Implementasi Peraturan Kode Etik Polri Dalam Penanganan Terhadap Anggota Polri Yang Melanggar Ketentuan Pidana (Studi di Kepolisian RESOR Kota Besar Medan)

(1)

IMPLEMENTASI PERATURAN KODE ETIK POLRI

DALAM PENANGANAN TERHADAP ANGGOTA POLRI

YANG MELANGGAR KETENTUAN PIDANA

(Studi di Kepolisian Resor Kota Medan)

SKRIPSI

Disususun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

PARULIAN H. SITOMPUL 070200341

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

IMPLEMENTASI PERATURAN KODE ETIK POLRI DALAM PENANGANAN TERHADAP ANGGOTA POLRI

YANG MELANGGAR KETENTUAN PIDANA (Studi di Kepolisian Resor Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

PARULIAN H. SITOMPUL 070200341

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA Disetujui Oleh

Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana

NIP. 1957 0326 1986011001 (DR. M. Hamdan, SH. MH)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. M.Hu

NIP. 19510206 198002 1 001 NIP. 19730220 200212 1 001 (Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

IMPLEMENTASI PERATURAN KODE ETIK POLRI DALAM PENANGANAN TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELANGGAR

KETENTUAN PIDANA (Studi di Kepolisian RESOR Kota Besar Medan) ABSTRAK

Selama ini Polri sering dituding melindungi anggotanya yang terjerat hukum. Masyarakat berharap agar pengungkapan berbagai kasus yang menimpa anggota atau petinggi Polri, tidak hanya seperti selama ini. Bila tidak lagi dikontrol publik atau pers, kasusnya akan “menguap”. Pengungkapan untuk kasus-kasus besar terkesan melambat, bahkan hilang begitu saja, manakala suatu kasus terbentur pada polisi berpangkat tinggi. Banyak masyarakat tidak mengetahui bagaimana proses hukum yang ditempuh Polri jika ada anggotanya yang melanggar aturan pidana.

Anggota Polri yang melakukan tindak pidana diadukan/dilaporkan oleh masyarakat, anggota Polri atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan yang disampaikan pada pimpinan anggota Polri tersebut yakni Unit Provos atau Unit Pelayanan Kepolisian (YANDUAN, YANMAS). Unit Provos kemudian melakukan pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan). Apabila alat bukti dirasa belum lengkap oleh Unit Provos maka kewenangan penyelidikan diambil alih oleh Unit Paminal. Dalam proses penyelidikan tidak hanya Unit Paminal yang melakukan penyelidikan, tetapi juga Unit Reskrim. Namun Unit Reskrim melakukan penyelidikan hanya untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti yang berhuhungan dengan tindak pidana tersebut. Selanjutnya unit Paminal memberikan laporan kepada Unit Provos untuk kemudian dilanjutkan pada proses penyidikan terhadap adanya pelanggaran kode etik dan Unit Reskrim melanjutkan pada proses penyidikan terhadap tindak pidana yang telah terjadi sesuai dengan yang telah diatur dalam KUHAP. Jika dalam penyidikan yang dilakukan oleh Provos benar-benar telah terbukti bahwa terjadi adanya pelanggaran kode etik, maka selanjutnya Provos menyerahkan/mengirimkan berkas perkara kepada pejabat yang berwenang dan mengusulkan untuk dibentuk Komisi Kode Etik Polri. Setelah menerima berkas perkara tersebut, kemudian pejabat yang berwenang meminta saran dari pengemban fungsi Pembinaan Hukum Polda terhadap berkas perkara adanya pelanggaran kode etik tersebut dan selanjutnya pejabat yang berwenang (Kapolwil) membentuk Komisi Kode Etik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan kode etik anggota polri dalam peningkatan profesionalitas polri antara lain Faktor eksternal misalnya Adanya

lembaga kompolnas yang bertugas memberikan saran kepada Presiden tentang penyelenggaran tugas Polri yang professional dan mandiri. Faktor internal misalnya Adanya kebijakan Pimpinan Polri yang konsisten untuk memberikan tindakan hukum

yang tegas (punishment) bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum dan memberikan penghargaan (Reward) bagi yang berprestasi dalam pelaksanakan tugasnya. Faktor budaya misalnya membangun mentalitas dasar bahwa masyarakat


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI... ABSTRAK... BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Permasalahan... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

F. Kajian Pustaka ... 8

1. Kedudukan Polri ... 8

2. Pengertian Kepolisian RI ... 14

3. Asas, Tugas dan Wewenang Polri ... 18

4. Kewajiban dan Larangan Bagi Anggota Polri ... 26

5. Kode Etik Profesi Polri ... 29

6. Pengertian Pidana ... 34

G. Metode Penelitian ... 42

H. Sistematika Penulisan ... 45

BAB II IMPLEMENTASI PERATURAN KODE ETIK POLRI DALAM PENYELESAIAN PENYELEWENGAN KODE ETIK POLRI PADA KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN


(5)

A. Lingkup Organisasi Dan Pelaksanaan Tugas Kepolisian Di

Polrestabes Medan ... 47

1. Struktur Organisasi Kepolisian di Indonesia ... 47

2. Struktur Organisasi Polrestabes Medan ... 54

3. Operasi Khusus Polrestabes Medan ... 70

B. Implementasi Peraturan Kode Etik Polri ... 74

C. Kendala Dan Cara Mengatasi Masalah Yang Dihadapi Oleh Polwiltabes Medan Dalam Menerapkan Kode Etik Profesi Polri Terhadap Anggota Polri Yang Melakukan Tindak Pidana ... 82

BAB III UPAYA POLRI DALAM PENINGKATAN PROFESIONALISME DAN CITRA POLRI DALAM HAL PENEGAKAN KODE ETIK POLRI A. Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Kode Etik Anggota Polri Dalam Peningkatan Profesionalitas Polri ...85

B. Strategi Penegakan Hukum Kode Etik Anggota Polri Yang Diharapkan Guna Mewujudkan Profesionalisme dalam rangka memantapkan citra Polri ... 92

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...108

B. Saran ...109


(6)

IMPLEMENTASI PERATURAN KODE ETIK POLRI DALAM PENANGANAN TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELANGGAR

KETENTUAN PIDANA (Studi di Kepolisian RESOR Kota Besar Medan) ABSTRAK

Selama ini Polri sering dituding melindungi anggotanya yang terjerat hukum. Masyarakat berharap agar pengungkapan berbagai kasus yang menimpa anggota atau petinggi Polri, tidak hanya seperti selama ini. Bila tidak lagi dikontrol publik atau pers, kasusnya akan “menguap”. Pengungkapan untuk kasus-kasus besar terkesan melambat, bahkan hilang begitu saja, manakala suatu kasus terbentur pada polisi berpangkat tinggi. Banyak masyarakat tidak mengetahui bagaimana proses hukum yang ditempuh Polri jika ada anggotanya yang melanggar aturan pidana.

