B. Ruang Lingkup Pembuktian
I. Sistem pembuktian
II. Bukti, Barang Bukti dan Alat Bukti
III. Prinsip-Prinsip Pembuktian Pidana
Andi Hamzah mendefinisakan pembuktian sebagai upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh
suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.
43
Lain lagi dengan M. Yahya Harahap, S.H., dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalaha ketentuan yang membatasi sidang
pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.
44
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan
kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebanran peristiwa tersebut.
45
Menurut R.Wirjono Prodjodikoro adalah
46
I. Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah:
“ Kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang sudah lampau. Makin lama waktu
lampau itu,makin sukar bagi Hakim untuk menyatakan atas keadaan-keadaan itu. Oleh karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputarbalikan lagi, maka
kepastian seratus persen, bahwa apa yang akan diyakini oleh Hakim tentang suatu keadaan, betul-betul sesuai dengan kebenarannya,tidak mungkin dicapai. Maka
acara pidana sebetulnya hanya dapat menunjukan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan Hakim dan kebenaran
sejati. Untuk mendapat keyakinan ini, Hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu.”
Sistem pembuktian terdiri dari dua kata, yaitu kata “sistem” dan “pembuktian”. Secara etimologis, kata “sistem” merupakan hasil adopsi dari kata
asing “system” Bahasa Inggris atau “systemata” Bahasa Yunani dengan arti “suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian
43
Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. hal
77.
44
Harahap, Yahya. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka
Kartini. hal 22.
45
Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem pembuktian dan alat-alat bukti. Jakarta: Ghalia
Indonesia. hal 1
46
Prodjodikoro, R.Wirjono dalam buku Mulyadi, Lilik. S.H.2007 Hukum Acara Pidana Normatif,
Teoretis, Praktik dan Permasalahnnya. Jakarta: PT.Alumni Bandung. hal 192
kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau “seperangkat komponen yang bekerja sama guna mencapai suatu tujuan tertentu”.
47
Didalam hukum acara pidana terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam rangka membuktikan kebenaran terhadap perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa.
Sebagai contoh kita lihat didalam Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Didalam Pasal 1 Undang-Undang No.08 tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian terdapat elemen-elemen yang menjadi bagian dalam usaha pencarian
kebenaran materiil, yaitu :
48
1. Penyidik
2. Penuntut Umum
3. Penasihat Hukum
4. Majelis Hakim
5. Terdakwa
6. Alat Bukti.
Elemen-elemen inilah yang menjadi bagian-bagian dalam sistem pembuktian. Artinya elemen-elemen inilah yang membentuk suatu kesatuan yang
47
Diambil dari http:www.karyatulisilmiah.compengertian-sistem.html
48
Undang-Undang No.08 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 ayat : 1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 6. a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
8. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
13. Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
15. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan..
tersusun secara terpadu untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.
Selanjutnya, dalam rangka menerapan “pembuktian“ atau “hukum pembuktian” Hakim lalu bertitik tolak kepada “sistem pembuktian” dengan
tujuan mengetahui bagaimna cara meletakan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Untuk itu, secara teoritik guna penerapan sistem
pembuktian, pada asanya dikenal 3tiga teori tentang sistem pembuktian, yaitu berupa :
a. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif atau Positief
Wettelijke Bewijs Theorie
49
Sistem pembuktian positif bergantung keapada alat-alat bukti sebagaimana Hakim dapat mempergunakan kekuatan alat-alat bukti tersebut atau tidaknya
perkara yang sedang diadili, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut
undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan
keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan
tetapi dalam pemeriksaan dipersidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus
dibebaskan. Menurut M.Yahya Harahap yaitu “ Pembuktian menurut undang-undang
secara positif keyakianahakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan
49
Mulyadi, Lilik. S.H.2007. Op cit. Hal 193
kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikud berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata bergantung kepada alat-
alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya apabila sudah dipenuhi
cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa.
Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi si9stem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menurut hakim,suatu
nkewajiban mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknyaterdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan
undang-undang. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian obyektif tanapa mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan
unsur subyektif keyakinan. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang obyektifsesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.”
50
b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka atauConviction
Intime conviction Raisonce Kemudian dalam perkembangannya dengan titik tolak aspek negatif dan
positif mana baik secara teoritik dan praktik sistem pembuktian menurut undang- undang secara positif Positief Wettelijke Bewijs Theorie sudah tidak pernah
diterapkan lagi.
51
Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan perdasarkan “ keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh
suatu peraturan. Teori ini menyatakan bahwa mengambil keputusan semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinyan. Walaupun tidak ada alat bukti, Hakim dapat
menjatuhkan pidana dan hakim tidap perlu menyebutkan alasan-alasan
50
M.Yahya Harapan dikutip dari buku Mulyadi, Lilik. S.H.2007. Op cit. hal 194
51
Mulyadi, Lilik. S.H.2007. Op cit. hal 195
putusannya. Dalam sistem ini hakim mempunyai kebebasan penuh untuk menjatuhkan putusan. Subyektifitas hakim sangat menonjol dalam sistem ini.
52
Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum
terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat.
Keyakinan hakim mempunyai 2 dua bentuk polarisasi, yaitu : “Conviction Intime“ dan “conviction Raisonce” .
Sistem pembuktian “Conviction Intime“ kesalahan terdakwa bergantung kepada “keyakinan” belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan.
53
Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi
hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat
dijelaskan dengan alasan yang logis dan masuk akal. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh reasoning atau
alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus reasonable yakni berdasarkan alasan- alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan
keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan system pembuktian bebas.
54
52
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi,Jakarta: Sinar Grafika.
hal 252
53
Harahap, Yahya. 1993. Op cit. hal 256
54
Munir Fuady,2006, Teori Hukum Pembuktian : Pidana dan Perdata, Citra aditya, Bandung, hal 56
Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada ken-kesan perseorangan sehingga sulit untuk
melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan
putusan bebas yang aneh. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif
dalam arti keyakinan hakim ”dibatasi” denan harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan.
55
c. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif Negatif
Wettelijke Bewijs Theorie Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-
dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.
56
Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk istilah ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-undang
sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang secara terbatas atau disebut
juga dengan system undang-undang secara negative sebagai intinya yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut :
57
55
Mulyadi, Lilik. S.H.2007. Op cit. hal 196
56
Ibid. hal 197
57
Harahap, Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Edisi Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika. hal 319
a Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;
b Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana. Kelebihan sistem pembuktian negatif negative wettelijk adalah dalam hal
membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan
cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang
dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari gat bukti yang ditentukan dalam undang-undang.
Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki bukti itu sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan
suatu perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang
terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, dan merupakan kebenaran yang hakiki.
II. Bukti, Barang Bukti dan Alat Bukti
Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membutikan kesalahan terdakwa yaitu :Dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti sah dengan hanya satu alat bukti belum cukup. Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan ”cepat”, dengan satu alat
bukti sah saja sudah cupuk mendukung keyakinan hakim.
1 Bukti KUHAP tidak menjelaskan apa itu bukti. Menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia, bukti ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa. Tindakan penyidik membuat BAP Saksi, BAP
Tersangka, BAP Ahli atau memperoleh Laporan Ahli, menyita surat dan barang bukti adalah dalam rangka mengumpulkan bukti. Dengan perkataan lain bahwa :
58
Barang bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak
pidana yang terjadi. a. Berita Acara Pemeriksaan Saksi;
b. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka; c. Berita Acara Pemeriksaan AhliLaporan Ahli;
d. Surat dan Barang bukti yang disita, kesemuanya mempunyai nilai sebagai bukti.
2 Barang Bukti
59
Adapun benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah : Agar dapat dijadikan sebagai bukti maka benda-benda ini
harus dikenakan penyitaan terlebih dahulu oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya benda yang dikenakan
penyitaan berada..
