Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat Pekerja / Buruh Dari Perspektif Uu No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh
PENERAPAN KETENTUAN PIDANA MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA / BURUH DARI PERSPEKTIF UU NO. 21
TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan
Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
ROLAS PUTRI FEBRIYANI 110200115
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PENERAPAN KETENTUAN PIDANA MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA / BURUH DARI PERSPEKTIF UU NO. 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH
(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
NIM : 110200115 ROLAS PUTRI FEBRIYANI
Departemen Hukum Pidana
Mengetahui,
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP. 195703261986011001 Dr.M.Hamdan,S.H.,M.H.
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Prof. Dr. Alvi Syahrin,S.H.,MS
NIP. 196303311987031001 NIP. 197407252002122002 Rafiqoh Lubis, S.H.,M.Hum
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan. Adapun judul skripsi yang diangkat penulis adalah “Penerapan
Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh Dari Perspektif UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)”. Skripsi ini menjelaskan kebijakan hukum pidana yang dikeluarkan pemerintah sebagai salah satu cara melindungi kedudukan pekerja/buruh dianggap lebih rendah dari pada pengusaha dan untuk menanggulangi tindak pidana di bidang ketenagakerjaan di Indonesia, menerangkan bagaimana perlindungan terhadap pekerja/buruh yang dilarang pengusaha untuk melakukan hak asasinya yaitu membentuk serikat pekerja/buruh, dan menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah menanggulangi tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi tantangan dan hambatan, namun berkat motivasi, dukungan, dan doa pihak-pihak terkait, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan maksimal, sesuai dengan waktu yang direncanakan.
(4)
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu,S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H.,M.H.,DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Dr.O.K.Saidin,S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumater Utara;
5. Bapak Armansyah,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
banyak memberikan bimbingan dan masukan selama masa perkuliahan penulis;
6. Bapak Dr.Hamdan,S.H.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Ibu Liza Erwina,S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
8. Bapak Prof.Dr.Alvi Syahrin,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang
telah membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis;
9. Ibu Rafiqoh Lubis,S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II atas kesabaran
selama proses bimbingan dan telah banyak berkorban waktu, tenaga, dan pikiran dalam mengarahkan dan memotivasi penulis;
(5)
10.Seluruh dosen yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya dosen Departemen Hukum Pidana yang telah mengajarkan dan memberikan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan;
11.Orangtuaku tercinta, Drs. Monang Sihombing dan Madonna Novalensyah
Nadeak,S.E, terima kasih telah merawat dan membimbing penulis dengan cinta kasih. Terima kasih untuk motivasi, nasihat, dukungan baik moril maupun materil, dan doa yang tidak pernah terputus untuk kelancaran perkuliahan sampai penulisan skripsi penulis;
12.Oppungtercinta, Op.Putri, terima kasih untuk doa dan motivasi yang selalu
diberikan kepada penulis;
13.Adik-adikku tercinta, Culbert Ferdinand Gabe, Joshua Benhard Christianto
Toruan, dan Suryani Putri Millenia, terima kasih untuk doa dan semangat kalian, semoga ini menjadi motivasi supaya jauh lebih baik dari kakak, semangat adik-adikku;
14.Bp.pudan dan Inangpudan, Amangboru dan Bou Sheren, Freddy Lumbanraja,
Kevin Lumbanraja, terima kasih untuk doa, dukungan, dan motivasi yang senantiasa diberikan kepada penulis;
15.Seluruh keluarga besar Sihombing dan Nadeak yang telah mendukung dan
mendoakan penulis;
16.Sahabat-sahabat terkasih, Kiki Ayu Lestari Tambunan, Margaretha Siahaan,
Nesya Yulya, Agnestesia Rizky, dan Anisa Kusumawardhani, terima kasih untuk suka dan duka yang boleh kita rasakan dari semester 1 sampai akhir
(6)
perkuliahan kita, terima kasih untuk dukungan dan motivasi kalian. Kalian
luar biasa, semoga sukses dan semakin hits, salam bootylicious;
17.Monica Winata, Chrissila Jessica, dan Selviana Elisa Sitanggang, sahabat
penulis dari SD sampai dengan saat ini. Terima kasih untuk dukungan dan doa kalian, akhirnya kita berkumpul lagi, yeay! Sukses untuk kita semua;
18.Mega J.V. Hutabarat, Franciska Manalu, Elisabeth Trision, Sheren
Octaviona, dan seluruh naposo di HKBP Maranatha Rawalumbu, terima kasih untuk dukungan kalian semua.
19.Ari Pareme Simanullang, terima kasih untuk moment-moment perjuangan
penulisan skripsi kita yang luar biasa, untuk saling mendukung dan memotivasi, saling membantu di kala susah, dan saling menemani sampai matahari terbit dan ayam berkokok. Sukses terus, ditunggu di Jakarta!
20.Kristy Emelia Pasaribu, Dyah Putri A.F.Simbolon, Sheila Wiyasih Elang,
Fadhel Muhammad, ‘koko’ Vincent, Isaac Sahala, Algrant Ginting, Dheo Michael, terima kasih untuk kebersamaan yang luar biasa, dukungan dan semangat dari kalian, hidup Gang Bang!
21.Rekan-rekan yang turut mendukung penulis, Hendra Leonardo Manurung,
Norman C. Sinaga, Togar Albertus Nainggolan, Guntur Soekarno Gultom, Tung Asido Malau, Jhon Perdana Purba, Poltak Sijabat, Eko P. Nainggolan, Tulus P. Nababan, Jaka Lumbanraja, Devi ‘ubi’ Sinaga, Novlyana Damanik, Naomi Tri Yuristia, Lindi Nainggolan, Dedy Rumahorbo, dan teman-teman Grup B yang tidak bisa disebut satu persatu.
(7)
22.Kakak-abang yang turut mendukung penulis dari proses perkuliahan sampai penulisan skripsi, Kak Merty Pasaribu, Kak Sela Sinaga, Kak Defina Simangunsong, Kak Loli, Kak Tata, Kak Desi, Kak Arimbi Sinaga, Bang Nimrot Sihombing, Bang Oude Silalahi, Bang Hotman Aruan,Bang Jendy Nababan, Bang Ricky Aritonang, Bang Daniel ‘cobra’, Bang Togi Sihite, Bang Hardy Pakpahan, Bang Andre, Bang Chandra, Bang Putra, Bang Je, Bang Paruhum Purba, Bang Jeffri, Bang Alberth Rumahorbo.
23.Harmonika 16; Devita, Rika, Kak Nuri, Kak Siska, Mega, Prima, Kak Fitri,
Tetty, Tasya, Desi, dan Mondang, terima kasih untuk dukungan kalian, untuk suasana rumah yang pasti akan selalu dirindukan. Terima kasih sudah menjadi rumah kedua, sukses untuk kita semua.
24.Saudara-saudaraku di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), terima
kasih untuk persaudaraan yang saling mendukung dan memotivasi, Ut Omnes
Unum Sint.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna karena keterbatasan penulis, sehingga dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, 12 April 2015
(8)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... vi
ABSTRAK ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penulisan ... 8
E. Keaslian Penulisan ... 9
F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana ... 10
2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan ... 19
3. Pengertian Pekerja/Buruh dan Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh ... 25
G. Metode Penelitian ... 29
H. Sistematika Penulisan ... 31
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan ... 33
(9)
B. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ... 39 B.1. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut UU
No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja ... 41 B.2. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut UU
No. 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan ... 42 B.3. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut UU
No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) ... 44 B.4. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut UU
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ... 50 B.5. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut
UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri ... 63
BAB III PENERAPAN KETENTUAN PIDANA MENGENAI KEBEBASAN
BERSERIKAT PEKERJA/BURUH DARI PERSPEKTIF UU NO. 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)
A. Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat
Pekerja/Buruh Dari Perspektif UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh ... 75
(10)
B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perburuhan ... 80
C. Kasus C.1. Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 C.1.1. Kronologis ... 97
C.1.2. Dakwaan ... 102
C.1.3. Tuntutan Pidana ... 102
C.1.4. Putusan Pengadilan Negeri ... 105
C.1.5. Putusan Pengadilan Tinggi ... 107
C.1.6. Putusan Mahkamah Agung ... 110
C.2. Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009 C.2.1. Kronologis ... 110
C.2.2. Dakwaan ... 112
C.2.3. Tuntutan Pidana ... 112
C.2.4. Putusan Pengadilan Negeri ... 113
C.2.5. Putusan Pengadilan Tinggi ... 114
C.2.6. Putusan Mahkamah Agung ... 115
D. Analisis Kasus ... 115
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 123
(11)
ABSTRAKSI
Rolas Putri Febriyani1 Alvi Syahrin2 Rafiqoh Lubis3
1
Mahasiswa Fakultas Hukum USU
2
Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU
3
Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU
Lemahnya kedudukan pekerja/buruh dalam dunia kerja mengakibatkan timbulnya sikap sewenang-wenang para pengusaha terhadap pekerja/buruh. Salah satu cara untuk menghindari kesewenangan pengusaha maka pekerja/buruh memiliki hak asasi untuk membentuk suatu organisasi yaitu serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja. Namun, tidak semua pengusaha menyetujui dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha mencoba membatalkan terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja, mutasi, membayar upah rendah, maupun melakukan intimidasi terhadap pekerja/buruh yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh. Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang ketenagakerjaan di Indonesia dan bagaimana penerapan ketentuan pidana mengenai tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder, yaitu penelitian yang ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang diterapkan terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif.
Demi melindungi dan memperhatikan para pekerja/buruh dalam setiap kegiatan produksinya, dari kesewenangan pihak pengusaha, maka untuk menghindari dan menanggulangi tindak pidana yang terjadi di bidang ketenagakerjaan, Pemerintah menerapkan suatu kebijakan hukum pidana dengan membentuk peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan di Indonesia yang meliputi UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Terhadap tindak pidana di bidang serikat pekerja/serikat buruh maka Pemerintah mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dalam penerapan kebijakan hukum pidana, maka sanksi atau pidana yang diterapkan adalah pidana denda, pidana kurungan, dan pidana penjara. Artinya penjatuhan sanksi hanya dibebankan kepada pribadi pelaku dan korban harus puas terhadap ketentuan sanksi tersebut. Kebijakan hukum pidana tidak mengenal pengembalian ganti rugi terhadap kerugian yang telah ditimbulkan oleh pelaku.
(12)
ABSTRAKSI
Rolas Putri Febriyani1 Alvi Syahrin2 Rafiqoh Lubis3
1
Mahasiswa Fakultas Hukum USU
2
Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU
3
Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU
Lemahnya kedudukan pekerja/buruh dalam dunia kerja mengakibatkan timbulnya sikap sewenang-wenang para pengusaha terhadap pekerja/buruh. Salah satu cara untuk menghindari kesewenangan pengusaha maka pekerja/buruh memiliki hak asasi untuk membentuk suatu organisasi yaitu serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja. Namun, tidak semua pengusaha menyetujui dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha mencoba membatalkan terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh dengan cara Pemutusan Hubungan Kerja, mutasi, membayar upah rendah, maupun melakukan intimidasi terhadap pekerja/buruh yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh. Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang ketenagakerjaan di Indonesia dan bagaimana penerapan ketentuan pidana mengenai tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder, yaitu penelitian yang ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis yang berlaku dan kebijakan hukum pidana yang diterapkan terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif.
Demi melindungi dan memperhatikan para pekerja/buruh dalam setiap kegiatan produksinya, dari kesewenangan pihak pengusaha, maka untuk menghindari dan menanggulangi tindak pidana yang terjadi di bidang ketenagakerjaan, Pemerintah menerapkan suatu kebijakan hukum pidana dengan membentuk peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan di Indonesia yang meliputi UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Terhadap tindak pidana di bidang serikat pekerja/serikat buruh maka Pemerintah mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dalam penerapan kebijakan hukum pidana, maka sanksi atau pidana yang diterapkan adalah pidana denda, pidana kurungan, dan pidana penjara. Artinya penjatuhan sanksi hanya dibebankan kepada pribadi pelaku dan korban harus puas terhadap ketentuan sanksi tersebut. Kebijakan hukum pidana tidak mengenal pengembalian ganti rugi terhadap kerugian yang telah ditimbulkan oleh pelaku.
(13)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagaimana hakekatnya, sebagai perorangan atau individu, cenderung memiliki keinginan untuk berkumpul dengan individu lainnya, atau dapat dikatakan terdapat kecenderungan untuk membentuk suatu kelompok.
Aristoteles menamakan manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial).
Sebagaimana makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan kehadiran sesamanya. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri karena berkumpul dengan sesamanya
merupakan suatu kebutuhan.4
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang5
Tenaga kerja sebagai makhluk sosial pasti memiliki keinginan untuk berkumpul atau berkelompok atau berserikat dengan tenaga kerja yang lain. Tenaga kerja merupakan salah satu dari empat faktor produksi dalam perusahaan
, telah menjadi landasan hukum bahwa setiap warga negara Indonesia bebas untuk berserikat dan berkumpul. Berserikat dan berkumpul merupakan hak dasar warga negara Indonesia sehingga negara, pemerintah, atau siapapun tidak dapat menghilangkan hak dasar ataupun menghalang-halangi orang yang ingin berserikat dan berkumpul.
4
Asri Wijayanti, Sinkronisasi Hukum Perburuhan terhadap Konvensi ILO-Analisis
Kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia, Bandung: Karya Putra Darwati, 2012, hal.98
5
(14)
yang merupakan tempat terjadinya produksi. Sebagai salah satu faktor produksi, tenaga kerja atau yang lebih dikenal dengan pekerja atau buruh, memiliki hak-hak yang sudah selayaknya mereka terima dari perusahaan tempat mereka bekerja, salah satunya adalah dengan berkumpul dengan sesama pekerja/buruh atau membentuk suatu kelompok dengan pekerja/buruh.
Kelompok tenaga kerja dibentuk karena adanya persamaan status, persamaan tempat bekerja, ataupun persamaan tujuan di antara mereka sehingga membentuk kelompok tenaga kerja akan lebih memudahkan mereka untuk berinteraksi dan menjadi wadah untuk bertukar informasi sesama tenaga kerja.
Pekerja/buruh sebagai Warga Negara Indonesia mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta
mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh.6
Pada faktanya, masih banyak pekerja/buruh yang di abaikan hak-haknya oleh perusahaan. Seperti kasus yang terjadi pada PT. Tolutug Marindo Pratama, tidak menerapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) kepada karyawannya. PT. Tolutug Marindo Pratama hanya membayar upah karyawannya Rp 1.000.000,- per bulan, jauh dibawah UMP Provinsi Sulawesi Utara tahun 2013 sebesar Rp
Pekerja/buruh wajib diberikan perhatian dan perlindungan hukum dalam kegiatannya, hal ini disebabkan masih lemahnya kedudukan pekerja/buruh serta untuk menghindari tidak diberikannya hak-hak pekerja/buruh oleh para pengusaha dan menghindari perlakuan semena-mena kepada para pekerja.
6
Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta:
(15)
1.550.000,-7. Terdapat pula kasus penahanan ijazah yang dialami oleh mantan karyawati PT. Phoster Mukakuning, Marlena (24 tahun), yang melaporkan ijazah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) miliknya yang hilang ketika ditahan oleh
penyalurnya, PT. Cipta Perdana Perkasa.8Dari kasus-kasus tersebut, dapat dilihat
bahwa pekerja/buruh tidak memiliki kuasa atau kekuatan untuk melawan pengusaha atau aturan perusahaan yang merugikan pekerja/buruh, maka negara memiliki kewajiban untukmemperhatikan dan melindungi para pekerja/buruh dari ketidakadilan dan kesewenangan para pengusaha. Padahal pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia pada umumnya.9
Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang
Pada dasarnya pekerja/buruh mempunyai kekuatan untuk menghilangkan permasalahan seperti rendahnya pengupahan, buruknya kondisi pelayanan kesehatan, keselamatan kerja dan sebagainya. Tetapi secara individual pekerja tidak mampu untuk berjuang atas hak-haknya melawan pengusaha dalam perusahaan tempatnya bekerja akibat pengaruh kekuasan yang lebih besar yang dimiliki oleh pengusaha.Maka dari itu yang dibutuhkan oleh pekerja/buruh adalah membentuk organisasi pekerja.
9
(16)
olehpihak pengusaha.10
UU No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh secara spesifik mengatur mengenai kebebasan berserikat buruh/pekerja, Pasal 5 dikatakan bahwa:“Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”. Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi pekerja/buruh yang sebelumnya telah dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945.
Terkait pada Pasal 28 dan Pasal 28E UUD 1945 mengenai kemerdekaan dan kebebasan berkumpul dan berserikat serta melihat lemahnya kedudukan pekerja/buruh di dunia kerja, makapada akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berfungsi melindungi hak asasi pekerja/buruh dalam hal membentuk organisasi pekerja yang lebih sering disebut dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131).
11
Serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak yang melekat bagi pekerja/buruh, mereka dapat membentuk atau masuk dalam serikat pekerja yang ada di perusahaan tempat bekerja tanpa intervensi atau pengaruh dari pihak manapun, seperti yang tertulis dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa
ada tekanan atau campur tangan pihak manapun.12
10
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014,
hal. 49. 11
Zaeni Asyhadie, Op.cit, hal. 20.
Hal tersebut juga disebutkan
12
Pasal 9 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyatakan bahwa: “Serikat pekera/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
(17)
dalam Pasal 2 Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948: “Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka
sendiri tanpa pengaruh pihak lain”.13Hak berserikat itu ada, untuk menjamin
jalannya dan berfungsinya organisasi buruh dalam membela anggotanya, berguna
untuk pemenuhan hak pekerja/buruh.14
TURC (Trade Union Right Center, Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak
Serikat Buruh) pernah menangani beberapa kasus yang ditengarai sarat dengan kepentingan untuk menyingkirkan kebebasan berserikat. Hampir sebagian besar kasus yang ditangani TURC memiliki pola yang sama, yakni PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) ataupun mutasi terhadap pengurus serikat pekerja/serikat buruh. Seperti kasus PHK PT. Bridgestone Tyre Indonesia terhadap Machmud Permana, dkk. Machmud dan ketiga rekannya adalah pengurus serikat pekerja di perusahaan itu. Mereka dipecat setelah mempertanyakan kenaikan upah pada tahun 2002 seperti yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama. Terdapat pula perkara Bambang, wartawan harian Kompas yang dipecat karena dianggap melakukan tindakan indisipliner lantaran tidak bersedia dimutasi ke Ambon. Bambang adalah Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas yang sempat mempertanyakan
dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun”.
13
Konvensi ILO (International Labour Organitation) No.87 Tahun 1948 Tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Konvensi ini diratifikasi pada tanggal 9 Juni 1998.
14
Asri Wijayanti, Op.cit, hal. 104. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “membela
anggotanya” adalah serikat pekerja/serikat buruh memiliki kekuatan sebagai suatu organisasi dalam memperjuangkan hak-hak pekerja/buruh dengan cara ikut melakukan perundingan untuk membuat kesepakatan yang bebas dalam hubungan kerja. Perundingan yang dimaksud adalah perundingan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, pensiun, PHK, upah, syarat dan kondisi kerja, yang dapat dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh melalui pengurus-pengurusnya.
(18)
kepemilikan saham kolektif karyawan sebesar 20 persen, serta kasus PHK terhadap Mirisnu Viddiana, ia adalah Ketua Serikat Pegawai Bank Mandiri. Ia dipecat karena dianggap bertanggung jawab atas aksi unjuk rasa ribuan pegawai
bank pelat merah di hari libur.15
Pengusaha yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menghalangi terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh seperti yang tercantum pada Pasal 28 Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu: “Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara: melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; Berdasarkan kasus tersebut maka kehadiran serikat pekerja/serikat buruh merupakan hal yang penting sebagai wadah untuk mewakili dan menyalurkan aspirasi pekerja serta dalam memperjuangkan hak-haknya, serta untuk mencapai persamaan di hadapan hukum dengan pengusaha dalam melakukan perundingan. Namun faktanya, tidak semua perusahaan di Indonesia menghendaki terbentuknya serikat pekerja/ buruh di perusahaannya, selain dikondisikan untuk tidak mengorganisir basis massanya, dengan berbagai dalih pengusaha bisa menjatuhkan sanksi, bahkan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), untuk menghilangkan aktivis serikat pekerja/buruh.
(19)
melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh”, akan dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan/atau pidana denda. Masalah penerapan ketentuan pidana inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam penulisan skripsi ini, dimana akan dianalisis 2 kasus pelanggaran kebebasan berserikat pekerja/buruh yang dilakukan oleh pengusaha, yang pada akhirnya Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa pidana penjara dan pidana denda kepada pengusaha tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas masalah kebebasan berserikat pekerja/buruh
sehingga tulisan ini diberi judul “PENERAPAN KETENTUAN PIDANA
MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA / BURUH DARI PERSPEKTIF UU NO.21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan di Indonesia?
2. Bagaimanakah penerapan ketentuan pidana mengenai tindak pidana
kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Studi Putusan Mahkamah Agung No.2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No.1038 K/Pid.Sus/2009)?
(20)
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif dan merupakan
pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dari suatu penelitian.16
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah :
2. Untuk mengetahui penerapan ketentuan pidana mengenai tindak
pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terkhusus ilmu hukum pidana, serta dapat menjadi bahan bacaaan yang memberikan gambaran mengenai penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan skripsi ini dapat memberikan masukan kepada para penegak hukum dalam memberantas tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh serta memberikan informasi kepada para pengusaha,
16
(21)
masyarakat (terkhusus untuk pekerja/buruh), dan mahasiswamengenai salah satu hak dasar pekerja/buruh yaitu bebas membentuk serikat pekerja/serikat buruh serta mengenai penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh.
E. Keaslian Penulisan
Karya ilmiah ini adalah asli karya penulis sendiri, setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, tidak ada yang melakukan penelitian mengenai permasalahan yang sama. Dengan demikian, karya ilmiah berjudul “Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh Dari Perspektif UU No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Studi Putusan Mahkamah Agung No.2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No.1038 K/Pid.Sus/2009” merupakan karya asli penulis dan bukan hasil ciptaan orang lain atau hasil meniru karya ilmiah orang lain. Karya ilmiah ini dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun ilmiah apabila dikemudian hari ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan.
F. Tinjauan Kepustakaan
(22)
Istilah tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari
terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda.17 Walaupun istilah ini
terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit itu.18Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti
berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de wekelijkheid”,
sedang “feit” berarti “dapat dihukum” hingga secara harafiah perkataan
“strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum”.19
Strafbaarfeit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Dari tujuh
istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf
diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan
dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak,
peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Secara literlijk, kata “straf” artinya
pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan.20
Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh
sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan pidana.21
17
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang: UMM Press, 2009, hal. 101 18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grarafindo Persada, 2002,
hal.67 19
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997, hal.181 20
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.69
21
Tongat, Op.Cit., hal.101
(23)
istilah untuk menunjukkan pada pengertian kata strafbaarfeit. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain:
1. Peristiwa Pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.
2. Perbuatan Pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor1
Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.
4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
5. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, dan Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak
pidana yang merupakan kejahatan.22
Mengenai definisi strafbaarfeit dapat dilihat beberapa pendapat para ahli,
yakni:
22
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
(24)
1. VOS, delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang.
2. Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap
hak-hak orang lain.
3. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan/tindakan yang dapat dihukum.23
Teguh Prasetyo, dalam bukunya berjudul Hukum Pidana, mengatakan bahwa biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari
bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak
pidana.”24
Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana sebagai salinan
kata strafbaarfeit mengatakan, bahwa untuk melihat apakah istilah perbuatan
pidana dapat disamakan dengan istilah strafbaarfeit perlu diketahui apa arti
strafbaarfeit itu sendiri. Menurut Simons, strafbaarfeit dapat diartikan sebagai kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab. Sementaramenurut Van Hammel, strafbaarfeit adalah
kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.25
23
Ibid, hal.37 24
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012,
hal.47 25
(25)
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana dikatakannya bahwa, “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar”. Dari sudut pandang Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang berkenaan dengannya seperti kesalahan dan mampu bertanggung jawab, tidak boleh dimasukkan ke dalam definisi perbuatan pidana; melainkan merupakan
bagian dari unsur yang lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana.26 Hal ini
menurut Moeljatno, berbeda dengan istilah strafbaarfeit yang selain memuat atau
mencakup pengertian perbuatan pidana sekaligus juga memuat pengertian
kesalahan. 27
1. Untuk istilah peristiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal
yang konkret (padahal strafbaarfeit sebenarnya abstrak) yang
menunjukkan pada kejadian tertentu, misalnya matinya orang, yang tidak penting dalam hukum pidana. Kematian itu baru penting jika peristiwa matinya orang dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kelakuan orang lain.
