Perkembangan Hukum Waris Pada Masyarakat Adat Besemah Di Kota Pagaralam Sumatera Selatan

(1)

PERKEMBANGAN HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT

ADAT BESEMAH DI KOTA PAGARALAM

SUMATERA SELATAN

TESIS

Oleh

DEDY CHARLIE

097011032/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERKEMBANGAN HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT

ADAT BESEMAH DI KOTA PAGARALAM

SUMATERA SELATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEDY CHARLIE

097011032/MKn

FAKULTAS HUKUM


(3)

Judul Tesis : PERKEMBANGAN HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT ADAT BESEMAH DI KOTA PAGARALAM SUMATERA SELATAN

Nama Mahasiswa : Dedy Charlie Nomor Pokok : 097011032 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Idha Aprilyana S. SH. M.Hum) (Dr. Mahmud Mulyadi. SH. M.Hum)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 20 Desember 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana S. SH. M.Hum 2. Dr. Mahmud Mulyadi. SH. M.Hum


(5)

ABSTRAK

Masyarakat adat Besemah yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki tertua yang sudah dewasa dan/atau berkeluarga, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Akibat hukum yang timbul dari sistem patrilineal ini adalah, bahwa istri karena perkawinannya (biasanya perkawinan dengan sistem pembayaran uang jujur), dikeluarkan dari keluarganya, kemudian masuk dan menjadi keluarga suaminya. Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi keinginan untuk menyeimbangkan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan terutama dalam hal pewarisan. Menurut ketentuan waris adat terdapat ketidakseimbangan antara kewenangan dan hak kaum perempuan dan kaum laki-laki. Keadaan tersebut bertentangan dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Karena itu maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pembahagian harta warisan pada masyarakat adat Besemah.

Lokasi penelitian adalah di Kota Pagaralam (kecamatan Dempo utara, Dempo selatan dan Dempo tengah) Propinsi Sumatera Selatan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya anak perempuan dan janda bukanlah ahli waris pada masyarakat adat Besemah, mereka hanya dapat menikmati hasil dari pemanfaatan tanaman dan tumbuhan di tanah yang dikuasai oleh anak laki-laki tertua. Akan tetapi, pada sebagian masyarakat adat Besemah, anak perempuan juga mendapat bagian harta warisan jika kebutuhan ekonominya dianggap membutuhkan. Pada masyarakat adat Besemah yang mayoritas beragama Islam, faktor agama Islam sangat mempengaruhi terhadap pembagian harta warisan yang memahami bahwa dalam Islam terdapat persamaan hak, yaitu setiap keluarga (laki-laki atau perempuan) mendapat bagian tertentu sesuai dengan ketetapan agama terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.


(6)

ABSTRACT

Indigenous peoples embracing Besemah patrilineal kinship system, the right to inherit is the eldest son of full age and or family, while girls are not as heir. Legal consequences arising from this patrilineal system is, that the wife because the marriage (usually marriage with an honest system of money payments), expelled from his family, then came in and became her husband's family. Along with the times that are influenced by economic development, politics, science and technology, there is a desire to balance the rights and status of men and women, especially in terms of inheritance. Under the terms of customary inheritance there is an imbalance between the authority and rights of women and men. The situation is contrary to the provisions of Law no. 1 of 1974 on Marriage that recognizes the equal rights and status of every citizen of Indonesia, both men and women. Therefore it is necessary to research to find out pembahagian estate Besemah on indigenous peoples.

Research sites are in the City Pagaralam (Dempo districts north, south Dempo and Center Dempo) Province of South Sumatra. This research is descriptive analytical approach using empirical done by juridical qualitative. And inferences made by the inductive approach.

The results showed that basically girls and widows are not heirs to the indigenous peoples Besemah, they can only benefit from the use of plants and plants on land controlled by the eldest son. However, in some indigenous peoples Besemah, girls also get a share of inheritance if the economic needs are considered in need. In the majority of indigenous Besemah Muslim, Islam factor greatly affects the distribution of the estate who understand that in Islam there are equal rights, that every family (male or female) gets a particular part of religion in accordance with the provisions of the estate left by heir.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar MAGISTER KENOTARIATAN Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Di dalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan

memilih judul: “ PERKEMBANGAN HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT

ADAT BESEMAH DI KOTA PAGARALAM SUMATERA SELATAN”. Saya menyadari masih banyak kekurangan didalam penulisan Tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan kritik dari semua pihak agar dapat menjadi pedoman di masa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan Tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Idha Aprilyana,S. SH. M.Hum serta Bapak

Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum., masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing kepada saya dalam penulisan Tesis ini dan kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN., dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH. CN. M.Hum., selaku Dosen penguji saya dalam penulisan Tesis ini.


(8)

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K)

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar serta Seluruh Staf Pengajar dan juga para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada

Ayahanda tercinta, Marwan Tosin yang selalu memberikan dukungan moril maupun materil, sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan Ibunda Rosmawati yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran dan kasih sayang dan doa restu. Serta terima kasih kepada kakak saya Elina Efrida, Anita Efriani dan Iin Minarni atas segala dukungan dan doa-doanya. Tidak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada kakanda Ahmad Wali, SH. M.Hum (Candidat Doktor) yang telah sangat mendukung saya dan selalu memberikan semangat dari mulai masuk hingga menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum


(9)

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar di Kabanjahe, Bapak Kliwon Sinuraya dan Ibu Esrawati (mertua) yang selalu memberikan motivasi, doa dan nasehat-nasehat yang bermanfaat selama penulis melakukan studi hingga selesai. Serta Nurhalimah, S.Psi Istri yang tak pernah lelah menunggu dan memberikan semangat, perhatian, cinta dan sayang serta doa, dan terspesial kepada anak ku tersayang, Hade Haffa Keandra yang telah memberikan warna dalam hidup ini, selalu menunggu dan memberikan senyum sehingga saya dengan lapang dapat menyelesaikan penulisan dan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada bang Irfan (Perpustakaan Fakultas Hukum) yang terus memberikan semangat dan juga doa dalam penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga saya persembahkan kepada Kepala Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Pagaralam, Camat Dempo Selatan, Dempo Utara dan Dempo Tengah, serta semua kelurahan penelitian saya serta pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan Tesis ini. Kawan-kawan seperjuangan dan sahabat saya Abi Yaser SH, Rahmat Setiadi Gucci SH, Marjan Iskariman Lubis SH, Frans Waston SH, Mulia Pandapotan Harahap SH, Nasriel SH, Eko Pranata SH, Alwi Umri Nasution SH, H. Ridwan Basyir SH.M.Kn, Heri Azwar Anas, SH. M.Kn., serta seluruh kawan-kawan angkatan 2009 yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Allah, SWT. Akhirnya semoga Tesis ini dapat berguna bagi diri dan juga semua pihak dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, Nopember 2011 Penulis,


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Dedy Charlie

Tempat/Tanggal Lahir : Pagaralam / 25 April 1982

Alamat : Jl. Galang No. 49, Blok IV. Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Sumatera Utara Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

II. DATA ORANG TUA

Nama Ayah : Marwan Tosin

Nama Ibu : Rosmawati

III. PENDIDIKAN

1. SD Negeri 23 Pagaralam Tamat Tahun 1994

2. SMP Muhammadiyah 1 Bengkulu Tamat Tahun 1997

3. SMU Negeri 6 Bengkulu Tamat Tahun 2000

4. S1 Hukum Universitas Bengkulu Tamat Tahun 2007

5. S2 Magiter Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan Tamat Tahun


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR ISTILAH ... ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan konsepsi ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian ... 22

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 22

2. Lokasi Penelitian ... 23

3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

4. Alat Pengumpulan Data ... 25


(13)

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT BESEMAH DI KOTA PAGAR ALAM

SUMATERA SELATAN... 27

A. Deskripsi Kota Pagaralam ... 27

B. Sejarah Besemah ... 31

C. Hukum Waris Tradisional Masyarakat Besemah ... 35

D. Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Waris Adat masyarakat Besemah ... 43

E. Perkembangan Hukum Waris Adat Masyarakat Besemah ... 46

BAB III PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BESEMAH SUMATERA SELATAN... 59

A. Terbukanya Harta Warisan pada Masyarakat Besemah ... 59

B. Bagian (Portie) Masing-Masing Ahli Waris ... 62

C. Tata Cara Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Adat Besemah... 71

BAB IV PENYELESAIAN MASALAH TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT BESEMAH JIKA TERJADI SENGKETA... 83

A. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan ... 83

B. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan ... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran ... 104


(14)

ABSTRAK

Masyarakat adat Besemah yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki tertua yang sudah dewasa dan/atau berkeluarga, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Akibat hukum yang timbul dari sistem patrilineal ini adalah, bahwa istri karena perkawinannya (biasanya perkawinan dengan sistem pembayaran uang jujur), dikeluarkan dari keluarganya, kemudian masuk dan menjadi keluarga suaminya. Seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi keinginan untuk menyeimbangkan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan terutama dalam hal pewarisan. Menurut ketentuan waris adat terdapat ketidakseimbangan antara kewenangan dan hak kaum perempuan dan kaum laki-laki. Keadaan tersebut bertentangan dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Karena itu maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pembahagian harta warisan pada masyarakat adat Besemah.

