D. Manfaat Penelitian
Disamping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat yaitu:
1. Manfaat secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan masukan untuk menambah khasanah bidang keperdataan khususnya di bidang Hukum Waris Adat
yang dapat digunakan untuk pihak-pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum.
2. Manfaat secara praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan hukum waris nasional.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat dan kalangan akademis khususnya mahasiswa Magister Kenotariatan mengenai perkembangan hukum waris pada
masyarakat adat Besemah di kota Pagaralam sumatera Selatan. c. Menjadi salah satu referensi bagi pengembangan Hukum Waris Adat
khususnya mengenai perkembangan hukum waris pada masyarakat adat Besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Perkembangan
Hukum Waris pada Masyarakat Adat Besemah di kota Pagaralam Sumatera Selatan“ belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Namun penelitian tentang
perkembangan hukum waris adat juga pernah dilakukan oleh peneliti lain walaupun lokasi, obyek dan cakupan penelitiannya berbeda, yaitu oleh Frans Cory Melando
Ginting dengan judul penelitian ”Perkembangan Hukum Waris Adat pada Masyarakat Adat Batak Karo Studi Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo“. Dengan
mengangkat permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat batak karo di tiga desa desa merdeka, desa gongsol, desa jaranguda, kecamatan merdeka
kabupaten karo, propinsi sumatera utara? 2.
Bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat batak karo di tiga desa desa merdeka, desa gongsol, desa jaranguda, kecamatan merdeka
kabupaten karo, propinsi sumatera utara? 3.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum waris adat batak karo pada masyarakat batak karo di tiga desa desa merdeka, desa gongsol,
desa jaranguda, kecamatan merdeka kabupaten karo, propinsi sumatera utara?
Universitas Sumatera Utara
Jadi dengan
demikian penelitian
ini adalah
asli dan
dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Hukum waris merupakan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang di dalamnya mengatur proses beralihnya hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang, baik berupa barang-barang harta benda yang berwujud, maupun yang tidak berwujud pada waktu wafatnya kepada orang lain yang masih hidup. Dalam
kehidupan masyarakat yang masih teguh memegang adat istiadat, peralihan hak dan kewajiban tersebut dalam proses peralihannya dan kepada siapa dialihkan, serta
kapan dan bagaimana cara pengalihannya diatur berdasarkan hukum waris adat. Ter Haar dalam “Bagimselen en stelsel van het adat recht” Soerojo
Wignjodipoero menyatakan bahwa hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan
selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiel dan immaterial dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya.
10
Selanjutnya, Soerojo Wignjodipoero memperjelas bahwa hukum adat waris meliputi norma-norma hukum
yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang
sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.
11
10
Ibid , hal. 161
11
Ibid . Hal. 161
Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang warisan dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman
Hadikusuma mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.
12
Dalam hal ini kelihatan adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan harta, baik material maupun non material dari suatu generasi kepada
keturunannya. Dijelaskan juga, dari pandangan hukum adat pada kenyataannya sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris sebelum pewaris wafat dalam
bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.
Adapun teori yang dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini adalah teori Aliran Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Friedrich Carl von
Savigny Volk geist menyatakan bahwa hukum kebiasaan merupakan sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama
dengan masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dan tiap-tiap bangsa memiliki volksgeist jiwa rakyat. Dia berpendapat
12
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, Hal. 7
Universitas Sumatera Utara
hukum semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang undang.
13
Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
14
1. Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah
proses yang tidak disadari dan organis;oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah
dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan
dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu
organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah Kesadaran umum ini tampaknya oleh
Scholten disebut sebagai kesadaran hukum. Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang
relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang. 3.
Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa
13
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, cet. VII, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 69.
14
W. Friedmann, Legal Teori, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan,
cet. I, CV. Rajawali, Jakarta,1990, hal. 61
Universitas Sumatera Utara
adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan
daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum
sepanjang sejarah. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia, pemikiran dan
sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan preservation hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai
kebudayaan asli penduduk pribumi dan mencegah terjadinya pembaratan westernisasi yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan berhasil mencegahnya
samasekali, kecuali bagi sebagian kecil golongan pribumi.
15
Paradigma pemahaman hukum adat dan perkembangannya harus diletakkan pada ruang yang besar, dengan mengkaji secara luas:
a. Kajian yang tidak lagi melihat sistem hukum suatu negara berupa hukum
negara, namun juga hukum adat hukum agama serta hukum kebiasaan; b.
Pemahaman hukum adat tidak hanya memahami hukum adat yang dalam berada dalam komunitas tradisional- masyarakat pedesaan, tetapi juga hukum
yang berlaku dalam lingkungan masyarakat lingkungan tertentu hybrid law atau unnamed law;
15
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masvarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi FH UNPAD, Penerbit Binacipta, Bandung, 1976, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
c. Memahami gejala trans nasional law sebagaimana hukum yang dibuat oleh
organisasi multilateral, maka adanya hubungan interdependensi antara hukum internasional, hukum nasional dan hukum lokal.
Dengan pemahaman holistik dan intregratif maka perkembangan dan kedudukan hukum adat akan dapat dipahami dengan memadahi.
Menurut Ridwan Halim, Hukum adat adalah Pada dasarnya merupakan keseluruhan peraturan hukum yang berisi ketentuan adat istiadat seluruh
bangsa Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang berbhineka tunggal ika, mengingat bangsa
Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat berdasarkan pandangan hidup masing-
masing.
16
Dengan demikian, hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan
keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan tempat ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan firasatnya sendiri. Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti
hidup itu sendiri. Masalah warisan, pada prinsipnya memiliki tiga unsur penting yaitu:
1. adanya seseorang yang mempunyai harta peninggalan atau harta warisan yang wafat, yang disebut dengan si pewaris,
2. adanya seseorang atau beberapa orang yang berhak menerima harta peninggalan atau harta warisan, yang disebut waris atau ahli waris,
16
Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, 1985, hal 9.
Universitas Sumatera Utara
3. adanya harta peninggalan atau harta warisan yang ditinggalkan pewaris, yang harus beralih penguasaan atau pemilikannya. Bila dilihat dalam pelaksanaan, proses
penerusan warisan kepada ahli waris sehubungan dengan unsur diatas sering menimbulkan persoalan, seperti:
a. Masalah kedekatan hubungan seseorang peninggal warisan dengan
kekayaannya yang dalam hal ini banyak dipengaruhi sifat lingkunagn kekeluargaan di mana si peninggal warisan itu berada,
b. Sejauh mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli
waris, c.
wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal warisan dan si ahli waris bersama-sama berada.
Bagi orang-orang Indonesia asli pada pokoknya berlaku Hukum Waris adat, yang berbeda dalam pelbagai daerah dan yang ada hubungan rapat dengan tiga
macam kekeluargaan, yaitu sifat kebapaan, sifat keibuan dan sifat kebapa-ibuan.
17
Karena banyaknya suku, agama dan kepercayaan yang berbeda-beda serta bentuk kekerabatan yang berbeda-beda, tetapi ini semua adalah pengaruh dari sistem
kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat adat atau dengan kata lain dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan suatu masyarakat hukum adat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat sekarang Hukum Waris yang berlaku masih bersifat pluralisme, hal ini disebabkan karena belum adanya Hukum
Waris yang bersifat Nasional. Sama halnya dengan pelaksanaan pembagian warisan
17
Wirjono Prodjodikoro, Op cit, Hal.12
Universitas Sumatera Utara
pada masyarakat adat Besemah. Aturan yang berlaku selama ini adalah pembagian warisan secara hukum waris adat. Yaitu dengan sistem pewarisan mayorat laki-laki,
harta peninggalan orang tua pusaka rendah atau harta peninggalan leluhur kerabat pusaka tinggi tetap utuh dan tidak dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris,
melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki mayorat pria. Pembagian harta waris dapat dilakukan mengikuti hukum adat dan mengikuti
hukum waris Islam. Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia menerapkan pembagian berimbang yaitu di antara semua waris
mendapat bagian yang sama, seperti dilakukan oleh masyarakat Jawa, dan banyak pula yang menerapkan hukum waris Islam di mana setiap waris telah mendapatkan
jumlah bagian yang telah ditentukan.
18
2. Konsepsi