Moeljatno, di samping mengemukakan istilah yang tepat yakni perbuatan pidana juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana merupakan suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan sebagai berikut:
2. Sementara itu, pada istilah tindak pidana, perkataan “Tindak” tidak
menunjukkan pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan konkret, seperti
26
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Indonesia, 2013, hal.58 27
(26)
kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, yang lebih dikenal dengan
tindak-tanduk, tindakan, dan bertindak.28
Terkait penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan
dipahami maknanya.29
1. Pandangan Monistis
Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut maka secara doctrinal, dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis.
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat
dari perbuatan30 atau dapat disebut juga sebagai pandangan monisme,
yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan
unsur-unsur mengenai diri orangnya.31
Penganut monistis tidak secara tegas antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Paham monistis ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur
tindak pidana. Aliran ini memandang bahwa strafbaarfeit tidak dapat
dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa dalam strafbaarfeit selalu adanya si pembuat (orangnya) yang dipidana. Oleh
28
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.72.
29
Tongat, Op.Cit., hal.102. 30
Ibid, hal.105. 31
(27)
karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang) tidak dipisah
sebagaimana paham dualisme.32
2. Pandangan Dualistis
Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act (perbuatan yang dilarang), dan criminal responbility(pertanggungjawaban pidana/kesalahan) tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut pandangan ini, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga
adanya kesalahan/pertanggungjawaban pidana.33
Kemampuan bertanggung jawab melekat pada orangnya, dan tidak pada perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan (adanya) pembuatnya atau dapat dipidana pembuatnya. Dari pandangan demikian, kemampuan bertanggung jawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Hal ini tampak secara jelas dengan dirumuskannya dua alasan
tentang ketidakmampuan bertanggung jawab dalam Pasal 44 KUHP34
32
Ibid, hal.76. 33
Tongat, Op.Cit., hal.106. 34
Pasal 44 KUHP: (1) Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. (2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
(28)
untuk memidana seseorang, pelaku tindak pidana disyaratkan bahwa orang
itu harus mempunyai kemampuan pertanggungjawaban pidana.35
Terhadap kedua aliran tersebut maka akan timbul pertanyaan aliran mana yang benar dan mana yang salah. Soedarto berpendapat, sama benarnya dan tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan itu ada karena didasarkan pada sudut pandang
yang berbeda.36
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana. Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari
tindak pidana (strafbaar feit).37
Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku
itu harus dilakukan.38
1. Unsur Objektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Terdiri dari:
a. Sifat melanggar hukum atau melawan hukum.
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
35
Adami Chazawi, Op.Cit., hal 74.
36
Ibid, hal.76. 37
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.Cit., hal.39.
38
(29)
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 396 KUHP.
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.39
Sedangkan unsur-unsur pokok dari unsur objektif terdiri dari:
1. Perbuatan manusia berupa:
a. Act yakni perbuatan aktif yang juga ada pakar yang menyebut
perbuatan positif.
b. Omission yakni tidak aktif berbuat. Hal ini karena tidak aktif. Sebagian pakar menyebut dengan perbuatan negatif. Dengan perkataan lain ialah membiarkan, mendiamkan.
2. Akibat (result) perbuatan manusia
Hal ini erat hubungan dengan cousaliteit yang akan diuraikan
kemudian. Akibat dimaksud adalah membahayakan atau merusak/menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, kehormatan, dan lain sebagainya.
3. Keadaan (the circumstences)
Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan antara:
a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
b. Keadaan setelah perbuatan melawan hukum
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
39
(30)
Sifat dapat dihukum ini berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan dari hukuman. Sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau
perintah.40
2. Unsur Subjektif
Unsur yang terdapat dari dalam diri si pelaku. Terdiri dari:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.41
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat pelanggaran. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:
a. Unsur tingkah laku;
40
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta:
Sinar Grafika, 1991, hal.7. 41
(31)
b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dianut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
i. Unsur objek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.
Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur
objektif.42
2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut Criminal Policy. Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia sebagai “kebijakan kriminal”43
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris)
atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah
“kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering
42
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.81.
43
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy; Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal.50.
(32)
dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.44
Politik Kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat
diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by
society. Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels
yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the social
reaction to crime. Hal ini berarti, politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu
usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.45
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.46
Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna.47
44
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep
KUHP Baru, Jakarta: Kencana Media Grup, 2008, hal.22. 45
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.13. 46
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.22.
47
(33)
Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasardari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan
c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jespen), ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.48
Menurut Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.49
Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula
dalam definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang telah dikemukakan pada
uraian pendahuluan yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.Usaha dan kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga
48
Ibid, hal.1 49
(34)
merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan
penanggulan kejahatan dengan hukum pidana”50
Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan
nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana).51
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application),
Pada dasarnya penal policy lebih
menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana,
sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum
terjadinya suatu tindak pidana.
Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan
c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat mass media (influencing views of society on crime and
punishment/mass media).52
Dalam pembagian G.P. Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya nonpenal.
Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui
sarana nonpenal karena bersifat lebih preventif53
50
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 23
51
Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal.51
52
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.40
53
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana, 2007, hal.78
, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat
(35)
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Pernyataan
diatas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB tentang The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.54
Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal
berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.55
Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi indentik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai Kongres PBB
(mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders).56
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana
hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana”
atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
54
Mahmud Mulyadi, Op.Cit., hal 55
55
Ibid, hal.57 56
(36)
untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang
menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.57
Terhadap kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan, kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang
merupakan bagian integral dari politik sosial.58
a. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif;
Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat
difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap yaitu:
b. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif;
c. Tahap eksekutif atau kebijakan administratif.
Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas
perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.59
3. Pengertian Pekerja/Buruh dan Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh
57
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit, hal.18
58
Ibid, hal.19 59
(37)
Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan
pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”.60
Setelah bangsa Indonesia merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1a) Undang-Undang No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni buruh adalah “barangsiapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah”. Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana diusulkan pemerintah (Depnaker) pada kongres FBSI II Tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain yakni majikan. Karena itu lebih tepat jika menyebutkannya diganti dengan istilah pekerja. Istilah pekerja juga sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang menyebutkan golongan-golongan adalah badan-badan seperti
Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan kolektif.61
60
Lalu Husni, Op.Cit, hal.45 61
(38)
Dengan diundangkannya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah pekerja/buruh. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pekerja/buruh adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain” (Pasal 1 angka 2).62
a. Setiap orang yang bekerja (angkatan kerja maupun bukan angkatan kerja
tetapi harus bekerja)
Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur yang melekat dari istilah pekerja/buruh yaitu:
b. Menerima upah atau imbalan sebagai balas jasa atas pelaksanaan
pekerjaan tersebut.63
Perumusan yang umum, yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tahun 1957 adalah bahwaburuh adalah
“barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.”64
Perluasan arti kata buruh secara umum, tidak hanya terbatas pada seseorang yang belum bekerja pada orang lain (magang, murid) atau seseorang
yang melakukan pekerjaan tetapi tidak dalam hubungan kerja (pemborong
pekerjaan) sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Kecelakaan, tetapi juga
meliputi mereka yang karena sesuatu tidak melakukan pekerjaan (para
Menurut Undang-Undang Kecelakaan tahun 1947 buruh ialah “Tiap orang yang bekerja pada majikan di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, dengan menerima upah.”
62
Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hal.19.
63
Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan: USU Press, 2010,
hal.6. 64
(39)
pengangguran) atau karena usia tinggi tidak mampu lagi melakukan pekerjaan
(pensiun).65Walaupun perumusannya agak berlain-lainan, pada dasarnya memuat
unsur yang sama, yaitu seseorang yang bekerja pada orang lain atau badan dengan
menerima upah.66
Sebagai implementasi dari amanat ketentuan Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang, maka pemerintah telah meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No.98 dengan Undang-Undang No.18 Tahun 1956 mengenai Dasar-Dasar hak Berorganisasi dan
Berunding Bersama.67
Pada rentang waktu yang cukup lama, melihat perlunya payung hukum terhadap perlindungan hak pekerja/buruh mengenai pembentukan serikat pekerja/serikat buruh maka pada akhirnya pemerintah berhasil menetapkan Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.Serikat Pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya (Pasal 1 angka 17
65
Ibid, hal.37 66
Ibid, hal.36 67
(40)
Undang-Undang No.23 Tahun 2003, jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh).68
a. Bebas, maksudnya bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak di bawah pengaruh dan tekanan dari pihak lain.
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu serikat pekerja/serikat buruh harus mengandung sifat-sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2000).
b. Terbuka, bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh dalam menerima anggota dan atau memperjuangkan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama, suka bangsa, dan jenis kelamin.
c. Mandiri, bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan
organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri, tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi.
d. Demokratis, bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus,
memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.
e. Bertanggung jawab, bahwa hak dalam mencapai tujuan dan melaksanakan
kewajibannya serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi
68
Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hal.20. Pengertian serikat pekerja/serikat buruh dapat juga
dilihat dari Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). UU PPHI memiliki pengertian yang sama mengenai serikat pekerja/serikat buruh dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
(41)
serikat pekerja/serikat buurh bertanggung jawab kepada anggota,
masyarakat, dan negara.69
Undang-Undang No.21 Tahun 2000 membagi serikat pekerja/serikat buruh itu menjadi serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2000, serikat pekerja/buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.21 Tahun 2000, serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh pekerja/buruh yang
bekerja di luar perusahaan.70
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif (yuridis normatif). Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut
sebagai penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Dinamakan penelitian hukum doktiner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan.
69
Penjelasan Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
70
(42)
Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan
diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yaitu berupa peraturan perundang-undangan seperti UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No.7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, UU No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi ILO, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen atau bahan yang memberi
informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012, Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009, buku-buku, jurnal, makalah, surat kabar, internet, dan lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian.
(43)
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan studi
kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang digunakan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi seperti buku-buku, artikel, makalah, dan berita yang diperoleh dari internet dengan tujuan untuk memperoleh bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh.
4. Analisis Data
Secara umum terdapat 2 (dua) metode analisis data yaitu metode kualitatif dan metode kuantitaif. Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisis data kualitatif yaitu apa yang diperoleh dari penelitian dipelajari secara menyeluruh untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan dalam skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
Secara sistematis, skripsi ini terbagi menjadi 4 (empat) bab dan tiap bab dibagi atas beberapa sub bab, yang dapat diperinci sebagai berikut:
BAB I :Bab Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan (yang terdiri atas 3 (tiga) sub bab yaitu Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, serta Pengertian Pekerja/Buruh dan Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh), Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
(44)
BAB II :Bab ini membahas mengenai kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. Dalam bab ini diuraikan pula mengenai kebijakan hukum pidana sebagai salah satu upaya penanggulangan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan serta menginventariskan berbagai tindak pidana di bidang ketenagakerjaan yang terdapat dalam 5 (lima) undang-undang yang terkait ketenagakerjaan.
BAB III :Bab ini membahas mengenai penerapan ketentuan
pidanamengenai kebebasan berserikat pekerja/buruh dari perspektif UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Bab ini diuraikan menjadi 3 (tiga) subbab yaitu membahas mengenai kebijakan hukum pidana mengenai kebebasan berserikat pekerja/buruh dari perspektif UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dibahas pula mengenai mekanisme penyelesaian sengketa perburuhan,serta menganalisis 2 (dua) putusan Mahkamah Agung mengenai kasus kebebasan berserikat pekerja/buruh.
BAB IV :Bab ini terdiri atas 2 (dua) sub bab yaitu kesimpulan dan saran.
Sub bab kesimpulan berisi mengenai kesimpulan terhadap bab-bab yang telah dibahas sebelumnya secara keseluruhan dan sub bab saran berisi mengenai saran yang diberikan penulis terhadap masalah yang dibahas.
(45)
BAB II
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan
Kejahatan atau tindak kriminil merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat; tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Menurut Saparinah Sadli, perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan individu maupun ketegangan-ketegangan sosial, dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Terhadap masalah kemanusiaan dan masalah kemasyarakatan yang tertua ini telah banyak usaha-usaha penanggulangan yang dilakukan dalam berbagai cara. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan hukum
pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.71
Agusmidah berpendapat bahwa politik hukum yang dimaksud meliputi dua dimensi yaitu yang pertama, politik hukum diartikan sebagai alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan, disebut juga sebagai
‘kebijakan dasar’ (basic policy), yang kedua, politik hukum diartikan
71
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT.
(46)
sebagaitujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan
perundang-undangan, disebut juga ‘kebijakan pemberlakuan’ (enacment policy).72
Kebijakan dasar dalam Hukum Ketenagakerjaan adalah melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja/buruh, dari kesewenang-wenangan majikan/pengusaha yang dapat timbul dalam hubungan kerja dengan tujuan memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial. Timbulnya hukum ketenagakerjaan dikarenakan adanya ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan ketenagakerjaan (antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan), dengan alasan itu pula dapat dilihat tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan diantara keduanya. Untuk mencapai tujuan hukum pada umumnya, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka diperlukan proses pembentukan dan pelaksanaan hukum agar sesuai dengan tujuan tersebut, untuk itu diperlukan politik hukum. Dalam hal ini politik hukum sebagai kebijakan dasar juga dimaksudkan sebagai sarana dalam rangka mewujudkan pembinaan hukum nasional. Akan tetapi, menurut Sunaryati Hartono, hukum bukan merupakan suatu tujuan melainkan hanya merupakan jembatan yang akan membawa kepada ide yang dicita-citakan, ide yang di cita-citakan itu tidak lain merupakan tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kemanfaatan, dn kepastian hukum. Dalam usaha untuk mewujudkan pembinaan hukum nasional, politik hukum menentukan hukum yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan dengan
72
Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum, Jakarta: PT.
(47)
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang sering diistilahkan dengan
kebijakan hukum (legal policy).73
Pemerintah (negara) harus mampu memposisikan dirinya sebagai regulator yang bijak melalui saran pembentukan dan pelaksanaan Hukum Ketenagakerjaan, dikarenakan hukum ketenagakerjaan akan menjadi sarana untuk menjalankan
kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan itu sendiri.74
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itu pun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.75
Marc Ancel pernah mengatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri
dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”.
Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan.76
73
Ibid, hal.2-3. Pendapat Sunaryati Hartono juga dapat dilihat dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, hal.1.
74
Ibid, hal.12 75
Ibid.
76
Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hal. 19
Perhatian kriminologi terhadap masalah kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sanksi pidana terlihat pula dalam
(48)
kongres-kongres internasional mengenai kriminologi (International Congress on Criminology)77
Penggunaan sarana penal (hukum pidana) dalam kebijakan kriminal memiliki dua masalah sentral yaitu perbuatan apa yang sebenarnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Masalah sentral yang pertama sering disebut dengan kriminalisasi. Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas
namanya.78
Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama mengenai kriminalisasi, harus memperhatikan beberapa hal yang pada intinya adalah mengenai penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan Pancasila, mengenai perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan
Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana atau suatu proses mengangkat perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana.
77
Ibid.
78
Soerjono Soekanto, Kriminologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981,
(49)
kerugian (materil dan atau spiritual) atas warga masyarakat, mengenai penggunaan hukum pidana harus memperhatikan prinsip biaya dan hasil, dan mengenai penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum sehingga jangan sampai
ada kelampauan bebas tugas (overbelasting).79Terdapat kriteria umum dalam
menetapkan suatu perbuatan menjadi tindak kriminal karena tidak semua perbuatan dapat dikriminalisasikan, kriteria umum yang dimaksud adalah sebagai
berikut:80
a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang pengawasan dan
penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
c. Apakah akan semakin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak
seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.
d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalang-halangi
cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
79
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...Op.Cit., hal.28
80
(50)
Terkait penjelasan mengenai kriminalisasi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa terhadap setiap perbuatan pengusahakepada pekerja/buruh yang menimbulkan kerugian baik secara materil maupun spiritual, perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat (dalam hal ini khususnya para pekerja/buruh), dapat dikriminalisasi menjadi suatu tindak pidana. Terkait proses kriminalisasi terhadap perbuatan pengusaha yang menimbulkan kerugian tersebut maka demi menegakkan keadilan dan kesejahteraan pekerja/buruh, melindungi hak dan kewajiban pekerja/buruh dari kesewenangan pengusaha, serta menimbulkan efek jera kepada pengusaha dibentuklah undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai perbuatan-perbuatan yang dianggap merugikan pekerja/buruhtersebut sebagai suatu tindak pidana yang diancam dengan suatu sanksi berupa pidana, baik berupa pidana administratif, pidana denda, pidana kurungan, maupun pidana penjara.
Menanggapi hal tersebut maka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai berbagai hal di bidang ketenagakerjaan demi terciptanya kesejahteraan para pekerja atau buruh, termasuk mengatur mengenai ketentuan pidana terhadap tindak pidana yang terdapat dalam bidang ketenagakerjaan. Hal ini berguna untuk melindungi kedudukan buruh yang masih sangat lemah di dunia kerja, sehingga negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak dan kewajiban mereka dari kesewenangan pengusaha atau majikan mereka. Seiring dengan meningkatnya laju perkembangan pembangunan dan proses industrialisasi maka semakin banyak dan beragam peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk melindungi pekerja atau buruh dalam
(51)
beberapa aspek serta dengan mencantumkan ketentuan pidana di dalamnya. Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar, memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai saran untuk menanggulangi kejahatan.
Demi mencapai kesejahteraan masyarakat, terkhususnya dalam hal ini adalah kaum pekerja/buruh, dan untuk mencegah terjadinya tindak pidana terhadap pekerja/buruh, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk menggunakan sarana “penal” (hukum pidana) yaitu dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan yang sifatnya mengatur dan melindungi hak dan kewajiban pekerja/buruh dengan menyertakan ketentuan-ketentuan pidana ke dalamnya, baik yang berupa pidana administrasi, pidana denda, pidana kurungan, maupun pidana penjara, sehingga diharapkan hal tersebut dapat menimbulkan efek jera dan menjadi salah satu upaya penanggulangan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
B. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Tindak pidana secara umum terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu tindak pidana
kejahatan (rechtsdelicten) dan tindak pidana pelanggaran (wetsdelicten). Dasar
pembedaan tindak pidana kejahatan dan pelanggaran dapat disimpulkan dari keterangan MvT bahwa pembagian itu didasarkan pada alasan bahwa pada kenyataannya di dalam masyarakat terdapat perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya memang sudah tercela dan pantas untuk dipidana, bahkan sebelum
(52)
dinyatakan demikian oleh UU, dan juga ada perbuatan yang baru yang bersifat
melawan hukum dan dipidana setelah UU menyatakan demikian.81
Terkait dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) jenis tindak pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran di bidang ketenagakerjaan yang merugikan pihak pekerja/buruh. Adapun sanksi pidana yang diberikan dapat berupa sanksi pidana administratif, pidana denda, pidana kurungan, sampai dengan pidana penjara. Pemerintah merespon berbagai tindak pidana di bidang ketenagakerjaan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap pekerja/buruh, baik perlindungan terhadap hak dan kewajiban pekerja/buruh, keselamatan kerja pekerja/buruh, kewajiban perusahaan untuk melapor mengenai ketenagakerjaan di perusahaan, pemenuhan hak pekerja/buruh mengenai jaminan sosial tenaga kerja, perlindungan mengenai aspek-aspek ketenagakerjaan, dan perlindungan terhadap TKI, yang secara spesifik akan dibahas dalam peraturan perundang-undangan, Perbedaan kejahatan dan pelanggaran dapat juga dilihat dari segi dampak yang diakibatkan perbuatan tersebut terhadap kepentingan publik, apakah luas atau sempit. Kejahatan merupakan perbuatan jahat atau perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang telah disahkan oleh hukum tertulis, sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan melanggar atau tindak pidana yang lebih ringan dari kejahatan dan dampak dari kejahatan lebih luas dari pelanggaran maka sanksi atas kejahatan juga jauh lebih berat dari pelanggaran.