Lokasi penelitian adalah di Kota Pagaralam (kecamatan Dempo utara, Dempo selatan dan Dempo tengah) Propinsi Sumatera Selatan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya anak perempuan dan janda bukanlah ahli waris pada masyarakat adat Besemah, mereka hanya dapat menikmati hasil dari pemanfaatan tanaman dan tumbuhan di tanah yang dikuasai oleh anak laki-laki tertua. Akan tetapi, pada sebagian masyarakat adat Besemah, anak perempuan juga mendapat bagian harta warisan jika kebutuhan ekonominya dianggap membutuhkan. Pada masyarakat adat Besemah yang mayoritas beragama Islam, faktor agama Islam sangat mempengaruhi terhadap pembagian harta warisan yang memahami bahwa dalam Islam terdapat persamaan hak, yaitu setiap keluarga (laki-laki atau perempuan) mendapat bagian tertentu sesuai dengan ketetapan agama terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.


(15)

ABSTRACT

Indigenous peoples embracing Besemah patrilineal kinship system, the right to inherit is the eldest son of full age and or family, while girls are not as heir. Legal consequences arising from this patrilineal system is, that the wife because the marriage (usually marriage with an honest system of money payments), expelled from his family, then came in and became her husband's family. Along with the times that are influenced by economic development, politics, science and technology, there is a desire to balance the rights and status of men and women, especially in terms of inheritance. Under the terms of customary inheritance there is an imbalance between the authority and rights of women and men. The situation is contrary to the provisions of Law no. 1 of 1974 on Marriage that recognizes the equal rights and status of every citizen of Indonesia, both men and women. Therefore it is necessary to research to find out pembahagian estate Besemah on indigenous peoples.

Research sites are in the City Pagaralam (Dempo districts north, south Dempo and Center Dempo) Province of South Sumatra. This research is descriptive analytical approach using empirical done by juridical qualitative. And inferences made by the inductive approach.

The results showed that basically girls and widows are not heirs to the indigenous peoples Besemah, they can only benefit from the use of plants and plants on land controlled by the eldest son. However, in some indigenous peoples Besemah, girls also get a share of inheritance if the economic needs are considered in need. In the majority of indigenous Besemah Muslim, Islam factor greatly affects the distribution of the estate who understand that in Islam there are equal rights, that every family (male or female) gets a particular part of religion in accordance with the provisions of the estate left by heir.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu sifat dari hukum adat termasuk hukum waris adat adalah bersifat dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu mengikuti perkembangan masyarakat, dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing.1 Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran tersebut, antara lain:

1. Masuknya unsur agama khususnya agama islam

2. Kemajuan di bidang teknologi transportasi yang membuat mobilitas penduduk semakin cepat

3. Kemajuan di bidang teknologi informasi 4. Kemajuan di bidang pendidikan

Sampai saat ini terdapat tiga sistem hukum yang mengatur tentang kewarisan yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum waris Adat, hukum waris Islam dan hukum waris BW. Hal ini disebabkan, hingga saat ini Indonesia belum memiliki suatu unifikasi hukum waris yang bersifat nasional. Tetapi apabila sifat kekeluargaan yang ada pada waris adat, dibandingkan dengan sifat kekeluargaan yang terdapat pada orang-orang Tionghoa dan Eropa yang tunduk pada waris BW, maka ada


(17)

perbedaannya, yaitu yang terpenting adalah terletak pada adanya Pasal 1066 BW yang tidak terdapat dalam hukum adat di antara orang-orang Indonesia asli.2 Pasal 1066 BW ini menentukan, adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan, sedangkan hukum adat di antara orang-orang Indonesia asli, harta warisan itu tidak diubah-ubah dan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara ahli warisnya.

Khususnya di bidang hukum waris adat sampai sekarang belum ada penetapan perundang-undangan yang dilahirkan. Oleh karena itu hukum waris yang berlaku adalah hukum waris dari masyarakat hukum adat masing-masing. Dengan dipengaruhinya oleh unsur agama dan budaya lain tersebut hukum waris adat pada masyarakat besemah juga telah mengalami pergeseran.

Hukum waris adat mempunyai kaitan erat dengan hukum kekerabatan dan hukum perkawinan. Pembentukan hukum waris adat suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh hukum kekerabatan dan hukum perkawinannya.

Menurut Soerojo Wignjodipoero :“bahwa hukum waris adat sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargan dari masyarakat hukum yang bersangkutan, serta berpengaruh pada harta kekayaan yang ditinggalkan dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, dalam membicarakan masalah kewarisan mesti dibahas pula tentang hukum kekerabatan dan hukum perkawinan masyarakat”.3

Kesadaran hukum nasional yang menyangkut hukum waris adat adalah pada tempatnya, apabila hak-hak kebendaan (warisan) tidak lagi dibedakan antara hak pria

2

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1980, hal. 12

3

Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1990, Hal. 165


(18)

dan hak wanita. Setidaknya antara pria dan wanita diperlukan azas persamaan hak.4 Apabila kita berbicara tentang hukum waris adat, berarti yang diuraikan dan dibahas berkisar pada hukum waris Indonesia yang tidak tertulis dalam bentuk perundangundangan dan tidak terlepas dari unsur-unsur ajaran agama, terutama hukum adat mengenai waris yang berlaku turun-temurun dari zaman dahulu. Dalam bentuk kewarisan ada tiga unsur yang harus selalu ada, yaitu adanya pewaris atau orang yang memiliki harta peninggalan, adanya harta peninggalan, adanya ahli waris.

Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena faktor modernisasi dan emansipasi yang berbaur dengan perkembangan ekonomi dan politik, ilmu pengetahuan dan teknologi yang langsung membawa dampak kesadaran sosial dan hak asasi manusia dan hal ini telah menimbulkan gerak dinamis dari tuntutan derajat kemanusiaan.

Keadaan ini juga sangat berpengaruh terhadap kaum perempuan yang menuntut pelepasan diri dari nilai-nilai hukum Adat yang bersifat diskriminatif antara, peran, hak, dan kewenangan kaum lelaki dibanding dengan kaum perempuan. Mereka berpendapat bahwa hukum adat itu tidak memberi peran hak dan derajat yang sama antara pria dengan perempuan dalam kehidupan, sosial budaya, politik, ekonomi dan juga dalam kehidupan rumah tangga serta harta perkawinan dan warisan.

Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan sistem keturunan dan kekerabatan adat masih tetap dipertahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan


(19)

bahwa hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral.5

Selanjutnya mengenai hubungan dan kaitan hukum kekerabatan dan hukum kewarisan, Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini mengemukakan pendapat yang pokoknya dapat disimpulkan bahwa : manusia di dunia ini mempunyai macam-macam sifat kekeluargaan dan sifat warisan yang dalam suatu masyarakat tertentu berhubung erat dengan sifat kekeluargaan serta berpengaruh pada kekayaan dalam masyarakat itu. Sifat dari kekeluargaan tertentu menentukan batas-batas, yang berada dalam tiga unsur dari soal warisan yaitu peninggal warisan (erflater), ahli waris (erfgenaam) dan harta warisan (natalatenschap). Maka dalam membicarakan hukum waris perlu diketahui kekeluargaan masyarakatnya. Di Indonesia di berbagai daerah terdapat sifat kekeluargaan yang berbeda dan dapat dimasukkan dalam tiga macam golongan :

1. sifat kebapakan (partriarchaat, faderrechfelijk), 2. sifat keibuan (matriarchaat, moedrrechtelijk), dan 3. sifat kebapak-ibuan (parental, ouderrechtelijk).6

Dalam hal sifat kekeluargaan tersebut Hilman Hadikusuma menyebutkannya sebagai sistem keturunan, dia mengatakan bahwa di Indonesia sistem keturunan

5

Hazairin, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, Hal. 45

6


(20)

sudah berlaku sejak dahulukala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen.7 Sistem keturunan yang berbeda-beda tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu: 1. Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik mulai garis bapak, dimana

kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Batak, Lampung, Buru, Nusa Tenggara dan Irian Jaya);

2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano) ;

3. Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi). Soerojo Wignjodipuro mengemukakan pendapat yang sama seperti diatas, kemudian ditambahkannya suatu masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari mengakui keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral, sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral.8

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia ini pada prinsipnya terdapat masyarakat yang susunannya berlandaskan pada tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak dan garis keturunan bapak-ibu. Sedangkan di kota Pagaralam sendiri dalam hal ini masyarakat adat


(21)

besemah, sistem keturunannya dahulu berlaku atau menarik garis keturunan bapak atau patrilineal, dimana sistem kewarisannya adalah mayorat yaitu yang berhak atas warisan adalah anak laki-laki.

Dalam masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal seperti halnya pada masyarakat adat Besemah, yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki yang sudah dewasa dan/atau berkeluarga, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Akibat hukum yang timbul dari sistem patrilineal ini adalah, bahwa istri karena perkawinannya (biasanya perkawinan dengan sistem pembayaran uang jujur), dikeluarkan dari keluarganya, kemudian masuk dan menjadi keluarga suaminya. Anak-anak yang lahir menjadi keluarga Bapak (Suami), harta yang ada milik Bapak (Suami) yang nantinya diperuntukkan bagi anak-anak keturunannya. Istri bukan ahli waris dalam keluarga suaminya, tetapi ia anggota keluarga yang dapat menikmati hasil dari harta tersebut, seandainyapun suaminya meninggal dunia, sepanjang dia setia menjanda, tinggal di kediaman keluarga suaminya dengan anak-anaknya.

Bentuk-bentuk perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda, sehingga walaupun sudah berlaku Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh Indonesia, namun di berbagai daerah dan di berbagai golongan masyarakat masih berlaku hukum perkawinan adat. Apalagi undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal pokok dan tidak mengatur hal-hal lain yang bersifat khusus. Di dalam


(22)

Undang-undang Perkawinan yang bersifat nasional tersebut, tidak diatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, upacara-perkawinan dan lainnya.

Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi keinginan untuk menyeimbangkan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan terutama dalam hal pewarisan. Menurut ketentuan waris adat terdapat ketidakseimbangan antara kewenangan dan hak kaum perempuan dan kaum laki-laki.

Melihat perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, timbul keinginan pemerintah untuk memberi arah dalam hukum waris di Indonesia yakni, dengan keluarnya Tap MPRS No. II Tanggal 3 Desember 1960 yang menetapkan bahwa semua warisan adalah untuk anak-anak dan janda apabila si peninggal meninggalkan anak-anak dan janda, sehingga anak-anak dan janda tanpa membedakan jenis kelamin berhak atas harta peninggalan suami/ayahnya. Dan didukung dengan keluarnya Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/Sip/1961 yang merupakan yurisprudensi tetap di Indonesia menyatakan bahwa bagian janda dan anak-anak itu sama besarnya tanpa mempersoalkan anak laki-laki atau anak perempuan. Keadaan tersebut semakin kuat dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengakui adanya persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.


(23)

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 ayat (1 dan 2) bahwa:

1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama.

2. Bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Begitu juga dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kedudukan harta benda dalam perkawinan, yaitu:

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 mengenai Kedudukan Harta Benda dalam Perkawinan, yaitu:

1. Baik suami maupun istri dapat bertindak mengenai harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Mengenal harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 dikatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pengadilan merupakan aparatur negara yang menerapkan hukum,


(24)

dan hukum yang berlaku di suatu negara dikenal tidak hanya dari undang-undangnya, tetapi juga dari putusan-putusan pengadilan.9

Masyarakat adat Besemah menggunakan bentuk perkawinan jujur, artinya perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan diterimanya uang jujur atau barang jujur, berarti si isteri mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut dipihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami.

Bagi masyarakat adat Besemah, penduduknya menggunakan sistem kewarisan mayorat laki-laki. Sistem kewarisan mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasa atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Tidak selamanya suatu kerabat mempunyai kepemimpinan yang dapat diandalkan dan aktivitas hidup yang kian meluas bagi para anggota kerabat.

Kelemahan dan kebaikan sistem kewarisan mayorat, adalah terletak pada kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang telah wafat, dalam mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan. Hal ini disebabkan, karena anak tertua bukanlah sebagai pemilik harta peninggalan secara perseorangan, tetapi sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dibatasi oleh


(25)

kewajiban mengurus orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga lain, dan berdasarkan atas tolong-menolong oleh bersama untuk bersama.

Perkembangan masyarakat yang cendrung berpikir modern sehingga mengakibatkan pergeseran pola kehidupan, ini terjadi tidak hanya daerah urban tetapi telah merambah hingga keperkampungan yang masih memegang teguh sistem adat dimasyarakat. Dengan pergeseran ini sehingga banyak mempengaruhi sistem adat yang telah diterapkan dalam bagian dari aturan secara turun temurun dari zaman nenek moyang hingga sekarang. Akan tetapi masih ada kelompok adat yang tetap mempertahankan budaya tersebut karena telah menjadi kebiasaan kelompok masyarakat mereka untuk lebih menghargai nenek moyang atau kerena takut kualat (musibah).

Proses pewarisan adalah cara pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta peninggalan/warisan yang akan ditinggalkan kepada para ahli waris ketika pewaris masih hidup; cara warisan diteruskan penguasaan dan pemakaiannya dan cara melaksanakan pembagian warisan kepada para ahli waris setelah pewaris meninggal dunia.

Dalam pembagian warisan pada masyarakat adat Besemah terdapat harta peninggalan yang tidak dapat di bagi-bagi. Tetapi dalam kenyataannya, seringkali timbulnya sengketa warisan di antara anggota-anggota keluarga yang ditinggalkan, karena tidak menutup kemungkinan bahwa para pihak yang diberi hak untuk menguasai harta peninggalan seringkali menganggap harta tersebut merupakan hak atau bagian warisnya.


(26)

Dalam pembagian harta warisan telah disetujui oleh masing-masing para ahli waris, dapat juga terjadi sengketa tentang harta warisan. Seperti, ada ahli waris yang ingin coba-coba untuk mengambil warisan orang tuanya, sehingga ahli waris lain yang merasa dirugikan menuntut kepada ahli waris yang mengambil bagian yang seharusnya milik nya dan ada pula ahli waris yang merasa tidak puas terhadap pembagian yang telah ditentukan oleh pewaris.

Dalam memahami sistem pewarisan adat memang agak sulit itu terlihat dari perbedaan pada setiap daerah yang memiliki persepsi masing-masing dalam aturan adatnya. Hal ini yang membuat negeri ini kaya akan sistem adat khususnya dalam hal pewrisan sehingga jangan sampai sistem adat di Indonesia pada umumnya diselaraskan oleh penguasa atau pemerintah ke dalam satu kodifikasi aturan dalam sistem hukum adat karena akan terjadi pelunturan sistem adat yang telah dijalankan oleh masyarakat adat secara turun temurun.

Berdasarkan uraian diatas, maka Penulis tertarik untuk menalaah lebih jauh mengenai “Perkembangan Hukum Waris Pada Masyarakat Adat Besemah Di Kota Pagaralam Sumatera Selatan”


(27)

B. Perumusan Masalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan hukum waris adat pada masyarakat adat Besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan ?

2. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan pada masyarakat adat besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan?

3. Bagaimana penyelesaian masalah pembagian harta warisan jika terjadi sengketa pada masyarakat adat besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan hukum waris adat pada masyarakat adat Besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembagian harta warisan pada masyarakat adat besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan.

3. Untuk mengetahui penyelesaian masalah pembagian harta warisan jika terjadi sengketa pada masyarakat adat besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan.


(28)

D. Manfaat Penelitian

Disamping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat yaitu:

1. Manfaat secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan masukan untuk menambah khasanah bidang keperdataan khususnya di bidang Hukum Waris Adat yang dapat digunakan untuk pihak-pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum.

