Pro dan Kontra Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di

60 intensitas sering atau setiap kali mereka meninggalkan rumah mereka semenjak undang-undang jilbab, niqab dan burqa di berlakukan. 188 Perdebatan mengenai jilbab dan niqab serta burqa pun terjadi antar sesama anggota parlemen. Seorang anggota Parlemen Eropa dan mantan Menteri Perancis melakukan tindakan yang kontroversial di Perancis dengan memposting gambar seorang wanita berjilbab duduk di pantai dan mengkritik sebagai serangan terhadap budaya Perancis. Morano yang berasal dari partai UMP kanan-tengah juga menandaskan bahwa bagi setiap orang yang memilih untuk datang ke Perancis, negara hukum, negara sekuler, maka orang tersebut harus menghormati budaya dan hak-hak perempuan. Jika tidak, pergi ke tempat lain. Morano juga menyatakan bahwa Perancis membutuhkan observatorium nasional untuk menghormati budaya Perancis. 189 Komentar yang diutarakan oleh Morano menuai berbagai respon. Mantan pemimpin partai Sosialis, Harlem Desir, mengatakan bahwa Morano ada benarnya. Menurutnya, pantai seharusnya menjadi tempat kebebasan untuk semua. Namun, mantan menteri dari partai yang sama dengan Morano, Valérie Pécresse, mengkritik definisi Morano tentang kebebasan. Menurutnya, selama pengguna jilbab ataupun burqa tidak melanggar hukum, orang harus diperbolehkan untuk memakai apa pun 188 Open Society Foundation , ―Unveiling the Truth‖, 16. 189 Leon Watson, ―French women have a duty to wear a bikini on the beach, says former minister: Row after Sarkozy supporter tweets picture of Muslim wearing a headscarf‖, 20 Agustus 2014; tersedia di https:dailymail.co.uk; diakses pada 3 November 2014. 61 yang diinginkan. 190 Bukan hanya itu, komentar lain juga terlontar dari Abdullah Zekri, Presiden National Observatory Against Islamophobia yang menanggapi dan menekankan kepada Morano bahwa kebebasan berekspresi dan berkeyakinan adalah hak konstitusional. Menurutnya, budaya Perancis mencerminkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perdebatan berkecamuk di jejaring sosial dan antara politisi. Dan wakil presiden Front Nasional sayap kanan, Florian Philippot, secara terbuka mengulang kembali seruan partainya untuk larangan simbol-simbol agama di depan umum. 191 Bukan hanya itu, aktivis komunitas Perancis pun, Pierre Tévanian dalam artikelnya di surat kabar Le Monde Diplometique yang berjudul “Say No to Racial Discrimination” menyatakan pendapatnya bahwa undang-undang mengenai simbol keagamaan tersebut seharusnya ditujukan kepada pendidik dan seluruh pegawai di sekolah, bukan para siswa. Dengan adanya undang-undang tersebut, menurut Tévanian, hanya akan menambah permasalahan di Perancis seperti kesenjangan sosial, pengangguran, diskriminasi ras dan kekurangan guru di sekolah-sekolah. 192 Tidak hanya undang-undang mengenai larangan jilbab di sekolah saja yang menuai pro dan kontra di Perancis, namun undang-undang mengenai larangan niqab dan burqa juga mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat Perancis baik itu yang 190 John Lichfield, ―It‘s a French woman‘s duty to wear a bikini, says ex-minister‖, 19 Agustus 2014; tersedia di http:www.independent.co.uknewsworldeuropeits-a-french-womans-duty-to-wear-a- bikini-says-exminister-9679431.html; diakses pada 3 November 2014. 191 Leon Watson, ―French women have a duty to wear a bikini on the beach, says former minister‖, Row after Sarkozy supporter tweets picture of Muslim wearing a headscarf. 192 Pierre Tévanian, ―Say No to Racial Discrimination‖, February 2004; tersedia di http:mondediplo.com20040208scapegoats ; diakses pada 4 Agustus 2014; dalam ―Pulling Back the Veil: The Hijab Ban and the Evolution of French Nationalism‖, Meghan Henkel, 2012. 