BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diharapkan oleh agama Islam. Akad nikah diucapkan untuk selamanya, sampai
meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung menikmati naungan kasih sayang dan dapat memeliharanya dalam
pertumbuhan yang baik. Karena itu ikatan suami istri merupakan ikatan yang paling suci dan paling kokoh dan tidak ada sesuatu yang paling jelas mengenai sifat
kesucianya yang paling agung, selain dari apa yang Allah sendiri namakan yaitu ikatan perjanjian antara suami dengan “mitsaqan ghalizan” perjanjian yang kokoh.
1
Dapat dipahami dalam menjalani hidup “berumah tangga” tidak hanya didapati hal-hal yang menyenangkan tetapi akan didapati juga hal-hal yang tidak
disukai, seperti tuntutan istri terhadap suami yang terlalu tinggi atau tuntutan suami terhadap istri yang tidak terpenuhi. Demikian pula keakraban suami istri bisa saja
semakin lama semakin merenggang. Hal ini dapat menimbulkan pertengkaran dan akhirnya akan menimbulkan perceraian, apabila pasangan tidak saling menyadari dan
memaklumi kekurangan pasangan mereka.
1
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih munakahat I1, Bandung:Pustaka Setia 1996, cet 2, h. 9.
1
Problematika-problematika seperti ini sering terjadi dalam kehidupan berumah tangga, jika keduanya tidak memiliki dasar agama yang kuat. Oleh karena
itu umat Islam diwajibkan membekali dirinya dengan agama untuk menghadapi problematika ini. Suami istri harus saling memahami satu sama lainya, karena pada
dasarnya tujuan berumah tangga adalah untuk menciptakan suasana tentram dan damai, bukan menjadikan rumah tangga sebagai ajang mencari kesalahan dan
kelemahan pasangan serta perbedaan. Jika perceraian sudah tidak dapat dielakan lagi, karena salah satu pasangan
suami istri mencelakakan yang lain, penyebab perceraian harus dilihat dulu persoalanya. Jika di sini yang bersalah adalah pihak suami, ia wajib memberikan
mut’ah dengan cara yang ma’ruf, tetapi apabila dari pihak istri yang bersalah maka istri tidak berhak mendapatkan mut’ah atau yang lainya.
2
Jika terjadi perceraian khususnya perceraian talaq maka suami tidak membiarkan istri begitu saja melainkan harus memberi nafkah dan tempat tinggal
kepada mantan istrinya, sebab terjadinya talaq bukan melepaskan kewajiban memberikan nafkah, melainkan hanya terlepas dari hubungan seksualnya saja,
berlangsung selama masa iddah belum habis walaupun suami istri saling berpisah. Menurut hukum Islam kewajiban memberikan nafkah kepada mantan istri
dinyatakan bahwa suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalaq selama dalam masa iddah dan tidak boleh keluar atau pindah ke tempat lain kecuali
2
Al-Tahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariat dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992, h.89.
mereka bersikap yang tidak baik, dan ketika suami mentalak istri, hendaklah si istri dalam keadaan suci, karena menjatuhkan talaq dalam keadaan haid atau dalam
keadaan tidak suci, atau telah dijima disetubuhi sebelumnya maka hukumnya haram dilarang.
3
Pada saat setelah perceraian atau masa iddah telah berlangsung kedua belah pihak yang telah bercerai, masing-masing tetap mempunyai hak dan kewajiban. Bila
suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan, misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut menjadi terlantar atau bahkan
menjadi gelandangan. Inilah fenomena-fenomena yang sering timbul dari perceraian ketika suami
tidak melaksanakan kewajibannya terhadap hak istri dan anak pada masa iddah. Setelah terjadi perceraian pada hakikatnya si suami harus memberikan minimal
tempat tinggal yang layak pada mantan istri dan anaknya. Berkenaan dengan kewajiban suami tersebut, Kompilasi Hukum Islam pasal 18 ayat 1 meyebutkan
“Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau mantan istrinya yang masih dalam masa iddah.
4
Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama sekaligus gugatan nafkah iddah, ini yang disebut
dengan fasakh. Gugatan tersebut dapat diajukan bersama-sama sewaktu istri
3
Amiur Nuruddin dan Akmal Taringan, Azhari, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta:Kencana 2006, h. 154.
4
Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Yogyakarta Press 1993 h. 199.
mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan tersebut diajukan di kemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan kepada mantan
suami, misalnya jika perceraian tersebut disebabkan istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang menjadikan suami tidak wajib menunaikan hak istri. Dan bila telah ada
kemufakatan bersama atas putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak tersebut, maka dapat pula nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya suami-istri.
Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan masalah perceraian umumnya dan nafkah iddah khususnya. Namun untuk
menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas para pencari kedilan dalam hal para mantan istri yang harus agresif mengadukan permasalahannya ke Pengadilan Agama,
bila tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum tentang perkara yang mereka alami. Namum pengajuan tersebut harus tetap di laksanakan sesuai dengan prosedur
yang telah ditentukan oleh undang-undang yang berlaku. Apabila istri tidak mendapatkan hak-hak yang diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam, maka ia dapat mengajukan tuntutan kepada mantan suaminya ke pengadilan agama di tempat melangsungkan perceraian.
Demikianlah hukum Islam dengan tegas mengatur tentang istri yang ditalaq oleh suaminya. Ayat tersebut di atas merupakan dasar yang kuat bagi suami untuk
memberikan tempat tinggal bagi istri yang ditalaq. Bahkan ayat ini memberikan pengertian yang tegas mengenai kewajiban lainya yang harus dipenuhi oleh para
mantan suami.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis melihat fenomena tersebut terjadi di daerah Pusaka Rakyat Kab. Bekasi, tempat penulis tinggal. Di daerah ini, terdapat
banyak kasus di mana istri yang ditalaq oleh suaminya tidak mendapatkan hak-hak semestinya dari mantan suaminya sebagaimana yang diatur dalam hukum Islam
maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Hal itu karena adanya kesewenang- wenangan dari suami dalam menceraikan istri, yang disebabkan oleh berbagai hal
misalnya, hanya karena tertarik dengan wanita lain, tidak adanya tanggung jawab suami terhadap istri. Dengan demikian maka perekenomian tersendat-sendat karena
tidak adanya biaya yang menopang kehidupan istri dan anak, maka terkesan para istri yang ditalaq atau janda mudah sekali di ajak oleh laki-laki lain yang jelas bukan
suaminya. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dan untuk meneliti
fenomena di atas maka penulis tertarik untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul
“Pelaksanaan Hak-Hak Istri Yang Ditalaq Oleh Suami” Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kab.Bekasi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah