Hubungan antara Pengungkapan Diri dengan Kesepian pada Individu yang Menikah

(1)

HUBUNGAN ANTARA PENGUNGKAPAN DIRI TERHADAP PASANGAN DENGAN KESEPIAN PADA INDIVIDU YANG MENIKAH

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

Sondang R. P. Hutajulu 031301007

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN MEI 2008


(2)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Mei 2008

Sondang R. P. Hutajulu : 031301007

Hubungan antara Pengungkapan Diri dengan Kesepian pada Individu yang Menikah

xii+90 halaman

Bibliografi (1986-2007)

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengungkapan diri terhadap pasangan dengan kesepian pada individu yang menikah. Pengungkapan diri adalah individu memberitahukan pikiran, perasaan, dan informasi dirinya kepada pasangan sebagai reaksi individu terhadap situasi yang dihadapinya. Sedangkan, kesepian adalah perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya kesenjangan antara hubungan yang diharapkan dengan hubungan yang dimiliki bersama pasangan.

Subjek penelitian berjumlah 100 orang individu yang menikah. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah incidental sampling. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan analisa korelasi Pearson Product Moment. Alat ukur yang digunakan adalah skala pengungkapan diri yang disusun peneliti berdasarkan dimensi pengungkapan diri yang dikemukakan Devito (1986) dan skala kesepian yang disusun peneliti berdasarkan perasaan kesepian yang dikemukakan Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengungkapan diri terhadap pasangan dengan kesepian pada individu yang menikah dengan nilai korelasi (rxy) sebesar -0,772 dan p = 0,000 yang artinya semakin baik pengungkapan diri yang dilakukan individu menikah terhadap pasangan maka semakin rendah tingkat kesepian yang dirasakan individu menikah. Sebaliknya, semakin buruk pengungkapan diri yang dilakukan individu menikah terhadap pasangan maka semakin tinggi tingkat kesepian yang dirasakan individu menikah. Kontribusi pengungkapan diri terhadap kesepian pada individu yang menikah adalah sebesar 60%. Hal ini dapat dilihat dari nilai R-Square yang diperoleh dari hubungan pengungkapan diri terhadap kesepian sebesar 0,60.

Hasil tambahan penelitian menunjukkan perasaan kesepian yang paling tinggi dirasakan sampai yang paling rendah adalah self-deprecation, desperation,

impatient-boredom, dan depression. Dimensi pengungkapan diri yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah amount, valence, intention, accuracy/honesty, dan intimacy. Hasil tambahan juga menunjukkan ada perbedaan yang signifikan kesepian ditinjau dari dari tingkat pendidikan namun tidak ada perbedaan yang signifikan kesepian ditinjau dari jenis kelamin; usia; status pekerjaan; dan tingkat penghasilan. Selain itu, ada perbedaan yang signifikan pengungkapan diri ditinjau dari usia dan tingkat pendidikan, namun tidak ada perbedaan yang signifikan pengungkapan diri ditinjau dari jenis kelamin, status pekerjaan, dan tingkat penghasilan.


(3)

KATA PENGANTAR

How great is our God! Terima kasih Allah untuk kasih dan kesetiaan yang selalu saya terima dalam hidup ini. Saya bersyukur atas satu lagi kesempatan yang Tuhan berikan dalam hidup saya yaitu dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Hubungan antara Pengungkapan Diri terhadap Pasangan dengan Kesepian pada Individu yang Menikah.”

Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara beserta Pembantu Dekan I, II, dan III.

3. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M. Si selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas semua waktu, bimbingan, saran, dan dukungan yang diberikan selama peneliti mengerjakan skripsi.

4. Ibu Lili Garliah, M. Si selaku dosen pembimbing akademik.

5. Ibu Josetta M. R. T, M. Si dan Ibu Arliza J. Lubis, M. Si selakuk dosen penguji seminar. Terima kasih atas bimbingan dan sarannya.

6. Dosen-dosen Fakultas Psikologi USU atas semua pelajaran yang telah diberikan selama saya mengikuti perkuliahan dan karyawan administrasi

7. Orangtua yang saya cintai dan sayangi yaitu Bapak E. Hutajulu dan Ibu M. Manurung yang selalu mendukung dan mendoakan saya hingga skripsi ini terselesaikan.


(4)

8. Adik yang saya sayangi dan banggakan yaitu Samuel. Terima kasih untuk semua dukungan, semangat, kritik, dan omelan yang membuat saya terpacu untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman fide gracia yaitu Kak Shanti, Bang Ando, Bang Dapot, Samuel Hutajulu, Samuel Sinambela, Kak Widdy, dan Wita. Suatu pengalaman yang sangat menyenangkan bisa mengenal dan menjalani hari-hari bersama kalian. Terima kasih untuk pengalaman berharga yang dibagikan.

10. Teman-teman Eklesia Fellowship yaitu Kak Devi, Naomi, Corry, Lestari, dan Melda. Terima kasih untuk dukungan emosional yang diberikan dan juga kesediaan untuk menjadi tempat curhat yang membuat saya lega.

11. Teman-teman secret_8mire yaitu Astry, Lawina, Rospita, Herna, Corry, Meilosa, dan Fitri. Saya berharap persahabatan ini bisa tetap ada. Terima kasih untuk semangat dan desakan yang diberikan sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman seperjuangan dalam mengerjakan skripsi yaitu Rospita, Corry, Naomi, Devi, Jayanti, Nina, Linda, Kak Geryn, Mimi, Nike, dan Kak Titin. Tetap semangat ya!

Penyelesaian skripsi ini masih jauh dari sempurna. Peneliti moon maaf atas semua kekurangan dan kesalahan dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2008


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.A.Latar Belakang Masalah ... 1

I.B.Tujuan Penelitian ... 9

I.C. Manfaat Penelitian ... 9

I.D. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

II.A. Kesepian ... 13

II.A.1. Pengertian Kesepian ... 12

II.A.2. Tipe-Tipe Kesepian ... 13

II.A.3. Faktor-Faktor Penyebab Kesepian ... 15

II.A.4. Perasaan Kesepian ... 19

II.A.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesepian ... 20

II.A.6. Reaksi terhadap Perasaan Kesepian ... 22

II.A.7. Karakteristik Orang yang Kesepian... 23

II.B. Pengungkapan Diri ... 24

II.B.1. Pengertian Pengungkapan Diri ... 24

II.B.2. Dimensi-Dimensi Pengungkapan Diri ... 27

II.B.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Diri 28 II.B.4. Fungsi Pengungkapan Diri ... 31


(6)

II.B.5. Prinsip-Prinsip Pengungkapan Diri ... 32

II.B.6. Manfaat Pengungkapan Diri ... 34

II.B.7. Bahaya Pengungkapan Diri ... 36

II.C. Hubungan antara Pengungkapan Diri terhadap Pasangan dengan Kesepian pada Individu yang Menikah ... 37

II.D. Kerangka Berpikir Penelitian ... 40

II.E. Hipotesa Penelitian ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 41

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41

III.B. Definisi Operasional Variabel ... 41

III.B.1. Kesepian ... 41

III.B.2. Pengungkapan Diri ... 42

III.C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 45

III.C.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 45

III.C.2. Teknik Pengambilan Sampel ... 46

III.D. Metode Pengumpulan Data ... 47

III.D.1. Skala Kesepian ... 47

III.D.2. Skala Pengungkapan Diri ... 49

III.E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 50

III.E.1. Validitas Alat Ukur ... 50

III.E.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 51

III.E.3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 52

III.E.3.a. Hasil Uji Coba Skala Kesepian ... 52


(7)

III.F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 56

III.F.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 56

III.F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 57

III.F.3. Pengolahan Hasil Penelitian ... 57

III.G. Metode Analisis Data ... 58

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 60

IV.A. Gambaran Subjek Penelitian ... 60

IV.A.1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

IV.A.2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 61

IV.A.3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 62

IV.A.4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pekerjaan ... 62

IV.A.5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Penghasilan ... 63

IV.B. Hasil Uji Asumsi ... 64

IV.B.1. Uji Normalitas ... 64

IV.B.2. Uji Linieritas ... 65

IV.C. Hasil Utama Penelitian ... 65

IV.D. Kategorisasi Data Penelitian ... 67

IV.D.1. Kategorisasi Skor Kesepian ... 67

IV.D.2. Kategorisasi Skor Pengungkapan Diri ... 69


(8)

IV.E.1. Gambaran Perasaan-Perasaan Kesepian ... 71

IV.E.2. Gambaran Dimensi-Dimensi Pengungkapan Diri ... 72

IV.E.3. Kesepian Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 72

IV.E.4. Kesepian Ditinjau dari Usia ... 73

IV.E.5. Kesepian Ditinjau dari Tingkat Pendidikan ... 74

IV.E.6. Kesepian Ditinjau dari Status Pekerjaan ... 75

IV.E.7. Kesepian Ditinjau dari Tingkat Penghasilan ... 75

IV.E.8. Pengungkapan Diri Ditinjau dari Jenis Kelamin ... 76

IV.E.9. Pengungkapan Diri Ditinjau dari Usia ... 77

IV.E.10. Pengungkapan Diri Ditinjau dari Tingkat Pendidikan ... 78

IV.E.11. Pengungkapan Diri Ditinjau dari Status Pekerjaan .. 79

IV.E.12. Pengungkapan Diri Ditinjau dari Tingkat Penghasilan ... 79

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 80

V.A. Kesimpulan ... 81

V.B. Diskusi ... 83

V.C. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(9)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Mei 2008

Sondang R. P. Hutajulu : 031301007

Hubungan antara Pengungkapan Diri dengan Kesepian pada Individu yang Menikah

xii+90 halaman

Bibliografi (1986-2007)

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengungkapan diri terhadap pasangan dengan kesepian pada individu yang menikah. Pengungkapan diri adalah individu memberitahukan pikiran, perasaan, dan informasi dirinya kepada pasangan sebagai reaksi individu terhadap situasi yang dihadapinya. Sedangkan, kesepian adalah perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya kesenjangan antara hubungan yang diharapkan dengan hubungan yang dimiliki bersama pasangan.

Subjek penelitian berjumlah 100 orang individu yang menikah. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah incidental sampling. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan analisa korelasi Pearson Product Moment. Alat ukur yang digunakan adalah skala pengungkapan diri yang disusun peneliti berdasarkan dimensi pengungkapan diri yang dikemukakan Devito (1986) dan skala kesepian yang disusun peneliti berdasarkan perasaan kesepian yang dikemukakan Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengungkapan diri terhadap pasangan dengan kesepian pada individu yang menikah dengan nilai korelasi (rxy) sebesar -0,772 dan p = 0,000 yang artinya semakin baik pengungkapan diri yang dilakukan individu menikah terhadap pasangan maka semakin rendah tingkat kesepian yang dirasakan individu menikah. Sebaliknya, semakin buruk pengungkapan diri yang dilakukan individu menikah terhadap pasangan maka semakin tinggi tingkat kesepian yang dirasakan individu menikah. Kontribusi pengungkapan diri terhadap kesepian pada individu yang menikah adalah sebesar 60%. Hal ini dapat dilihat dari nilai R-Square yang diperoleh dari hubungan pengungkapan diri terhadap kesepian sebesar 0,60.

Hasil tambahan penelitian menunjukkan perasaan kesepian yang paling tinggi dirasakan sampai yang paling rendah adalah self-deprecation, desperation,

impatient-boredom, dan depression. Dimensi pengungkapan diri yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah amount, valence, intention, accuracy/honesty, dan intimacy. Hasil tambahan juga menunjukkan ada perbedaan yang signifikan kesepian ditinjau dari dari tingkat pendidikan namun tidak ada perbedaan yang signifikan kesepian ditinjau dari jenis kelamin; usia; status pekerjaan; dan tingkat penghasilan. Selain itu, ada perbedaan yang signifikan pengungkapan diri ditinjau dari usia dan tingkat pendidikan, namun tidak ada perbedaan yang signifikan pengungkapan diri ditinjau dari jenis kelamin, status pekerjaan, dan tingkat penghasilan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

”Saya sudah menikah selama dua tahun. Sebelumnya kami berpacaran selama 10 tahun. Sewaktu pacaran hubungan kami sangat romantis. Satu hal, suami saya orangnya gampang sekali tersinggung. Waktu pacaran juga begitu tapi karena mungkin tidak bertemu setiap hari jadi tidak terlalu jadi masalah. Saya lebih memilih untuk menghindar karena saya malas bicara kalau dia sedang tersinggung. Kami sudah dikarunia satu orang anak. Semenjak anak kami lahir, hubungan kami tidak romantis lagi, dia hanya seperti seorang teman bagi saya. Saya tidak lagi nyaman berada didekatnya karena sifat pemarahnya. Saya stress harus menjalani pernikahan yang hambar ini.” (www.wismacinta.com).

Pernikahan adalah komitmen bersama antara dua individu yang dibuat untuk diakui oleh masyarakat atau individu lain sebagai suatu kesatuan yang stabil, pasangan suami isteri, dan keluarga (Corsini, 2002). Pada sebuah pernikahan terdapat janji nikah yaitu suatu pernyataan dihadapan umum sebagai persetujuan legal dan komitmen dua individu untuk membentuk hubungan suami isteri (Laswell & Laswell, 1987).

Pernikahan merupakan ikatan yang bersifat permanen sehingga hubungan suami isteri perlu dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan. Dalam pernikahan dua individu menjalani kehidupan bersama dimana seharusnya dapat saling membutuhkan, saling memberi dorongan, saling memberi dukungan, dan saling melayani. Pasangan memerlukan kesiapan untuk terus menerus berupaya


(11)

mewujudkan pernikahan sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan (Gunarsa, 2002).

Pasangan suami isteri akan menghadapi berbagai masalah dalam memelihara hubungan. Walaupun pasangan suami isteri sudah saling mengenal sebelumnya, namun perbedaan-perbedaan dapat menjadi sumber kekesalan; pertengkaran; dan menimbulkan masalah. Secara umum ada tiga jenis masalah yang dapat muncul, yaitu: masalah pribadi suami isteri yang meliputi masa lampau dan masa depan yang akan dijalani misalnya hobi individu sebelum menikah dilanjutkan tanpa mengikutsertakan pasangan atau tanpa meminta persetujuan pasangan, masalah pribadi suami isteri yang saling memasuki lingkungan keluarga baru misalnya sikap kakek yang terlalu memanjakan cucu, dan masalah yang berhubungan dengan keluarga yang dibentuk meliputi perkembangan dan pendidikan anak misalnya pengeluaran anak yang semakin besar (Gunarsa, 2003).

Masalah dalam pernikahan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Pernikahan merupakan wadah berkembangnya masalah karena pasangan suami isteri tanpa terelakkan memiliki pengamatan dan harapan yang berbeda-beda secara individual. Dua individu yang berbeda hidup bersama dalam pernikahan dengan membawa pandangan, pendapat, dan kebiasaan masing-masing. Pasangan suami isteri adalah dua pribadi yang unik dalam menyelesaikan masalah. Setiap individu juga memiliki pengalaman-pengalaman, memori, dan cara bertingkah laku dimasa lalu yang akan mempengaruhi cara individu memandang dan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, pasangan suami isteri


(12)

perlu mengungkapkan diri untuk mencari titik temu sehingga permasalahan dapat diselesaikan (Sadarjoen, 2005).

Pengungkapan diri berarti individu memberitahu pasangan tentang pikiran dan perasaannya untuk menciptakan keterbukaan dalam hubungan pernikahan (Hendrick & Hendrick, 1992). Pengungkapan diri individu hendaknya melibatkan kehadiran pasangan untuk mengetahui pikiran dan perasaan individu sehingga dapat membentuk pemahaman terhadap diri individu (Sadarjoen, 2005). Kehadiran disini bukan kedekatan secara fisik melainkan pertalian batin antara dua individu dimana masing-masing individu mampu berpartisipasi dalam hidup pasangan melalui keterbukaan (Mathias, 1994).

Pengungkapan diri membuat individu dapat mengetahui sikap dan pendapat pasangan. Individu yang memiliki pengetahuan terhadap sikap dan pendapat pasangan akan mampu membicarakan suatu ketidaksetujuan secara langsung dan mampu memberikan perhatian terhadap perasaan pasangan. Meskipun tidak berhasil menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi, pasangan suami isteri tetap berusaha untuk menyelesaikan kemarahan dan kembali membentuk keakraban dalam hubungan tersebut. Sedangkan, individu yang kurang memiliki pengetahuan terhadap sikap dan pendapat pasangan cenderung untuk menghentikan diskusi bila dalam diskusi terdapat suatu ketidaksetujuan dan cenderung memiliki sedikit perhatian terhadap perasaan pasangan selama diskusi berlangsung (Saks & Krupat, 1988).

Pasangan suami isteri dapat saling mengenal dan melengkapi melalui proses pengungkapan diri. Informasi yang didapat dalam pengungkapan diri akan menghasilkan pemahaman sehingga individu berada pada posisi yang lebih baik


(13)

untuk memperkirakan bagaimana pasangan akan berperilaku, nilai-nilai apa yang diyakini, atau apa yang mungkin dirasakan pasangan dalam situasi tertentu. Individu juga membutuhkan pasangan untuk dapat melengkapi kebutuhannya dan individu perlu mengungkapkan diri agar pasangan dapat mengetahui kebutuhan atau keinginan individu. Dengan demikian, pasangan suami isteri dapat saling memenuhi kebutuhan atau keinginan melalui pengungkapan diri (Mclean, 2005).

Semakin banyak informasi yang didapat individu melalui pengungkapan diri membuat pemahaman individu terhadap pasangan menjadi semakin jelas (Supratiknya, 1995). Semakin baik suatu hubungan maka individu semakin terbuka untuk mengungkapkan dirinya sehingga semakin benar persepsi individu tentang pasangan dan tentang dirinya. Individu tidak akan dapat memahami pasangan dengan benar jika pasangan tidak mau mengungkapkan bagaimana perasaan dan pikirannya. Persepsi individu tentang pasangan akan terganggu bila pasangan tidak mengungkapkan diri (Jalaludin, 2003).

Proses timbal balik menjadi hal yang penting dalam pengungkapan diri. Pada umumnya, individu akan lebih menyukai pasangan yang mampu mengungkapkan diri dan mau menerima pengungkapan diri individu (Sears, Freedman, Peplau, 1999). Dindia menyatakan bahwa pengungkapan diri pasangan dapat menimbulkan rasa suka terhadap individu, rasa suka membuat individu ingin mengungkapkan diri kepada pasangan dan akhirnya terjadi proses timbal balik pengungkapan diri (dalam Tubbs, 2003).

Pengungkapan diri yang mendapat respon positif berupa simpati dari pasangan membuat individu merasa dimengerti, diakui, dan dipedulikan oleh pasangan. Perasaan positif yang dirasakan individu mendorong individu untuk


(14)

mengulangi perilaku pengungkapan diri. Dalam keadaan seperti ini, pengungkapan diri membuat individu dan pasangan dapat semakin saling mengenal serta memiliki kesempatan untuk membentuk keakraban. Pengungkapan diri menjadi komponen untuk membentuk keakraban yang diharapkan (Taylor, Sears, Peplau, 2000).

Penting untuk menunjukkan perhatian baik secara verbal maupun nonverbal ketika pasangan mengungkapkan diri. Perhatian ini bukan berarti individu menyetujui semua isi dari pengungkapan diri pasangan, namun untuk menunjukkan dukungan terhadap perilaku pengungkapan diri yang dilakukan dan juga menunjukkan penerimaan terhadap diri pasangan secara keseluruhan. Individu yang merasa tidak mendapat dukungan saat melakukan pengungkapan diri akan cenderung membatasi perilaku pengungkapan dirinya (Devito, 1986). Kondisi ini juga dapat membuat pola pengungkapan diri semakin memburuk yang ditandai dengan adanya penurunan dalam keluasan dan kedalaman pengungkapan diri (Baxter dalam Weiten & Lloyd, 2006). Penelitian yang dilakukan Komarovsky membuktikan bahwa pasangan kurang menginginkan pengungkapan diri individu yang lebih banyak mengungkapkan hal-hal negatif tentang pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992). Jika tidak ada simpati pada pengungkapan diri yang dilakukan maka perilaku pengungkapan diri akan semakin berkurang (Feldman, 1995).

Penyebab individu tidak mengungkapkan diri adalah individu ingin melindungi pasangan atau diri sendiri dari hal-hal yang dapat menimbulkan masalah dengan menghindari pengungkapan diri. Individu tidak mengungkapkan diri karena individu telah memperkirakan reaksi negatif yang akan diterima dari


(15)

pasangan. Individu berkata: ”saya tidak mempercayai kemampuan pasangan untuk menanggapi pernyataan saya yang jujur dan saya kuatir pasangan akan memberi reaksi negatif.” Sikap tersebut merupakan cara yang dipakai individu untuk menghindari masalah. Namun, bila dibiarkan terus menerus sikap ini sebenarnya akan membuat masalah menjadi semakin rumit. Misalnya, kekecewaan yang dibiarkan menumpuk sewaktu-waktu dapat meledak dalam bentuk kemarahan besar. Menghindari pengungkapan diri membuat individu dan pasangan tidak dapat benar-benar saling mengenal dan tidak dapat mengalami indahnya keakraban yang berasal dari pengungkapan diri yang terbuka, jujur, dan membangun. Individu harus memiliki keberanian untuk berterus terang kepada pasangan, mengungkapkan semua masalah; keprihatinan; serta kecemasan bila individu ingin memiliki hubungan yang akrab bersama pasangan (Wahlroos, 2002).

Hambatan yang dialami individu saat ingin mengungkapkan diri adalah rasa tidak aman. Rasa tidak aman muncul dalam perasaan tidak nyaman atau perasaan akan ditolak oleh pasangan ketika ingin mengungkapkan diri. Individu mencemaskan isi pesan yang disampaikan akan digunakan untuk merendahkan individu, melawan individu, alat untuk mengontrol diskusi, atau memanipulasi kejadian dimasa mendatang. Individu tidak akan cemas untuk mengungkapkan diri bila pasangan bersedia mendengarkan pikiran dan perasaan individu tanpa mengadili, menyalahkan, dan/atau memberikan kritik. Pengungkapan diri yang mampu membuat individu yakin bahwa pasangan melihat dirinya dengan cara yang sama seperti individu melihat dirinya akan menghasilkan keakraban diantara pasangan (Sadarjoen, 2005).


(16)

Jourard menyatakan adalah hal yang memuaskan ketika individu dan pasangan dapat saling mengungkapkan diri. Kemampuan individu untuk mengungkapkan diri akan dapat membentuk keakraban yang diharapkan sedangkan ketidakmampuan individu untuk membentuk keakraban yang diharapkan bersama pasangan melalui pengungkapan diri akan membuat individu merasa kesepian (Myers, 1999).

Penelitian yang dilakukan Ross pada individu yang menikah menemukan bahwa kesepian memiliki hubungan negatif dengan keakraban (dalam Demir & Fisiloglu, 1999). Bila individu memiliki hubungan yang akrab dengan pasangan maka individu tidak akan merasa kesepian. Dalam hubungan pernikahan, keakraban bersama pasangan merupakan kebutuhan utama. Kebutuhan akan keakraban yang tidak terpenuhi dalam pernikahan serta kurangnya kesempatan individu untuk menyalurkan kebutuhan akan keakraban dapat menghasilkan perasaan kesepian (Strong & DeVault, 1995).

Menurut Perlman & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) kesepian adalah perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya kesenjangan antara hubungan sosial yang diharapkan dengan hubungan sosial yang dimiliki. Individu menikah dapat merasa kesepian ketika individu merasakan ketidakpuasan dalam hubungan pernikahan yang dijalaninya karena individu belum memiliki keakraban yang diharapkannya bersama pasangan. Kondisinya adalah individu yang merasa kesepian dalam hubungan bersama pasangan tetap ingin mempertahankan pernikahannya. Individu tetap mempertahankan pernikahan meskipun merasakan kehampaan dalam hubungan karena individu tidak ingin melanggar peraturan agama dan lebih memilih untuk mementingkan


(17)

kesejahteraan anak-anak daripada dirinya. Dengan demikian, individu lebih mengutamakan keterikatan dalam status pernikahan meskipun mengalami kekurangan atau tidak merasakan kepuasan dalam hubungan pernikahan (Sears, Freedman, Peplau,1999). Individu menikah yang kesepian tersebut kurang memiliki kontak dengan pasangan (Strong & DeVault, 1995).

Kesepian yang dirasakan terhadap pasangan membuat individu kurang memiliki pertemuan kontak psikis dengan pasangan sehingga tidak akan dapat membentuk keserasian psikis. Bila keadaan ini terus menerus dibiarkan akan membuat perbedaan perkembangan kehidupan psikis mengalami jarak yang semakin membesar sehingga individu dan pasangan tidak dapat saling memenuhi kebutuhan psikis melalui hubungan pernikahan. Kerenggangan kontak psikis membuat individu dan pasangan memilih jalan hidupnya masing-masing walaupun tinggal bersama (Gunarsa, 2003). Dengan demikian, kebutuhan emosional individu akan kehadiran pasangan tidak dapat terpenuhi. Barbour (dalam Demir & Fisiloglu, 1999) berpendapat bahwa kesepian dalam kehidupan pernikahan ditandai dengan ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan sosial dan emosional pasangannya.

Dampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan sosial dan emosional pasangan adalah keretakan terhadap kesatuan pasangan suami isteri. Tidak adanya kesatuan dalam hubungan suami isteri berarti tidak ada kehidupan yang dinikmati bersama yang menjadi sumber kebahagiaan dalam pernikahan. Kebahagiaan paling besar, kepuasan paling dalam, ketenangan batin paling dalam, dan gairah paling hebat sebenarnya didapat dari hubungan yang akrab bersama pasangan. Pengalaman kesepian ini dalam jangka waktu lama dapat membuat individu memandang


(18)

dirinya sebagai seseorang yang telah mengalami kegagalan dalam pernikahan dan dapat menimbulkan kemerosotan harga diri (Sears, Freedman, Peplau, 2002).

Dari uraian diatas, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan negatif antara pengungkapan diri terhadap pasangan dengan kesepian pada individu yang menikah.

I. B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan negatif antara pengungkapan diri terhadap pasangan dengan kesepianpada individu yang menikah.

I. C. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu psikologi khususnya pada bidang psikologi klinis, psikologi sosial, psikologi komunikasi, dan psikologi keluarga. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya berkaitan dengan topik kesepian dan pengungkapan diri pada individu yang menikah.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada individu yang telah menikah tentang gambaran kesepian dan pengungkapan diri dalam kehidupan pernikahan


(19)

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para psikolog keluarga dalam menanggapi masalah kesepian yang dapat berkembang dalam kehidupan pernikahan

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada individu yang belum menikah sehingga individu dapat mengetahui dan mengantisipasi masalah yang mungkin muncul ketika individu menjalani kehidupan pernikahan

I. D. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini berisi tinjauan teoritis yang sesuai dengan variabel-variabel dalam penelitian yaitu kesepian dan pengungkapan diri, hubungan antar variabel, kerangka berpikir, dan hipotesa penelitian.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel, populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, serta metode analisis data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.


(20)

BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data

Bab ini berisi pengolahan data penelitian meliputi gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian.

BAB V : Kesimpulan, Saran, dan Diskusi

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, diskusi penelitian, dan saran-saran yang diperlukan baik secara teoritis maupun praktis untuk lebih menyempurnakan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.


(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Kesepian

II. A. 1. Pengertian Kesepian

Perlman & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) mendefinisikan kesepian sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya kesenjangan antara hubungan sosial yang diharapkan dengan hubungan sosial yang dimiliki. Setiap individu memiliki kebutuhan hubungan sosial yang berbeda-beda dan ketika individu merasa tidak puas dengan kuantitas atau kualitas hubungan sosial yang dimiliki, individu akan merasa kesepian (Weiten & Lloyd, 2006).

Bruno (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) mendefenisikan kesepian sebagai suatu keadaan mental dan emosional yang dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Kegagalan individu dalam memperoleh hubungan yang bermakna dapat membuat individu merasa kesepian walau individu sedang berada dalam keramaian orang (Brehm et al, 2002).

Lebih lanjut, Baron & Bryne (2000) menjelaskan bahwa kesepian merupakan keadaan kognitif dan emosi yang tidak bahagia sebagai hasil dari keinginan individu untuk memiliki hubungan yang akrab dengan seseorang, namun individu tidak mampu mencapainya. Pada umumnya, hubungan yang akrab bagi orang dewasa adalah bersama pasangan (Weiten & Lloyd, 2006). Penelitian yang dilakukan Berscheid, Snyder, dan Omoto (dalam Baron & Bryne,


(22)

2000) terhadap individu yang telah menikah menyimpulkan bahwa pasangan merupakan orang yang memiliki keakraban paling tinggi dengan individu.

Feldman (1995) mendefinisikan kesepian sebagai ketidakmampuan individu untuk tetap mempertahankan keakraban hubungan seperti yang diharapkan. Kesepian muncul ketika keakraban hubungan yang dimiliki saat ini tidak dapat memenuhi keakraban hubungan yang diharapkan.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kesepian merupakan perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya kesenjangan antara hubungan yang diharapkan dengan hubungan yang dimiliki bersama pasangan.

II. A. 2. Tipe-Tipe Kesepian

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan ada dua tipe kesepian, yaitu: 1. Isolasi sosial

Individu menginginkan suatu hubungan sosial, tetapi tidak memiliki jaringan teman atau kerabat. Individu tidak puas dan merasa kesepian karena kurangnya jaringan teman atau kenalan.

2. Isolasi emosional

Individu menginginkan hubungan yang akrab dengan seseorang, namun tidak dapat memilikinya sehingga individu tidak puas dan merasa kesepian.

Menurut Weiss (dalam Brehm et al, 2002), isolasi sosial yang dirasakan individu tidak dapat diringankan dengan adanya suatu hubungan yang akrab dengan seseorang, dan sebaliknya. Contoh: sepasang suami-isteri yang pindah ke suatu kota dimana mereka tidak mempunyai kenalan dan mereka merasa kesepian


(23)

(isolasi sosial). Kesepian yang mereka rasakan tidak dapat diringankan dengan hubungan akrab yang mereka miliki. Begitu pula sebaliknya, individu yang memiliki jaringan sosial luas dan sangat aktif dalam kehidupan sosialnya dapat juga mengalami kesepian ketika individu tidak dapat memiliki hubungan akrab dengan seseorang seperti yang diinginkannya. Russell; Peplau; dan Cutrona (dalam Brehm et al, 2002) menjelaskan walaupun dua tipe kesepian ini muncul secara bersamaan, individu akan memiliki dua pengalaman yang berbeda terhadap isolasi sosial dan isolasi emosional yang dirasakan sehingga isolasi sosial yang dirasakan individu kurang dapat diringankan dengan adanya hubungan akrab dengan seseorang, begitu juga sebaliknya.

Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) membagi kesepian menurut durasi waktu individu merasakan kesepian yang terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1. Kesepian sementara (transient loneliness): perasaan kesepian yang datang sesekali saja.

2. Kesepian transisi (transitional loneliness): individu sudah memiliki hubungan seperti yang diharapkan, namun dapat merasa kesepian ketika terjadi suatu gangguan dalam hubungan tersebut. Gangguan ini bisa disebabkan oleh kematian pasangan, perceraian, perpindahan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Perasaan kesepian dapat muncul saat individu menghadapi perubahan tersebut.

3. Kesepian kronis (chronic loneliness): perasaan kesepian dialami secara kronis selama bertahun-tahun yang mempengaruhi individu sehingga tidak mampu mengembangkan hubungan interpersonal yang memuaskan.


(24)

II. A. 3. Faktor-Faktor Penyebab Kesepian

Brehm et al (2002) menjelaskan beberapa penyebab kesepian sebagai berikut:

1. Ketidakadekuatan hubungan yang dimiliki

Ada beberapa alasan mengapa individu merasa tidak puas terhadap hubungan yang dimiliki. Rubenstein & Shaver (dalam Brehm et al, 2002) membagi alasan individu merasa kesepian dalam lima kategori, yaitu:

a. Tidak memiliki keterikatan (being unattached): tidak memiliki pasangan, tidak memiliki pasangan secara seksual, perceraian dengan pasangan, perpisahan dengan orang yang dicintai

b. Asing (alienation): merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, merasa tidak dibutuhkan, tidak memiliki sahabat

c. Sendiri (being alone): pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, hidup sendiri

d. Terisolasi (forced isolation): terkurung dirumah, dirawat di rumah sakit, tidak dapat pergi kemana-mana

e. Berpisah dari lingkungan sosial yang lama (dislocation): pergi merantau, memulai pekerjaan atau sekolah baru, pindah rumah, sering melakukan perjalanan

Dua alasan pertama mengarah kepada isolasi emosional, sedangkan tiga alasan berikutnya mengarah kepada isolasi sosial.


(25)

2. Perubahan terhadap apa yang diinginkan individu dari suatu hubungan

Kesepian dapat berkembang karena adanya perubahan terhadap apa yang diinginkan dari suatu hubungan. Hubungan dapat terus berlanjut tetapi tidak memuaskan karena individu telah merubah keinginannya terhadap hubungan tersebut dan individu tidak mampu mewujudkannya. Peplau (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa perubahan tersebut muncul dari beberapa sumber, yaitu:

a. Perubahan suasana hati

Harapan individu terhadap suatu hubungan dapat berubah ketika suasana hati berubah. Harapan individu terhadap hubungan yang dimilikinya akan berbeda pada saat merasa senang dan merasa sedih.

b. Usia

Proses perkembangan yang dialami individu sepanjang rentang kehidupan akan mempengaruhi hubungan sosial yang diinginkan. Sebagai contoh, hubungan persahabatan yang dianggap individu memuaskan pada saat berumur 15 tahun dapat menjadi kurang memuaskan pada saat berumur 25 tahun.

c. Perubahan situasi

Banyak orang tidak mau membentuk hubungan yang akrab dengan seseorang pada saat memulai karir, namun setelah karir terbentuk individu mengharapkan adanya suatu hubungan akrab dengan seseorang.

Jika keinginan untuk merubah hubungan tidak sejalan dengan hubungan yang ada akan membuat individu tidak puas dan mengalami kesepian.


(26)

3. Harga diri (self-esteem)

McWhirter, Rubenstein, Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa kesepian berhubungan dengan harga diri yang rendah. Individu yang kesepian cenderung menilai dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak dicintai. Kurangnya harga diri tersebut membuat individu merasa tidak nyaman berada dalam situasi sosial. Perasaan tidak nyaman itu mendorong individu untuk mengurangi kontak sosial yang sebenarnya dibutuhkan individu untuk membangun suatu hubungan dalam mengatasi kesepian yang dirasakan.

4. Perilaku interpersonal

Perilaku interpersonal individu akan menentukan keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Bila dibandingkan dengan individu yang tidak kesepian, individu yang kesepian lebih menilai orang lain secara negatif (Jones et. al, dalam Brehm et al, 2002), sulit untuk tertarik kepada orang lain (Rubenstein & Shaver, dalam Brehm et al, 2002), tidak mempercayai orang lain (Vaux, dalam Brehm et al, 2002), menginterpretasikan perilaku dan niat orang lain secara negatif ( Hanley-Dunn, dalam Brehm et al, 2002), serta menunjukkan sikap yang bermusuhan (Check, dalam Brehm et al, 2002).

Individu yang kesepian memiliki keterampilan sosial yang kurang baik (Solano & Koester, dalam Brehm et al, 2002). Individu yang kesepian lebih pasif dalam interaksi dan juga ragu untuk menyatakan pendapatnya. Dalam suatu percakapan, individu yang kesepian hanya membuat sedikit pernyataan; lamban dalam menanggapi pernyataan lawan bicara, dan kurang berminat


(27)

untuk melanjutkan percakapan (Hansson & Jones, dalam Brehm et al, 2002). Individu yang kesepian tampak ragu atau menolak dalam mengembangkan keakraban hubungan yang dimiliki dan menunjukkan tingkat pengungkapan diri yang buruk dalam berkomunikasi (Davis et. al, dalam Brehm et al, 2002).

Sikap dan perilaku negatif individu yang kesepian dapat mendatangkan reaksi yang negatif dari orang lain. Pasangan dalam berinteraksi melaporkan bahwa dirinya tidak dapat mengenal dengan baik individu yang kesepian (Solano, dalam Brehm et al, 2002) dan pasangan menilai individu yang kesepian tersebut tidak kompeten (Spitzberg, dalam Brehm et al, 2002).

5. Atribusi penyebab (causal attribution)

Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) perasaan kesepian muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil. Contohnya adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Penjelasan Kesepian Berdasarkan Atribusi Penyebab Penyebab (locus of causality)

Kestabilan Internal Eksternal

Stabil Saya kesepian karena saya tidak dicintai.

Saya tidak akan pernah dicintai

Orang-orang disini tidak menarik. Tidak satu pun dari mereka yang mau berbagi. Saya rasa saya akan pindah. Tidak Stabil Saya kesepian saat ini,

tapi tidak akan lama. Saya akan meng-hentikannya dengan pergi dan bertemu orang baru

Semester pertama memang selalu buruk, saya yakin segalanya akan menjadi baik di waktu yang akan datang


(28)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa individu yang mempersepsi kesepian secara internal dan stabil menganggap dirinya adalah penyebab kesepian tersebut sehingga individu lebih sulit untuk keluar dari perasaan kesepian itu. Sedangkan, individu yang mempersepsi kesepian secara eksternal dan tidak stabil berharap sesuatu dapat merubah keadaan menjadi lebih baik sehingga lebih memungkinkan untuk keluar dari perasaan kesepian.

II. A. 4. Perasaan Kesepian

Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002) menjelaskan ada empat jenis perasaan yang dirasakan oleh orang yang kesepian, yaitu:

1. Desperation

Yaitu suatu keadaan dimana individu merasakan kehilangan harapan dan ketidakberdayaan dalam dirinya sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan nekat. Perasaan-perasaan yang muncul dalam keadaan ini adalah putus asa, tidak berdaya, takut/khawatir, tidak memiliki harapan, merasa ditinggalkan/dibuang, merasa diejek.

2. Impatient boredom

Yaitu suatu keadaan dimana individu merasakan kebosanan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari kejenuhan dalam dirinya. Perasaan-perasaan yang muncul dalam keadaan ini adalah tidak sabar, bosan, ingin berada ditempat lain, gelisah, marah, tidak dapat berkonsentrasi.

3. Self-deprecation

Yaitu suatu keadaan dimana individu menyalahkan dan mencela dirinya sendiri atas peristiwa atau situasi yang dialaminya. Perasaan-perasaan yang


(29)

muncul dalam keadaan ini merasa diri tidak menarik, rendah diri, merasa bodoh, malu, merasa tidak aman.

4. Depression

Yaitu suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang dalam atau individu merasa tertekan. Perasaan-perasaan yang muncul dalam keadaan ini adalah sedih, tidak semangat, merasa kosong, terkucil, menyesali diri, murung, merasa asing, rindu seseorang yang istimewa.

II. A. 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Beberapa faktor yang mempengaruhi kesepian adalah (Brehm et al, 2002): 1. Jenis kelamin

Studi tentang kesepian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesepian antara laki-laki dan perempuan. Namun, laki-laki lebih sulit daripada perempuan untuk menyatakan secara terbuka bahwa mereka mengalami kesepian. Studi yang dilakukan Stack (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa pernikahan mengurangi kemungkinan laki-laki mengalami kesepian daripada perempuan. Lebih lanjut, Fischer & Philips (dalam Brehm et al, 2002) menjelaskan bahwa laki-laki akan lebih rentan terhadap kesepian ketika tidak memiliki pasangan sehingga mengalami isolasi emosional sedangkan perempuan lebih rentan terhadap kesepian ketika sebuah pernikahan mengurangi kesempatan baginya untuk memiliki jaringan sosial sehingga mengalami isolasi sosial.


(30)

2. Usia

Analisis yang dilakukan Perlman menunjukkan bahwa individu yang paling merasa kesepian berada pada usia remaja dan dewasa dini dimana kesepian akan menurun seiring dengan bertambahnya usia dan meningkat kembali ketika individu memasuki usia lansia. Para remaja dan individu dewasa dini menghadapi banyak tugas-tugas sulit untuk menemukan identitas sebagai individu dimana tanpa ketetapan diri yang kokoh akan sangat mudah bagi individu untuk merasa tidak dihargai dan tidak dicintai oleh orang lain. Pada usia itu, individu juga banyak mengembangkan hubungan yang baru dalam berbagai situasi dimana setiap situasi baru itu memungkinkan individu mengalami kesepian. Individu dewasa dini lebih memiliki pengharapan yang besar terhadap hubungan yang dimiliki yaitu keinginan dan pemahaman akan kesempurnaan serta kesesuaian dalam hubungan dibandingkan individu usia tua yang belajar untuk hidup dengan kekurangan yang ada dalam suatu hubungan.

3. Status pernikahan

Pada umumnya, unmarried people (individu yang tidak menikah, berpisah/bercerai, dan individu yang kehilangan pasangan akibat kematian) lebih rentan terhadap kesepian daripada individu yang menikah. Namun, ada kecenderungan menunjukkan bahwa individu yang tidak menikah paling kurang merasakan kesepian dibandingkan dengan individu yang berpisah/bercerai dan individu yang kehilangan pasangan akibat kematian. Dengan demikian, kesepian muncul sebagai reaksi atas hilangnya hubungan pernikahan daripada ketiadaan hubungan pernikahan. Individu yang telah


(31)

menikah juga dapat memiliki risiko mengalami kesepian ketika individu merasa tidak bahagia dalam perkawinannya (Demir & Fisiloglu dalam Brehm et al, 2002).

4. Status sosial ekonomi

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan yang rendah cenderung mengalami kesepian lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi.

5. Pendidikan

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) juga melaporkan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang negatif dengan kesepian. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka kecenderungan kesepian yang dirasakan akan semakin rendah; dan sebaliknya. Latar belakang pendidikan ikut mempengaruhi pola pikir serta memperluas wawasan dan cara pandang individu, sehingga individu mampu untuk melihat dari sudut pandang pribadi maupun sudut pandang yang lain secara lebih positif sehingga mampu mengatasi dan mencari solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi (Long et. al dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004).

II. A. 6. Reaksi Terhadap Perasaan Kesepian

Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyimpulkan reaksi-reaksi yang diberikan individu terhadap perasaan kesepian digolongkan kedalam empat kategori yaitu:


(32)

1. Active Solitude

Reaksi terhadap kesepian berupa melakukan kegiatan-kegiatan aktif dan membangun terhadap diri sendiri seperti: belajar atau bekerja, menulis, mendengarkan musik, melakukan olahraga, melakukan hobi, pergi ke bioskop, membaca, memainkan alat musik

2. Social contact

Reaksi terhadap kesepian berupa membuat kontak sosial dengan orang lain seperti: menelepon teman, mengunjungi seseorang

3. Sad passivity

Reaksi terhadap kesepian yang sifatnya pasif seperti: menangis, tidur, duduk dan berpikir, tidak melakukan apapun, makan berlebihan, memakan obat penenang, menonton televisi, mabuk

4. Distractions

Reaksi terhadap kesepian berupa menghabiskan uang dan berbelanja.