Anggota Polri yang melakukan tindak pidana diadukan/dilaporkan oleh masyarakat, anggota Polri atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan yang disampaikan pada pimpinan anggota Polri tersebut yakni Unit Provos atau Unit Pelayanan Kepolisian (YANDUAN, YANMAS). Unit Provos kemudian melakukan pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan). Apabila alat bukti dirasa belum lengkap oleh Unit Provos maka kewenangan penyelidikan diambil alih oleh Unit Paminal. Dalam proses penyelidikan tidak hanya Unit Paminal yang melakukan penyelidikan, tetapi juga Unit Reskrim. Namun Unit Reskrim melakukan penyelidikan hanya untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti yang berhuhungan dengan tindak pidana tersebut. Selanjutnya unit Paminal memberikan laporan kepada Unit Provos untuk kemudian dilanjutkan pada proses penyidikan terhadap adanya pelanggaran kode etik dan Unit Reskrim melanjutkan pada proses penyidikan terhadap tindak pidana yang telah terjadi sesuai dengan yang telah diatur dalam KUHAP. Jika dalam penyidikan yang dilakukan oleh Provos benar-benar telah terbukti bahwa terjadi adanya pelanggaran kode etik, maka selanjutnya Provos menyerahkan/mengirimkan berkas perkara kepada pejabat yang berwenang dan mengusulkan untuk dibentuk Komisi Kode Etik Polri. Setelah menerima berkas perkara tersebut, kemudian pejabat yang berwenang meminta saran dari pengemban fungsi Pembinaan Hukum Polda terhadap berkas perkara adanya pelanggaran kode etik tersebut dan selanjutnya pejabat yang berwenang (Kapolwil) membentuk Komisi Kode Etik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan kode etik anggota polri dalam peningkatan profesionalitas polri antara lain Faktor eksternal misalnya Adanya

lembaga kompolnas yang bertugas memberikan saran kepada Presiden tentang penyelenggaran tugas Polri yang professional dan mandiri. Faktor internal misalnya Adanya kebijakan Pimpinan Polri yang konsisten untuk memberikan tindakan hukum

yang tegas (punishment) bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum dan memberikan penghargaan (Reward) bagi yang berprestasi dalam pelaksanakan tugasnya. Faktor budaya misalnya membangun mentalitas dasar bahwa masyarakat


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, tidak dapat dilepaskan dari kepolisian. Tugas Pokok Polri itu sendiri sendiri menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.1

Tujuan tersebut di atas tentunya tidak akan terwujud apabila tidak dilakukan dengan dedikasi tinggi, disiplin serta profesionalisme dari para anggota Polri itu sendiri untuk berusaha melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik dan bertanggung jawab. Bertolak dari arti pentingnya kedisiplinan bagi anggota Polri sebagai penegak hukum, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.2

Polri sebagai sub sistem dari pemerintah secara responsif telah berupaya memberi kontribusi mewujudkan prinsip Good Governance dan

Clean Government baik dalam pelaksanaan tugas pokok memelihara

1 Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 Tentang Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2 Ali Subur dkk, Pergulatan Profesionalisme Dan Watak Pretorian (Catatan Kontras


(8)

Kamtib mas, menegakkan hukum dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat maupun di kalangan internal Polri sendiri sebagaimana dicanangkan dalam grand strategi Polri berupa Trust Building (membangun kepercayaan).3

Kompleksitas tantangan tugas Polri pada era reformasi dalam perjalanannya selain telah memberi manfaat bagi Polri dengan berbagai kemajuan yang signifikan baik di bidang pembangunan kekuatan, pembinaan maupun operasional. Namun di sisi lain diakui secara jujur terdapat akses negatif dari penyelenggaraan tugas pokoknya berupa penyimpangan perilaku anggota Polri seperti penyalahgunaan kekuasaan / wewenang (abuse of power), kualitas penyajian layanan yang tercela dari sudut moral dan hukum antara lain diskriminasi, permintaan layanan / penegakan hukum alasan kepentingan pribadi, diskresi melampaui batas, mempersulit, arogan, lamban, tidak sopan manusiawi dan perilaku negatif.4

Terlepas benar atau tidak, setidaknya statement tersebut semakin memberi justifikasi bahwa memang benar di dalam Polri banyak terjadi penyimpangan khususnya dalam penyimpangan kode etik profesi Polri.

Bahkan beberapa waktu yang lalu terdapat suatu statement dari sebuah LSM yang mengatakan Polri sebagai organisasi nomor satu paling korup di Indonesia.

5

Kode etik profesi adalah suatu tuntutan, bimbingan atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau merupakan daftar

3 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melayani Publik, Gadjah Mada

University, Yogyakarta , 2006, Hal. 3.

4 Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, Hal. 42.


(9)

kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam praktik. Dengan demikian maka kode etik profesi berisi nilai-nilai etis yang ditetapakan sebagai saran pembimbing dan pengendali bagaimana seharusnya atau seyogyanya pemegang profesi bertindak atau berperilaku atau berbuat dalam menjalankan profesinya.

Demikian pula pada profesi kepolisian, mempunyai kode etik yang berlaku bagi Polisi dan pemegang fungsi kepolisian. Kode etik bagi profesi kepolisian tidak hanya didasarkan pada kebutuhan profesionalisme, tetapi juga telah diatur secara normative dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kapolri No. Pol. : 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Peraturan Kapolri No. Pol : 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Profesi Polri, sehingga Kode Etik Profesi Polri berlaku mengikat bagi setiap anggota anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau di singkat (Polri).6

Di beritakan di Media Kompas bahwa Komisi Kode Etik Polri menghasilkan 204 putusan yang mencakup 169 pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Sebanyak 169 polisi diberhentikan tidak dengan hormat selama Januari-Mei 2009. Secara keseluruhan, Komisi Kode Etik Polri menghasilkan 204 putusan yang mencakup 169 pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Keputusan lain yang diambil adalah tercela (2 kasus), permintaan maaf (6 kasus),

6 Pudi Rahardi , Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri),


(10)

tour of area (TOA) atau pindah daerah tugas sebanyak 17 kasus, tour of duty (TOD) atau pindah bagian sebanyak 15 kasus, dan pemberhentian dengan hormat (PDH) sebanyak 3 kasus. Jumlah pelanggaran terbesar dilakukan bintara dengan 1.060 kasus tahun 2008 dan 488 kasus di antara Januari-Mei 2009. Pelanggaran yang terjadi bervariasi, seperti kasus narkoba, kejahatan lain, dan mangkir dari tugas (desersi). Sementara di tingkat perwira pertama (Inspektur Dua hingga Ajun Komisaris) tercatat 81 kasus tahun 2008 dan 33 kasus pada semester I tahun 2009. Di tingkat perwira menengah (Komisaris hingga Komisaris Besar) terdapat 16 pelanggar tahun 2008 dan 3 pelanggar pada Januari-Juni 2009. Secara keseluruhan, ujar Sulistyo, jumlah pelanggaran pidana pada 2008 mencapai 1.164 kasus dan semester pertama 2009 sebanyak 525 kasus. Sekretaris Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adnan Pandupraja mengatakan, pihaknya menerima 774 keluhan masyarakat terhadap polisi selama Januari-Juni 2009. ”Keluhan terbesar dialamatkan kepada satuan reserse sebanyak 723 laporan. Laporan terbanyak atas kinerja polisi di Polri Metro Jaya 166 aduan. Keluhan yang sudah dijawab Polri sebanyak 250 kasus.7

Setiap personel penegak hukum Polri pasti diikat oleh aturan atau undang-undang sebagai acuan dalam bertindak. Aturan-aturan yang mengikat Polri diantaranya adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang

Selain itu pada tahun lalu (2010) tercatat beberapa petinggi Polri diajukan pada sidang kode etik, antara lain Kompol Arafat, Williardi W, dan Susno Duadji.