81
(53)
serta menetapkan ketentuan pidana berupa sanksi pidana terhadap pihak-pihak yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.
B.1. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan Menurut UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
Semula ada paham bahwa segala risiko yang timbul yang membahayakan kesehatan maupun keselamatan buruh sepenuhnya merupakan tanggungan buruh sendiri. Paham seperti ini sudah lama ditinggalkan sejalan dengan semakin berkembangnya hukum
perburuhan.82
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengelolaannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya, serta cara-cara melakukan pekerjaan. Sedangkan objek UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1) yang digunakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, menjamin suatu proses produksi berjalan teratur dan sesuai rencana, dan mengatur agar proses produksi tidak merugikan semua pihak. Undang-undang ini dibentuk atas beberapa dasar pertimbangan, salah satunya adalah bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.
82
Abdul rachman Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
(1)
Implementasi penerapan ketentuan pidana dalam tindak pidana kebebasan berserikat terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009. Kedua putusan tersebut merupakan bentuk penegakan hukum di bidang kebebasan berserikat pekerja/buruh yang telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekera/Serikat Buruh. Dalam kedua putusan tersebut, kedua terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan penjara dan pidana denda pada terdakwa kasus pertama sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Putusan majelis hakim ini merupakan bentuk nyata penerapan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh yang diharapkan dapat menimbulkan efek jera kepada terdakwa dan menjadi bukti nyata perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dari kesewenangan dan ketidakpatuhan para pengusaha terhadap aturan hukum yang telah dibuat oleh pemerintah. Namun terhadap kebijakan hukum pidana yang diterapkan, korban harus cukup puas dengan pidana penjara dan pidana denda yang diberikan kepada pelaku, artinya pembebanan pidana hanya ditujukan kepada pribadi pelaku saja, tidak ada pembebanan atau keharusan penggantian ganti rugi dari pelaku kepada korban.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan untuk menanggulangi tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh yaitu:
(2)
1. Diperlukan peningkatan pengawasan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap para pengusaha sehingga memperkecil ruang dan kesempatan para pengusaha untuk melakukan tindak pidana atau pelanggaran yang merugikan hak-hak pekerja/buruh, khususnya hak untuk kebebasan berserikat pekerja/buruh yang dipandang merugikan oleh para pengusaha.
2. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang membawahi pegawai pengawas ketenagakerjaan juga harus mengawasi pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melakukan pekerjaannya sehingga dapat dipastikan pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pekerjaannya dengan baik.
3. Memberikan pengetahuan/edukasi terhadap pekerja/buruh mengenai haknya untuk membentuk serikat pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta memberitahukan kepada para pekerja/buruh untuk melaporkan pengusaha yang melakukan union busting atau usaha untuk menghalang-halangi pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh atau usaha untuk memecah belah serikat pekerja/serikat buruh yang telah dibentuk. 4. Pengusaha harus menjalankan kewajibannya untuk memberitahukan dan
menjelaskan isi peraturan perusahaan dan perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh kedua pihak saling mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
(3)
5. Perlunya penegak hukum yang melek hukum ketenagakerjaan sehingga dapat dengan cepat dan tepat dalam menangani kasus tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/hukum yang dilakukan oleh para pengusaha, dengan memberikan sanksi pidana yang sesuai dan setimpal dengan perbuatan pengusaha yang membatasi hak dasar pekerja/buruh sehingga mengakibatkan kerugian bagi para pekerja/buruh baik secara moril maupun materiil.
6. Diperlukan perhatian khusus terhadap sanksi pidana yang diberikan kepada para pengusaha yang melakukan tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh, khususnya terhadap pidana denda. Diharapkan pidana denda yang dibebankan kepada para pengusaha dapat dilimpahkan atau diberikan pula kepada paar pekerja/buruh sebagai pengganti kerugian materiil yang telah dialami pekerja/buruh. Sehingga sanksi pidana yang diberikan bukan hanya menimbulkann efek jera kepada para pengusaha yang melakukan tindak pidana kebebasan berserikat melainkan juga untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan tatanan hukum.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan, USU Press, 2010
______, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010
______, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum, Jakarta, PT.Sofmedia, 2011
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana Media Grup, 2008
______, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana, 2007 Asyhadie, Zaeni, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 2013
Atmadja, I Dewa Gede, Hukum Konstitusi, Malang, Setara Press, 2009
Budiono, Abdul Rachman, Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Damanik, Sehat, Hukum Acara Perburuhan, Jakarta, DSS Publishing, 2004 Gunadi, Ismu, Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Jakarta, Kencana Prenamamedia Group, 2014
Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2014
Khakim, Abdul, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2014
Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1997
(5)
Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Indonesia, 2013
Marpaung, Leden, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta, Sinar Grafika, 1991
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, PT. Alumni Bandung, 2005
Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy; Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008
Nasution, Bahder Johan, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Bandung, Mandar Maju, 2004
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2012
Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005
Rusli, Hardijan, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 2005 Soepomo, Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta, Djambatan, 2003 Suparman, Supomo, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Jakarta,
Jala Permata Aksara, 2009
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang, UMM Press, 2009
Wijayanti, Asri, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2009
______, Sinkronisasi Hukum Perburuhan Terhadap Konvensi ILO-Analisis Kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia, Bandung, Karya Putra Darwati, 2012
(6)
B. Peraturan Perundang-undangan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri
C. Website
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Medan: 21 November 2010,