II. A. 7. Karakteristik Orang yang Kesepian

Individu yang kesepian memiliki kecenderungan tidak bahagia dan tidak puas dengan keadaan dirinya, memiliki penyesuaian yang buruk dalam interaksi yang dimiliki, menilai orang lain secara negatif, dan biasanya juga dinilai secara negatif oleh orang lain. Christensen & Kashy menyatakan bahwa individu yang kesepian mempersepsikan dirinya secara negatif dan individu yakin bahwa orang lain memiliki pandangan negatif yang sama dengan individu dalam mempersepsikan dirinya (dalam Baron & Bryne, 2000).


(33)

Individu yang kesepian menunjukkan reaksi yang negatif terhadap keterbukaan dalam suatu hubungan (Rotenberg dalam Baron & Bryne, 2000) dan kemampuan interpersonal yang buruk akan semakin menghambat individu untuk dapat menampilkan dirinya (B. Bell, dalam Baron & Bryne, 2000).

Individu yang merasa kesepian cenderung menjadi orang yang pemalu, memiliki kontrol diri yang besar, tertutup, tidak asertif, dan memiliki harga diri yang rendah (Jones et. al, dalam Saks & Krupat, 1988). Karakteristik ini membatasi kesempatan individu untuk membentuk suatu hubungan dan berkontribusi terhadap ketidakpuasan dalam interaksi (Peplau & Perlman dalam Saks & Krupat, 1988). Bila dibandingkan dengan individu yang tidak kesepian, individu yang kesepian memiliki tingkat stress yang lebih tinggi dalam merespon sesuatu dan menilai dirinya sebagai orang yang tidak mampu mewujudkan apa yang dituntutnya dari dirinya sendiri (Hawkley et. al, 2003).

II. B. Pengungkapan Diri

II. B. 1. Pengertian Pengungkapan Diri

Johnson (dalam Supratiknya, 1995) mendefinisikan pengungkapan diri sebagai pengungkapan reaksi atau tanggapan individu terhadap situasi yang sedang individu hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang sesuai atau yang berguna untuk memahami tanggapan individu di masa kini tersebut. Lebih lanjut, Johnson juga mengemukakan bahwa pengungkapan diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan individu terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan orang lain tersebut, atau perasaan individu terhadap kejadian-kejadian yang baru disaksikannya.


(34)

Johnson (dalam Supratiknya, 1995) menambahkan, pengungkapan diri memiliki dua sisi, yaitu bersikap terbuka kepada orang lain dan bersikap terbuka bagi orang lain. Bersikap terbuka kepada orang lain artinya individu bersedia mengungkapkan gagasan dan perasaannya untuk diketahui oleh orang lain sedangkan bersikap terbuka bagi orang lain artinya individu dapat menunjukkan bahwa dirinya memiliki perhatian terhadap gagasan dan perasaan orang lain. Pendapat Johnson ini dapat dijelaskan dalam prinsip timbal balik pengungkapan diri yang dikemukakan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor (dalam Feldman, 1995) yang mengatakan bahwa pengungkapan diri individu biasanya membuat orang lain sebagai lawan bicara ingin mengungkapkan diri juga dalam tingkatan yang sama.

Altman dan Taylor (dalam Taylor, Peplau, Sears, 2002) mengemukakan suatu model untuk menjelaskan bagaimana pengungkapan diri berpengaruh terhadap perkembangan suatu hubungan. Model ini dinamakan penetrasi sosial. Penetrasi sosial memiliki dua dimensi yaitu, kedalaman dan keluasan. Sejalan dengan perkembangan suatu hubungan mulai dari yang dangkal sampai yang sangat akrab, semakin akrab suatu hubungan memperlihatkan tingkat pengungkapan diri yang semakin besar dalam hal kedalaman dan keluasan topik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tingkat pengungkapan diri dalam suatu hubungan dapat mengindikasikan bagaimana kondisi hubungan tersebut.

Taylor, Peplau, Sears (2002) menyatakan bahwa pengungkapan diri merupakan suatu bentuk percakapan dimana individu membagi informasi dan perasaan yang bersifat intim tentang dirinya kepada orang lain. Pengungkapan diri terbagi atas dua jenis, yaitu deskritif dan evaluatif. Pengungkapan diri yang


(35)

bersifat deskritif artinya individu mengungkapkan fakta tentang dirinya yang mungkin belum diketahui oleh lawan bicara seperti: pekerjaan, tempat tinggal, agama, umur. Pengungkapan diri yang bersifat evaluatif artinya individu mengungkapkan pendapat atau perasaan pribadinya seperti: kecemasan terhadap ujian, mengapa individu membenci pekerjaannya. Topik-topik dalam pengungkapan diri dapat berupa informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, serta ide yang sesuai dan terdapat dalam diri individu yang bersangkutan (Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Devito (1986) mendefinisikan pengungkapan diri sebagai salah satu tipe komunikasi dimana informasi tentang diri yang rahasia diberitahukan kepada orang lain dan orang lain akhirnya dapat mengerti informasi tersebut. Menurut Devito, informasi yang diberitahukan baru dapat dikatakan sebagai pengungkapan diri bila pendengar memang tidak mengetahui informasi tersebut sebelumnya.

Hendrick & Hendrick (1992) menyatakan pengungkapan diri berarti memberitahu pasangan tentang pikiran dan perasaan individu untuk menciptakan keterbukaan dalam hubungan pernikahan.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengungkapan diri adalah individu memberitahukan pikiran, perasaan, dan informasi dirinya kepada pasangan sebagai reaksi individu terhadap situasi yang dihadapinya.

II. B. 2. Dimensi-Dimensi Pengungkapan Diri

Pengungkapan diri berbeda-beda bagi setiap individu dalam lima dimensi pengungkapan diri sebagai berikut (Devito, 1986):


(36)

1. Jumlah (amount)

Jumlah dari pengungkapan diri dapat diukur dengan mengetahui frekuensi pengungkapan diri yang dilakukan individu dan juga durasi waktu yang diperlukan untuk mengutarakan pernyataan pengungkapan diri tersebut kepada orang lain. Pengungkapan diri yang baik ditandai dengan frekuensi yang banyak dan hanya membutuhkan sedikit waktu untuk dapat mengutarakan suatu pernyataan yang diinginkan.

2. Valensi (valence)

Valensi merupakan hal-hal positif atau negatif yang dinyatakan dalam pengungkapan diri. Individu dapat mengungkapkan diri mengenai hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, memuji atau menjelekkan hal-hal yang ada dalam dirinya. Pengungkapan diri yang baik melibatkan penyataan hal-hal yang menyenangkan maupun hal-hal yang tidak menyenangkan oleh individu.

3. Ketepatan & kejujuran (accuracy & honesty)

Ketepatan pengungkapan diri individu dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan individu tentang dirinya. Individu yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang dirinya akan dapat mengungkapkan diri dengan lebih tepat. Pengungkapan diri dapat bervariasi jika dilihat dari segi kejujurannya. Individu dapat mengungkapkan hal yang sebenarnya atau cenderung melebih-lebihkan, mengabaikan hal-hal yang penting, atau berbohong. Pengungkapan diri yang baik adalah ketika individu dapat memberikan pernyataan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi informasi sehingga lawan bicara dapat mengetahui situasi dengan akurat.


(37)

4. Maksud (intention)

Kemampuan individu untuk mengungkapkan diri sesuai dengan keluasan yang diinginkan, seberapa besar kesadaran individu dalam mengontrol informasi yang akan diungkapkan kepada orang lain. Pengungkapan diri yang baik ditandai dengan kemampuan individu untuk mengungkapkan diri sesuai dengan seberapa luas informasi yang ingin diungkapkan. Semakin akrab suatu hubungan ditandai dengan semakin luasnya informasi yang diungkapkan. 5. Kedalaman (intimacy)

Seberapa besar kedalaman individu dalam mengungkapkan dirinya, apakah individu hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan atau juga mengungkapkan hal-hal yang bersifat sangat pribadi atau intim. Pengungkapan diri yang baik bagi suatu hubungan akrab adalah individu mampu mengungkapkan hal-hal yang bersifat sangat pribadi dan khusus tentang dirinya.

II. B. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Diri

Devito (1986) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi pengungkapan diri, yaitu:

1. Pengungkapan diri orang lain (the dyadic effect)

Pengungkapan diri orang lain menyatakan secara tidak langsung bahwa dalam proses pengungkapan diri terdapat efek spiral (saling berhubungan) dimana setiap pengungkapan diri individu diterima sebagai stimulus untuk penambahan pengungkapan diri pendengar. Pengungkapan diri diantara kedua individu akan semakin baik jika pendengar bersikap positif dan menguatkan.


(38)

2. Jumlah pendengar

Sejumlah ketakutan yang dimiliki individu dalam mengungkapkan diri membuat pengungkapan diri lebih efektif dilakukan dalam jumlah pendengar yang sedikit. Dalam pengungkapan diri akan lebih mudah bagi individu untuk menghadapi reaksi satu orang daripada reaksi kelompok yang terdiri dari empat atau lima orang. Satu pendengar memudahkan individu dalam mengontrol apakah pengungkapan diri individu harus dilanjutkan atau dihentikan dibandingkan sejumlah pendengar yang memiliki sejumlah respon. Jumlah pendengar lebih dari satu akan menghasilkan variasi respon dan apa yang diungkapkan individu akan dianggap sebagai hal yang umum karena banyak orang yang tahu.

3. Topik

Sidney M. Jourard menyatakan bahwa pengungkapan diri mengenai uang, kepribadiaan, dan fisik lebih jarang dibicarakan daripada tentang minat, sikap dan pendapat, serta pekerjaan.

4. Nilai

Nilai yaitu hal-hal positif atau negatif yang diungkapkan. Pengungkapan diri tentang hal-hal yang positif akan lebih disukai daripada pengungkapan diri tentang hal-hal yang negatif. Hal ini dikuatkan oleh penelitian yang menunjukkan bahwa individu akan mengembangkan ketertarikan pada orang yang memberikan pengungkapan diri yang positif kepada individu.


(39)

5. Jenis kelamin

Secara umum, banyak penelitian yang mengindikasikan bahwa perempuan lebih terbuka daripada laki-laki. Namun, tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam jumlah dan tingkatan pengungkapan diri.