(11)

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi banyaknya aturan yang mengikat Polri tersebut tidak menjamin tumbuhnya jiwa profesional dalam diri sebagian anggotanya.

Berkaca dari berbagai kasus yang timbul, seharusnya Polri perlu memulai langkah baru dengan menghindarkan diri dari kesan menerapkan asas imunitas untuk melindungi sesama anggota korps dalam berbagai penyelewengan. Selama ini Polri sering dituding melindungi anggotanya yang tidak serius menangani kasus-kasus korupsi, ham, illegal logging, narkoba, perjudian, dan lainnya. Keanehan proses hukum kasus-kasus berskala besar yang menjadi perhatian publik di tubuh Polri, bukan lagi sekadar menyangkut oknum, melainkan Polri sebagai institusi. Untuk itu, Kepala Polri harus memulai ''tradisi baru'' untuk memihak dan menghargai anggota Polri yang bekerja sungguh-sungguh, jujur, dan berotak cemerlang.

Masyarakat sebenarnya berharap agar pengungkapan berbagai kasus yang menimpa anggota atau petinggi Polri, tidak hanya seperti selama ini. Bila tidak lagi dikontrol publik atau pers, kasusnya akan “menguap”. Pengungkapan untuk kasus-kasus besar terkesan melambat, bahkan hilang begitu saja, manakala suatu kasus terbentur pada polisi berpangkat tinggi. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, masih minim keseriusan untuk betul-betul mengungkap berbagai kasus dan penyelewengan di tubuh Polri. Sinyalemen yang berkembang adanya semangat membela institusi (esprit de corps) yang terkesan sebagai ''kultur''


(12)

belum bisa dihilangkan sama sekali. Padahal, kultur tersebut merugikan reputasi Polri sebagai institusi penegak hukum.8

B. Permasalahan

1. Bagaimana Implementasi Peraturan Kode Etik Polri Dalam Penyelesaian Penyelewengan Kode Etik Polri Pada Kepolisian Resor Kota Besar Medan 2. Bagaimanakah upaya Polri dalam peningkatan profesionalisme dan citra Polri

dalam hal penegakan kode etik Polri ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk Mengetahui bagaimana Implementasi Peraturan Kode Etik Polri Dalam Penyelesaian Penyelewengan Kode Etik Polri Pada Kepolisian Resor Kota Besar Medan

2. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya Polri dalam peningkatan profesionalisme dan citra Polri dalam hal penegakan kode etik Polri

Sedangkan Manfaat dalam penelitian ini adalah : 1. Kegunaan teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya mengenai penanganan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak 8Marwan Mas, Menyoroti Korupsi Korps Baju Coklat, Makalah Dosen Fakultas Hukum


(13)

pidana. Selain itu juga untuk memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai pelaksanaan kode etik kepolisan Republik Indonesia

2. Kegunaan praktis

a. Bagi Penulis : Penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta menambah wacana Ilmu Hukum Pidana tentang penanganan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana.

b. Bagi Kepolisian : Khususnya bagi Kepolisian Daerah Jawa Timur, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam hal penanganan terhadap anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana sehingga dapat lebih meningkatkan profesionalisme para anggotanya. c. Bagi Masyarakat : Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan

masyarakat tentang upaya yang dilakukan oleh Polri Jawa Timur dalam penanganan terhadap anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana, sehingga masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam penanganan terhadap anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud. Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang IMPLEMENTASI


(14)

TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELANGGAR KETENTUAN PIDANA (Studi di Kepolisian RESOR Kota Besar Medan), belum pernah

diteliti oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

F. Kajian Pustaka 1. Kedudukan Polri

a. Kedudukan Polri sebelum berlakunya UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Sejak diundangkannya UU No. 13 Tahun 1961, bersamaan dengan integrasi Kepolisian Negara Republik Indonesia ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, maka pengaturan penyelanggaraan fungsi Kepolisian dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, kecuali dalam hal proses pidana yang diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Paradigm Polri pada masa berlakunya UU NO.13 Tahun 1961 adalah paradigma militer, karena polisi merupakan bagian dari ABRI dengan doktrin militer yang bersifat destructif dan represif.9

9 H. Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang

Mediatama, Surabaya, 2007, hal. 33.

Institusi Polri pada masa orde baru sering kali mendapatkan intervensi dari kekuasaan ekstra yudisial dalam menjalankan


(15)

tugas dan fungsinya. Selain itu juga, Polri merupakan sub ordinat kekuasaan, sehingga sering dijadikan sarana untuk memelihara dan melanggengkan kekuasaan dari ancaman internal dan eksternal. Banyaknya kasus pelanggaran hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia dapat dikatakan sangat banyak yang melibatkan institusi Polri dan matra militer (TNI) yang lain. Hal ini memungkinkan terjadi karena kondisi pemerintahan dan regulasi sedemikian rupa, sehingga institusi Polri tidak dapat bersikap mandiri dan independent dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.10

Setelah UU No.13 Tahun 1961 berlaku selama 36 tahun, maka digantilah Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang yang baru yaitu UU No.28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara tahun 1997 No. 81, tambahan lembaran Negara No.3710). Pada masa berlakunya UU No. 28 Tahun 1997, kondisi dan situasi saat itu masih erat hubungannya dengan orde pemerintahan pada saat itu, yakni penyelenggaraan fungsi kepolisian pada periode tersebut berjalan dengan nuansa dan karakteristik tersendiri sesuai dengan pada masa tersebut.11

10 Ibid, hal. 34.

Meskipun UU No.28 Tahun 1997 lebih baik disbanding UU No.13 Tahun 1961, namun masih menempatkan Polri sebagai bagian dari institusi TNI/ABRI. Oleh karena itulah kondisi dan situasi Polri pada masa berlakunya UU No.28 Tahun 1997 tidak banyak berbeda dengan ketika diberlakukannya UU No. 13 Tahun 1961.


(16)

Rumusan ketentuan yang tercantum di dalam UU No. 28 Tahun 1997 masih mengacu pada UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.1 Tahun 1988 dan UU No. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sehingga watak militernya masih sangat dominan yang pada gilirannya berpengaruh pula terhadap sikap dan perilaku aparat/pejabat Kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya dilapangan. Tuntutan ke arah perubahan UU Kepolisian No. 28 Tahun 1997, semakin merebak sejalan dengan maraknya tuntutan reformasi kearah perwujudan supremasi hukum, Kepolisian yang mandiri dan profesional, demokratisasi dan perlindungan Hak Asasi Manusia sehingga mendukung terwujudnya perubahan undang-undang yang memuat paradigma baru pemolisian dan diharapkan dapat memberikan penegasan watak Polri sebagaimana yang dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai sumber nilai Kode Etikka Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila.12

Pada periode tahun 1997-2002, era reformasi telah melahirkan kondisi ketatanegaraan dan pemerintahan kondusif sehingga mendukung terwujudnya perubahan undang-undang yang memuat paradigma baru pemolisian dan diharapkan dapat memberikan penegasan watak Polri sebagaimana yang dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai


(17)

sumber nilai Kode Etika Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila.13 Ditetapkannya perubahan kedua UUD 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, yang kemudian disusul dengan adanya Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VIII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan paradigma yang menegaskan adanya rumusan tentang tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia pada era reformasi serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Sedangkan TNI, sebagai alat pertahanan untuk menghadapi ancaman dari luar. Maka selanjutnya, UU No. 28 Tahun 1997 diubah dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Kedudukan Polri setelah berlakunya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Republik Indonesia

Kelahiran UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002 telah memisahkan institusi Polri dari TNI, sehingga diharapkan dengan adanya undang-undang tersebut dapat terciptanya kemandirian dan profesionalisme Polri. Dalam UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002 diatur pembinaan profesi dan ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Polri agar setiap tindakan anggota/pejabat Polri


(18)

dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun teknik profesi dan terutama berdasarkan hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu dalam undang-undang tersebut diatur mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab anggota Polri yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum, bukan lagi tunduk pada peradilan militer. Dengan kata lain setiap terjadi permasalahan pidana bagi anggota Kepolisian, akann diselesaikan pada peradilan umum dimana proses penyidikannya dilakukan oleh aparatur Polri. Hal ini merupakan konsekuensi lepasnya institusi Polri dari institusi TNI yang tunduk pada peradilan militer dan juga hal yang sangat mendasar dalam UU No. 2 Tahun 2002.