62 mendukung maupun menolak undang-undang tersebut. Dukungan bagi pengesahan undang-undang larangan niqab dan burqa datang dari berbagai pihak. Lutte Ouvrière Pekerja Perjuangan secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap larangan burqa dan niqab. Organisasi ini memiliki pandangan bahwa undang-undang tersebut akan membantu warga Perancis untuk terlepas dari paksaan menggunakan burqa. 193 Éric Raoult dari partsi UMP berpendapat bahwa undang-undang larangan niqab dan burqa merupakan salah satu langkah yang tepat yang diambil pemerintahan Perancis untuk menanggulangi pergerakan Islam fundamental sebab niqab dan burqa merupakan salah satu manifestasi dari fundamentalisme. 194 Sedangkan presiden dari the Neither Whores Nor Submissives movement Ni Putes Ni Soumises, Siham Habchi, juga menyatakan persetujuannya bagi pemerintahan Perancis terhadap pengesahan undang-undang larangan niqab dan burqa. Menurutnya, larangan tersebut bukanlah mengenai hak wanita tetapi mengenai niqab dan burqa yang menjadi simbol penindasan bagi wanita. 195 Dukungan serupa juga dilontarkan Hassen Chalghoumi, Imam Masjid Drancy, pinggiran utara Paris. Dia mendukung larangan niqab dan burqa. Chalghoumi menilai bahwa niqab dan burqa merupakan simbol dari radikalisme dan radikalisme itulah yang sebenarnya merupakan musuh Islam. 196 193 Antoine Lerougetel dan Alex Lantier , ―France: Racist campaign against burqa threatens democratic rights‖, 14 Juli 2009; tersedia di http:www.wsws.org; diakses pada 7 Agustus 2014 194 Kyle James, French commission recommends banning the burqa ‖, 26 Januari 2010; tersedia di http:www.dw.de; diakses pada 7 agustus 2014 195 Bruce Crumley, ―Will France Impose a Ban on the Burqa?‖, 19 Juni 2009; tersedia di http:content.time.com; diakses pada 7 Agustus 2014. 196 Steven Erlanger, ―For a French Imam, Islam‘s True Enemy Is Radicalism‖, 12 Februari 2010; tersedia di http:www.nytimes.com; diakses pada 7 Agustus 2014 63 Tidak hanya dukungan yang datang dari publik Perancis, tapi, berbagai macam penolakan pun ikut menghiasi undang-undang larangan niqab dan burqa di Perancis. Jean-Marie Fardeau, Direktur kantor Human Rights Watch di Paris, mengatakan bahwa dengan melarang burqa tidak akan membuat wanita merasa bebas, tapi itu justru akan melukai dan memisahkan wanita yang memakainya dari masyarakat. 197 Selain Jean-Marie Fardeau, organisasi-organisasi Islam di dalam negeri Perancis juga menyerukan penolakannya seperti Collectif Contre l‟Islamophobie en France CCIF dan Coordination contre le Racisme et l‟Islamophobie CRI. 198 Selain itu, penolakan secara tidak langsung juga diberikan oleh the Conseil français du culte musulman CFCM. CFCM menyatakan bahwa efek stigma terhadap Muslim akan lebih besar daripada manfaat yang dirasakan. Menurut CFCM, pendidikan merupakan solusi terbaik untuk menekan dan menghilangkan praktek- praktek keagamaan terutama yang berkaitan dengan pakaian keagamaan. 199 Mahmoud Doua, seorang akademisi dan imam dari Bordeaux, mengatakan bahwa hukum yang melarang niqab dan burqa akan menjadi sebuah kesalahan dan hanya akan memperburuk situasi dan hubungan Muslim dengan warga mayoritas. 200 Hal 197 Jamey Keaten, ―French Burqa Ban Commission Created‖, 23 Juni 2009; tersedia di http:www.huffingtonpost.com; diakses pada 8 Agustus 2014 198 European Race Audit, ―The background to the French parliamentary commission on the burqa and niqab ‖, 3. 199 Mairead Enright, ―France, French Identity and the Burqa: Gerin Report Due in January‖, 9 November 2009; tersedia di http:humanrights.ielaw-culture-and-religionfrance-french-identity-and- the-burqa-gerin-report-due-in-january; diakses pada 4 November 2014. 