6. Ras, kebangsaan, dan umur

Individu kulit hitam lebih jarang mengungkapkan diri dibandingkan individu kulit putih. Dilihat dari kebangsaan, individu di USA lebih mengungkapkan diri daripada individu di Jerman, Inggris, atau Timur Tengah. Dari usia, pengungkapan diri meningkat pada usia 17-50 tahun dan menurun setelah itu. 7. Hubungan dengan penerima informasi

Seseorang yang menjadi tempat bagi individu untuk mengungkapkan diri akan mempengaruhi kemungkinan dan frekuensi pengungkapan diri. Individu cenderung mengungkapkan diri pada seseorang yang hangat, penuh pemahaman, memberi dukungan, dan mampu menerima individu apa adanya.

Faktor-faktor yang juga mempengaruhi pengungkapan diri, yaitu: 1. Status sosial ekonomi

Mayer (dalam Hendrick & Hendrick, 1992) menemukan bahwa individu dengan status ekonomi menengah keatas lebih mengungkapkan diri daripada individu dengan status ekonomi menengah kebawah. Individu dengan status menengah keatas biasanya mengungkapkan diri secara langsung kepada pasangan dan individu melihat pengungkapan diri sebagai alat untuk memperbaiki hubungan dan mendapatkan pengertian yang objektif bersama pasangan. Individu dengan status ekonomi menengah kebawah melihat pengungkapan diri sebagai alat untuk melontarkan emosi kepada pasangan.


(40)

2. Jenis kelamin

Dari studi yang dilakukan Dindia & Allen menemukan bahwa perempuan lebih mengungkapkan diri daripada laki-laki. Meskipun demikian, tidak berarti laki-laki kurang ekspresif disetiap waktu. Dalam pernikahan, perempuan dan laki-laki menunjukkan tingkat pengungkapan diri yang sama dengan kecenderungan topik yang berbeda. Perempuan lebih suka mengungkapkan kelemahannya, sedangkan laki-laki lebih cenderung mengungkapkan kekuatannya. Perempuan mengungkapkan topik-topik feminim seperti: pendapat mengenai penampilannya. Laki-laki mengungkapkan topik-topik maskulin seperti: ketika individu mengambil risiko. Pengungkapan diri individu yang tinggi menyebabkan pasangan semakin ingin mengungkapkan dirinya (Feldman, 1995).

II. B. 4. Fungsi Pengungkapan Diri

Menurut Derlega & Grzelak (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) ada lima fungsi pengungkapan diri, yaitu:

1. Ekspresi

Individu dapat saja mengalami kekecewaan atau kegembiraan dalam menjalani kehidupan dan individu akan merasa senang ketika menceritakannya pada orang yang sudah dipercaya. Dengan pengungkapan diri, individu mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan.

2. Penjernihan diri

Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan masalah yang sedang dihadapi, individu berharap memperoleh penjelasan dan pemahaman orang lain akan


(41)

masalah yang sedang dihadapinya sehingga pikiran individu menjadi lebih jernih dan dapat melihat inti persoalan.

3. Keabsahan sosial

Setelah individu membicarakan sesuatu pendengar biasanya akan memberikan tanggapan. Dengan demikian, individu akan mendapatkan informasi yang bermanfaat tentang kebenaran pandangan individu. Individu dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya.

4. Kendali sosial

Individu dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang dirinya untuk mengadakan kontrol sosial misalnya, individu akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan yang baik tentang dirinya.

5. Perkembangan hubungan

Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kepada orang lain serta saling mempercayai penting dalam merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan derajat keakraban.

II. B. 5. Prinsip-Prinsip Pengungkapan Diri

Beebe, Beebe, & Redmond (dalam McLean, 2005) mengemukakan lima prinsip pengungkapan diri yang digunakan dalam berinteraksi, yaitu:

1. Pengungkapan diri bergerak dalam langkah-langkah kecil

Individu biasanya mengungkapkan sedikit informasi tentang dirinya pada awal interaksi. Ketika kepercayaan individu meningkat, informasi yang diungkapkan akan semakin banyak. Kepercayaan yang diperoleh pada setiap kali melakukan pengungkapan diri akan mempengaruhi jumlah waktu yang


(42)

dihabiskan dalam berinteraksi apakah semakin meningkat atau semakin menurun dan akan mempengaruhi apakah hubungan akan diteruskan atau dihentikan

2. Pengungkapan diri bergerak dari informasi yang sifatnya permukaan ke informasi yang sifatnya intim

Menurut Altman & Taylor dalam teori penetrasi sosial, informasi dalam pengungkapan diri bergerak dari informasi yang sifatnya permukaan kepada informasi yang sifatnya intim.

3. Proses pengungkapan diri adalah saling timbal balik

Individu cenderung memiliki harapan bahwa orang lain akan mengungkapkan dirinya juga ketika individu mengungkapkan dirinya dalam proses interaksi yang ada. Dalam proses interaksi ini, pengungkapan diri masing-masing individu akan mengurangi ketidakpastian dan menolong individu untuk saling mengenal.

4. Pengungkapan diri melibatkan risiko

Dengan mengungkapkan informasi tentang diri maka individu telah membuka dirinya kepada orang lain pada suatu tingkatan. Individu harus menyadari bahwa akan ada risiko penolakan saat pengungkapan diri terjadi, tetapi tanpa pengungkapan diri individu sulit untuk mengetahui dan mempercayai orang lain.

5. Pengungkapan diri membutuhkan kepercayaan

Kepercayaan merupakan kemampuan untuk merasa aman pada seseorang. Kepercayaan melibatkan pemahaman dan kepastian terhadap seseorang


(43)

sehingga individu mau mengungkapkan dirinya. Kepercayaan didapatkan melalui proses yang diperoleh seiring dengan berjalannya suatu hubungan.

II. B. 6. Manfaat Pengungkapan Diri

Devito (1986) megemukakan enam manfaat pengungkapan diri, yaitu: 1. Pengetahuan diri

Pengungkapan diri membuat individu mendapatkan perspektif baru tentang dirinya dan pemahaman yang lebih baik tentang perilakunya.

2. Kemampuan mengatasi kesulitan

Melalui pengungkapan diri individu akan lebih mampu menanggulangi masalah atau kesulitan, khususnya perasaan bersalah. Salah satu ketakutan pada individu adalah tidak diterima lingkungan karena sesuatu yang pernah individu lakukan, perasaan dan/atau sikap tertentu yang dimiliki. Individu percaya hal itu menjadi dasar penolakan sehingga individu membangun rasa bersalah. Dengan mengungkapkan perasaan sebenarnya dan menerima dukungan, individu menjadi lebih siap untuk mengatasi perasaan bersalahnya. Penerimaan diri akan sulit tanpa pengungkapan diri. Jika individu merasa ditolak, maka individu cenderung menolak dirinya juga. Melalui pengungkapan diri dan dukungan yang didapat, individu akan menempatkan dirinya pada posisi yang lebih baik dan lebih mungkin mengembangkan konsep diri yang positif.

3. Pelepasan energi

Menyimpan suatu rahasia dan tidak mengungkapkannya membutuhkan energi yang lebih banyak untuk hidup. Dalam kondisi rahasia, individu selalu


(44)

berjaga-jaga agar rahasia tersebut tidak terbongkar. Dengan mengungkapkan diri, individu membebaskan diri dari topeng yang dipakainya.

4. Komunikasi yang efektif

Pengungkapan diri dapat memperbaiki komunikasi. Individu dapat memahami pesan orang lain ketika individu memahami orang tersebut secara individual sehingga individu tahu apakah orang itu sedang serius atau sedang bercanda. Pengungkapan diri adalah kondisi yang penting untuk mengenal orang lain. Individu dapat hidup bersama seseorang selama bertahun-tahun, tetapi jika orang itu tidak pernah mengungkapkan dirinya, individu tidak akan memahami orang itu sebagai pribadi yang utuh.

5. Kedalaman hubungan

Pengungkapan diri penting untuk membina hubungan yang bermakna diantara dua orang. Melalui pengungkapan diri, individu memberitahu orang lain bahwa individu mempercayai orang tersebut, menghargainya, serta peduli terhadap orang dan hubungan tersebut. Kondisi ini akan membuat orang lain mau membuka diri dan terbentuklah awal dari suatu hubungan yang bermakna yaitu suatu hubungan yang jujur dan terbuka bukan sekadar hubungan seadanya.

6. Kesehatan psikologis

Penelitian yang dilakukan James Pennebacker menyimpulkan bahwa orang yang mengungkapkan diri lebih sulit untuk terkena penyakit daripada yang tidak. Pengungkapan diri dapat melindungi tubuh dari stress. Contohnya, individu yang kehilangan pasangan lebih rentan terhadap penyakit bila tidak mengungkapkan diri dengan berbagi kesedihan bersama orang lain.


(45)

II. B. 7 Bahaya Pengungkapan Diri

Risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam pengungkapan diri (Devito, 1986):

1. Penolakan pribadi dan sosial

Individu biasanya mengungkapkan diri pada seseorang yang individu percaya atau yang bersikap mendukung pengungkapan dirinya. Saat individu mengungkapkan diri, ada kemungkinan individu mengalami penolakan.

2. Kerugian material

Pengungkapan diri dapat menyebabkan kerugian material. Contohnya, seorang guru yang mengungkapkan bahwa ia pernah bertindak tidak senonoh pada muridnya mungkin akan dijauhi rekan-rekannya.

3. Kesulitan intrapribadi

Bila reaksi orang lain tidak seperti yang individu perkirakan dapat terjadi kesulitan intrapribadi. Apabila individu ditolak dan bukan didukung, individu harus memikirkan reaksi terhadap penolakan tersebut. Sebagian individu dapat bangkit dari akibat penolakan, namun ada juga individu yang terus menerus memikirkan penolakan tersebut.


(46)

II. C. Hubungan antara Pengungkapan Diri terhadap Pasangan dengan Kesepian pada Individu yang Menikah

Pernikahan adalah komitmen bersama antara dua individu yang dibuat untuk diakui oleh masyarakat atau individu lain sebagai suatu kesatuan yang stabil, pasangan suami isteri, dan keluarga (Corsini, 2002).

Pernikahan merupakan ikatan yang bersifat permanen sehingga hubungan suami isteri perlu dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan. Pasangan memerlukan kesiapan untuk terus menerus berupaya mewujudkan pernikahan sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan (Gunarsa, 2002).

Pasangan suami isteri akan menghadapi berbagai masalah dalam memelihara hubungan. Masalah dalam pernikahan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Setiap individu memiliki pengalaman-pengalaman, memori, dan cara bertingkah laku dimasa lalu yang akan mempengaruhi cara individu memandang dan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, pasangan suami isteri perlu mengungkapkan diri untuk mencari titik temu sehingga permasalahan dapat diselesaikan (Sadarjoen, 2005).

Pengungkapan diri berarti individu memberitahu pasangan tentang pikiran dan perasaannya untuk menciptakan keterbukaan dalam hubungan pernikahan (Hendrick & Hendrick, 1992). Semakin baik suatu hubungan maka individu semakin terbuka untuk mengungkapkan dirinya sehingga semakin benar persepsi individu tentang pasangan dan tentang dirinya (Jalaludin, 2003).