2. Manfaat secara praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan hukum waris nasional.

b. Memberikan informasi kepada masyarakat dan kalangan akademis khususnya mahasiswa Magister Kenotariatan mengenai perkembangan hukum waris pada masyarakat adat Besemah di kota Pagaralam sumatera Selatan.

c. Menjadi salah satu referensi bagi pengembangan Hukum Waris Adat khususnya mengenai perkembangan hukum waris pada masyarakat adat Besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan.


(29)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Perkembangan Hukum Waris pada Masyarakat Adat Besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan“ belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Namun penelitian tentang perkembangan hukum waris adat juga pernah dilakukan oleh peneliti lain walaupun lokasi, obyek dan cakupan penelitiannya berbeda, yaitu oleh Frans Cory Melando Ginting dengan judul penelitian ”Perkembangan Hukum Waris Adat pada Masyarakat Adat Batak Karo (Studi Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo)“. Dengan mengangkat permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat batak karo di tiga desa (desa merdeka, desa gongsol, desa jaranguda), kecamatan merdeka kabupaten karo, propinsi sumatera utara?

2. Bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat batak karo di tiga desa (desa merdeka, desa gongsol, desa jaranguda), kecamatan merdeka kabupaten karo, propinsi sumatera utara?

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum waris adat batak karo pada masyarakat batak karo di tiga desa (desa merdeka, desa gongsol, desa jaranguda), kecamatan merdeka kabupaten karo, propinsi sumatera utara?


(30)

Jadi dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Hukum waris merupakan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang di dalamnya mengatur proses beralihnya hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang, baik berupa barang-barang harta benda yang berwujud, maupun yang tidak berwujud pada waktu wafatnya kepada orang lain yang masih hidup. Dalam kehidupan masyarakat yang masih teguh memegang adat istiadat, peralihan hak dan kewajiban tersebut dalam proses peralihannya dan kepada siapa dialihkan, serta kapan dan bagaimana cara pengalihannya diatur berdasarkan hukum waris adat.

Ter Haar dalam “Bagimselen en stelsel van het adat recht” (Soerojo Wignjodipoero) menyatakan bahwa hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiel dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.10 Selanjutnya, Soerojo Wignjodipoero memperjelas bahwa hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.11


(31)

Sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang warisan dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman Hadikusuma mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.12

Dalam hal ini kelihatan adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan harta, baik material maupun non material dari suatu generasi kepada keturunannya. Dijelaskan juga, dari pandangan hukum adat pada kenyataannya sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris sebelum pewaris wafat dalam bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.

Adapun teori yang dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini adalah teori Aliran Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (Volk geist) menyatakan bahwa hukum kebiasaan merupakan sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa memiliki volksgeist (jiwa rakyat). Dia berpendapat

12


(32)

hukum semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang undang.13

Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:14

1. Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis;oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.

2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.

3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa

13


(33)

adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan ("preservation") hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan mencegah terjadinya "pembaratan" (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.15

Paradigma pemahaman hukum adat dan perkembangannya harus diletakkan pada ruang yang besar, dengan mengkaji secara luas:

a. Kajian yang tidak lagi melihat sistem hukum suatu negara berupa hukum negara, namun juga hukum adat hukum agama serta hukum kebiasaan;

b. Pemahaman hukum (adat) tidak hanya memahami hukum adat yang dalam berada dalam komunitas tradisional- masyarakat pedesaan, tetapi juga hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat lingkungan tertentu (hybrid law atau unnamed law);

15

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi FH UNPAD, Penerbit Binacipta, Bandung, 1976, hal. 4


(34)

c. Memahami gejala trans nasional law sebagaimana hukum yang dibuat oleh organisasi multilateral, maka adanya hubungan interdependensi antara hukum internasional, hukum nasional dan hukum lokal.

Dengan pemahaman holistik dan intregratif maka perkembangan dan kedudukan hukum adat akan dapat dipahami dengan memadahi.

Menurut Ridwan Halim, Hukum adat adalah "Pada dasarnya merupakan keseluruhan peraturan hukum yang berisi ketentuan adat istiadat seluruh bangsa Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang berbhineka tunggal ika, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat berdasarkan pandangan hidup masing-masing.16

Dengan demikian, hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan tempat ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan firasatnya sendiri. Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.

Masalah warisan, pada prinsipnya memiliki tiga unsur penting yaitu:

1. adanya seseorang yang mempunyai harta peninggalan atau harta warisan yang wafat, yang disebut dengan si pewaris,

2. adanya seseorang atau beberapa orang yang berhak menerima harta peninggalan atau harta warisan, yang disebut waris atau ahli waris,


(35)

3. adanya harta peninggalan atau harta warisan yang ditinggalkan pewaris, yang harus beralih penguasaan atau pemilikannya. Bila dilihat dalam pelaksanaan, proses penerusan warisan kepada ahli waris sehubungan dengan unsur diatas sering menimbulkan persoalan, seperti:

a. Masalah kedekatan hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya yang dalam hal ini banyak dipengaruhi sifat lingkunagn kekeluargaan di mana si peninggal warisan itu berada,

b. Sejauh mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris,

c. wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal warisan dan si ahli waris bersama-sama berada. Bagi orang-orang Indonesia asli pada pokoknya berlaku Hukum Waris adat, yang berbeda dalam pelbagai daerah dan yang ada hubungan rapat dengan tiga macam kekeluargaan, yaitu sifat kebapaan, sifat keibuan dan sifat kebapa-ibuan.17

Karena banyaknya suku, agama dan kepercayaan yang berbeda-beda serta bentuk kekerabatan yang berbeda-beda, tetapi ini semua adalah pengaruh dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat adat atau dengan kata lain dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan suatu masyarakat hukum adat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat sekarang Hukum Waris yang berlaku masih bersifat pluralisme, hal ini disebabkan karena belum adanya Hukum Waris yang bersifat Nasional. Sama halnya dengan pelaksanaan pembagian warisan

17


(36)

pada masyarakat adat Besemah. Aturan yang berlaku selama ini adalah pembagian warisan secara hukum waris adat. Yaitu dengan sistem pewarisan mayorat laki-laki, harta peninggalan orang tua (pusaka rendah) atau harta peninggalan leluhur kerabat (pusaka tinggi) tetap utuh dan tidak dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki (mayorat pria).

Pembagian harta waris dapat dilakukan mengikuti hukum adat dan mengikuti hukum waris Islam. Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia menerapkan pembagian berimbang yaitu di antara semua waris mendapat bagian yang sama, seperti dilakukan oleh masyarakat Jawa, dan banyak pula yang menerapkan hukum waris Islam di mana setiap waris telah mendapatkan jumlah bagian yang telah ditentukan.18

2. Konsepsi

Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,19 yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan kepada proses penelitian ini. Oleh


(37)

karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut :

a. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.

b. Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat-akibatnya bagi ahli waris

c. Hukum waris adat adalah peraturan yang mengatur proses meneruskan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud dari suatu angkatan manusia kepada turunannya

d. Harta Warisan adalah harta kekayaan yang akan diteruskan pewaris ketika masih hidup atau setelah ia meninggal dunia untuk dikuasai atau dimiliki oleh para ahli waris

e. Masyarakat Besemah adalah suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Besemah diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagaralam, wilayah


(38)

Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat (Sumsel).

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis, maksudnya adalah suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan.20 Dalam hal ini mengenai Perkembangan Hukum Waris pada Masyarakat Adat Besemah di Kota Pagaralam Sumatera Selatan .

Penelitian ini dilakukan melalui metode pendekatan yuridis empiris, yaitu metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir. Cara kerja dari metode yuridis empiris dalam penelitian tesis ini, yaitu dari hasil pengumpulan dan penemuan data serta informasi melalui studi kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian tesis ini, kemudian dilakukan pengujian secara induktif–verifikatif pada fakta mutakhir yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran dalam suatu penelitian telah dinyatakan reliable tanpa harus melalui proses rasionalisasi.21


(39)

2. Lokasi Penelitian

Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan nasional menuju kearah unifikasi hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.22 Untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan nasional menuju kearah unifikasi hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan itu perlu diketengahkan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan.

Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat guna pembinaan hukum waris nasional adalah hukum waris adat.23 Oleh karenanya penulis melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan terutama pada masyarakat Adat Besemah di kota Pagaralam Propinsi Sumatera Selatan.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh gejala atau seluruh unit yang akan diteliti. Oleh karena populasi biasanya sangat besar dan luas, maka kerapkali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu, tetapi cukup diambil sebagian saja untuk diteliti sebagai sampel untuk memberikan gambaran yang tepat dan benar.24 Adapun mengenai jumlah sampel yang akan diambil menurut Ronny Hanitijo Soemitro, bahwa pada prinsipnya tidak ada peraturan yang ketat secara mutlak

22

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional, 14 s/d 17 Januari 1975 di Yogyakarta.

23

H. Hilman Hadikusuma, Op. Cit. hal 1

24

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, Hal.36


(40)

menentukan berapa persen sampel tersebut harus diambil dari populasi.25 Penarikan sampel tersebut dilakukan dengan cara Purpossive Sampling. Yaitu terdiri atas responden umum dan informan baik formal maupun informal.

Adapun informan dan responden dalam penelitian ini, antara lain : a. Informan

1) 2 (dua) orang Kepala Adat (Juraytuwe),

2) Ketua/Panitera/Pegawai Pengadilan Agama Kabupaten Lahat 3) 3 (tiga) orang Pegawai Camat, yaitu:

- 1 (satu) Camat dari Kecamatan Dempo Utara - 1 (satu) Camat dari Kecamatan Dempo Selatan - 1 (satu) Camat dari Kecamatan Dempo Tengah 4) 9 (sembilan) Lurah , yaitu:

- 3 (tiga) Lurah yang berada di Kecamatan Dempo Utara - 3 (tiga) Lurah yang berada di Kecamatan Dempo Selatan - 3 (tiga) Lurah yang berada di Kecamatan Dempo Tengah b. Responden

- 5 (lima) warga, diambil dari setiap masyarakat yang berada pada masing-masing Kelurahan


(41)

4. Alat Pengumpulan Data

Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat penelitian:

1. Studi dokumen, yaitu mempelajari serta menganalisa bahan pustaka (data skunder)

2. Wawancara, yaitu dibantu dengan pedoman wawancara kepada responden umum yaitu masyarakat Adat Besemah dan Informan, antara lain : Kades/lurah, tokoh adat dan pagawai Pengadilan Agama Lahat.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui verifikasi data sekunder dan data primer. Untuk selanjutnya dilakukan pengelompokan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.26

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehigga mudah dibaca dan dimengerti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data menurut jenisnya dalam bentuk persentase.

26

Erickson dan Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, LP3ES, Jakarta, 1996, hal. 17.


(42)

Kemudian data yang telah disusun secara sistematik dalam bentuk persentase dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pelaksanaan warisan pada masyarakat adat Besemah di Kota Pagaralam. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif sebagai jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.


(43)

BAB II

PERKEMBANGAN HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT BESEMAH DI KOTA PAGAR ALAM SUMATERA SELATAN

A. Deskripsi Kota Pagaralam

Kota Pagaralam adalah salah satu Kota dalam Propinsi Sumatera Selatan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2001 (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4115), sebelumnya Kota Pagaralam termasuk Kota Administratif dalam wilayah Kabupaten Lahat. Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat di era reformasi dan dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mulai dilaksanakan 1 Januari 2001, muncul fenomena keinginan masyarakat pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru (baik Propinsi, maupun daerah Kabupaten dan daerah Kota) yang terlepas dari induknya. Keinginan masyarakat diberbagai daerah untuk menjadikan daerahnya sebagai daerah otonom itu antara lain juga disebabkan karena UU No. 22/1999 tidak lagi mengenal adanya Kota Administratif (Kotif), namun hanya daerah Propinsi, Kabupaten dan Daerah Kota.

Secara geografis Kota Pagaralam berada pada posisi 40 Lintang Selatan (LS) dan 103,150 Bujur Timur (BT). Sebagai salah satu Kota di Provinsi Sumatera Selatan, Pagaralam terletak sekitar 298 Km dari Kota Palembang (Ibukota Provinsi) serta berjarak 60 Km di sebelah barat daya dari Kabupaten Lahat. Batas wilayah daerah ini adalah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lahat, Sebelah


(44)

Selatan berbatasan dengan Provinsi Bengkulu, Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lahat, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lahat dan Kabupaten Muara Enim.

Kota Pagaralam mempunyai banyak sungai, diantaranya sungai Lematang, sungai Selangis Besar, sungai Selangis Kecil, sungai Air Kundur, sungai Betung, sungai Air Perikan sedangkan sungai Endikat merupakan sungai yang membatasi dengan kecamatan Kota Agung Kabupaten Lahat. Sebagai atap Daerah Propinsi Sumatera Selatan, Kota Pagaralam berada pada ketinggian 100 – 1000 M dpl (Meter dari permukaan laut) dari luas wilayah dataran tinggi di daerah ini berada dibawah kaki Gunung Dempo + 3.159 Meter dpl.

Kota Pagaralam terdiri dari 5 kecamatan yaitu Kecamatan Pagaralam Utara, Pagaralam Selatan, Dempo Utara, Dempo Tengah, dan Dempo Selatan seluas 633,66 km2. Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Dempo Selatan (239,08 km2) sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Pagaralam Utara (55,47 km2).

Tabel 1: Luas Wilayah Kota Pagaralam

No. Kecamatan Luas (Km²)

1 Pagaralam Utara 55,47

2 Pagaralam Selatan 63,17

3 Dempo Utara 123,98

4 Dempo Tengah 151,96


(45)

Jarak wilayah kecamatan dengan desa/kelurahan dengan ibukota pemerintahan. Kecamatan terdekat dengan ibukota pemerintahan adalah Kecamatan Pagaralam Utara sedangkan kecamatan yang terjauh dari ibukota pemerintahan adalah Kecamatan Dempo Selatan.

Penduduk Kota Pagaralam, Sumatera Selatan setelah dilakukan validasi oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat, mengalami peningkatan menjadi 146.003 jiwa. Pendataan kependudukan yang dilakukan melalui validasi kelahiran, meninggal, pindah dan datang hingga Mei 2011 sudah mencapai 146.003 jiwa dari lima kecamatan. Terjadi peningkatan jumlah penduduk Kota Pagaralam dari data hasil pencacahan Badan Pusat Statistik (BPS) Pagaralam dibandingkan tahun 2010 sebanyak 126.356 jiwa, atau meningkat sebanyak 19.647 jiwa. pendataan dilakukan dengan mendatangi langsung dan laporan dari masyarakat di sejumlah dusun/desa, sehingga mempermudah melakukan validasi. beberapa faktor yang mendorong peningkatan penduduk, yaitu kelahiran dan pindah alamat dari suatu daerah ke Pagaralam.27

Berdasarkan data tersebut 64.057 jiwa laki-laki dan 61.058 jiwa perempuan. Penduduk paling banyak berada di Kecamatan Pagaralam Selatan 44.948 jiwa, disusul Kecamatan Pagaralam Utara 37.184 jiwa, Kecamatan Dempo Utara 19.924 jiwa, Kecamatan Dempo Tengah 12.595 jiwa, dan Kecamatan Dempo Selatan 11.705 jiwa. Meskipun pendataan sudah rampung akan tetapi belum dapat diketahui secara

27

Admin, Penduduk Kota Pagaralam Meningkat, berita online dari situs http://sigapbencana-bansos.info/berita/14683-penduduk-kota-pagaralam-meningkat-.html, diakses pada tanggal 19 Oktober 2011.


(46)

keseluruhan tentang data rincian kehidupan masyarakat Pagaralam, seperti jumlah anak-anak, jumlah pedagang, petani dan termasuk pegawai negeri sipil.

Tabel 2 : Jumlah Penduduk Kota Pagaralam

NO KECAMATAN JUMLAH (JIWA)

1 Pagaralam Utara 37.184

2 Pagaralam Selatan 44.948

3 Dempo Utara 19.924

4 Dempo Tengah 12.595

5 Dempo Selatan 11.705

JUMLAH 126.356

Sumber: BPS Kota Pagaralam, 2010

Penduduk asli masyarakat yang berada di Kota Pagaralam sebagian besar menganut agama Islam sedangkan sebagian pendatang beragama Kristen.

Tabel 3 : Jumlah Penduduk Kota Pagaralam Menurut Agama

NO AGAMA JUMLAH (JIWA)

1 Islam 126.088

2 Kristen 268

3 Hindu -

4 Budha -

JUMLAH 126.356

Sumber: BPS Kota Pagaralam, 2010

Dilihat dari segi sosial ekonomi, sebagian besar penduduk Kota Pagar Alam bermata pencaharian sebagai petani, hanya sebagian kecil yang bermata pencaharian sebagai buruh, Pegawai Negeri Sipil, pedagang, pengrajin dan lain-lain. Dengan


(47)

dan pariwisata. Kontribusinya terindikasi dengan melihat luasnya lahan pertanian dan perkebunan yang tersedia di wilayah ini dan kondisi alam yang sejuk alami.

Tanaman kopi yang sebahagian besar berjenis robusta dihasilkan dari Kota Pagaralam, dan merupakan hasil komoditas ekspor. Kopi telah menjadi andalan perekonomian kota. Tanaman yang tersebar di seluruh kecamatan inilah yang memacu sektor perkebunan menjadi tulang punggung perekonomian Pagaralam.

B. Sejarah Besemah

Nama Pasemah yang kini dikenal sebetulnya adalah lebih karena kesalahan pengucapan orang Belanda, demikian menurut Mohammad Saman seorang budayawan dan sesepuh di sana. Adapun pengucapan yang benar adalah Besemah sebagaimana masih digunakan oleh penduduk yang bermukim di sana. Namun yang kini lebih dikenal adalah nama Pasemah. Konon, munculnya nama Besemah adalah karena keterkejutan puyang Atong Bungsu manakala melihat banyak ikan “Semah” di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo, yang terucap oleh puyang tersebut kemudian adalah “Be-semah” yang berarti ada banyak ikan semah di sungai tersebut. Hal ini juga tertulis dalam sebuah manuskrip kuno beraksara Latin berjudul Sejarah Pasemah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta. Dalam manuskrip ini dikisahkan bahwa Atong Bungsu ke Palembangan, Muara Lematang. Dia masuk dan memeriksa rimba yang kemudian dinamainya Paduraksa yang berarti “baru diperiksa”. Istrinya, yakni Putri Senantan Buway, setelah mencuci beras di sungai, pulang ke darat dengan membawa ikan semah. Maka tanah tersebut kemudian


(48)

dinamakan oleh Atong Bungsu sebagai Tana Pasemah. Atong Bungsu itulah yang dipercaya sebagai nenek moyang suku Pasemah. Menurut manuskrip di atas, puyang Pasemah ini adalah keturunan dari Majapahit. Ia adalah salah seorang anak dari delapan anak dari seorang raja di Majapahit yang berjulukan Ratu Sinuhun.28

Besemah adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama "Lampik Empat, Merdike Duwe" yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat.

Menurut Kamil Mahruf, Nanang Soetadji, dan Djohan Hanafiah, asal usul orang Besemah dimulai dengan kedatangan Atong Bungsu, yaitu nenek moyang orang Besemah Lampik Empat dari Hindia Muka untuk menetap di daerah ini. Saat kedatangan Atong Bungsu tersebut, ternyata sudah ada berdiam dua suku yang menempati daerah itu. Yakni, suku Penjalang dan suku Semidang. Untuk menjaga ketenteraman dan melindungi kepentingan mereka, pendatang dan kedua suku itu menyepakati perjanjian bersama. Intinya, di antara mereka sampai anak keturunannya, tidak akan mengganggu dalam segala hal.29

28


(49)

Besemah, yang kini meliputi kota Pagaralam (pusat Besemah), Kabupaten Lahat, sebagian Kabupaten Empat Lawang dan sebagian Kabupaten Muaraenim, provinsi Sumatera Selatan, telah sejak lama memiliki lembaga adat, lembaga pemerintah adat, sekaligus merupakan lembaga hukum atau lembaga peradilan dan lembaga perwakilan atau permusyawaratan yang sangat demokratis. Nama lembaga tersebut adalah Lampik Mpat Mardike Duwe, kalau dialihbahasakan menjadi “Lampik Empat Merdeka Dua”. Namun sebagai istilah hukum Lampik Mpat Mardike Duwe tidak boleh dialihbahasakan, sama halnya dengan istilah Dalihan Na Tolu (dalam bahasa Batak) dan Tigo Tungku Sajarangan (dalam bahasa Minangkabau) tidak dialihbahasakan, cukup diberi keterangan atau penjelasan, atau diterangkan maknanya dengan bahasa yang dimengerti oleh umum. Lampik Mpat Mardike Duwe merupaan sistem sistem pemerintahan tradisional asli masyarakat Besemah sebelum diterapkannya pemerintahan marga oleh pemerintahan kolonial Belanda akhir abad ke-19.30

Pada era Jagat Besemah, dusun-dusun, baik di dalam maupun diluar tanah Besemah namun penduduknya berasal dari Juray Besemah, seperti Semende, Kisam, Kedurang, Padang-Guci, Kelam, Kinal, Luwas, dan dengan terjadinya Merubuh Sumbay (terjadi sekitar awal abad ke-20), batasannya menjadi kabur dengan munculnya dusun-dusun teritorial akibat mobilitas penduduk dan modernisasi, ditambah lagi dengan adanya program transmigrasi.

30

Ahmad bastari, Ek Pascal dan Yudi Herpansi, Lampik Mpat Mardike Duwe, Penerbit: Pesake (Pecinta Sejarah dan Kebudayaan) dan Pemerintah Kota Pagaralam, 2008, hal. 5


(50)

Seiring dengan perjalanan waktu, sumbay-sumbay (kesatuan masyarakat adat, termasuk kesatuan masyarakat hukum berdasarkan keturunan) di Jagat Besemah berkembangbiak, sehingga menyebar diseluruh wilayah yang kini bernama kota Pagaralam, Kabupaten Lahat, sebagian Kabupaten Empat Lawang dan sebagian Kabupaten Muaraenim, sebagian Kabupaten Ogan Komering Ulu, sebagian Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (provinsi Sumatera Selatan), sebagian Kabupaten Bengkulu Selatan, sebagian Kabupaten Kaur, sebagian Kabupaten Seluma (provinsi Bengkulu), sebagian Kabupaten Lampung Selatan dan sebagian Kabupaten Lampung Utara (provinsi Lampung).31

Besemah suatu terminology lebih dikenal dekat dengan satu bentuk kebudayaan dan suku yang berada disekitar gunung Dempo dan pegunungan Gumay. Wilayah ini dikenal dengan Rena Besemah. Sedangkan untuk terminology politik dan pemerintahan, dipergunakan nomenklatur Besemah. Pada masa kolonial oleh Inggris dan Belanda menyebutnya Pasemah, bahkan sampai sekarang Pemerintah Republik Indonesia masih menyebutnya Pasemah. Tanah Besemah merupakan dataran tinggi yang terletak di kaki Bukit Barisan mengelilingi Gunung Dempo, beriklim tropis, berudara sejuk, dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi, teh, dan sayur mayur. Penduduk tanah besemah termasuk rumpun suku Melayu Tengah, sejak dahulu sudah dikenal mempunyai peradaban dan nilai-nilai budaya tinggi. Hal ini dibuktikan banyaknya peninggalan Prasejarah dalam bentuk arca, menhir serta tulisan


(51)

yang belum dapat dibaca, seni tutur dalam bentuk guritan, tadut, rejung dan lain-lain; permainan alat musik tradisional berupa ginggung dan lain-lain.

C. Hukum Waris Tradisional Masyarakat Besemah

Berbicara tentang sistem kewarisan, tidaklah terlepas dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia. Apalagi masyarakat adat yang ada di Indonesia memeluk agama yang berbeda-beda, bersuku-suku, kepercayaan yang berbeda-beda, mempunyai bentuk kekeluargaan maupun kekerabatan yang berbeda pula. Tetapi walaupun demikian, pada umumnya dapat dikatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ada dalam masyarakat adat di Indonesia dikenal ada 3 (tiga) jenis:32

1. Sistem Patrilineal, yaitu suatu masyarakat hukum, dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas, melalui garis bapak, bapak dari bapak, terus ke atas, sehingga akhirnya dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya.

Menurut sistem ini, garis keturunan ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan laki-laki lebih menonjol dari pada kedudukan perempuan di dalam pewarisan. Seorang anggota keluarga merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang laki-laki maka anggapan seketurunan semacam itulah yang menghubungkan pria sebagai garis pengikatnya.

