1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut pandangan Islam pemilik mutlak seluruh harta benda ialah Allah SWT. Manusia ditunjuk oleh Allah sebagai penguasa terhadap benda itu yang
harus mengelolanya sesuai dengan petunjuk-Nya. Yaitu digunakan untuk keperluan dirinya dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kemaslahatan umat
manusia pada umumnya. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu
harus berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah SWT, maka lembaga perwakafan merupakan salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam
yang menyatakan tentang prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang.
1
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 267, yaitu:
ﻳ ﹺﺽﺭَﻷﺍ ﻦﻣ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺎﻨﺟﺮﺧﹶﺍ ﺎﻤﻣﻭ ﻢﺘﺒﺴﹶﻛ ﺎﻣ ﺕﺎﺒﻴﹶﻃ ﻦﻣ ﺍﻮﹸﻘﻔﻧﺍ ﺍﻮﻨﻣﹶﺍ ﻦﻳﺬّﹶﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎ
ﱠﻥﹶﺍ ﺍﻮﻤﹶﻠﻋﺍﻭ ﻪﻴﻓ ﺍﻮﻀﻤﻐﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﱠﻻﺍ ﻪﻳﺬﺧﺎﹺﺑ ﻢﺘﺴﹶﻟﻭ ﹶﻥﻮﹸﻘﻔﻨﺗ ﻪﻨﻣ ﹶﺚﻴﹺﺒﺨﹾﻟﺍ ﺍﻮﻤﻤﻴﺗ ﹶﻻﻭ
ﺣ ﻲﹺﻨﹶﻏ ﻪﹼﻠﻟﺍ ﺪﻴﻤ
. ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ
2 :
267
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
1
Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia Sejarah Pemikiran, Hukum, dan Perkembangannya, Bandung: Yayasan Plara, 1995, h. 1
2
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. QS. Al-Baqarah2: 267
Ayat di atas menerangkan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk beramal sholeh kepada orang lain dengan jalan menafkahkan sebagian dari harta
kekayaan. Harta dalam agama Islam tidaklah hanya dinikmati oleh sendiri, melainkan harus dinikmati bersama. Ini berarti bahwa Islam mengajarkan fungsi
sosial harta. Untuk itulah diciptakan lembaga perwakafan. Fungsi sosial dari perwakafan tanah mempunyai arti bahwa penggunaan
hak milik tanah seseorang harus memberi manfaat langsung kepada masyarakat. Dalam ajaran terhadap harta benda tanah tercakup di dalamnya benda lain,
dengan perkataan lain bahwa benda tanah tersebut.
2
Seperti yang dimaksud dalam firman Allah dalam adz-Dzariat, ayat 19 :
ﻡﻭﺮﺤﻤﹾﻟﺍﻭ ﹺﻞﺋﺎﺴﻠﻟ ﻖﺣ ﻢﹺﻬﻟﺍﻮﻣﹶﺃ ﻲﻓﻭ ﺕﺎﻳﺭﺬﻟﺍ
51 :
19
Artinya : “Dan di dalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang minta karena tidak punya dan bagi orang-orang yang terlantar”. QS :
adz-Dzariyat51 : 19
Mewakafkan harta benda jauh lebih utama dari bersedekah dan berderma biasa, lagi pula jauh lebih besar manfaatnya, sebab harta wakaf itu kekal dan terus
selama harta itu masih tetap menghasilkan atau masih tetap dieksploitir sebagaimana layaknya dengan cara produktif. Oleh sebab itu bagi kepentingan
2
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004, cet. Ke-2, h.14.
3
masyarakat bentuk harta wakaf amat besar manfaatnya dan amat diperlukan untuk kelangsungan kegiatan-kegiatan keIslaman.
3
Wakaf adalah tergolong kepada ibadah muamalah, yakni ibadah yang mempunyai hubungan dengan sesama manusia, sehingga untuk menjamin
kelestariannya diperlukan adanya perlindungan hukum. Mengingat pentingnya persoalan perwakafan ini, maka Undang-undang
Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 telah mencantumkan adanya suatu ketentuan khusus mengenai masalah perwakafan ini. Sebagaimana tersebut dalam Pasal 49
ayat 3 yang menyatakan : Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Undang-
undang Pokok Agraria tersebut baru dikeluarkan pada tanggal 17 Mei 1977 yang berwujud Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 LN, 1977 No.38 tentang
Perwakafan Tanah Milik. Peraturan pemerintah No.28 Tahun 1977 ini mengatur tentang teknis
administrasi dengan menunjuk pejabat yang berwenang mengenai masalah perwakafan tanah yang berupa Peraturan Pelaksanaan. Pejabat yang mempunyai
wewenang dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama sebagaimana dinyatakan dalam pasal 17 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.28
Tahun 1977 tersebut.