Proses timbal balik menjadi hal yang penting dalam pengungkapan diri. Individu akan lebih menyukai pasangan yang mampu mengungkapkan diri dan mau menerima pengungkapan diri individu (Sears, Freedman, Peplau, 1999).


(47)

Pengungkapan diri yang mendapat respon positif berupa simpati dari pasangan membuat individu merasa dimengerti, diakui, dan dipedulikan oleh pasangan. Dalam keadaan seperti ini, pengungkapan diri membuat individu dan pasangan dapat semakin saling mengenal serta memiliki kesempatan untuk membentuk keakraban yang diharapkan (Taylor, Sears, Peplau, 2002).

Individu yang merasa tidak mendapat dukungan saat melakukan pengungkapan diri akan cenderung membatasi perilaku pengungkapan dirinya (Devito, 1986). Kondisi ini juga dapat membuat pola pengungkapan diri semakin memburuk yang ditandai dengan adanya penurunan dalam keluasan dan kedalaman pengungkapan diri (Baxter dalam Weiten & Lloyd, 2006).

Hambatan yang dialami individu saat ingin mengungkapkan diri adalah rasa tidak aman. Individu mencemaskan isi pesan yang disampaikan akan digunakan untuk merendahkan atau melawan individu. Pengungkapan diri yang mampu membuat individu yakin bahwa pasangan melihat dirinya dengan cara yang sama seperti individu melihat dirinya akan menghasilkan keakraban diantara pasangan (Sadarjoen, 2005).

Jourard menyatakan adalah hal yang memuaskan ketika individu dan pasangan dapat saling mengungkapkan diri. Kemampuan individu untuk mengungkapkan diri akan dapat membentuk keakraban yang diharapkan sedangkan ketidakmampuan individu untuk membentuk keakraban yang diharapkan bersama pasangan melalui pengungkapan diri akan membuat individu merasa kesepian (Myers, 1999).

Menurut Perlman & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) kesepian adalah perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya kesenjangan


(48)

antara hubungan sosial yang diharapkan dengan hubungan sosial yang dimiliki. Individu yang menikah dapat merasa kesepian ketika individu merasakan ketidakpuasan dalam hubungan pernikahan yang dijalaninya dimana individu belum mendapatkan keakraban yang diharapkannya.

Kesepian yang dirasakan terhadap pasangan membuat individu kurang memiliki pertemuan kontak psikis dengan pasangan sehingga tidak dapat membentuk keserasian psikis. Kerenggangan kontak psikis membuat individu dan pasangan memilih jalan hidupnya masing-masing walaupun tinggal bersama (Gunarsa, 2003).

Dampak dari kesepian yang dirasakan adalah keretakan terhadap kesatuan pasangan suami isteri. Tidak adanya kesatuan dalam hubungan suami isteri berarti tidak adanya kehidupan yang dinikmati bersama yang menjadi sumber kebahagiaan. Pengalaman kesepian ini dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan individu memandang dirinya sebagai seseorang yang telah mengalami kegagalan dalam pernikahan dan dapat menimbulkan kemerosotan harga diri (Sears, Freedman, Peplau, 1999).


(49)

II. D. Kerangka Berpikir Penelitian

Keterangan garis:

: terdapat : memerlukan

: menyebabkan

II. E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesa dalam penelitian ini adalah ”ada hubungan negatif antara pengungkapan diri terhadap pasangan dengan kesepian pada individu yang menikah.”

Pernikahan

Masalah-masalah yang harus dihadapi

Pengungkapan Diri


(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel (Hadi, 2000). Dalam bab ini akan diuraikan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel, populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, serta metode analisis data.

III. A. Identifikasi Variabel Penelitian

Untuk dapat menguji hipotesis penelitian terlebih dahulu diidentifikasi variabel-variabel penelitian. Identifikasi variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel tergantung : kesepian

2. Variabel bebas : pengungkapan diri

III. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian III. B. 1. Kesepian

Kesepian adalah perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya kesenjangan antara hubungan yang diharapkan dengan hubungan yang dimiliki bersama pasangan.

Kesepian dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala kesepian yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan perasaan-perasaan kesepian yang dikemukakan oleh Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002)


(51)

yaitu: desperation, impatient-boredom, self-deprecation, dan depression. Semakin tinggi skor skala kesepian yang diperoleh subjek penelitian menunjukkan semakin tinggi tingkat kesepian yang dirasakannya dan sebaliknya semakin rendah skor skala kesepian yang diperoleh subjek penelitian menunjukkan semakin rendah tingkat kesepian yang dirasakannya.

Penggolongan subjek penelitian dibagi kedalam tiga kategori yaitu: individu yang memiliki tingkat kesepian tinggi, individu yang memiliki tingkat kesepian sedang, dan individu yang memiliki tingkat kesepian rendah. Rumusan yang digunakan adalah sebagai berikut (Azwar, 2000):

Tabel 2

Pengkategorisasian Kesepian

X ≥ M + 1 SD Tinggi

M + 1 SD < X ≤ M − 1 SD Sedang M − 1 SD < X Rendah Keterangan: M : Mean

SD : Standar Deviasi

III. B. 2. Pengungkapan diri

Pengungkapan diri adalah individu memberitahukan pikiran, perasaan, dan informasi dirinya kepada pasangan sebagai reaksi individu terhadap situasi yang dihadapinya.

Pengungkapan diri dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan skala pengungkapan diri yang dikembangkan peneliti berdasarkan dimensi-dimensi pengungkapan diri yang dikemukakan oleh Devito (1986) terdiri dari: jumlah (amount), valensi (valence), ketepatan/kejujuran (accuracy/honesty),


(52)

Semakin tinggi skor skala pengungkapan diri yang diperoleh subjek penelitian maka semakin baik pengungkapan dirinya. Sebaliknya, semakin rendah skor skala pengungkapan diri yang diperoleh subjek penelitian menunjukkan semakin buruk pengungkapan dirinya.

Penggolongan subjek penelitian dibagi kedalam tiga kategori yaitu: individu yang memiliki pengungkapan diri baik, individu yang memiliki pengungkapan diri sedang, dan individu yang memiliki pengungkapan diri buruk. Rumusan yang digunakan adalah sebagai berikut (Azwar, 2000):

Tabel 3

Pengkategorisasian Pengungkapan Diri

X ≥ M + 1 SD Baik

M + 1 SD < X ≤ M − 1 SD Sedang M − 1 SD < X Buruk Keterangan: M : Mean

SD : Standar Deviasi

Setelah dijelaskan definisi operasional variabel kesepian dan variabel pengungkapan diri maka berikut ini akan dijelaskan definisi operasional untuk data tambahan:

a. Jenis Kelamin

Studi tentang kesepian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesepian antara laki-laki dan perempuan. Namun, laki-laki lebih sulit daripada perempuan untuk menyatakan secara terbuka bahwa mereka mengalami kesepian (Brehm et al, 2002). Jenis kelamin dalam penelitian ini diidentifikasikan terdiri dari laki-laki dan perempuan.


(53)

b. Usia

Perlman (dalam Brehm et al, 2002) menunjukkan bahwa individu yang paling merasa kesepian berada pada usia dewasa dini dimana kesepian akan menurun seiring dengan bertambahnya usia dan meningkat kembali ketika individu memasuki usia lansia. Usia dalam penelitian ini akan dikelompokkan dalam 5 kelas dengan panjang kelas 10 yaitu: 20-29, 30-39, 40-49, 50-59, dan 60-69. c. Status Pernikahan

Status pernikahan merupakan keadaan apakah individu sudah menikah atau belum menikah. Dalam penelitian ini, individu yang dijadikan sampel adalah individu yang sudah menikah. Individu yang menikah tersebut masih terikat dalam lembaga pernikahan dan memiliki pasangan yang masih hidup.

d. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan tingkat penghasilan individu. Individu yang memiliki tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami kesepian lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi (Weiss dalam Brehm et al, 2002). Status sosial ekonomi akan dilibatkan dalam penelitian ini dengan mendata status pekerjaan dan penghasilan subjek penelitian. Penghasilan subjek akan dibagi menjadi 4 yaitu subjek dengan tingkat penghasilan Rp < 700.000,-, subjek dengan tingkat penghasilan Rp 700.001,- s/d Rp 1.500.000,-, subjek dengan tingkat penghasilan Rp 1.500.001,- s/d Rp 3.500.000,-, dan subjek dengan tingkat penghasilan Rp > 3.500.001,-.


(54)

e. Pendidikan

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) juga melaporkan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang negatif dengan kesepian. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka kecenderungan kesepian yang dirasakan akan semakin rendah; dan sebaliknya. Penelitian ini akan mendata tingkat pendidikan subjek penelitian mulai dari tingkat pendidikan minimal Sekolah Dasar (SD) sampai tingkat Pascasarjana (S2).

III. C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel III. C. 1. Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel yang dipakai dalam penelitian merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah semua individu untuk siapa hasil penelitian ini akan digeneralisasikan (Hadi, 2000). Adapun karakteristik populasi yang akan diteliti:

a. Masih dalam ikatan pernikahan dan pasangan masih hidup b. Berada dalam rentang usia 20-69 tahun

c. Tingkat pendidikan minimal Sekolah Dasar (SD) d. Tinggal di kota Medan

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka penulis hanya memilih sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian yang disebut dengan sampel (Hadi, 2000). Karakteristik sampel yang digunakan sama dengan karakteristik populasi. Mengenai jumlah sampel tidak ada batasan berapa jumlah ideal yang seharusnya dalam suatu penelitian. Menurut Azwar (2000), statistika menganggap bahwa sampel yang


(55)

lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Semakin banyak jumlah sampel akan semakin baik karena diharapkan dapat diperoleh skor-skor yang variasinya menyebar secara normal. Jumlah subjek yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 orang.

III. C. 2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang dapat mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik nonrandom secara incidental yang berarti setiap anggota populasi tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel dimana pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian (Hadi, 2000).

Menurut Hadi (2000) teknik incidental sampling memiliki kelebihan dan kelemahan di dalam membuat kesimpulan dari suatu penelitian. Kelebihan teknik ini adalah kemudahan di dalam menemukan sampel, menghemat waktu, tenaga, biaya, dan adanya keterandalan subjektifitas peneliti yaitu kemampuan peneliti untuk melihat bahwa subjek yang dipilih sudah sesuai dengan karakteristik subjek penelitian yang telah ditetapkan. Namun, kelemahan teknik ini adalah tidak dapat memberikan taraf keyakinan yang tinggi sehingga sulit untuk menarik kesimpulan ataupun mengeneralisasikannya ke populasi lain. Selain itu, keterandalan


(56)

subjektifitas peneliti juga memiliki risiko kemungkinan terjadinya bias dalam pemilihan sampel.

III. D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala psikologi yang berbentuk skala Likert dengan empat pilihan jawaban. Skala psikologi digunakan mengingat bahwa data yang ingin diukur berupa konstrak atau konsep psikologi yang ingin diungkap secara tidak langsung melalui aspek-aspek perilaku yang diterjemahkan dalam butir-butir pernyataan. Skala psikologis memiliki kelebihan sebagai berikut (Hadi, 2000): 1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya

2. Apa yang dikatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya 3. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sama dengan

apa yang dimaksudkan peneliti

Penelitian ini menggunakan dua buah skala psikologi yaitu: skala kesepian dan skala pengungkapan diri. Selain itu, peneliti juga menyediakan lembaran untuk memperoleh data diri subjek tentang jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan penghasilan individu per bulan.

III.D.1. Skala Kesepian

Skala kesepian dikembangkan oleh peneliti berdasarkan perasaan-perasaan kesepian yang dikemukakan oleh Rubenstein, Shaver, dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002) yaitu: desperation, impatient-boredom, self-deprecation, dan


(57)

unfavourable dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Penilaian skala untuk aitem

favourable adalah nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Sesuai (S), nilai 2 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS) dan nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). Penilaian skala untuk aitem unfavourable adalah nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS), nilai 2 untuk pilihan jawaban Sesuai (S), dan nilai 1 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS).

Tabel 4

Blue Print Skala Kesepian Sebelum Uji Coba

N o Perasaan-perasaan Kesepian Aitem Jlh % Favourable Unfavourable

Nomor Jlh Nomor Jlh 1. Desperation

a. Putus asa b. Tidak berdaya c. Takut/khawatir d. Tidak memiliki

harapan e. Merasa

ditinggalkan/dibuang f. Merasa diejek

9, 13 14, 41 10, 42 46, 57 11, 58 3, 71 2 2 2 2 2 2 4, 21 1, 30 2, 22 15, 43 31, 82 59, 83 2 2 2 2 2 2

24 24

2. Impatient-boredom

a. Tidak sabar b. Bosan

c. Ingin berada ditempat lain

d. Gelisah e. Marah f. Tidak dapat

berkonsentrasi 5, 12 47, 72 6, 48 8, 32 40, 73 25, 84 2 2 2 2 2 2 44, 60 45, 61 23, 62 24, 63 7, 81 33, 56 2 2 2 2 2 2

24 24

3. Self-deprecation

a. Merasa diri tidak menarik

b. Rendah diri c. Merasa bodoh d. Malu

e. Merasa tidak aman

39, 85 26, 29 86, 99 38, 74 20, 49 2 2 2 2 2 64, 87 55, 88 19, 34 65, 80 54, 89 2 2 2 2 2


(58)

4. Depression

a. Sedih

b. Tidak semangat c. Merasa kosong d. Terkucil e. Menyesali diri f. Murung g. Merasa asing

h. Rindu seseorang yang istimewa 27, 35 50, 66 67, 75 70, 100 68, 76 69, 75 28, 36 37, 93 2 2 2 2 2 2 2 2 90, 98 16, 79 17, 53 91, 97 78, 96 52, 92 77, 94 18, 51 2 2 2 2 2 2 2 2

32 32

Total 50 50 100 100

III.D.2 Skala Pengungkapan Diri

Skala pengungkapan diri dikembangkan peneliti berdasarkan dimensi-dimensi pengungkapan diri yang dikemukakan oleh Devito (1986) yaitu: jumlah

(amount), valensi (valence), ketepatan/kejujuran (accuracy/honesty), maksud

(intention), dan kedalaman (intimacy).

Skala ini berbentuk skala likert yang terdiri dari aitem favourable dan

unfavourable dengan empat pilihan jawaban. Untuk dimensi valensi (valence),

ketepatan/kejujuran (accuracy/honesty), maksud (intention), dan kedalaman

(intimacy) pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Penilaian skala untuk aitem favourable

adalah nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Sesuai (S), nilai 2 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS) dan nilai 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). Penilaian skala untuk aitem

unfavourable adalah nilai 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS), nilai 3 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS), nilai 2 untuk pilihan jawaban Sesuai (S) dan nilai 1 untuk pilihan Sangat Sesuai (SS).

Khusus untuk dimensi jumlah (amount), pilihan jawaban yang tersedia adalah Selalu (SL), Sering (S), Kadang-kadang (K), dan Tidak Pernah (TP).


(1)

kekuatannya. Perempuan mengungkapkan topik-topik seperti: penampilan fisik, sedangkan laki-laki mengungkapkan topik-topik seperti: pengambilan risiko (dalam Feldman, 1995).

V. C. Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini maka ada beberapa saran yang diberikan peneliti untuk menyempurnakan penelitian selanjutnya, antara lain:

1. Saran metodologis

a. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan sampel dengan proporsi yang merata.

b. Penelitian ini tidak membuktikan bahwa status sosial ekonomi memiliki perbedaan yang signifikan terhadap perasaan kesepian seperti penelitian yang dilakukan Weiss (dalam Brehm et al, 2002). Penelitian selanjutnya dapat meneliti kesepian berdasarkan status sosial ekonomi individu menikah untuk melihat perubahan yang mungkin sudah terjadi.

c. Penelitian selanjutnya dapat meneliti faktor-faktor lain yang juga memberikan kontribusi terhadap kesepian individu menikah. Faktor-faktor penyebab lainnya seperti: harga diri atau atribusi penyebab (Brehm et al, 2002).

2. Saran praktis

a. Individu harus menyadari pentingnya pengungkapan diri dalam hubungan pernikahan sehingga peneliti menyarankan individu untuk melakukan pengungkapan diri kepada pasangan. Pengungkapan diri merupakan proses


(2)

yang timbal balik. Individu dengan pasangan yang sulit untuk mengungkapkan diri dapat terlebih dahulu memulai melakukan pengungkapan diri sehingga pasangan terstimulasi untuk mengungkapkan diri juga.

b. Individu menikah yang sedang mengalami kesepian diharapkan segera memperbaiki kondisi hubungan dengan pasangan yaitu mulai membuka diri melalui pengungkapan diri.

c. Bagi individu yang akan menikah hendaknya mulai mengembangkan pengungkapan diri yang baik bersama pasangan sehingga kondisi pengungkapan diri yang baik sebelum menikah dapat diteruskan setelah menikah.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2000. Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Azwar, S. 2002. Skala Sikap. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Azwar, S. 2002. Reliabilitas & Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Baron, R., A. & Bryne, D. 2000. Social Psychology 9th edition. Massachusetts: Pearson Education Company.

Basow, S. 1992. Gender, Stereotype, & Role. California: Brooks-Cole Publishing Company.

Brehm, S. S., Campbell, S. M., Miller, R. S., Perlman, D. 2002. Intimate Relationships 3th edition. New York: McGraw Hill

Brunell, B, A. Pilkington, J, C. Webster, D, G. 2007. Perceptions of Risk in Intimacy in Dating Couples: Conversation and Relationship Quality. The Journal of Social and Clinical Psychology. http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1253012031&sid=1&Fmt=3&clientI

d=63928&RQT=309&VName=PQD. Tanggal akses 10 Juli 2007.

Corsini, R. 2002. The Dictionary of Psychology. New York:Brunner-Routledge.

Dayakisni, T.& Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial edisi revisi. Malang: UMM Press.

Devito, J, A. 1986. The Interpersonal Communication Book 4th edition. Harper: Harper & Row Publisher.

Fisiloglu, H, Demir, A. 1999. Loneliness And Marital Adjustment of Turkish

Couples. The Journal of Psychology. http://proquest.umi.com/pqsweb/did=40318940&sid=1&Fmt=3&clientId=6


(4)

Feldman, S, R. 1995. Social Psychology. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Gunarsa, D, S, Y. 2002. Asas-Asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta: PT. BPK GM.

Gunarsa, D, S, Y. 2003. Psikologi untuk Keluarga. Jakarta: PT. BPK GM.

Hadi, S. (2000). Metodologi Research (Jilid 1). Yogyakarta: Andi Offset.

(2000). Metodologi Research (Jilid 2). Yogyakarta: Andi Offset.

(2000). Metodologi Research (Jilid 3). Yogyakarta: Andi Offset.

Hawkley, C, L. Berntson, G, G. Burleson, M ,H. Cacioppo, J, T. 2003. Loneliness in Everyday Life: Cardiovaskular Activity, Psychosocial, Context, and Health Behaviors. The Journal of Personality and Social Psychology by American Psychological Association Vol. 85 No. 1. Tanggal akses: 02 September 2007.

Hendrick, C, Hendrick, S. 1992. Liking, Loving, and Relating 2th edition. California: Brooks Company Pacific Grove.

Hurlock, E. B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Masa Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kito, M. 2005. Self-Disclosure in Romantic Relationships Among American and Japanese College Students. The Journal of Social Psychology. http://proquest.umi.com/pqdweb?did=819880491&sid=1&Fmt=4&clientI d=63928&RQT=309&VName=PQD. Tanggal akses 10 Juli 2007.

Laswell, M. & Laswell, T. 1987. Marriage and The Family 2nd edition. California: Wad Sworth Publishing Company.

Langdridge, D. 2004. Research Methods & Data Analysis in Psychology. England: Pearson Prentice Hall.


(5)

Mathias, H. 1994. Membina Hubungan Antarpribadi: Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan, dan Cinta Menurut Gabriel Marcel. Yogyakarta: Kanisius.

McLean, S. 2005. The Basic of Interpersonal Communication. United States of America: Pearson Education Inc.

Myers, D, G. 1999. Social Psychology 5th edition. New York: McGraw Hill

Pujiastuti, E & Retnowati, S. 2004. Kepuasan Pernikahan dengan Depresi pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja. Indonesian Psychological Journal Vol. 1 No. 2. Tanggal akses: 10 Mei 2007

Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sadarjoen, S. 2005. Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual, dan Alternatif Solusinya. Bandung: PT. Refika Aditama

Saks & Krupat 1988. Social Psychology and Its Application. New York: Harper & Row.

Sears, O, D. Freedman, L, J. Peplau, A, L. 1999. Psikologi Sosial Jilid 1 Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Strong, B. & DeVault, C. 1995. The Marriage and Family Experience 6th edition. St. Paul: West Publishing Company.

Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antarpribadi: Tinjauan Psikologi. Yogyakarta: Kanisius.

Taylor, E, S, Peplau, A, L, Sears, O, D. 2002. Social Psychology 10thedition. United States of America: Prentice-Hall Inc.


(6)

Tubbs, L, S. 2003. Human Communication: Principles & Contexts 9th edition. New York: McGraw Hill.

Wahlroos, S. 2002. Komunikasi Keluarga: Panduan Menuju Kesehatan Emosional & Hubungan Antarpribadi yang Lebih Harmonis. Jakarta: PT. BPK GM.

Weiten, W. & Lloyd, A, M. 2006. Psychology Applied to Modern Life: Adjusment in 21st century 8thedition. Thomson: Wadsworth.