200 European Race Audit, ―The background to the French parliamentary commission on the burqa and niqab ‖, 3. 64 tersebut kemudian terbukti dengan adanya kerusuhan yang terjadi di Perancis akibat dari undang-undang larangan niqab dan burqa. Kerusuhan terjadi di Trappes pada Juli 2013 lalu. Kerusuhan itu di awali oleh aksi protes terhadap penangkapan seorang pria yang mencoba membela istrinya karena terkena tilang saat mengenakan jilbab di tempat umum. 201 2 Respon Dunia Internasional Terhadap Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis Pengesahan dan juga pemberlakuan undang-undang yang mengatur tentang larangan pemakaian simbol-simbol agama di sekolah khususnya jilbab, niqab dan burqa juga menuai reaksi dari dunia internasional. Salah satu kejadian yang merupakan reaksi masyarakat internasional terhadap undang-undang yang disahkan Perancis itu terjadi di Iraq. 202 Di Iraq, dua reporter Perancis, Christian Chesnot dari Radio France International dan Georges Malbrunot dari harian Le Figaro, dilaporkan menghilang pada tanggal 21 Agustus 2004. Para penculik meminta pemerintah Perancis untuk membatalkan undang-undang tersebut di sekolah-sekolah Perancis. 203 Undang-undang mengenai larangan menggunakan jilbab di sekolah juga mendapat kritikan dari John V. Hanford dari administrasi pemerintahan Bush mengenai isu-isu kebebasan beragama yang menyatakan bahwa pemakaian jilbab di 201 Alex Lanti er, ―Riots hit Trappes, France after police arrest family of veiled Muslim woman‖, 22 Juli 2013; tersedia di http:www.wsws.org; diakses pada 8 Agustus 2014 202 Bowen, ―Why the French Don‘t Like Headscarves‖, 145. 203 Kianne Sadeq , ―Two French journalists kidnapped in Iraq‖, 29 Agustus 2004; tersedia di http:edition.cnn.com; diakses pada 9 Agustus 2014 65 sekolah merupakan hak dasar yang harus dilindungi. 204 Selanjutnya, Hanford juga mengatakan bahwa prinsip dasar dari kebebasan beragama adalah ketika semua orang bisa menjalankan agama dan keyakinan mereka dengan bebas dan damai tanpa ada campur tangan pemerintah selama mereka melaksanakannya tanpa provokasi dan juga intimidasi dari orang lain. 205 Selain kejadian dan kritik di atas, kritik-kritik juga terlontar dari organisasi- organisasi HAM internasional bagi undang-undang larangan tersebut. Eksekutif Direktur Human Right Watch HRW, Kenneth Roth menyatakan hukum yang disahkan oleh Perancis merupakan pelanggaran yang tidak beralasan mengenai hak kebebasan praktek keagamaan. Selanjutnya ia menambahkan bahwa jika membahas penggunaan jilbab maka kita tidak hanya berbicara mengenai ekspresi keagamaan tetapi jilbab juga merupakan kewajiban agama. Meskipun pada awalnya terlihat netral, namun dampak dari diberlakukannya undang-undang larangan berjilbab di sekolah akan tertuju pada gadis-gadis Muslim dan hal tersebut melanggar ketentuan anti diskriminasi dari hukum Hak Asasi Manusia internasional serta hak untuk menyamai kesempatan pendidikan. 206 Pada tahun 2012, Judith Sunderland, seorang peneliti di HRW yang berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan diskriminasi dan intoleransi, migrasi dan kebijakan suaka dan kontraterorisme di Eropa dan Asia Tengah juga memaparkan 204 Christopher Marquis, ―U.S. Chides France on Effort to Bar Religious Garb in Schools‖, 19 Desember 2003; tersedia di http:www.nytimes.com; diakses pada 10 Agustus 2014 205 Marquis, ―U.S. Chides France on Effort to Bar Religious Garb in Schools‖. 206 France: Headscarf Ban Violates Religious Freedom, 27 Februari 2004; tersedia di http:www.hrw.orgnews20040226france-headscarf-ban-violates-religious-freedom; diakses pada 10 Agustus 2014. 