi pencoklatan non-enzimatis (Matz & Matz 1978). Selain itu, gula juga berperan dalam memperpanjang masa simpan biskuit karena sifatnya yang higroskopis atau menahan air (Wheat Associates 1981). Gula yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat. Bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan menjadi lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras, dan rasanya akan terlalu manis (Matz & Matz 1978). Faktor waktu pemanggangan biskuit juga harus diperhatikan karena jika terlalu lama akan menyebabkan karamelisasi gula yang berlebihan sehingga penampakan biskuit akan menjadi hangus (Sunaryo 1985).

Garam. Penambahan garam dalam pembuatan biskuit dapat meningkatkan kelezatan biskuit, membantu memperkuat citarasa yang terbentuk selama pemanggangan, dan mengontrol kekuatan gluten (Vail et al. 1978). Jumlah garam yang ditambahkan biasanya sekitar 1% dari berat tepung (Matz & Matz 1978).

Bahan pengembang. Fungsi bahan pengembang (leavening agent) adalah untuk mengembangkan produk yang prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida (Manley 2000). Bahan pengembang dalam pembuatan biskuit akan membuat biskuit dapat mengembang rata selama pemanggangan, permukaan tidak pecah, renyah, meningkatkan volume biskuit, serta membuat biskuit menjadi lebih ringan dan porous karena dihasilkannya gas CO2 (Matz & Matz 1978). Bahan pengembang yang umum digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan ammonium bikarbonat. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat (Wheat Associates 1981). Fungsi baking powder dalam adonan adalah melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang dengan sempurna, menjaga penyusutan, dan menyeragamkan remah. Ammonium bikarbonat adalah suatu garam yang menguap jika dipanaskan serta melepaskan gas karbondioksida, amonia, dan air.

Uji Organoleptik

Penilaian organoleptik adalah penilaian menggunakan indera dengan kemampuan sensori. Penilaian organoleptik banyak digunakan untuk menilai mutu komoditas hasil pertanian dan makanan. Indera manusia yang sangat


(42)

umum digunakan dalam penilaian penerimaan suatu makanan adalah indera pencicip, penglihat, pembau, dan peraba. Penilaian organoleptik banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal, penelitian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif (Soekarto 1985).

Uji Hedonik

Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan uji yang berisikan tanggapan atau penilaian kesukaan atau ketidaksukaan panelis terhadap beberapa contoh yang diberikan (Kustiyah et al. 2007). Uji ini bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap sifat mutu yang umum, misalnya: warna, aroma, tekstur, dan rasa (Rahayu 1998). Panelis memberikan tanggapan suka atau tidak suka terhadap produk yang diberikan dengan memberikan penilaian berdasarkan tingkat kesukaannya (Kustiyah et al. 2007). Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut sebagai skala hedonik. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut skala yang dikehendaki (Rahayu 1998). Rentangan skala hedonik berkisar dari ekstrim suka sampai ekstrim tidak suka. Skala hedonik dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Analisis statistik dapat dilakukan dengan data numerik tersebut (Soekarto 1985).

Uji Mutu Hedonik

Uji mutu hedonik adalah uji hedonik yang lebih khusus ditujukan untuk menilai satu jenis mutu tertentu, misalnya: kepulenan beras (pulen atau bera), kekenyalan pada gel, kerenyahan pada kerupuk (Kustiyah et al. 2007). Skala hedonik pada uji mutu hedonik sesuai dengan tingkat mutu hedonik. Rentangan skala berkisar dari ekstrim baik sampai ekstrim jelek. Jumlah tingkat skala juga bervariasi tergantung dari rentangan mutu yang diinginkan dan sensitivitas antar skala. Data penilaian pada uji mutu hedonik dapat ditransformasikan dalam skala numerik dan selanjutnya dapat dianalisis statistik untuk intrepetasinya (Soekarto 1985).

           


(43)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai Agustus 2012. Pembuatan tepung ubi kayu dan ubi jalar di Laboratorium Pilot Plan, SEAFAST CENTER, IPB. Pembuatan biskuit BGK, uji organoleptik, dan analisis sifat kimia masing-masing dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, serta Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB. Analisis sifat kimia juga dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Departemen INTP, FAPET, IPB. Analisis sifat fisik dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen ITP, FATETA, IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah ubi kayu dan ubi jalar. Bahan untuk membuat biskuit BGK adalah tepung ubi kayu, tepung ubi jalar, tepung terigu, isolat protein kedelai, multivitamin mineral (gizikita), gula halus, telur, mentega putih, susu, ammonium bikarbonat, baking powder, dan garam. Adapun bahan yang digunakan dalam uji organoleptik adalah biskuit formula dan biskuit kontrol.

Bahan yang digunakan dalam analisis kimia antara lain adalah selenium mix, H2SO4, aquades, NaOH, asam borat, HCl, indikator metil merah biru, kertas saring Whatman 42, heksan, multienzim (kemotripsin, tripsin, peptidase), air bebas ion, pereaksi vanadat-molibdat, kantong dialisis, pepsin, pankreatin, KOH, asam oksalat, indikator PP, NaHCO3, standar Fe dan Zn.

Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ubi kayu dan ubi jalar antara lain adalah drum dryer, disc mill, dan ayakan 80 mesh. Alat yang digunakan dalam pembuatan biskuit BGK antara lain adalah oven, mixer, timbangan, loyang, rolling pin, cetakan biskuit, dan sealer. Adapun alat yang digunakan untuk uji organoleptik adalah piring saji.

Alat yang digunakan dalam analisis kimia antara lain adalah bomb kalorimeter, oven, cawan alumunium, timbangan analitik, desikator, cawan porselen, pemanas destruksi, tanur, destilator, kjedahl unit, labu kjedahl, soxhlet unit, labu lemak, pH meter, AAS unit, dan shaker waterbath. Pada analisis fisik, alat yang digunakan antara lain adalah texture analyzer dan timbangan analitik.


(44)

Tahapan Penelitian Pembuatan Tepung Ubi Kayu dan Ubi Jalar

Pembuatan tepung ubi kayu dan ubi jalar dilakukan dengan metode pengeringan menggunakan drum dryer berdasarkan modifikasi metode Kustiyah et. al (2010). Berikut ini merupakan bagan alir proses pembuatan tepung ubi kayu yang disajikan pada Gambar 3. Adapun bagan alir proses pembuatan tepung ubi jalar disajikan pada Gambar 4.

ubi kayu (Manihot esculenta CRANTZ)

dikupas

dicuci

diiris dengan ketebalan ± 1 cm

direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0,3% selama satu jam

dibilas sampai bersih

dikukus selama 15 menit menggunakan dandang

dihaluskan hingga menjadi pasta

dikeringkan dengan drum dryer T inlet = 140-170ºC, T outlet = 92-98ºC, P=3 bar

dihaluskan menggunakan disc mill

diayak menggunakan ayakan 80 mesh

tepung ubi kayu

Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung ubi kayu

Formulasi dan Pembuatan Biskuit Balita Gizi Kurang

Formulasi biskuit balita gizi kurang didasarkan pada modifikasi resep Anwar et al. (1993) dengan memperhitungkan kebutuhan energi dan zat gizi perhari dan pembatas energi dan zat gizi bagi balita 4-5 tahun. Biskuit yang dibuat adalah biskuit formula dan biskuit kontrol. Biskuit formula terdiri dari dalam 9 formula, yaitu: A1B1, A1B2, A1B3, A2B1, A2B2, A2B3, A3B1, A3B2, dan A3B3. Faktor yang dipakai dalam penelitian ini adalah jenis tepung pensubstitusi dan konsentrasi substitusi. Jenis tepung yang mensubstitusi tepung terigu adalah tepung ubi kayu (A1), tepung ubi jalar (A2), dan tepung komposit atau campuran tepung ubi kayu dan tepung ubi jalar dengan perbandingan 1:1 (A3). Adapun konsentrasi substitusi terdiri dari 20% (B1), 40% (B2), dan 60% (B3). Tabel 8 menunjukkan faktor-faktor dalam pembuatan biskuit formula tersebut.


(1)

Bioavailabilitas Fe = berat Fe dalam dialisat x 100 berat Fe dalam sampel bio = 0,0299 x 100 = 12,69% 0,2360

Lampiran 22 Perhitungan bioavailabilitas Zn biskuit balita gizi kurang

Jenis biskuit

Ulangan Statistik

Kadar protein

rata-rata

Berat setara 2 g protein

1/5 berat sampel setara 2 g protein

Kadar total Zn

Berat Zn dalam sampel

bio

Berat dialisat

Volume aliquot

Pembacaan

AAS a b

Kadar Zn dialisat

Berat Zn dalam dialisat

Bioavailabilitas Zn

Rata-rata statistik

% g G mg/100g mg g ml mm mg/100g mg % %

Kontrol 1 13,79 14,5085 2,9015 9,4115 0,2731 29,1916 100 42,0

30,52 1,64

0,3464 0,1011 37,03 31,16

2 13,90 14,3937 2,8781 10,9685 0,3157 29,3257 100 35,5 0,2722 0,0798 25,28

Formula Terpilih (FT)

1 12,81 15,6128 3,1226 10,0280 0,3131 25,8850 100 38,5 0,3463 0,0896 28,63 29,45

2 12,74 15,7048 3,1403 9,4321 0,2962 25,0215 100 38,5 0,3583 0,0896 30,27

Contoh perhitungan:

Berat setara 2 g protein = 2 x 100 kadar protein rata-rata = 2 x 100

13,79 = 14,5085

Berat Zn dalam sampe bio = kadar total Zn x 1/5 berat sampel setara 2 g protein 100

= 9,4115 x 2,9015 100

= 0,2731

Kadar Zn dialisat = (pembacaan AAS sampel - pembacaan AAS blanko)-b x (volume aliquot/1000) x 100 a

berat dialisat


(2)

= (42,0 – 9,5) – 1,64 (100/1000) x 100 30,52

29,1916 = 0,3464

Berat Zn dalam dialisat = berat dialisat x kadar Zn dialisat 100

= 29,1916 x 0,3464 100

= 0,1011

Bioavailabilitas Zn = berat Zn dalam dialisat x 100 berat Zn dalam sampel bio = 0,1011 x 100 = 37,03% 0,2731

Lampiran 23 Hasil t-test sifat fisik & kimia biskuit formula terpilih dan kontrol Kelompok Statistik

K dengan FT N Rata-rata Standar deviasi Std. galat nilai rata-rata

Kekerasan K 2 1.1590E3 119.99602 84.85000

FT 2 2.9602E3 279.05969 197.32500

Gross energy K 2 4.6991E2 1.11723 .79000

FT 2 4.5674E2 3.89616 2.75500

Kadar air K 2 6.4300 .14142 .10000

FT 2 8.3150 .16263 .11500

Kadar abu K 2 3.0050 .06364 .04500

FT 2 3.1250 .02121 .01500

Kadar protein K 2 14.7950 .06364 .04500

FT 2 13.9350 .07778 .05500

Kadar lemak K 2 14.5150 .02121 .01500

FT 2 14.2300 .22627 .16000

Kadar karbohidrat K 2 67.6900 .02828 .02000


(3)

K dengan FT N Rata-rata Standar deviasi Std. galat nilai rata-rata

Kadar Fe K 2 8.7700 .09899 .07000

FT 2 8.3850 .30406 .21500

Kadar Zn K 2 10.8900 1.15966 .82000

FT 2 10.6100 .48083 .34000

Daya cerna protein K 2 83.2000 1.13137 .80000

FT 2 81.4800 2.37588 1.68000

Bioavailabilitas Fe K 2 28.1700 5.00632 3.54000

FT 2 27.1600 6.53367 4.62000

Bioavailabilitas Zn K 2 31.1550 8.30850 5.87500

FT 2 29.4500 1.15966 .82000

Independen t-test

Uji Levene's untuk

kesetaraan varian Uji t untuk nilai rata-rata yang sama

F Sig. t Derajat

bebas

Sig. (2 lajur)

Perbedaan nilai rata-rata

Perbedaan standar galat

Perbedaan selang kepercayaan 95% Lebih

rendah

Lebih tinggi Kekerasan

Varian yang sama

diasumsikan 3.823E15 .000 -8.386 2 .014 -1801.17500 214.79450 -2725.36115 -876.98885

Varian yang sama

tidak diasumsikan -8.386 1.358 .039 -1801.17500 214.79450 -3301.58064 -300.76936

Gross energy

Varian yang sama

diasumsikan 2.366E17 .000 4.597 2 .044 13.17500 2.86603 .84347 25.50653

Varian yang sama

tidak diasumsikan 4.597 1.163 .110 13.17500 2.86603 -13.12683 39.47683

Kadar air

Varian yang sama

diasumsikan 1.191E15 .000

-12.369 2 .006 -1.88500 .15240 -2.54071 -1.22929

Varian yang sama tidak diasumsikan

-12.369 1.962 .007 -1.88500 .15240 -2.55298 -1.21702

Kadar abu

Varian yang sama

diasumsikan 4.135E15 .000 -2.530 2 .127 -.12000 .04743 -.32409 .08409

Varian yang sama

tidak diasumsikan -2.530 1.220 .202 -.12000 .04743 -.51816 .27816

Kadar protein

Varian yang sama

diasumsikan 4.680E14 .000 12.102 2 .007 .86000 .07106 .55424 1.16576

Varian yang sama


(4)

Uji Levene's untuk

kesetaraan varian Uji t untuk nilai rata-rata yang sama

F Sig. t Derajat

bebas

Sig. (2 lajur)

Perbedaan nilai rata-rata

Perbedaan standar galat

Perbedaan selang kepercayaan 95% Lebih

rendah

Lebih tinggi Kadar lemak

Varian yang sama

diasumsikan 2.458E16 .000 1.773 2 .218 .28500 .16070 -.40644 .97644

Varian yang sama

tidak diasumsikan 1.773 1.018 .324 .28500 .16070 -1.67542 2.24542

Kadar karbohidrat

Varian yang sama

diasumsikan 5.037E17 .000 -8.384 2 .014 -1.02000 .12166 -1.54344 -.49656

Varian yang sama

tidak diasumsikan -8.384 1.056 .068 -1.02000 .12166 -2.38630 .34630

Kadar Fe

Varian yang sama

diasumsikan 2.462E16 .000 1.703 2 .231 .38500 .22611 -.58787 1.35787

Varian yang sama

tidak diasumsikan 1.703 1.210 .304 .38500 .22611 -1.54159 2.31159

Kadar Zn

Varian yang sama

diasumsikan . . .315 2 .782 .28000 .88769 -3.53944 4.09944

Varian yang sama

tidak diasumsikan .315 1.334 .795 .28000 .88769 -6.09893 6.65893

Daya cerna protein

Varian yang sama

diasumsikan 8.098E15 .000 .924 2 .453 1.72000 1.86075 -6.28617 9.72617

Varian yang sama

tidak diasumsikan .924 1.431 .484 1.72000 1.86075 -10.25952 13.69952

Bioavailabilitas Fe

Varian yang sama

diasumsikan 6.751E14 .000 .174 2 .878 1.01000 5.82031 -24.03277 26.05277

Varian yang sama

tidak diasumsikan .174 1.873 .879 1.01000 5.82031 -25.72913 27.74913

Bioavailabilitas Zn

Varian yang sama

diasumsikan . . .287 2 .801 1.70500 5.93195 -23.81812 27.22812

Varian yang sama


(5)

Lampiran 24 Penentuan jumlah biskuit yang harus dikonsumsi dalam sehari

 

• Batas maksimal kontribusi lemak terhadap AKG AKE balita 4-5 = 1550 Kal

Batas maksimal kontribusi energi dari lemak = 30 % AKE balita 4-5 th = 30 % x 1550 Kal

= 465 Kal

• Batas minimal kontribusi makanan tambahan = 20% AKG

• Batas maksimal kontribusi energi dari lemak pada makanan tambahan = 20% x 465 Kal

= 93 Kal

• Batas maksimal kontribusi lemak pada makanan tambahan = 93 Kal/9

= 10,33 g

• Konsumsi biskuit sehari (gram biskuit) untuk memenuhi batas maksimal kontribusi lemak pada makanan tambahan

= batas maksimal kontribusi lemak pada makanan tambahan x 100 g kadar lemak (%bb)

= (10,33 / 13,05) x 100 g = 79,18 g

• Konsumsi biskuit sehari (gram biskuit) = serving size biskuit dalam gram

rata-rata berat biskuit = (79,18 / 5,16)

= 15,34 keping biskuit

• Konsumsi biskuit sehari (gram biskuit) = 15 keping (75 gram)

Lampiran 25 Klaim gizi biskuit balita gizi kurang Tinggi Protein

• Syarat klaim tinggi protein: mampu memenuhi minimal 35% ALG per 100 g pangan

• ALG protein pada anak 2-5 tahun = 35 g

• Berarti per 100 g biskuit harus memenuhi = (35 / 100) x 35 g = 12,25 g /100 g

• Kandungan protein biskuit BGK 12,77 g per 100 g (>12,25)

• Biskuit BGK: tinggi protein

Tinggi Fe

• Syarat klaim tinggi Fe: mampu memenuhi 2x syarat sumber Fe

• Syarat klaim sumber Fe: mampu memenuhi minimal 15% ALG per 100 g pangan

• Syarat klaim tinggi Fe: mampu memenuhi minimal 30% ALG per 100 g pangan

• ALG FE pada anak 2-5 tahun = 8 mg

• Berarti per 100 g biskuit harus memenuhi = (30 / 100) x 8 mg = 2,4 mg /100 g


(6)

• Kandungan Fe biskuit BGK 7,69 mg protein per 100 g (>2,4)

• Biskuit BGK: tinggi Fe

Tinggi Zn

• Syarat klaim tinggi Zn: mampu memenuhi 2x syarat sumber Zn

• Syarat klaim sumber Zn: mampu memenuhi minimal 15% ALG per 100 g pangan

• Syarat klaim tinggi Zn: mampu memenuhi minimal 30% ALG per 100 g pangan

• ALG FE pada anak 2-5 tahun = 9,4 mg

• Berarti per 100 g biskuit harus memenuhi = (30 / 100) x 9,4 mg = 2,82 mg /100 g

• Kandungan Fe biskuit BGK 9,73 mg protein per 100 g (>2,82)

• Biskuit BGK: tinggi Zn