32

I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, Badan Penerbit: Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. 13-15.


(52)

Akibat hukum yang timbul dari sistem patrilineal ini adalah bahwa istri karena perkawinannnya (biasanya perkawinan dengan sistem pembayaran uang jujuran), dikeluarkan dari keluarganya, kemudian masuk dan menjadi keluarga suaminya. Anak-anak yang lahir menjadi kelauarga bapak (suami), harta yang ada milik bapak (suami) yang nantinya diperuntukan bagi anak-anak keturunannya.

Sistem perkawinan dengan pembayaran jujur pada masyarakat adat Besemah dilakukan dengan cara pelamaran. Uang jujur itu disampaikan kepada wali kerabat pria kepada kerabat wanita dengan upacara adat. Sebaliknya dari pihak kerabat wanita memberikan barang-barang bawaan mempelai wanita berupa perkakas rumah tangga, pakaian, perhiasan dan sebagainya. Dengan perkawinan jujur ini lepaslah hubungan adat wanita dari kerabatnya masuk kekerabatan pria.

Pihak kerabat calon suami, sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya. Setelah perkawinan, istri berada di bawah kekuasaan kerabat suaminya, dan merupakan tanggung jawab kerabat suaminya. Harta bawaan istri dikuasai oleh suami, kecuali ditentukan lain. Pembayaran jujur tidak sama dengan mas kawin menurut hukum islam. uang jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan perkawinan yang harus di penuhi oleh kerabatpria kepada kerabat wanita. Sedangkan mas kawin adalah kewajiban


(53)

agama ketika dilaksanakan akan nikah yang harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk mempelai wanita, uang jujur tidak boleh dihutangkan.

Umumnya dalam perkawinan jujur tidak dikenal cerai dan bila suami wafat, si istri mengawini saudara suami. jadi senang-susah selama hidupnya istri dibawah kekuasaan suami. Perkawinan ini dikenal dengan perkawinan pengganti. Jika suami wafat, maka istri harus melakukan perkawinan dengan saudara suami. Jika istri wafat, maka suami harus kawin lagi dengan saudara istri (Besemah: kawin tongkat). Tetapi bila tidak ada saudara/saudari suami/istri, maka digantikan orang lain diluar kerabat.

Bagi keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki atau dalam keluarga hanya memiliki anak perempuan saja, maka pada masyarakat adat Besemah menggunakan bentuk perkawinan semanda. Bentuk perkawinan semanda yaitu bentuk perkawinan tanpa uang jujur dari pihak pria kepada pihak wanita, dalam arti setelah perkawinan suami menetap dan berkedudukan dipihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri.

Istri bukan ahli waris dalam keluarga suaminya, tetapi ia anggota keluarga yang dapat menikmati hasil dari harta tersebut, seandainya suaminya meninggal dunia, sepanjang dia tetap setia menjanda, tinggal di kediaman keluarga suaminya dengan anak-anaknya, menjaga tetap nama baik suami dan keluarga suami, dia tetap mempunyai hak menikmati harta peninggalan almarhum suaminya.


(54)

2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem dimana anggota masyarakat tersebut menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnnya.

Akibat hukum yang timbul adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta mewaris dari keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk dalam keluarga ibu atau tidak masuk dalam kelaurga istri. Dapat dikatakan bahwa sistem kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini, kedudukan wanita lebih menonjol dari pria di dalam pewarisan.

3. Sistem Parental atau Bilateral, adalah masyarakat hukum, dimana para anggotanya menarik garis keturunan ke atas memalui garis bapak dan ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang laki-laki dan perempuan sebagai moyangnnya. Dalam sistem ini kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan, termasuk dalam hal kewarisan. Dengan demikian, maka setiap anggota keluarga menarik garis keturunannya dan menghubungkan dirinya melalui bapak ibunya. Hal itu dilakukan oleh bapak ibunya, dimana kedua garis keturunan itu dinilai dan diberi derajat yang sama. Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya. Mengenai apa yang dimaksud semua anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama haknya atas harta warisan dibagi merata diantara semua waris, oleh karena harta warisan itu tidak merupakan satu kesatuan yang dapat dengan begitu saja dinilai harganya dengan uang. Begitu pula bagaimana pembagian itu kelak akan dilaksanakan


(55)

tergantung pada keadaan harta dan warisnya, ada kemungkinan waris yang lemah ekonominya mendapat lebih banyak dari waris yang kuat ekonominya.

Antara sistem keturunan yang satu dan yang lainnya, dikarenakan hubungan perkawinan, dapat berlaku bentuk campuran bentuk campuran antara sistem patrilineal dan sistem matrilineal di dalam perkembangannya sekarang ini, tampak pengaruh bapak ibu (parental atau bilateral) dan bertambah surutnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal menyangkut hak waris. Namun demikian, dikalangan masyarakat masih banyak juga yang bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan yang lama. Hal ini dikatakan oleh Hazairin :

“Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya Patrilinial, Matrilinial, Parental atau Bilateral” 33

Masyarakat adat Besemah mengutamakan kedudukan anak laki-laki dari pada anak perempuan, yaitu menganut sistem Patrilineal. Anak laki-laki adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari satu bapak asal, sedangkan anak perempuan disiapkan untuk menjadi anak orang lain, yang akan memperkuat keturunan orang lain. Anak laki-laki tertua pada masyarakat adat Besemah harus tetap berada dan berkedudukan di rumah bapaknya dan bertanggung jawab atas kehidupan adik-adiknya lelaki dan perempuan terutama yang belum berumah tangga. 34

33

Hazairin, Hukum dan Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Haddits, PT. Tirta Mas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 9

34

Wawancara dengan Yoseh Rizal, Lurah Lubuk Buntak kecamatan Dempo Selatan, pada tanggal 22 Agustus 2011.


(56)

Kedudukan anak laki-laki dalam hukum Adat Besemah dengan sendirinya berada ditangan anak laki-laki yang tertua meliputi hak waris, kedudukan adat, dan hak keturunan. Maka anak laki-laki tertua dari keturunan (juray) mempunyai kedudukan sebagai pemimpin dan bertanggung jawab mengatur anggota kerabatnya. Kedudukan anak laki-laki walaupun diutamakan dalam arti umum mempunyai perbedaan antara anak laki-laki tertua, anak laki-laki kedua, dan seterusnya serta kedudukan anak laki dari istri tertua akan lebih utama dari kedudukan anak laki-laki dari istri kedua berdasarkan status hukum adat.

Kedudukan anak laki-laki tertua tidak saja sebagai penerus keturunan orang tuanya, tetapi juga mempunyai kedudukan sebagai :

a. Penerus pemimpin orang tuanya

b. Sebagai pemimpin yang mempunyai hak mutlak atas kekayaan, warisan maupun pusaka dari kerabat orang tuanya

c. Sebagai pemimpin yang berhak dan bertanggung jawab kepada kerabat, keturunan, adik-adiknya baik bertindak atas nama juray (kedudukan atau pemimpin) adat maupun kekerabatan.

Di daerah masyarakat Besemah yang memimpin, mengurus, dan mengatur penguasaan harta peninggalan adalah anak punyimbang, yaitu anak lelaki tertua dari isteri tertua, yang mengharuskan anak laki-laki tertua sebagai pemelihara dan penerus harta bersama (rumah, sawah, kebun, tambak dan sebagainya). Harta tersebut bukan berarti dimiliki oleh anak laki-laki tadi, akan tetapi hak kepemilikan tetap ada pada


(57)

Harta bawaan yang menjadi harta warisan pada masyarakat adat Besemah, yaitu terdiri dari:

1. Harta peninggalan, yaitu harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua, untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan ahli waris bersama.

Di daerah masyarakat adat Besemah, di dalam perkawinan anak tertua lelaki akan selalu diikutsertakan dengan harta peninggalan orang tua, untuk mengurus dan membiayai kehidupan adik-adiknya. Harta peninggalan orang tua itu berupa harta pusaka (pesake), yaitu harta yang turun-temurun dari generasi ke generasi dan dikuasai oleh anak-tuwe laki-laki (anak laki-laki tertua) dari keluarga itu menurut tingkatannya masing-masing. Terhadap harta pesake tidak boleh dipindahtangankan penguasaannya kepada yang tidak berhak.35

Harta pusaka tersebut terbagi menjadi harta pusaka yang tidak berwujud dan harta pusaka yang berwujud. Harta pusaka yang tidak berwujud adalah seperti hak-hak atas gelar adat, kedudukan adat, hak mengatur dan mengadili anggota-anggota kerabat. Sedangkan hak-hak yang berwujud seperti hak-hak atas pakaian, perlengkapan adat, tanah, pekarangan dan bangunan rumah, tanah perladangan.

35

Wawancara dengan Sudarman, Juray Tuwe (Kepala Adat) Nen Dagung Kec. Dempo Utara, tanggal 18 Agustus 2011


(58)

Sistem kewarisan mayorat laki-laki pada masyarakat adat Besemah merupakan sistem mayorat yang hanya pelimpahan semata-mata untuk bertanggung jawab terhadap harta peninggalan orang tua yang telah meninggal dunia kepada anak tertua laki-laki. Oleh karena itu, bagi masyarakat Besemah adanya seorang keturunan anak laki-laki sangatlah penting dikarenakan harta warisannya bersifat mayorat laki-laki yang hanya dikuasai anak tertua laki-laki untuk kepentingan bersama.

2. Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari harta warisan untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan rumah tangga.

Barang-barang bawaan isteri yang berasal dari pemberian orang tuanya seperti barang-barang warisan “peninge” terhadap anak perempuan yang kawin jujur, setelah terjadi perkawinan dikuasai oleh suami untuk dimanfaatkan guna kepentingan kehidupan rumah tangga keluarga. Kecuali yang menyangkut hukum agama seperti “mas kawin” yang merupakan hak milik pribadi isteri. Di daerah Pagaralam melarang terjadinya suatu perceraian dari suatu perkawinan jujur, yang berarti bahwa isteri tidak berhak membawa kembali barang pemberian orang tua dan kekerabatannya yang telah masuk dalam perkawinan.


(1)

dinyatakan dengan terang dihadapan pemuka adat, tetapi pada umumnya hanya dilakukan dihadapan para ahli waris dan anggota keluarga lainnya.

b. Sesudah pewaris meninggal dunia

Penguasaan harta peniggalan pewaris secara langsung dikuasai oleh anak laki-laki tertua sebagai pemimpin keluarga menggantikan orang tuanya. Anak laki-laki tertua inilah yang bertanggung jawab dalam hal pengurusan dan pembagian harta warisan kepada keluarganya.

3. Penyelesaian sengketa pembagian warisan pada masyarakat adat Besemah biasanya dilakukan secara musyawarah keluarga dengan bantuan saudara orang tua yang masih hidup atau bertanya pada pemuka adat atau pemuka agama. Pembagian harta warisan secara musyawarah keluarga dilakukan jika seluruh keluarga dari si pewaris telah hadir dalam pertemuan keluarga. Hal ini dilakukan agar tidak ada perasaan tidak adil dari setiap ahli waris yang akan menerima warisannya. Maksudnya adalah agar pembagian yang adil bagi ahli waris secara nyata dapat diperlihatkan baik kepada saksi-saksi maupun keluarga itu sendiri. Sedangkan penyelesaian masalah pembagian warisan pada masyarakat adat Besemah berdasarkan penelitian belum pernah ada yang dilakukan melalui jalur hukum (Pengadilan). Hal ini dikarenakan menurut masayarakat adat Besemah, masalah warisan yang ditempuh melalui jalur hukum akan menjadi malu/aib nama keluarganya.


(2)

B. Saran

1. Perkembangan hukum waris dalam masyarakat adat Besemah yang terjadi sekarang ini, diharapkan adanya persamaan hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, dengan tetap menjunjung tinggi adat istiadat nenek moyang, yaitu dengan mempelajari, memelihara dan mengembangkan semua peninggalan nilai-nilai adat dan budaya positif sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman.

2. Pembagian warisan pada masyarakat adat besemah dikuasai oleh anak laki-laki tertua, maka diharapkan anak laki-laki-laki-laki tertua (anak-tuwe laki-laki) tersebut dapat bersikap adil dalam melakukan pembahagian harta warisan terhadap ahli waris lainnya. Karena anak laki-laki tertua pada masyarakat adat Besemah merupakan pemimpin keluarga dan penerus tanggung jawab atas harta peninggalan orang tuanya yang wafat. Tanggung jawabnya juga terhadap kehidupan adik-adiknya yang masih kecil, hingga mereka dapat berdiri sendiri.

3. Penyelesaian masalah pembagian warisan pada masyarakat adat Besemah diharapkan dapat terselesaikan secara kekeluargaan. Apabila masalah pembagian warisan tersebut tidak selesai melalui jalur musyawarah, maka pihak-pihak yang dirugikan dapat menempuh jalur hukum ke Pengadilan Agama, yaitu penyelesaian masalah terhadap orang-orang yang beragama Islam dengan sistem pembagian warisan menurut hukum waris Islam.


(3)

(4)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku-buku

Ali, M. Daud, Asas-asas Hukum Islam (Hukum Islam I) Pengantar Ilmu Hukum Dan tata hukum Indonesia, Rajawali Press, Cetakan Ketiga, jakarta, 1993 Bastari, Ahmad, Ek Pascal dan Yudi Herpansi, Lampik Mpat Mardike Duwe,

Penerbit: Pesake (Pecinta Sejarah dan Kebudayaan) dan Pemerintah Kota Pagaralam, 2008

Erickson dan Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, Jakarta: LP3ES, 1996

Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Indonesia, Perundang-undangan Hukum Adat, Hindu, dan Islam, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1994

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 1993 Hazairin, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975

Hazairin, Hukum dan Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Haddits, PT. Tirta Mas Indonesia, Jakarta, 1990

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, cet. VII, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996

Mahruf, Kamil, Pasemah Sindang Mardike 1821-1866, Paguyuban Masyarakat Peduli Musi, Palembang, 1999.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi FH UNPAD, Penerbit Binacipta, Bandung, 1976

Purba, Rehngena, Sikap Mahkamah Agung Terhadap Kedudukan duda dan Janda dalam Hukum Adat, Kanun No. 35 Edisi April 2000


(5)

Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Warisan di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1980

Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Perdata Indonesia, Rajawali, 1988

Wignyodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Mas Agung, Jakarta, 1990

Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, 1985

Sugangga, IGN., Hukum Waris Adat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998 Suparman, Eman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Armico, Bandung, 1983 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Penerbit Universitas, 1993

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990

Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1990

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986

Soerjono dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Cet. Pertama, Alumni: Bandung, 1981

Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat (Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht), diterjemahkan oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001

Usman, Datuk, Diktat Hukum Adat, Bina Saran Balai Penmas SU, Medan, 1988 W. Friedmann, Legal Teori, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat

Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I, Jakarta, CV. Rajawali, 1990


(6)

II. Internet

Admin, Penduduk Kota Pagaralam Meningkat, berita online dari situs

http://sigapbencana-bansos.info/berita/14683-penduduk-kota-pagaralam-meningkat-.html, diakses pada tanggal 19 Oktober 2011. Admin, Sekilah Sejarah Besemah, diakses dari situs http://besemah.blogspot.com/

2007/06/sekilas-sejarah-besemah.html, pada tanggal 20 Oktober 2011. Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si., Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Masa

Depan Peradilan Agama (Analisis UU No. 48 Tahun 2009 dan UU No.

50 Tahun 2009), artikel PDF diunduh dari halaman

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/KEKUASAAN%20 KEHAKIMAN%20

YANG%20MERDEKA%20DAN%20MASA%20DEPAN%20PERADILAN%20AGA MA.pdf, pada tanggal 1 November 2011.

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional, 14 s/d 17 Januari 1975 di Yogyakarta.

Salman, Penyelesaian Pembagian Waris Dengan Prinsip

Kesepakatan (Kekeluargaan), diakses dari situs

https://andukot.wordpress.com/2010/11/28/penyelesaian-pembagian-waris-dengan-prinsip-kesepakatan-kekeluargaan/, pada tanggal 3 Oktober 2011.

Wahyudi, Abdullah Tri, Kekuasaan Peradilan Agama (Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009), diakses dari http://advosolo.wordpress.com/2010/05/15/kekuasaan-peradilan-agama/, pada tanggal 1 November 2011.

Putusan Mahkamah Agung tanggal 6/4/1976 No.990 K/Sip/1974 dalam perkara penentuan harta peninggalan dengan wasiat (antara para Syechun binti S.Umar Alatas lawan Para Muznah binti S.Umar Alatas).