66 kritiknya terhadap undang-undang larangan niqab dan burqa di Perancis. Meskipun sebagian aktivis hak wanita menilai bahwa niqab dan burqa merupakan simbol penindasan bagi wanita, namun menurut Judith seharusnya para wanita memiliki pilihan untuk menentukan bagaimana mereka harus mengekspresikan kepercayaan, identitas dan nilai moral tiap individu dan bebas dari paksaan ketika wanita harus memilih antara kepercayaan atau pekerjaan. 207 Selain HRW, ada pula beberapa organisasi HAM internasional yang menyayangkan sikap pemerintahan Perancis dalam mengesahkan undang-undang tersebut. Bahkan, Islamic Human Rights Commission IHRC dan International Islamic Women Organisation IIWO mengirimkan surat terbuka bagi Presiden Chiraq di tahun 2004 agar Presiden mempertimbangkan kembali keputusannya sebelum mengesahkan undang-undang larangan jilbab di sekolah. 208 Tidak hanya kedua organisasi tersebut yang mengirim surat untuk menanggapi undang-undang larangan jilbab, Amnesty Internasional juga ikut turut mengirimkan surat ke Parlemen Perancis. Pada tahun 2010, Amnesty Internasional mengirimkan surat yang berisikan penolakannya terhadap undang-undang larangan niqab dan burqa. 209 Meskipun terdapat beberapa organisasi HAM yang menolak dan menyayangkan diberlakukannya undang-undang yang disahkan tahun 2004 dan 2010, 207 Judith Sunderland, ―Banning Muslim Veil Denies Women a Choice, Too‖, 23 September 2013; tersedia di http:www.hrw.org; diakses pada 10 Agustus 2014 208 ―IHRC and IIWOs Letter to Jacques Chirac Regarding the Hijab Ban in France‖, 11 Januari 2004; tersedia di http:www.ihrc.org.ukpublikationsreports7100-ihrc-and-iiwo-s-letter-to-jacques-chirac- regarding-the-hijab-ban-in-france; diakses pada 10 Agustus 2014. 209 ―France votes to ban full-face veils‖, 13 Juli 2010; tersedia di http:www.amnesty.orgennews- and-updatesfrance-votes-ban-full-face-veils-2010-07-13; diakses pada 10 Agustus 2014. 67 namun itu tidak berarti bahwa undang-undang tersebut tidak mendapatkan dukungan dari dunia internasional. Annie Sugier, Kepala Liga Internasional untuk Hak-Hak Perempuan, menyatakan bahwa penggunaan cadar penuh di tempat umum merupakan penghapusan identitas wanita di muka publik. 210 Dalam surat terbukanya kepada ECtHR, Sugier mendesak agar ECtHR segera menegakkan larangan jilbab, niqab dan burqa di Perancis sebab hal tersebut mampu menghilangkan ketidaksetaraan antara wanita dan pria. Sugier menambahkan bahwa penggunaan cadar penuh yang digunakan oleh wanita justru akan memunculkan stigma bahwa tubuh wanita merupakan gangguan umum dan tidak sesuai dengan gagasan kesetaraan. 211 Selain Liga Internasional untuk Hak-Hak Perempuan, European Court of Human Rights ECtHR yang merupakan badan peradilan Uni Eropa juga mendukung keputusan yang di keluarkan oleh pemerintah Perancis untuk tidak mengizinkan siswi yang mengenakan jilbab masuk kelas 212 dan niqab serta burqa di ruang publik Perancis. 213 Hal ini terlihat dari beberapa putusan yang di keluarkan ECtHR terkait kasus yang diajukan ke lembaga peradilan tersebut. Sedikitnya ada enam kasus mengenai jilbab, niqab dan burqa yang diajukan ke ECtHR menghasilkan putusan 210 Soeren Kern, ―France: Muslim Woman Sues Over Burqa Ban‖, 6 Desember 2013; tersedia di http:www.gatestoneinstitute.org; diakses pada 11 Agustus 2014 211 ―Lettre au Président de la Cour Européenne des ×Droits de lHomme‖, 26 November 2013; tersedia di http:ldif.asso.fr?theme=laiciten=558; diakses pada 11 Agustus 2014 212 ―Application no. 2705805, fifth section, Case Of Dogru v. France‖, 4 December 2008; tersedia di http:hudoc.echr.coe.int; diakses pada 11 Agustus 2014 213 Kern, ―France: Muslim Woman Sues Over Burqa Ban. 68 yang sama yaitu ECtHR berpihak kepada pemerintah Perancis dan menilai bahwa jilbab, niqab dan burqa merupakan musuh bagi demokrasi di Eropa. 214 Terdapat enam kasus mengenai warga negara Perancis yang didenda dan di keluarkan akibat menggunakan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik kemudian melaporkan kasusnya tersebut ke ECtHR dengan laporan bahwa undang-undang yang diterapkan Perancis tersebut melanggar European Convention on Human Right ECHR pasal 9 mengenai kebebasan beragama bagi masyarakat Eropa. 215 214 Raffaella Nigro, ―The Margin of Appreciation Doctrine and the Case-Law of the European Court of Human Rights on the Islamic Veil ‖, 11 HUM. RTS, 2010: 542-543, dalam ―Unveiling Inequality: Burqa Bans and Nondiscrimination Jurisprudence at the European Court of Human Rights ‖, oleh Sally Pei, 2013: 1094. 215 Martin Waehlisch, ―ECHR Chamber Judgment Case of S.A.S. v. France: Banning of burqas and niqabs legal? ‖, 21 Juli 2014; tersedia di http:cjicl.org.uk; diakses pada 11 Agustus 2014 69

BAB IV Dukungan

European Court of Human Rights bagi Pelarangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis 2004 – 2013 Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya mengenai pro dan kontra dunia internasional terhadap undang-undang pelarangan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik di mana salah satu dukungan yang mengalir bagi undang- undang tersebut datang dari ECtHR yang merupakan pengadilan Hak Asasi Manusia di Eropa. Dukungan yang diberikan terlihat dari beberapa analisa kasus-kasus yang diajukan oleh penggugat undang-undang tersebut yang mayoritas menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan pasal 9 dalam ECHR European Convention on Human Right mengenai kebebasan beragama. Namun, ECtHR berpendapat bahwa kebebasan beragama dalam pasal 9 tidak melindungi setiap tindakan termotivasi atau terinspirasi oleh agama atau kepercayaan dan tidak selalu menjamin hak untuk berperilaku di ruang publik dengan cara yang ditentukan oleh agama atau kepercayaan seseorang. 216 Selain itu, ECtHR juga berpendapat bahwa penggunaan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik tidak mencerminkan prinsip sekularisme Perancis dan justru melanggar prinsip tersebut. 217 Tidak hanya itu, ECtHR juga menganggap bahwa penggunaan jilbab, 216 Waehlisch. ―ECHR Chamber Judgment Case of S.A.S. v. France‖. 217 Sara Tonolo, ―Islamic Simbols in Europe: the European Court of Human Rights and the European Institutions‖, Stato, Chiese e pluralismo confessionale n. 5, 2014: 18. 70 niqab dan burqa bertolak belakang dengan prinsip toleransi dan juga demokrasi yang selama ini ada di Eropa. 218

A. Perlindungan

European Court of Human Rights bagi Paham Sekularisme Perancis dari Ancaman Jilbab, Niqab dan Burqa Perancis merupakan negara yang menjadikan laïcité sebagai prinsip dasar bagi kehidupan sosial di negara tersebut. 219 Laïcité merupakan sebuah bentuk yang menyerupai sekularisme yang melarang semua agama untuk menunjukan identitasnya di ruang publik dan mau untuk bekerja sama dengan kebijakan yang di keluarkan pemerintah Perancis. 220 Berdasarkan laïcité, Perancis berusaha untuk memunculkan kesetaraan melalui kesamaan di ruang publik dengan menekan perbedaan bahasa, etnis, budaya dan juga agama ke ruang privasi dari masing-masing individu. 221 Prinsip laïcité telah ada di Perancis semenjak Revolusi Perancis tahun 1789, 222 namun undang-undang yang menjamin pelaksanaan laïcité baru disahkan 218 ―European Court of Human Rights Report: Case of S.A.S. v. France Application no. 4383511‖, 1 Juli 2014; tersedia di http:hudoc.echr.coe.intsitesengpagessearch.aspx?i=001- 145466{itemid:[001-145466]}; diakses pada 1 September 2014 219 Nusrat Choudhury, ―From the Stasi Commission to the European Court of Human Rights: L‘Affaire du Foulard and the Challenge of Protecting the Rights of Muslim Girls‖, 16 COLUM. J. GENDER L. 199, 236 2007; 1958 CONST. 1 ―France shall be an indivisible, secular, democratic and social Republik. It shall ensure the equality of all citizens before the law, without distinction of origin, race or religion. It shall respect all beliefs.‖ dalam ―The Constitutionality of France‘s Ban on the Burqa in Light of the European Convention‘s Arslan v. Turkey Decision on Religious Freedom‖, oleh Lina Ragep Powell, 2013. 220 Jane Freedman, ―Secularism as a Barrier to Integration? The French Dilemma‖, 42 Int‘l Migration, 5 ; dalam ―The Constitutionality of France‘s Ban on the Burqa in Light of the European Convention‘s Ars lan v. Turkey Decision on Religious Freedom‖, oleh Lina Ragep Powell, 2013. 221 Tim Welch , ―State Secularism and Religious Freedom‖, 8 Oktober 2010; tersedia di http:criminallawandjustice.co.ukfeaturesState-Secularism-and-Religious-Freedom; diakses pada 2 September 2014 222 Pew Forum, ―100th Anniversary of Secularism in France‖, 8 Desember 2005; tersedia di http:www.pewforum.org; diakses pada 2 September 2014 71 tahun 1905. Dalam undang-undang tersebut, Perancis memisahkan antara urusan gereja dan negara. 223 Dengan disahkannya undang-undang tahun 1905 tersebut, maka agama dapat berfungsi sebagai asosiasi ataupun perkumpulan dalam lingkup masyarakat. Selain itu, dalam prinsip laïcité, setiap warga negara di Perancis berhak dan bebas memilih agama masing-masing bahkan warga negara juga diperbolehkan untuk tidak beragama sekalipun. Akan tetapi, walaupun negara membebaskan warga negaranya untuk memilih suatu agama tertentu, warga negara tidak boleh dengan bebas menunjukan identitas agama mereka di ruang publik. Negara membatasi suatu agama agar hanya ada dalam lingkup pribadi. Kebutuhan beragama dan juga peran moral sosial yang dibentuk oleh suatu agama tidak boleh dipublikasikan di ruang publik. 224 Selain dari undang-undang yang memisahkan gereja dengan negara, konstitusi Perancis pada tahun 1948 juga mengatur mengenai prinsip dasar yang dianut oleh Perancis. Dalam konstitusi tercantum bahwa Perancis harus menjadi sebuah negara Republik Sosial, sekuler, dan demokratis. Berdasarkan konstitusi, negara harus menjamin kesetaraan semua warganya di depan hukum, tanpa membedakan asal, ras atau agama. Negara juga harus menghormati semua keyakinan yang ada di Perancis. 223 Liogier, ―Laïcité on the Edge in France‖, 26. 224 Roosi Rusmawati, ―Undang-Undang Laïcité 2004: Sebuah Analisis Terhadap disahkannya Undang- undang Pelarangan Pemakaian Simbol- Simbol Keagamaan di Sekolah Negeri di Perancis‖, 2006: 54. tersedia di http:lib.ui.ac.id; diakses pada 2 September 2014. 72 Tidak hanya itu saja, seluruh warga negara juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai Liberty, Equality, Fraternity. 225 Dalam sekularisme, Islam dianggap sebagai sebuah ancaman yang mampu merusak integritas dari prinsip tersebut, hal ini pula yang terjadi di Perancis dimana Islam dianggap sebagai musuh dari laïcité dan dianggap tidak memiliki tempat di Perancis. 226 Prinsip laïcité inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan ECtHR mendukung diberlakukannya undang-undang pelarangan jilbab di sekolah serta niqab dan burqa di ruang publik Perancis. Dukungan tersebut berdasarkan ancaman yang akan mengganggu integrasi laïcité yang dikarenakan Perancis memiliki jumlah umat