4.2.3. Variabel Independen Yang Dominan Berpengaruh Dengan Kejadian TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah Kecamatan
Serang Kota Serang Tahun 2014 4.2.3.1 Penghasilan
Hasil analisis multivariat penghasilan dengan TB Paru BTA+ diperoleh nilai OR= 6,575 CI: 3,141-13,764, artinya bahwa
penghasilan rendah akan berpeluang terhadap peningkatan kejadian penyakit TB Paru BTA+ sebesar 6,5 kali dibanding dengan yang
berpenghasilan tinggi. Dikaitkan dengan kemiskinan yang berhubungan erat dengan
penghasilan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah, biasanya memiliki tingkat ekonomi yang rendah pula.
Pendapatan akan banyak berpengaruh terhadap perilaku menjaga kesehatan individu dan dalam menjaga keluarga. Hal ini
disebabkan pendapatan mempengaruhi pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam mencari asupan makanan, pengobatan, mempengaruhi
lingkungan tempat tinggal seperti keadaan rumah dan kondisinya.
15
Kejadian TB Paru terkait erat dengan sosial ekonomi seseorang, yang dapat diketahui salah satunya dari penghasilan keluarga. Keluarga
yang penghasilannya mencukupi atau ekonominya menengah keatas, relatif memiliki perilaku yang lebih baik dalam menjaga kesehatan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rosmaniar yang juga membuktikan terdapat hubungan erat antara penghasilan keluarga
dengan kejadian TB Paru BTA+. Masyarakat yang berpenghasilan rendah lebih beresiko terhadap peningkatan kejadian TB Paru
dibanding yang berpenghasilan tinggi.
4.2.3.2. Status Imunisasi
Hasil analisis multivariat imunisasi BCG diperoleh nilai OR= 3,041 CI: 1,516-6,100, artinya responden yang belum diimunisasi
BCG akan beresiko terkena TB Paru BTA+ sebesar 3 kali dibanding responden yang sudah diimunisasi BCG.
Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian WHO yang menunjukkan bahwa efek pencegahan BCG bervariasi antara 0-
80.
27
Hasil ini juga sejalan dengan teori yang mengemukakan bahwa vaksin BCG dikembangkan untuk memberikan kekebalan terhadap
penyakit TB Paru yang sangat berbahaya dan mematikan namun daya vaksin BCG terhadap tuberkulosis tidak tetap.
8
4.2.3.3. Jenis Kelamin
Hasil analisis multivariat jenis kelamin diperoleh nilai OR= 4,772 CI: 2,260-10,076, artinya responden laki-laki akan beresiko
terkena TB Paru sebesar 3,8 kali dibanding responden perempuan. Tingginya kasus TB Paru terhadap laki-laki antara lain
disebabkan juga oleh kebiasaan merokok yang banyak dilakukan oleh laki-laki, rokok yang dihisap oleh seseoran mengandung racun yang
dapat merusak kesehatan sehingga mudah terinfeksi berbagai penyakit diantaranya bakteri tuberkulosis.
22
Penelitian ini sejalan dengan penelitian WHO yang menyatakan bahwa TB paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan.
Selain itu menurut Buksin dalam Toyalis, juga mengemukakan bahwa faktor resiko tuberkulosis orang dewasa laki-laki lebih 1,9 kali
dibandingkan perempuan.
4.2.3.4. Pekerjaan
Hasil analisis multivariat diperoleh nilai OR= 3,272 CI: 1,594- 6,717, artinya responden yang tidak bekerja berpeluang terhadap
peningkatan kejadian penyakit TB Paru BTA+ sebesar 3,2 kali dibanding responden yang bekerja.
Jenis pekerjaan ada kaitannya dengan sosial ekonomi karena berhubungan dengan penghasilan yang didapat. Penderita TB Paru yang
bekerja dan memiliki sosial ekonomi yang baik akan berupaya untuk segera mencari pengobatan dan asupan gizi yang baik, sebaliknya
seseorang dengan ekonomi bawah cenderung kesulitan untuk mendapatkan pengobatan dan asupan gizi yang kurang.
15
Hal ini dibuktikan dalam uji regresi logistik berganda bahwa ada hubungan
bermakna antara pekerjaan dan penghasilan p= 0,000 dan OR= 17,558 .
Hal ini sejalan dengan penelitian Cahdiah dan Toyalis yang menyatakan bahwa sebagian besar penderita TB Paru adalah tidak
bekerja 59.
27
4.2.4. Variabel Independen Yang Tidak Dominan Berpengaruh Dengan Peningkatan Kejadian TB Paru BTA+ di Puskesmas Wilayah
Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014 4.2.4.1. Status Gizi
Hasil analisis bivariat diperoleh nilai p= 0,001 artinya p alpha 0,05, dan OR= 2,513 CI= 1,441-4,382, artinya responden yang
status gizinya kurang ada hubungan bermakna dengan TB Paru BTA+, dan beresiko menderita TB Paru sebesar 2,5 kali dibandingkan dengan
responden yang status gizinya baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Misnardiarly dalam Toyalis,
bahwa faktor kurang gizi akan meningkatkan angka kesakitan kejadian TB Paru, terutama TB Paru saat pertama sakit. Masyarakat yang
mempunyai gizi kurang lebih beresiko terhadap peningkatan kejadian TB Paru dibandingkan dengan yang mempunyai gizi baik.
27
Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan, dan respon imun tubuh terhadap serangan
penyakit. Faktor ini sangat penting pada masyarakat, baik pada dewasa maupun pada anak.
Hasil penelitian ini kurang sejalan dengan dan penelitian sebelumnya karena bukan faktor risiko dominan terhadap angka
kejadian TB Paru BTA+ di Kota Serang, untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan desain yang berbeda.
4.2.4.2. Pencahayaan Hunian