60
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
58
http:fauzanjauhari.blogspot.com201311teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html
60
ibid
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. c.
Benda yang dipergunakan menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana. e.
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
3 Alat Bukti KUHAP juga tidak memberikan pengertian mengenai apa itu alat bukti. Akan
tetapi pada Pasal 183 KUHAP disebutkan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Rumusan pasal ini memberikan kita garis hukum, bahwa : a.
Alat bukti diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan b.
Hakim mengambil putusan berdasarkan keyakinannya. c.
Keyakinan hakim diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah. Adapun alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 KUHAP ialah :
61
i. Keterangan saksi
ii. Keterangan ahli
iii. Surat
iv. Petunjuk
v. Keterangan terdakwa.
i. Keterangan Saksi
Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP
62
61
Pasal 184 KUHAP
62
Pasal 1 butir 27 KUHAP Undang-Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Mengenai hal yang berhubungan dengan tata cara pemeriksaan, bahkan mengenai ruang lingkup pemeriksaan saksi sudah banyak dibicarakan. Syarat-
syarat menjadi seorang saksi menurut Andi Hamzah adalah bahwa, ”Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi”.
63
Akan tetapi ada kekecualian menjadi seorang saksi, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 168 KUHAP.
64
Saksi wajib disumpah sebelum memberikan kesaksiannya di sidang pengadilan. Dalam hal saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji tersebut,
KUHAP masih mengikuti peraturan lama HIR, dimana ditentukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti.
Dalam Pasal 160 Ayat 3 KUHAP,
65
dikatakan bahwa sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa seorang saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Dan pengucapan sumpah itu
merupakan syarat mutlak suatu kesaksian, Pasal 161 Ayat 1 dan 2 KUHAP.
66
Penjelasan Pasal 161 Ayat 2, menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak seorang saksi sebagaimana yang dikatakan oleh Andi
.
63
Hamzah, Andi. 2008., Op. cit. hal. 268.
64
Kekecualian ditentukan lain dalam undang-undang, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara
terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
65
Ibid, hal. 78, berbunyi: Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
66
Hamzah, Andi. 2008., Op. cit. hal. 271.
Hamzah sebagai berikut:
67
1 Diterima sebagai alat bukti sah.
”Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi
hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.” Berdasarkan pemaparan tersebut di atas mengenai keterangan saksi, maka
dapat dikatakan syarat-syarat sahnya keterangan saksi menurut M. Yahya Harahap adalah:
a. Harus mengucapkan sumpah atau janji; b. Keterangan saksi tersebut harus bernilai sebagai bukti;
c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan; d. Keterangan saksi saja dianggap tidak cukup;
e. Keterangan saksi harus terdiri dari beberapa orang saksi dan apa yang dipersaksikan itu harus saling berhubungan satu sama yang lainnya.
Jadi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi
oleh seorang saksi, artinya agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus dipenuhi syarat-
syarat keterangan saksi seperti yang dijelaskan di atas. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi. Yang memenuhi syarat sah
keterangan saksi 4 syarat :
2 Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas bersifat tidak sempurna dan
tidak mengikat.
3 Tergantung penilaian hakim hakim bebas namun bertanggung jawab
menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki.
4 Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat
dilumpuhkan terdakwa dengan keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain.
ii. Keterangan Ahli
Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP
68
Dalam terjemahan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian,
pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya.
, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
69
a Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
Keterangan yang diberikan oleh orang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan membuat terang suatu perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyelidik atau penuntu umum yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli :
b Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau
menentukan
68
Pasal 1 butir 28 KUHAP
69
Hamzah, Andi. 2008., Op. cit. hal. 268.
c Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim
iii. Surat
Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
70
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain. Surat Keterangan dari seorang ahli :
1. Memuat pendapat berdasarkan keahliannya.
2. Mengenai suatu hal atau suatu keadaan
3. Yang diminta secara resmi dari padanya
4. Dibuat atas sumpah jabatan, atau dikuatkan dengan sumpah
Contoh : Visum et Repertum Ada 2 bentuk surat :
1. Surat Authentik Surat Resmi
a. Dibuat oleh pejabat yang berwenang, atau oleh seorang ahli atau dibuat
menurut ketentuan perundang-undangan, b.
Dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. 2.
Surat BiasaSurat Di Bawah Tangan
70
Pasal 184 ayat 1 huruf c
Hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Contoh : Izin Bangunan, Akte Kelahiran, Paspor, Kartu Tanda Penduduk,
Ijazah, Surat Izin Mengemudi, dll. Nilai Kekuatan Pembuktian Surat:
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
b. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau
menentukan lain halnya dalam acara perdata c.
Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan hakim iv.
Petunjuk Menurut Pasal 188 KUHAP ayat 1,
71
i. apabila belum mencukupi minimum alat bukti dalam Pasal 183 KUHAP,
yaitu minimal dua alat bukti. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
petunjuk baru dapat digunakan:
ii. apabila sudah ada alat bukti lain.
iii. Perbuatan, atau kejadian atau keadaan.Karena persesuainnya satu dengan
yang lain. iv.
Persesuainnya dengan tidak pidana itu sendiri. v.
Menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana, dan, Siapa pelakunya. Sumber perolehan petunjuk hanya diperoleh dari :
a Keterangan saksi
b Surat
71
Pasal 188 KUHAP ayat 1,
c Keterangan terdakwa
d Keterangan ahli
e Petunjuk bukan alat bukti yang berdiri sendiri.
v. Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 189 ayat 1 KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Keterangan terdakwa saja, tidak dapat mengakhiri perkara. maksudnya yaitu harus dibuktikan dengan alat bukti lain.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain. Terhadap bunyi Pasal 189 Ayat 2, M. Yahya Harahap mengatakan, bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai
keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah:
72
a. Lakukan, atau
1 Keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan 2 Keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan;
3 Serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa
Tentang perbuatan yang ia sendiri :
b. Ketahui atau
c. Alami
d. Keterangan yang terdakwa berikan di luar sidang pengadilan dapat
digunakan membantu menemukan bukti di sidang. e.
Keterangan Terdakwa Diluar Sidang
72
Hamzah, Andi. 2008., Op. cit.. hal. 424.
Dapat digunakan membantu menemukan bukti disidang asalkan: •
Didukung oleh suatu alat bukti yang sah. •
Mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Contoh : Berita Acara Tersangka oleh penyidik.
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa a
Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas hakim tidak terikat dengan keterangan yang bersifat pengakuan utuh murni sekalipun pengakuan
harus memenuhi batas minimum pembuktian. b
Harus memenuhi asas keyakinan hakim. c
Dalam Acara Perdata suatu pengakuan yang bulat dan murni melekat penilaian kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan
menentukan. III.
Prinsip-Prinsip Pembuktian Pidana Prinsip-prinsip pembuktian antara lain:
73
a Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat 2 KUHAP yang berbunyi: “Hal- hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut
dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
74
1 Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa
tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang
73
http:fauzanjauhari.blogspot.com201311teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html
74
Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung:
Mandar Maju. hal 20
dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. Dan yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan
peringatan hari kemerdekaan Indonesia. 2
Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.
Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk Hari Sasangka dan Lily
Rosita, 2003: 20. 3
Menjadi saksi adalah kewajiban Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat 2
KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak
kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula dengan ahli.”
b Satu saksi bukan saksi unus testis nullus testis
Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat 2 KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi
pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup
didukung satu alat bukti yang sah”.
c Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum
membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik”
yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat 4 KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.
d Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri
Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat 3 KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”.
Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri
terdakwa sendiri Adnan Paslyadja, 1997: 8-15.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti
terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti
yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya M. Yahya Harahap,
2003: 321
C. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Studi Putusan