kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Serta dibatasi dengan pasal 1254 KUHPerdata yaitu syaratnya harus mungkin terlaksana dan harus susila.
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Defenisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan
overeenkomst dalam bahasa Belanda. Kata overeenkomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi, persetujuan dalam Pasal 1313
KUHPerdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. “Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan
persetujuan”.
77
Perjanjian merupakan terjemahan dari overeenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai
wilsovereenstemming persesuaian kehendakkata sepakat. Perbedaan pandangan dari para sarjana di atas, timbul karena adanya sudut
pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang
77
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal.97.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan
sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut communis opinion doctorum, perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan pendapat Sudikno Mertokusumo, “perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”.
78
Menurut Subekti, “suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal”.
79
Menurut R. Setiawan menyebutkan, “bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau
saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
80
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan berpendapat, “bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana
seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih”.
81
Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dari dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh
pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.
78
Ibid, hal. 97 – 98.
79
Subekti, Pokok‐Pokok Hukum Perdata, PT.Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36.
80
R. Setiawan, Hukum Perikatan‐Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal.49.
81
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok‐Pokok Hukum Jaminan
Dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUHPerdata tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana
satu pihak yang wajib berprestasi debitur dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut kreditur.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 empat syarat, yaitu :
a. Adanya kata sepakat
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian
c. Adanya suatu hal tertentu
d. Adanya causa yang halal
Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan
keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai
berikut : a.
Kata Sepakat Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan
persetujuan atau kesepakatan. Jadi, sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dihendaki pihak
lain dan kehendak tersebut saling bertemu.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah “persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga
dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik”.
82
Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara formalitas apapun
sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah
perjanjian itu atau mengikatkan perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.
J. Satrio menyatakan “kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus
dinyatakan”.
83
Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja
belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.
Dalam KUHPerdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat
itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara
masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan,
82
Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4.
83
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak‐Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hal. 129.
Universitas Sumatera Utara
kekhilafan dan penipuan. Menurut Subekti yang dimaksud paksaan adalah “paksaan rohani atau paksaan jiwa psychis jadi bukan paksaan badan fisik”.
84
Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa
yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan
demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu dikemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh
salah satu pihak. b.
Cakap untuk membuat perjanjian bertindak Dalam Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah :
1 Orang yang belum dewasa
2 Mereka yang berada di bawah pengampuanperwalian dan
3 Orang perempuanisteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan- persetujuan tertentu.
84
Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 23 – 24.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata, dinyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
21 dua puluh satu tahun dan sebelumnya belum kawin”. “Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 dua puluh satu tahun, maka mereka
tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa”.
85
Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah menikah menimbulkan konsekuensi
menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus telah diatur dalam undang-undang tertentu maka usia
yang dipakai adalah 21 dua puluh satu tahun atau telah menikah berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata.
Mengenai pengampuanperwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345 KUHPerdata, bunyinya sebagai berikut :
Pasal 433 : Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak
atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang- kadang cakap menggunakan pikirnya. Seseorang dewasa boleh juga ditaruh
di bawah pengampuan karena keborosannya.
Pasal 345 : Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian
terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat
dari kekuasaan orang tuanya.
85
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuanisteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk
mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin kuasa tertulis dari suaminya. Berdasarkan Pasal 1330 dan Pasal 108 KUHPerdata tersebut, memandang
bahwa seorang wanita yang telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Sejak tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama
dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, maka seorang isteri tidak memerlukan bantuan lagi dari suaminya.
c. Adanya suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang
bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat 1 menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya. Kemudian Pasal 1333 ayat 2 menjelaskan mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan.
d. Adanya suatu sebabkausa yang halal
Universitas Sumatera Utara
Sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. “Sebab atau kuasa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang
hendak dicapai oleh para pihak”.
86
Pada Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang,
tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.
Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya
syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak disini yang dimaksud adalah pihak yang tidak
cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal.
3. Azas-Azas Perjanjian
Azas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap system hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang
86
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hal. 319.
Universitas Sumatera Utara
umum dalam peraturan konkret tersebut. Dengan demikian, azas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan
peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.
Dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam azas utama dalam perjanjian yaitu : azas kebebasan berkontrak, azas konsensualisme dan azas pacta sunt-servanda. Di
samping azas-azas itu, masih terdapat azas itikad baik dan azas kepribadian. a.
Azas kebebasan berkontrak Azas kebebasan berkontrak merupakan salah satu azas yang sangat penting
dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata
yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru :
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian
c. Bebas menetukan isi atau klausul perjanjian
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian
Universitas Sumatera Utara
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
87
Azas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. “Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III
KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat mengesampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya
memaksa”.
88
b. Azas Konsensualisme
Azas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan tegas sedangkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata ditemukan kata “semua”. Kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya will, yang dirasanya baik
untuk menciptakan perjanjian. Azas ini sangat erat hubungannya dengan azas kebebasan mengadakan perjanjian.
Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat consensus diantara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga
dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja
dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.
87
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,
hal. 4.
88
Ibid, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang
menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang
dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu disebut dengan
perjanjian formil. c.
Azas Pacta Sunt Servanda Azas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat
“berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatnya sebagai undang-
undang. Dari kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya hakim untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh
para pihak tersebut. Oleh karenanya azas ini disebut juga azas kepastian hukum. Azas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal :
1. Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang 2. Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
d. Azas Itikad Baik
Azas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakn dengan itikad baik. Azas ini berkenan
dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. Menurut Subekti, “pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda
Universitas Sumatera Utara
pengertian subyekti maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata pengertian obyektif”.
89
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata adalah bahwa dalam
pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata juga memberikan
kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.
e. Azas Kepribadian
Azas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terkait pada perjanjian. Azas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata.
Pada pasal 1315 KUHPerdata disebutkan bahwa pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada
untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian- perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak
dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang
membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain, maka azas ini dinamakan azas kepribadian.
89
Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
4. Hapusnya Suatu Perjanjian
Tentang hapusnya perjanjian yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian diatur pada bab ke 4 dalam Buku III KUHPerdata. Hapusnya persetujuan berarti
menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan dengan sendirinya menghapus seluruh perjanjian, tetapi belum tentu dengan hapusnya
perjanjian akan menghapus persetujuan hanya saja persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan pelaksanaan, sebab ini berarti bahwa pelaksanaaan persetujuan telah
dipenuhi debitur. Adapun cara-cara penghapusan perjanjian diatur dalam Pasal 1381
KUHPerdata, yaitu: a.
Pembayaran Pembayaran disini adalah pembayaran dalam arti luas, tidak saja pembayaran
berupa uang, juga penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Pembayaran itu sah apabila pemilik berkuasa memindahkannya. Pembayaran harus dilakukan kepada si
berpiutang atau kepada seseorang yang dikuasakan untuk menerima. Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan seperti
seorang yang turut berutang atau seorang penanggung hutang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan,
asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya di berhutang atau bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si
berpiutang.
Universitas Sumatera Utara
Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan: Yang dimaksud dengan pembayaran oleh Hukum Perikatan bukalah
sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlag uang, tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi, walau
bagaimana pun sifat dari prestasi itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan prestasi atau
tegasnya adalah pembayaran.
90
Pembayaran kepada orang yang tidak berkuasa menerima adalah sah apabila kreditur telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah memperoleh manfaat karenanya
Pasal 1384, Pasal 1385, Pasal 1386 KUHPerdata. Pembayaran harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian, dan jika tidak ditetapkan dalam
perjanjian maka pembayaran dilakukan di tempat barang itu berada atau di tempat tinggal kreditur atau juga di tempat tinggal debitur. Jika obyek perjanjian adalah
sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang jika obyeknya benda maka perikatan berakhir setelah adanya penyerahan benda.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Dalam pembayaran dapat terjadi konsinyasi apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan Notaris, Jurusita kemudian kreditur
menolak penawaran tersebut. Atas penolakan kreditur kemudian debitur menitipkan pembayaran kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk disimpankan. Dengan adanya
90
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni,
Bandung, 1983, hal. 157.
Universitas Sumatera Utara
tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan, debitur telah bebas dari pembayaran yang berakibat hukum hapusnya perikatan. Prosedur
konsinyasi ini diatur dalam Pasal 1405 sampai dengan Pasal 1407 KUHPerdata. Pasal 1404 KUHPerdata menegaskan adanya penitipan untuk membantu
pihak-pihak berhutang, apabila si berpiutang menolak menerima pembayaran dengan melakukan penitipan uang atau barang di Panitera Pengadilan. Dalam Pasal 1381
KUHPerdata menyatakan bahwa salah satu cara menghapuskan perjanjian ialah dengan tindakan penawaran tunai yang diikuti dengan konsinyasi. Penawaran
pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan hanya mungkin terjadi dalam perjanjian yang berbentuk :
1 Pembayaran sejumlah uang
2 Penyerahan sesuatu benda bergerak
Marhainis Abdulhay, mengatakan: Dengan dilakukannya penitipan di Panitera Pengadilan itu maka akan
membebaskan si berutang dari perikatan dan berlakukah baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undang-
undang dan uang atau barang yang dititipkan di Panitera Pengadilan tetap akan menjadi tanggungan si berpiutang.
91
91
Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata Material, Jilid II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hal. 70.
Universitas Sumatera Utara
c. Pembaharuan hutang atau novasi
Pembaharuan hutang lahir atas dasar persetujuan, para pihak untuk membuat persetujuan dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dengan perjanjian baru.
Dalam Pasal 1381 KUHPerdata yang menegaskan bahwa novasi merupakan salah satu cara penghapusan perjanjian.