3
Abdurrahman, Masalah Perwakafan tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1990, cet ke-3, h.8
4
Adapun peraturan pelaksanaan yang diatur oleh kedua Menteri tersebut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.06 1977 tentang Tata Cara
Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Peraturan
Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Peraturan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. KepD7578 tentang
Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 dan berbagai peraturan pelaksanaannya maka telah terjadi suatu pembaharuan di
bidang perwakafan tanah, di mana persoalan tentang perwakafan tanah milik ini telah diatur, ditertibkan dan diarahkan sedemikian rupa sehingga benar-benar
memenuhi hakikat dan tujuan perwakafan sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya diharapkan dengan berbagai peraturan dimaksud maka persoalan tentang
perwakafan tanah dapat ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum,
perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki
kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain, untuk memajukan kesejahteraan
5
umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
4
Saat ini wakaf mendapat tempat pengaturan secara khusus di antara perangkat peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam hal ini berbentuk
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, maka diharapkan ini merupakan
momentum yang sangat strategis dalam upaya pemberdayaan secara produktif. Dengan kata lain, secara komprehensif-substansif, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 merupakan wujud adanya pembaharuan hukum perwakafan di Indonesia, yang menegaskan adanya paradigma baru wakaf serta sebagai
instrument hukum pengembangan dan pengolahan tanah wakaf ke arah produktif.
Selanjutnya dengan adanya pengaturan tersebut maka lembaga ini tidak lagi dipandang sebagai suatu lembaga keagamaan yang bersandar pada hukum
Islam semata, akan tetapi sudah ditingkatkan kedudukannya sebagai suatu lembaga formal di dalam Perundang-undangan. Sehingga segala sesuatunya tidak
hanya harus memenuhi segala persyaratan yang diatur dan ditentukan oleh ajaran agama Islam semata akan tetapi juga harus memenuhi segala macam persyaratan
formal yang ditentukan dalam berbagai peraturan tentang perwakafan. Secara konseptual, Islam mengenal lembaga wakaf sebagai sumber aset
yang memberikan kemanfaatan sepanjang masa. Di negara-negara muslim lain wakaf telah diatur sedemikian rupa sehingga mempunyai peran yang cukup
4
Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang- undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta; Departemen Agama
Republik Indonesia, 2005, h. 40
6
signifikan dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat. Sedangkan di Indonesia, sampai saat ini pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf
produktif masih juga ketinggalan dibanding dengan Negara-negara muslim lain seperti Arab Saudi, Yordania, Qatar, Kuwait, dan Mesir.
Dalam pengelolaan harta produktif, pihak yang paling berperan berhasil tidaknya pemanfaatan harta wakaf adalah nadzir wakaf, yaitu seseorang atau
sekelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif orang yang mewakafkan hartanya untuk mengelola wakaf. Walaupun dalam kitab-kitab fiqih
ulama tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf merupakan ibadah tabaru’ pemberian yang bersifat sunnah. Namun
demikian, setelah memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil wakaf, maka keberadaan nadzir profesional sangat dibutuhkan, bahkan
menempati pada peran sentral. Sebab di pundak nadzirlah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf serta menyalurkan
hasil atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.
5
Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus yang terjadi
banyak harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian
itu, disebabkan tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, melainkan juga karena sikap
5
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis Di Indonesia,
Jakarta; Deoartemen Agama Republik Indonesia, 2004, h.37
7
masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum yang sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukan wakaf. Salah satu hambatan bagi pemanfaatan wakaf yang kurang optimal yakni
kurangnya pemahaman dan kepedulian umat Islam terhadap wakaf dan kebiasaan masyarakat
kita yang
ingin mewakafkan
sebagian hartanya
dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat
sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan, dan lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai nadzir. Sedangkan orang yang ingin mewakafkan harta wakif
tidak tahu persis kemampuan yang dimiliki nadzir tersebut, bisa jadi ia nadzir tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau bangunan
sehingga harta wakaf tidak bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Di samping karena kurangnya aspek pemahaman yang utuh tentang wakaf dalam Islam, umat
Islam khususnya Indonesia juga belum menyadari betul akan pentingnya wakaf dalam kehidupan kesejahteraan masyarakat banyak.
6
Berdasarkan hasil penelitian awal yang telah dilaksanakan penulis di wilayah Kecamatan Penjaringan, menunjukkan bahwa pengelolaan perwakafan di
Kelurahan Penjaringan relatif tinggi dibanding kelurahan lainnya, menurut data perkembangan tanah wakaf pada KUA kecamatan penjaringan pada tahun 2005
terdapat 64 lokasi tanah wakaf, sedangkan pada kelurahan lain rata-rata hanya
6
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan Haji, Perkembangan Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, Jakarta; Deoartemen
Agama Republik Indonesia, 2003, h.40
8
mencapai 10 sampai 30 lokasi tanah wakaf, hal ini disebabkan respon masyarakat di Kelurahan tersebut cukup tinggi dalam menanggapi perwakafan, aktif dan
kompaknya tokoh masyarakat, dan banyaknya Ulama, ustadz diwilayah tersebut sehingga menjadi pengaruh bagi masyarakat yang lain dalam mensosialisakan
pentingnya mewakafkan tanah di wilayah tersebut, sedangkan di kelurahan lain minimnya Ulama, ustadz dan kurangnya respon masyarakat dalam menangapi
persoalan perwakafan. Mengingat hal tersebut, penulis berasumsi bahwa terdapat faktor-faktor
yang menjadi penunjang dalam peningkatan tanah wakaf pada wilayah tersebut, lalu bagaimanakah peran wakaf dikelurahan tersebut bagi pemberdayaan
masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis semakin tertarik untuk
menyusun skripsi dengan judul “PERAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA DALAM UPAYA
PENGELOLAAN DAN PENINGKATAN FUNGSI TANAH WAKAF Studi
Kasus Kelurahan Penjaringan Kota Administrasi Jakarta Utara”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah