BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam kerangka mencapai tujuan tersebut,
pembangunan kesehatan dilaksanakan secara terarah, berkesinambungan dan realistis
sesuai pentahapannya SKN, 2009.
Salah satu prioritas pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah upaya perbaikan gizi yang berbasis pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal.
Kurang gizi berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat pada kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan,
menurunkan produktivitas, meningkatkan kesakitan serta kematian. Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensi, dipengaruhi oleh
berbagai faktor penyebab. Penyebab langsung gizi kurang adalah makan tidak seimbang, baik jumlah maupun mutu asupan gizinya. Di samping itu, asupan zat gizi
tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan
penyerapan akibat adanya penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah tidak
cukup tersedianya pangan di rumah tangga, kurang baiknya pola pengasuhan anak terutama dalam pola pemberian makan pada balita, kurang memadainya sanitasi dan
kesehatan lingkungan serta kurang baiknya pelayanan kesehatan Direktorat Gizi Masyarakat, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 yang dilakukan oleh Depkes, prevalensi gizi buruk secara nasional pada balita mencapai 5,4 persen. Pencapaian ini
dinilai memenuhi target rencana jangka panjang menengah untuk perbaikan gizi sebesar 20 persen dan target Millenium Development Goals MDGs sebesar 18,5
persen padan tahun 2015. Menurut Riskesdas tahun 2007, prevalensi gizi buruk pada balita di
Kabupaten Bireuen mencapai 9,0 persen dari 5.999 balita berdasarkan BBU. Usia 0-2 tahun merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,
sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini anak memperoleh asupan gizi yang
sesuai untuk tumbuh kembang. Sebaliknya apabila pada masa ini anak tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah
menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya Depkes RI, 2006.
Penelitian yang dilakukan oleh Agustina 2006 pada keluarga miskin di Kelurahan Gundaling-I Kecamatan Berastagi, menunjukkan bahwa ada hubungan
antara praktek pemberian makan yang baik dengan status gizi anak 0-24 bulan. Untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal, empat hal penting harus
dilakukan yaitu; 1. Memberikan air susu ibu ASI kepada bayi segera setelah bayi lahir; 2. Memberikan ASI saja ASI Eksklusif selama 6 bulan; 3. Memberikan
makanan pendamping ASI MP-ASI sejak bayi berusia 6 - 24 bulan; 4. Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan Depkes, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Air susu Ibu ASI merupakan makanan yang bergizi bagi anak 0-2 tahun. ASI merupakan makanan yang paling lengkap, aman, dan murah. ASI tidak dapat
digantikan oleh susu manapun mengingat komposisi ASI yang sangat ideal dan sesuai dengan kebutuhan anak, serta mengandung zat kekebalan yang sangat penting untuk
mencegah timbulnya berbagai penyakit. Akan tetapi, ASI hanya dapat memenuhi kebutuhan zat-zat gizi anak sampai usia 6 bulan, setelah itu diberikan makanan
pendamping ASI Pudjiadi, 2005. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas, distribusi
pemberian ASI Eksklusif di Provinsi Aceh tahun 2006 sebesar 53,3 persen dan tahun 2007 sebesar 44,6 persen. Sedangkan distribusi pemberian ASI Eksklusif di Indonesia
pada tahun 2006 sebesar 64,1 persen dan tahun 2007 sebesar 62,2 persen. Dari hasil survei ini, distribusi pemberian ASI Eksklusif di Provinsi Aceh masih di bawah rata-
rata pemberian ASI Eksklusif di Indonesia. Bertambahnya umur bayi bertambah pula kebutuhan gizinya, sebab itu sejak
usia 6 bulan bayi diberikan makanan pendamping ASI MP-ASI secara bertahap yang dibuat dari makanan pokok secara khusus untuk bayi. Sementara itu ASI harus
tetap diberikan secara teratur dan sering Depkes, 2007. Secara sosial ekonomi dan budaya, MP-ASI hendaknya dibuat dari bahan pangan yang murah dan mudah
diperoleh di daerah setempat indigenous food. WHO 2001 menyebutkan bahwa ada 51 angka kematian anak balita
disebabkan oleh pneumonia, diare, campak, dan malaria. Lebih dari separuh kematian tersebut 54 erat hubungannya dengan masalah gizi. Oleh karena itu prioritas
Universitas Sumatera Utara
utama penanganan utama adalah memperbaiki pemberian makan kepada bayi dan anak serta perbaikan gizi ibunya Depkes, 2007.
Desa Weujangka adalah salah satu desa di antara 20 desa yang ada di wilayah Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen yang terletak di sebelah utara pusat
pemerintahan kecamatan. Sebagian besar penduduk berpenghasilan tidak tetap kira- kira Rp. 500.000,00 per bulan. Menurut hasil survei pendahuluan, anak-anak
diberikan makanan tambahan saat anak berusia dibawah 6 bulan dan anak-anak tidak makan ikan dan sayur.
Mengacu dari uraian latar belakang di atas, penulis ingin melakukan penelitian tentang pola pemberian ASI dan MP-ASI pada anak 0-2 tahun ditinjau dari
aspek sosial ekonomi di wilayah pesisir Desa Weujangka Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2010.
1.2. Rumusan Masalah