64
B. Fungsi Pengadministrasian Perwakafan Tanah Menurut Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977
Dalam hukum Islam tidak ada ketentuan hukum yang mengharuskan pendaftaran tanah wakaf atau mencatat transaksi penyerahan tanah wakaf. Tetapi
kalau dilihat dalam kegiatan muamalah lainnya, ada petunjuk dari al-Qur’an untuk mencatat dan menuliskannya, sebagaimana disebutkan dalam surat al-
Baqarah ayat 282:
ﻢﹸﻜﻨﻴﺑ ﺐﺘﹾﻜﻴﹾﻟﻭ ﻩﻮﺒﺘﹾﻛﺎﹶﻓ ﻰﻤﺴﻣ ﹴﻞﺟﹶﺃ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﹴﻦﻳﺪﹺﺑ ﻢﺘﻨﻳﺍﺪﺗ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ ﹺﻝﺪﻌﹾﻟﺎﹺﺑ ﺐﺗﺎﹶﻛ
ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ 2
: ٢٨٢
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, Al-Baqarah: 282
Adijani al-Alibij menyatakan bahwa, berwakaf adalah suatu kegiatan yang tiada kalah pentingnya dari sekedar utang piutang atau sewa menyewa dan
muamalah lainnya seperti dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 282. Mengingat penyerahan wakaf menyangkut status hak atas tanah wakaf untuk jangka waktu
yang tidak terbatas. Karena untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan untuk menulisnya, maka secara analogi qias untuk wakafpun seyogyanya harus ditulis
juga. Jiwa yang terkandung dalam perintah Allah untuk menuliskan muamalah ini adalah agar di belakang hari tidak terjadi sengketa atau gugat menggugat di antara
para pihak yang bersangkutan.
2
2
Adijani al-Alibij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: CV Rajawali, 1992, Cet. Ke-2, h. 100
65
Perwakafan apabila dilihat dari sudut hukum Islam sangat mudah dan sederhana, yaitu cukup dengan memahami ketentuan ajaran Islam dengan
dilandasi oleh keyakinan bahwa wakaf sebagai salah satu bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui pelepasan hak milik tanpa imbalan
material dan kaitan administrasi.
3
Proses pelaksanaan tersebut sudah tentu di satu pihak akan mudah pelaksanaannya, artinya orang yang akan mewakafkan itu tidak perlu melalui
prosedur yang rumit, sementara di lain pihak akan menyebabkan tidak adanya pengadministrasian, sehingga tanah wakaf yang telah terjadi tidak mempunyai
kepastian hukum. Akibat dari tidak adanya pengadminstrasian dalam pelaksanaan
perwakafan, akan menimbulkan kerugian dan kekacauan yang akhirnya nilai kemaslahatan bersama dari tanah wakaf akan pudar dan akan menjadi
kemafsadatan. Selain itu, ibadah wakaf menyangkut hak dan kepentingan orang lain,
tertib adminstrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Agar hak dan kepentingan masyarakat itu dapat berjalan serta terjalin bersama, pemerintah
perlu mengaturnya dengan perundang-undangan. Dilihat dari wujud wakaf di Indonesia dan kepentingan wakaf di
Indonesia, perwakafan tanah nampaknya mendapat perhatian yang utama. Oleh karena itu pula dalam Undang-Undang Pokok Agraria UU No. 5 Tahun 1960
3
Mohammad Daud Ali, , Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1988, Cet. Ke-1, h. 104
66
diletakkan dasar-dasar umum pengaturan tanah wakaf di Indonesia. Dalam pasal 29 ayat 1 Undang-Undang tersebut disebutkan dengan jelas bahwa hak milik
tanah badan-badan keagamaan dan social diakui dan dilindungi oleh Negara. Badan-badan tersebut dijamin dan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan
dan usahanya, jika perlu, ayat 2 dapat diberi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai kepadanya. Dinyatakan lebih lanjut dalam pasal itu
bahwa, ayat 3 perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 adalah sebagai berikut:
4
Pertama, pada waktu lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah selain belum memenuhi kebutuhan, juga tidak diatur secara tuntas dalam suatu peraturan
perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakikat dan tujuan wakaf itu sendiri. Ini disebabkan karena beraneka ragamnya
bentuk wakaf wakaf keluarga, wakaf umum dan sebagainya dan tidak adanya keharusan untuk mendaftarkan benda-benda yang diwakafkan itu. Akibatnya
banyak benda-benda yang diwakafkan tidak diketahui lagi keadaannya, malah ada di antaranya yang telah menjadi milik ahli waris pengurus Nadzir wakaf yang
bersangkutan. Kedua, hal ini menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam yang
menjurus pada perasaan antipasti terhadap lembaga wakaf, padahal lembaga itu
4
Ibid., h. 99-100
67
dapat digunakan sebagai salah satu sarana pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam.
Ketiga, selain itu, dalam masyarakat banyak terjadi persengketaan mengenai tanah wakaf karena tidak jelasnya status tanah wakaf yang
bersangkutan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 itu hanyalah wakaf sosial
untuk umum di atas tanah milik seseorang atau badan hukum. Bentuk perwakafan seperti ini dilakukan untuk menghindari kekaburan masalah
perwakafan. Selain itu, mengenai tanah yang diwakafkanpun dibatasi yakni hanya tanah milik saja. Pembatasan ini dilakukan berdasarkan perttimbangan
bahwa selain dari untuk menghindari kekacauan di kemudian hari, di dalam Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan pula bahwa hanya hak milik yang
mempunyai sifat pemilikan yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai tidak penuh
dan bulat. Artinya hak-hak atas tanah tersebut hanya dapat dimanfaatkan selama jangka waktu tertentu dan pemegangnya tidak mempunyai kewewenangan
kepemilikan seperti halnya dengan pemegang hak milik. Oleh karena itu, perwakafan tanah bersifat abadi untuk selama-lamanya, maka perwakafan hak
atas tanah yang jangka waktu pemanfaatannya terbatas, tidak dapat dilakukan.
5
Sebelum lahirnya PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, hal yang menyangkut perwakafan, termasuk mewakafkan tanah berdasarkan pada
pemikiran para Fuqoha yang tersebar dalam berbagai kitab fiqih pemikiran para
5
Muhammad Daud Ali, op. Cit., h. 99-100
68
Fuqoha tersebut telah melahirkan berbagai keragaman dalam praktek mewakafkan yang menyebabkan prosedur mewakafkan dan objek wakaf satu
dengan yang lainnya berbeda. Tata cara yang mengikuti pemikiran fuqoha itu, perlu dilengkapi dengan
administrasi wakaf yang jelas, misalnya dilakukan pencatatan. Pengaturan semacam ini dirasakan semakin penting untuk menghindari penyalahgunaan
hakikat tujuan wakaf. Sebab, mengabaikan administrasi akan memungkinkan terjadinya rasa enggan berwakaf dan hilang kepercayaan dari masyarakat karena
prosedur mewakafkan tidak jelas. Padahal lembaga perwakafan ini merupakan salah satu asset pemberdayaan ekonomi umat.
Menurut Ahmad Rofiq dinyatakan bahwa wakaf merupakan suatu tindakan Tabarru’ melepas hak milik tanpa mengharapkan imbalan yang dalam
pelaksanaannya tidak diperlukan adanya qobul dari orang yang menerima, akan tetapi ketentuan ini perlu difahami, bahwa dalam pelaksanaannya hendaknya
diikuti dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf tersebut mempunyai kekuatan hukum sekaligus menciptakan tertib administrasi.
6
Sekarang ini, suatu tindakan hukum seperti wakaf, apabila tidak dibuktikan dengan surat-surat atau akta otentik, akan membuka peluang yang
lebih besar untuk disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu sudah seharusnya tanpa bermaksud memamerkanriya
6
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. Ke-1, h. 494
69
dengan tindakan wakaf seyogyanya memperhatikan upaya-upaya tertib hukum dan administrasi untuk leih mengoptimalkan sifat pelaksanaan wakaf itu sendiri.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa fungsi administrasi perwakafan tanah milik sebagai berikut:
1. Sebagai bukti tertulis guna menjamin kelestarian tanah wakaf. 2. Untuk menghindari penyimpangan dari kedudukannya sebagai tanah wakaf.
3. Untuk menegakkan kapastian hukum dalam pelaksanaan, pemeliharaan dan pengelolaan wakaf.
4. Untuk menghindari terjadinya saling perebutan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya misalnya ahli waris dengan nazir yang diakibatkan oleh
tidak kepastiannya status tanah wakaf tersebut.
C. Efektifitas Nadzir Dalam Pengelolaan dan Peningkatan Fungsi Tanah Wakaf