Menurut Pasal 1413 KUHPerdata ada 3 tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaruan utang atau novasi, yaitu :
1 Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna
orang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya disebut novasi objektif.
2 Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang
berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatan, dinamakan dengan novasi subjektif.
3 Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa ia berutang dibebaskan dari perikatan, ini disebut dengan novasi subjektif aktif.
Dalam Pasal 1414 KUHPerdata diterangkan bahwa pembaharuan hutang hanya dapat terlaksana antara orang yang cakap untuk mengadakan perikatan, dan
dalam Pasal 1415 KUHPerdata ditegaskan bahwa pembaharuan utang yang dipersangkakan kehendak seseorang untuk mengadakannya harus dengan tegas
ternyata dalam perbuatannya. d.
Perjumpaan hutang atau kompensasi Perjumpaan hutang sering disebut dengan perhitungan hutang compensation.
Ini adalah salah satu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang, secara timbal balik antara kreditur dan debitur hal
Universitas Sumatera Utara
ini diatur dalam Pasal 1424 KUHPerdata. Salah satu fungsi lain dari kompensasi adalah untuk memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.
Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan dalam Pasal 1427 KUHPerdata, yaitu :
1 Kedua-duanya berpokok sejumlah uang, atau
2 Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan
barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti. 3
Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika. e.
Percampuran hutang Menurut Pasal 1436 KUHPerdata, percampuran hutang itu terjadi apabila
kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu yang berarti berada di tangan satu orang yang terjadi demi hukum atau secara otomatis sehingga hutang piutang akan lenyap.
Dan Pasal 1437 KUHPerdata menjelaskan bahwa percampuran hutang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk kepentingan penjamin hutang borg, tetapi
percampuran yang terjadi pada seseorang penjamin hutang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan percampuran hutang adalah “percampuran kedudukan kualitas dari partai-partai yang mengadakan perjanjian
sehingga kualitas sebagai debitur menjadi satu dengan kualitas debitur. Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan semula ada diantara kedua belah pihak”.
92
Hal-hal
92
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 186.
Universitas Sumatera Utara
yang menyebabkan terjadinya percampuran hutang adalah perkawinan, dengan percampuran harta antara si berpiutang dengan si berhutang, dan percampuran hutang
terjadi apabila si berhutang menggantikan hak si berpiutang karena warisan. f.
Penghapusan hutang Penghapusan hutang terjadi bila dengan tegas menyatakan tidak menghendaki
lagi prestasi dari debitur dan melepaskan hak atas pembayaran. Hal yang dibutuhkan adalah adanya kehendak kreditur disertai menggugurkan perjanjian itu sendiri. Dan
yang dapat dikategorikan sebagai pengahpusan hutang bila pembebasan itu merupakan penghapusan atau pelepasan hak kreditur terhadap debitur.
Menurut ketentuan Pasal 1438 KUHPerdata, pembebasan tidak boleh berdasarkan persangkaan melainkan harus dibuktikan. Dalam Pasal 1441
KUHPerdata, diterangkan bahwa pengembalian barang yang dijaminkan dalam gadai tidak cukup dijadikan persangkaan tentang pembebasan hutang. Jadi keinginan atau
kehendak kreditur itu terwujud dalam suatu tindakan. Akibat hukum penghapusan hutang ini tidak ada diatur undang-undang secara khusus, tetapi dengan pembebasan
ini perikatan akan menjadi lenyap atau hangus. g.
Musnahnya barang yang menjadi hutang Berdasarkan Pasal 1444 KUHPerdata, apabila barang tertentu yang menjadi
objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar kesalahan debitur ini tersimpul usaha-usaha yang telah dilakukan debitur untuk
mencegah hilang atau musnahnya barang objek perjanjian. Meskipun debitur lalai
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan barang, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya atau musnahnya barang disebabkan di luar
kekuasaannya dan barang itu akan menemui nasib yang sama walaupun berada di tangan kreditur. Untuk mengatasi hal ini, masyarakat biasanya mengasuransikan
perjanjian tersebut. h.
Lampau waktu daluwarsa Menurut Pasal 1946 KUHPerdata yang dinamakan daluwarsa lewat waktu
adalah suatu upaya untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk
memperoleh hak milik dinamakan daluwarsa acquisitip dan daluwarsa untuk membebaskan sesuatu tuntutan disebut daluwarsa ekstrinktip.
Dari sudut hukum lampau waktu diartikan sebagai sesuatu anggapan hukum, dengan lampaunya jangka waktu tertentu dianggap :
1 Perjanjian telah hapus, sehingga debitur bebas dari kewajiban memenuhi
perjanjian. 2
Dianggap seseorang yang memperoleh hak milik atas sesuatu setelah jangka waktu tertentu lewat.
Universitas Sumatera Utara
C. Bentuk Perikatan Antara Bank Dan Asuransi Dalam Melindungi Uang