Perubahan perilaku militeristik Polri tersebut menjadi sangat penting, karena eksistensi Polri sebagai penegak hukum dengan mendekatkan sudut legalistik organisasi dan mekanisme kerja Organisasi Kepolisian, Polri adalah sebagai agensi pelaksana ”the rule of criminal procedure” (RCP) yang diberi kekuasaan oleh undang-undang untuk mempertahankan dan memelihara ketertiban dan keamanan sebagaimana yang diatur dalam “the

rule of the criminal code” (RCC), yang secara umum berlaku “Code of Conduct For Law Enforcement Officials” dan “Basic Principle On The Use of Force And Firearmas by Law Enforcement Officials”, yang telah

ditetapkan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-VII dan ke-VIII tentang “The Prevention of Crimme and The Treatment of Offenders”. Sehingga bila ditinjau dari sisi penegakan hukum, sifat universal Kepolisian dimana sebagian terbesar Negara di dunia menempatkan Organisasi


(19)

Kepolisian bebas dari dan tidak tunduk pada Organisasi Angkatan Bersenjata (militer). Karena dengan watak perilaku militer, maka visi misi Kepolisian bukan lagi pada “How to Combat Crimes” akan tetapi menitik beratkkan pada “How to Combat The Enemy”. Selain itu besarnya tugas Polri yang lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayani, juga menjadi pertimbangan sosiologis untuk dibentuknya Undang-undang Kepolisian.14

Dengan demikian berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 telah jelas bahwa Polri tidak lagi sebagai militer dan produk-produk adminitrasi Kepolisian tidak lagi tunduk pada tata usaha militer sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, tetapi masuk dalam lingkup Pejabat Tata Usaha Negara yang tunduk pada UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengingat produk administrasi Kepolisian sebagai produk Tata Usaha Negara, apabila berupa keputusan, maka masuk pada kategori sebagai keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Oleh karena itu, apabila terjadi sengketa atas keputusan Pejabat Kepolisian yang bersifat konkrit, individual, dan final, peradilan yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan sengketa dimaksud adalah Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berlaku secara efektif sejak ditetapkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian

14 Sadjijono, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance, LaksBang


(20)

Anggota Polri, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri dan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi anggota Polri.

2. Pengertian Kepolisian Republik Indonesia a. Pengertian Polisi Secara Umum

Untuk menyamakan persepsi tentang pengertian kepolisian republik indonesia, terlebih dahulu dikemukaakan pengertian polisi. Istilah polisi pada mulanya berasal dari bahasa Yunani, "politea" yang berarti pemerintahan negara Yunani terdiri dari kota-kota yang disebut dengan "polis", pada waktu itu pengertian polisi menyangkut segala urusan pemerintahan termasuk urusan agama atau dengan kata lain pengertian polisi adalah urusan pemerintahan. Pengertian polisi tersebut pada waktu urusan pemerintahan masih sederhana dan belum seperti sekarang ini. Dari istilah politea dan polis kemudian timbul istilah lapoli, police (Inggris), polzei (Jerman), dan polisi (Indonesia). Charles Reith dalam bukunnya yang berjudul The Blind Eye of History mengemukakan pengertian polisi dalam bahasa Inggris: ”Police Indonesia the English Language came to

mean of planning for improving ordering communal existence”15

15 Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia. Prestasi Pustaka Publisher,

Jakarta, 2005, hal 5.

yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini berpanggkal tolak dari pemikiran, bahwa manusia adalah mahluk sosial, hidup berkelompok, membuat aturan-aturan` yang disepakati bersama. Ternyata diantara kelompok itu ada yang tidak mau mematuhi aturan bersam


(21)

sehingga timbul masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar. Dari pemikiran ini kemudian timbul Polisi, baik organnya maupun tugasnya untuk memperbaiki dan menugaskan tatasusunan kehidupan masyarakat tersebut.16

Pada abad ke-14 dan 15 oleh karena perkembangan zaman, urusan dan kegiatan keagamaan menjadi semakin banyak, sehingga perlu diselenggarakan secara khusus. Akhirnya urusan agama dikeluarkan dari usaha politea, maka dengan istilah politea atau polisi tinggal meliputi usaha dan urusan keduniaan saja.

Dari arti kata polisi yang telah diketengahkan, kalau didalami lebih jauh, akan memberikan berbagai pengertian. Para cendikiawan dibidang Kepolisian sampai pada kesimpulan bahwa dalam kata polisi terdapat tiga pengertian yang dalam penggunaan sehari-hari sering tercampur aduk dan melahirkan berbagai konotasi. Tiga arti kata polisi adalah ; (1). Polisi sebagai fungsi, (2). Polisi sebagai organ Kenegaraan dan, (3). Polisi sebagai pejabat atau petugas.17

Yang banyak disebut sehari-hari memang polisi dalam arti petugas atau pejabat. Karena merekalah yang sehari-hari berkiprah dan berhadapan langsung dengan masyarakat. Pada mulanya dulu polisi itu berarti orang yang kuat dan dapat menjaga keselamatan dan ketemtraman kelompoknya. Namun dalam bentuk polis atau negara kota, polisi sudah harus dibedakan dengan masyarakat biasa, agar rakyat jelas bahwa pada merekalahlah rakyat minta perlindungan, dapatb mengadukan keluhannya dan seterusnya dengan diberi atribut tertentu. Tersirat

16 Ibid 17 Ibid


(22)

juga maksud bahwa dengan atribut-atribut khusus dapat segera terlihat bahwa polisi punya kewewnangan menegakkan aturan dan melindungi masyarakat.

Pembedaan atribut dengan segala maknanya itu, berkembang terus, sehingga dikemudian hari melahirkan bayak variasi. Setiap negara memberikan atribut yang berbeda-beda sesuai dengan budaya dan estetika yang mereka kehendaki. Atribut itu secara phisik berbentuk seragam baju, kelengkapan dan tanda-tanda atau simbul-simbul yang merupakan tanda pengenal mereka. Beberapa negara bahkan memberikan atribut yang berbeda-beda bagi setiap daerah atau negara bagian.18

Seiring perkembangan zaman dengan demikian pengertian polisi juga mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan keadaan. Waulaupun mengalami perkembangan mengenai polisi, namun ide dasar keberadaan polisi tidak berubah yaitu urusan mengenai pemeliharaan pemerintahan.

Perkembangan jaman di Eropa Barat (terutama sejak abad ke-14 dan ke-15) menuntut adanya pemisahan agama dan negara sehingga dikenal istilah-istilah police di Perancis dan polizei di Jerman yang keduanya telah mengecualikan urusan keduniawian saja24 atau hanya mengurusi keseluruhan pemerintahan negara, istilah polizei tersebut masih dipakai sampai dengan akhir abad pertengahan, kemudian berkembang dengan munculnya teori Catur Praja dari Van Voenhoven yang membagi pemerintahan dalam empat bagian, yaitu:19

1) Bestuur : Hukum Tata Pemerintahan 18 Ibid., hal. 5

19 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,


(23)

2) Politie : Hukum Kepolisian

3) Justitie : Hukum Acara Peradilan

4) Regeling : Hukum Perundang-undangan.

Dalam teori tersebut dapat dilihat bahwa polisi tidak lagi merupakan keseluruhan pemerintahan negara akan tetapi merupakan organ yang berdiri sendiri, yang mempunyai wewenang dan kewajiban menjalankan pengawasan bahkan bila perlu dengan paksaan yang diperintah melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan sesuai dengan kewajibannya masing-masing.

b. Pengertian ‘Polisi’ menurut UU Kepolisian

‘Kepolisian’ dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diartikan sebagai segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sedangkan Pejabat Kepolisian Negara adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian.

Peraturan kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(24)

3. Asas, Tugas dan Wewenang POLRI

a. Asas-asas dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Kepolisian.

Pelaksanaan wewenang kepolisian didasarkan pada tiga asas yakni:20 1) asas legalitas

2) asas plichmatigheid 3) asas subsidiaritas

Asas legalitas adalah asas di mana setiap tindakan polisi harus didasarkan kepada undang-undang / peraturan perundang-undangan. Bilamana tidak didasarkan kepada undang-undang / peraturan perundang-undangan maka dikatakan bahwa tindakan polisi itu melawan hukum (onrechtmatig).

Asas plichmatigheid ialah asas di mana polisi sudah dianggap sah berdasarkan / sumber kepada kekuasaan atau kewenangan umum. Dengan demikian bilamana memang sudah ada kewajiban bagi polisi untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum, asas ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan. Polisi dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum.

Asas subsidiaritas adalah asas yang menyatakan bahwa hukum pidana seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir. Sebagai Abdi penegak hukum yang langsung terjun pada masyarakat sudah selayaknyalah polri juga sebisa mungkin menggunakan cara persuasif terlebih dahulu dalam menangani persoalan masyarakat terutama terkait masalah masalah yang bisa mengakibatkan konflik horisontal. Sedangkan penegakan melalui pidana adalah langkah akhir jika cara

20 Kelana Momo, Hukum Kepolisian (edisi ketiga cetakan keempat), Perguruan Tinggi


(25)

persuasif gagal.

b. Tugas dan Wewenang Polri Menurut UU Kepolisian

Undang-undang Kepolisian menyebutkan bahwa tugas pokok kepolisian Negara Repubik Indonesia adalah:21

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Penjelasan tersebut menyebutkan bahwa rumusan tersebut tidak didasarkan pada suatu urutan prioritas, artinya ketiga-tiganya sama penting. Dalam pelaksanaannya pun tugas pokok yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan.

Dalam UU kepolisian, keamanan dan ketertiban masyarakat diartikan sebagai:

“suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.”22 Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:23

21 UU Kepolisian, Pasal 13. 22 Ibid., Pasal 1 butir 5. 23 Ibid., Pasal 14.


(26)

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjami kemanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap sema tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselaatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan / atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelu ditangani oleh instansi dan / atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tugas utama polisi untuk menegakkan hukum berhubungan dengan peran polisi sebagai salah satu bagian dari system peradilan pidana Indonesia. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, polisi berwenang untuk:24

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau 24 Ibid., Pasal 16 ayat (1).


(27)

saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. ‘Tindakan lain” yang dimaksud adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:25

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.

Selain tugas dan wewenang yang disebutkan di dalam UU Kepolisian ini, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan umum, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Tindakan menurut penilaian sendiri ini hanya data dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.26

c. Tugas dan Wewenang Polri Menurut KUHAP

1) Wewenang Sebagai Penyidik

Upaya paksa merupakan kegiatan polisi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dalam system peradilan pidana Indonesia. Upaya paksa

25 Ibid., Pasal 16 ayat (2). 26 Ibid., Pasal 18.


(28)

meliputi kegiatankegiatan: penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak secara eksplisit menjelaskan pengertian dari upaya paksa namun di dalamnya disebutkan mengenai tugas dan wewenang polisi sebagai penyidik. Menurut ketentuan dalam Pasal 6 KUHAP:

(1). Penyidik adalah:

a. pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;

b. pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU.

Sedangkan wewenang yang dimiliki oleh penyidik diatur di dalam pasal 7 KUHAP yang berbunyi:

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. melakuan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakuakan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai

wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dari pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.

(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud adlam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

2) Penangkapan


(29)

penyelidikan maupun penyidikan, penyidik memiliki wewenang untuk memerintahkan atau untuk melakukan penangkapan.27 Penangkapan (atau perintah penangkapan) dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.28

Tata cara pelaksanaan penangkapan adalh dengan memperlihatkan surat tugas petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta memberikan kepada tersangka surat perintah pengkapan yang mencantumka identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.29

Apabila penangkapan dilakukan segera pada saat terjadi suatu kejahatan atau dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.30

3) Penahanan

Penahanan dapat dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik untuk kepentingan suatu penyidikan. Penahanan dapat juga dilakukan oleh Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan maupun

27 KUHAP, Pasal 16. 28 Ibid., Pasal 17.

29 Ibid., Pasal 18 ayat (1) dan (3). 30 Ibid., Pasal 18 ayat (2).


(30)

oleh Hakim itu sendiri di sidang Pengadilan dengan penetapannya.31

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan bilamana terdapat kekhawatiran seorang tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.32

KUHAP menyebutkan bahwa suatu penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidan dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana pernjara lima tahun atau lebih;

b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 25 dan pasal 26

Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai,

terakhir diubah dengan Staatsblad tahun 1931 nomor 471), pasal 1, pasal 2 dan pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 nomor 8), pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47 dan pasal 48 Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 nomor 37, Tambahan Lembaran Negara nomor 3086).33

Menurut ketentuan pasal 22, jenis penahanan dapat berupa: a) Penahanan Rumah Tahanan Negara;

b) Penahanan rumah c) Penahanan kota. 4) P enggeledahan

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan

31 Ibid., Pasal 18 ayat (1) dan (3). 32 Ibid., Pasal 21 ayat (1). 33 Ibid., Pasal 21 ayat (4).


(31)

penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP.34

Pasal 37 KUHAP menyebutkan:

“(1) Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.

(2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.”

5) Penyitaan

KUHAP mendefinisikan penyitaan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepnetingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.35

Suatu penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun demikian, dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak yakni bila penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan izin terlebih dahulu, penyidik tersebut dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak.36

Hal-hal yang menjadi obyek penyitaan adalah:

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan 34 Ibid., Pasal 32.

35 Ibid., Pasal 32. 36 Ibid., Pasal 38.


(32)

tindak pidana;

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.37

4. Kewajiban dan Larangan Bagi Anggota Polri a) Kewajiban Anggota Polri

Kewajiban bagi anggota Polri dalam PP No. 2 Tahun 2003 dibagi menjadi 2 (dua), yaitu kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka kehidupann bernegara dan bermasyarakat, dan kewajiban yang harus dilakukan dalam pelaksanaan tugas. Kewajiban bagi anggota Polri dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat diatur dalam Pasal 3 PP No. 2 Tahun 2003, yang berbunyi :

dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib :

a. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara dan Pemerintah;

b. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan Negara;

c. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

d. Menyimpan rahasia Negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;

e. Hormat-menghormati antar pemeluk agama; f. Menjunjung tinggi hak asasi manusia;

g. Menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum;

h. Melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan Negara/pemerintah;

i. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat; j. Berpakain rapi dan pantas.

Sedangkan kewajiban bagi anggota Polri dalam pelaksanaan tugas, diatur 37 Ibid., Pasal 39 ayat (1).


(33)

dalam Pasal 4 PP No. 2 Tahun 2003 yang berbunyi: “Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:

a. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat;

b. Memperhatikan dan menyelasaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat;

c. Mentaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab;

e. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

f. Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;

g. Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya;

h. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas;

i. Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya; j. Mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja; k. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan

karier;

l. Menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang; m. Menaati ketentuan jam kerja;

n. Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-baiknya;

o. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.

b. Larangan Anggota Polri

Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, terdapat larangan bagi anggota Polri yang diatur dalam Pasal 5 PP No. 2 Tahun 2003. Adapun larangan tersebut adalah:

a. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. Melakukan kegiatan politik praktis;

c. Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

d. Bekrjasama dengan orang lain didalam atau diluar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau


(34)

pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan Negara;

e. Bertindak selaku perantara bagi penngusaha ataau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;

f. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaanya;

g. Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;

h. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang mempunyai utang;

i. Menjadi perantara/makelar perkara; j. Menelantarkan keluarga.

Selanjutnya dalam pasal 6 PP No. 2 Tahun 2003 diatur mengenai larangan bagi anggota Polri dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas yaitu dilarang:

a. Membocorkan rahasia operasi Kepolisian;

b. Meninggalkan wilayah tugas tanpa ijin pimpinan; c. Menghindarkan tanggung jawab dinas;

d. Menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi;

e. Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya; f. Mengontrakkan/menyewakan rumah dinas;

g. Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit; h. Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak; i. Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi; j. Berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani; k. Memanipulasi perkara;

l. Membuat opini negative tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau kesatuan;

m. Mengurusi, mensponsori, dan/atau mempengaruhi petugas ddengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;

n. Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materiil perkara;

o. Menlakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya; p. Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau

mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;

q. Menyalahgunakan wewenang;

r. Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan; s. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;

t. Menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas;

u. Memiliki, memjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan, atau menghilangkan baraang, dokumen, atau surat


(35)

berharga milik dinas secara tidak sah;

v. Memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia kecuali karena tugasnya.;

w. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;

x. Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

5. Kode Etik Profesi Polri

Etika berasal dari bahasa yunani kuno Ethos, yang dalam bentuk tunggal berarti adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari Ethos adalah Ta etha artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah etika yang oleh filsuf Yunani Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukan filsafat moral. Berdasarkan asal usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.38

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu:39

1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau

masyarakat.

Bertens mengemukakan bahwa urutan ketiga arti tersebut kurang tepat, sebaiknya arti ketiga ditempatkan di depan karena lebih mendasar dari pada arti pertama, dan urutannya bisa dipertajam lagi. Dengan demikian, menurutnya tiga arti etika dapat dirumuskan sebagai berikut:40

38 Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal. 4.

39 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1998.


(36)

1. Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasayarakat.

2. Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik, Misalnya Kode etik Kepolisian, Kode Etik Advokat Indonesia.

3. Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika disini sama dengan filsafat moral.

Menurut sumaryono, Etika mempunyai arti adat isitiadat dan kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian ini kemudian etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidak benaran manusia. Berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi, etika dapat dibedakan menjadi etika perangai dan etika moral.41

Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota kepolisian meliputi etika pengabdian, kelembagaan, dan keneagaraan, selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pencurahan perhatian yang sangat serius dilakukan 41 Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Kanisius,


(37)

dalam menyusun etika Kepolisian adalah saat pencarian identitas polisi sebagai landasan etika Kepolisian. Sebelum dinyatakan sebagai Kode Etik, Tribrata memberikan identitas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam rangka penyusunan undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.42

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia untuk pertama kali ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia beserta pedoman pengamalannya. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia dengan Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia dengan Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/04/III/2001.

Perkembangan selanjutnya dengan Ketetapan MPR-RI Nomor. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketetapan MPR-RI Nomor. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan amanar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana tersebut dalam


(38)

pasal 31 sampai dengan pasal 35, maka diperlukan perumusan kembali Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia yang lebih konkrit agar pelaksanaan tugas kepolisian lebih terarah dan sesuai dengan harapan masyarakat yang mendambakan terciptanya supremasi hukum dan terwujudnya rasa keadilan.43

Implementasi dari UU No. 2 Tahun 2002 tersebut adalah dikeluarkannya Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri. Pengertian Kode etik profesi Polri disebutkan secara jalas dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri yang menyebutkan bahwa : “Kode etik profesi Polri adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri.”

Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika profesi kepolisian terdiri dari :

a. Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.


(39)

b. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.

c. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.44

Perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat norma perilaku dan moral lahir dari kesepakatan bersama serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi pendorong semangat dan rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi Kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua tingkat organisasi yang selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia memuat norma perilaku dan moral yang disepakati bersama serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian


(40)

Negara Republik Indonesia sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia di semua tingkat organisasi, selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia.

6. Pengertian Pidana

Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum pidana. Sedangkan Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana. Hukum pidana sendiri adalah hukum yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.45

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yakni straf, Dari definisi tersebut ditarik suatu pengertian bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.

45

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1986, hal.257.


(41)

baar, feit, yang mana straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum, sedang

perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.46

Apabila diartikan, maka kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat dan boleh, sedangkan kata feit memang untuk diterjemahkan dengan perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/ diisyaratkan adanya suatu gerakan atau perbuatan aktif tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP), sedangkan perbuatan pasif artinya suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304 KUHP).

Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Hal ini sebagaimana pendapat Moeljatno yang menyatakan47

Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

:

J.E. Jonkers memberi rumusan tentang tindak pidana, bahwa tindak pidana adalah “Perbuatan yang melanggar hukum (wedderechttelijk) yang berhubung

46

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 67.

47


(42)

dengan kesengajaan atau kesalahan yang dapat dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Sedangkan menurut H.J. Van Schravendijk merumuskan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum, maksudnya adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan.”

Kemudian menurut Simons merumuskan tindak pidana “sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah sengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.”48

Dari empat rumusan tersebut menunjukkan bahwa didalam membicarakan perihal tindak pidana selalu diidentikkan bahwa didalamnya telah ada orang yang melakukan dan oleh karenanya ada orang-orang yang dipidana, memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/ terjadi, baru melihat pada orangnya, jika orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab dan karenanya perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan demikian maka kepadanya dijatuhi pidana.

Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan terhadap perbuatan pidana (dader) jika melakukan perbuatan kejahatan atau pelanggaran atas delik. Menurut Smidt menyatakan sebagai berikut :

48


(43)

Kejahatan adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht ataus sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.49

Orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana jika memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana. Sedangkan jika orang tersebut tidak memenuhi salah satu unsur-unsur mengenai pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dipidana dari segala tuntutan hukum.

Dalam buku Hukum Pidana edisi I karya Sudarto, disebutkan ada dua golongan yang memandang mengenai pemidanaan yakni pandangan monistis dan dualistis. Bagi golongan yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi yang berpandangan dualistis/ dualisme sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.50

Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah51 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.

:

2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

49

Moeljatno, Asas-asasHukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal.71.

50

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990, hal 45.

51


(44)

1) Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana. Penjelasan :

Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum atau wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal ini harus dilepas dari segala tuntutan (onslag van recht-vervolging). Menurut Vos, perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan.52

Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat dalam KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan tidak tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum tersebut.

53

2) Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi suatu pertanggungjawaban perbuatan pidana. Yang menjadi dasar adanya kemampuan bertanggung jawab menurut adalah54

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.

:

52

Ibid., hal. 134.

53

Ibid.,

54


(45)

b. Kemampuan untuk melakukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Sedangkan batasan mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah :

“Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang berubah akalnya” (pasal 44 ayat (1) KUHP)

Dengan dasar adanya ketentuan KUHP diatas, maka pembuat perbuatan pidana tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana.

3). Mempunyai suatu bentuk kesalahan.

Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakatnya dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakan padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan yang sedemikian itu.

Sedangkan menurut Simons, kesalahan adalah : “Keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukannya sedemikian rupa, hingga orang itu dapat tercela karena perbuatannya itu.”


(46)

Bentuk perbuatan manusia yang dianggap mempunyai kesalahan mengandung dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Menurut Willems dan Werens, yang dimaksud perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Sedangkan bentuk dari kesengajaan menurut teori ini terdiri dari tiga corak, yaitu 55

a. Kesengajaan sebagai maksud (Dolus Derictus)

:

b. Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan.

c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus Eventualis).

Menurut pendapat Simons mengenai kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah diduga-duganya akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi menurut Van Hamel harus mengandung dua syarat yaitu56

a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam hukum. :

b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana menurut hukum.

Sedangkan kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu57

a. Pembuat membuat lain daripada seharusnya ia berbuat menurut hukum terrtulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum.

:

b. Selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah. c. Akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa ia dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir, dan lengah.

55

Ibid.

56

Ibid., hal. 170.

57


(47)

4) Tidak adanya alasan pemaaf

Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf. Yang dimaksud alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapuskan kesalahan. Kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan).58

Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang adalah

Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf yang terjadi pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan.

59

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak dalam orang itu (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll.

:

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan, dll.

Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut :

1. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu. 2. Pasal 48 mengenai daya memaksa

3. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa

58

Moeljatno, Op.Cit., hal.137.

59


(48)

4. Pasal 51 ayat 2 mengenai melaksanakan peritah jabatan yang tidak sah.

Jika memenuhi salah satu dari ketentuan tersebut diatas, maka perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana akan tetapi harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dimintai pertanggungjawaban pidana.

G. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan

Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Sosiologis yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri No.7 Tahun 2006 tanggal 1 Juli Tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dikaitkan dengan teori hukum serta dengan melihat realita di masyarakat mengenai Proses Persidangan Pelanggar Kode Etik Profesi Terhadap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar ketentuan hukum Pidana

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini alasan memilih dan menentukan lokasi penelitian ini merupakan yang sifatnya ilmiah, dalam hal ini penulis memilih lokasi penelitian di KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN yang beralamat di Jalan HM Said Medan.


(49)

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan diambil didalam penelitian ini adalah : a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari informan yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji tentang implementasi kode etik Polri bagi anggota Polri yang melanggar hukum pidana. Informan itu terdiri dari :

1. AKP. Benno P. Sidabutar 2. IPTU Tony Simanjuntak 3. IPTU Subeno, SH b. Data Sekunder

Data kepustakaan yang mendukung data primer yang merupakan pedoman dalam melanjutkan penelitian terhadap data primer yang ada dilapangan. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber dan literatur selain itu juga dokumen yang berkaitan dengan kode etik Polri.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Untuk data primer dilakukan dengan cara wawancara

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu60

60 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta , 2001 Hal 95 . Wawancara ini dilakukan sebagai upaya mendapatkan data yang lebih lengkap dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lisan yang berhubungan dengan permasalahan. Jenis


(50)

wawncara yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan data adalah dengan cara wawancara bebas terpimpin yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dan masih dimungkinkan didalamnya ada variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara.

b. Untuk data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka

Studi pustaka adalah mencari data tersedia yang pernah ditulis peneliti sebelumnya dimana ada hubungan dengan masalah yang akan dipecahkan dan informasi lain yang bersifat umum61. Studi pustaka ini dilakukan dengan mengumpulkan data melalui penelusuran bahan pustaka yang dipelajari dan dikutip dari data sumber yang ada, berupa catatan literatur yang berhubungan dengan kode etik Polri.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis dengan memperlihatkan kualitas dari data yang diperoleh. Penulis melakukan analisis dari semua data yang dianggap relevan diperoleh dilapangan, dan kemudian data tersebut dipaparkan sesuai dengan realitasnya. Kemudian berdasarkan data yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk membuat suatu kesimpulan dan dapat memberikan suatu pemecahan dari masalah yang dikaji.

61 Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002


(51)

H. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab ini diuraikan mengenai latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang Tugas dan Fungsi Polrestabes Medan serta Struktur Organisasi Polrestabes Medan

BAB II IMPLEMENTASI PERATURAN KODE ETIK POLRI

DALAM PENYELESAIAN PENYELEWENGAN KODE ETIK POLRI PADA KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang Tugas dan Fungsi Polrestabes Medan serta Struktur Organisasi Polrestabes Medan. Bab ini juga membahas mengenai Mekanisme Sidang Kode Etik bagi Anggota Polri yang terjerat Tindak Pidana, Kendala yang dihadapi Polrestabes Medan dalam menerapkan kode etik profesi Polri terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana,dan bahasan terakhir mengenai Upaya Polrestabes Medan untuk mengatasi kendala kode etik profesi Polri terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana


(52)

BAB III UPAYA POLRI DALAM PENINGKATAN PROFESIONALISME DAN CITRA POLRI DALAM HAL PENEGAKAN KODE ETIK POLRI

Dalam Bab ini diuraikan tentang Strategi Pembinaan Kode Etik pada setiap Anggota Polri sebagai upaya Polrestabes Medan menciptakan Profesionalisme POLRI, Implementasi pengetahuan Anggota Polri mengenai kode etik Polri, Jenis Pelanggaran Pidana yang dilakukan anggota Polri

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran yang memuat uraian tentang kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan dari permasalahan yang ada dan alternatif pemecahan masalah.


(53)

BAB II

IMPLEMENTASI PERATURAN KODE ETIK POLRI DALAM PENYELESAIAN PENYELEWENGAN KODE ETIK POLRI PADA

KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN

A. Lingkup Organisasi Dan Pelaksanaan Tugas Kepolisian Di Polrestabes Medan

1. Struktur Organisasi Kepolisian di Indonesia

Polisi sebagai aparat Pemerintah, maka organisasinya berada dalam lingkup Pemerintah. Dengan kata lain organisasi Polisi adalah bagian dari Organisasi Pemerintah. Dari segi bahasa organ kepolisian adalah suatu alat atau badan yang melaksanakan tugas-tugas Kepolisian. Agar alat tersebut dapat terkoodinir, dan mencapai sasaran yang diinginkan maka diberikan pembagian pekerjaan dan ditampung dalam suatu wadah yang biasa disebut organisasi. Dengan demikian maka keberadaannya, tumbuh dan berkembangnya, bentuk dan strukturnya ditentukan oleh visi Pemerintah yang bersangkutan terhadap pelaksanaan tugas Polisinya. Diseluruh dunia Organisasi Polisi itu berbeda-beda. Ada yang membawah pada Departemen Dalam Negeri, ada yang membawah pada Departemen Kehakiman ada yang dibawah kendali Perdana Menteri, Wakil Presiden, dikendalikan oleh Presiden sendiri, bahkan ada yang merupakan Departemen yang berdiri sendiri.62

Kedudukan Organisasi Polisi dalam satu negarapun dapat berubah-ubah,


(54)

sesuai dengan perubahan visi suatu pemerintah periode tertentu pada Polisinya. Belanda misalnya, perubahan dari negara monarkhi merdeka, berubah sama sekali sewaktu dijajah Napoleon, berubah sebentar saat mereka merdeka, lalu ditindas oleh Jerman NAZI dengan GESTAPO-nya, lalu merdeka lagi setelah Perang Dunia ke II, bentuk, tugas, perilaku organisasi Polisinya berubah dan sangat berbeda.

Di Indonesia kedudukan organisasi polisi juga mengalami rangkaian perubahan setelah kemerdekaan. Pada tangal 1 Juli 1946 kepolisian menjadi jawatan tersendiri bernama “ Jawatan Kepolisian” dibawah pimpinan Perdana Menteri, pada tahun 1948 jawatan tersebut untuk sementara dipimpin Presiden dan wakil Presiden, Kemudian Keputusan Presiden R.I.S. Nomor 22 tahun 1950 menjadikan Kepolisian Negara disesuaikan dengan bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi jawatan Kepolisian Republik Indonesia Serikat dan dipimpin oleh Perdana Menteri dengan perantaraan Jaksa Agung, sedangkan dalam pimpinan harian dalam pengawasan administrative-organisatoris dipertanggung jawabkan kepada Menteri Dalam Negeri.

Pada tahun 1950 Berdasarkan Penetapan Perdana Menteri nomor : 3/PM/tahun 1950 Pimpinan Kepolisian Negara diserahkan kepada Menteri Pertahanan dengan maksud pimpinan Polisi dan Tentara dalam satu tangan untuk kemudahan mengatasi kekacauan situasi akibat gangguan pada saat itu dan hal ini hanya berlaku 9 bulan. Tahun 1950 juga dibentuk Komisi Kepolisian yang ditetapkan oleh Perdana Menteri Republik Indonesia nomor :154/1950, nomor : 1/pm/1950 dengan tugasnya yaitu menyusun dalam waktu singkat suatu rencana


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Anggota Polri yang melakukan tindak pidana diadukan/dilaporkan oleh masyarakat, anggota Polri atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan yang disampaikan pada pimpinan anggota Polri tersebut yakni Unit Provos atau Unit Pelayanan Kepolisian (YANDUAN, YANMAS). Unit Provos kemudian melakukan pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan). Apabila alat bukti dirasa belum lengkap oleh Unit Provos maka kewenangan penyelidikan diambil alih oleh Unit Paminal.

Dalam proses penyelidikan tidak hanya Unit Paminal yang melakukan penyelidikan, tetapi juga Unit Reskrim. Namun Unit Reskrim melakukan penyelidikan hanya untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti yang berhuhungan dengan tindak pidana tersebut. Selanjutnya unit Paminal memberikan laporan kepada Unit Provos untuk kemudian dilanjutkan pada proses penyidikan terhadap adanya pelanggaran kode etik dan Unit Reskrim melanjutkan pada proses penyidikan terhadap tindak pidana yang telah terjadi sesuai dengan yang telah diatur dalam KUHAP.

Jika dalam penyidikan yang dilakukan oleh Provos benar-benar telah terbukti bahwa terjadi adanya pelanggaran kode etik, maka selanjutnya Provos menyerahkan/mengirimkan berkas perkara kepada pejabat yang berwenang dan mengusulkan untuk dibentuk Komisi Kode Etik Polri. Setelah menerima


(2)

berkas perkara tersebut, kemudian pejabat yang berwenang meminta saran dari pengemban fungsi Pembinaan Hukum Polda terhadap berkas perkara adanya pelanggaran kode etik tersebut dan selanjutnya pejabat yang berwenang (Kapolwil) membentuk Komisi Kode Etik.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan kode etik anggota polri dalam peningkatan profesionalitas polri antara lain Faktor eksternal misalnya Adanya lembaga kompolnas yang bertugas memberikan saran kepada Presiden tentang penyelenggaran tugas Polri yang professional dan mandiri. Faktor internal misalnya Adanya kebijakan Pimpinan Polri yang konsisten untuk memberikan tindakan hukum yang tegas (punishment) bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum dan memberikan penghargaan (Reward) bagi yang berprestasi dalam pelaksanakan tugasnya.

Faktor budaya misalnya membangun mentalitas dasar bahwa masyarakat dengan polisi adalah mitra, namun tetap tegas dalam menegakkan hukum.

B. Saran

1. Hendaknya Kepolisian tetap memegang komitmen untuk menegakkan supremasi hukum dengan tidak adanya diskriminasi dengan menerapkan prinsip siapapun anggota yang bersalah akan diproses sesuai hukum yang berlaku dan berdasarkan mekanisme yang ada dimana pihak kepolisian tidak akan menutup-nutupi anggotanya yang yang bersalah dan publik harus tahu apa adanya atas kasus yang terjadi di tubuh kepolisian tersebut.


(3)

2. Hendaknya dalam setiap pembinaan bagi setiap anggota Polri, lebih banyak ditekankan mengenai sikap moral dan perilaku yang sesuai dengan kode etik. Hal tersebut dikarenakan kepolisian merupakan institusi yang paling dekat dengan masyarakat dimana setiap tindakannya akan selalu dinilai langsung oleh masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Agus Dwiyanto, 2006, Mewujudkan Good Governance Melayani Publik, Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Ali Subur dkk, 2007, Pergulatan Profesionalisme Dan Watak Pretorian (Catatan Kontras Terhadap Kepolisian), Kontras.

Ashsofa Burhan, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Bertens, 1994, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Chaerudin, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana

Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung.

C.S.T. Kansil, 2000, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

H. Pudi Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian Profesionalisme dan Reformasi Polri, LaksBang Mediatama, Surabaya.

Kelana Momo, 1984, Hukum Kepolisian (edisi ketiga cetakan keempat), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta.

Marwan Mas, 2005, Menyoroti Korupsi Korps Baju Coklat, Makalah Dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar

Moeljatno, 1993, Asas-asasHukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta.


(5)

Publisher, Jakarta.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1998., Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Sadjijono, 2005, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance, Laksbang PRESSindo, Yogyakarta.

Schafmeister, 1995, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip, Semarang.

Sunggono Bambang, 2002, Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soedjono D., Penanggulangan Keiahatan. Alumni. Bandung, 1983

Soekanto Soerjono, 2008, Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press, Jakarta

Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta.

B. Perundang-undangan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

Undang Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.

Undang Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.


(6)

Peraturan Kapolri No. Pol : 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Profesi.

C. Media Masa