12
sebatas pada analisis unsur-unsur di dalam karya sastra, sehingga kreativitas dan imajinasi siswa kurang berkembang secara optimal.
Salah satu materi pembelajaran sastra di jenjang SMP adalah apresiasi cerpen dan fabel. Kedua materi pembelajaran tersebut akan menjadi fokus dalam
penelitian ini. Effendi melalui Sayuti, 2000: 3 menyatakan bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh
sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Dalam kegiatan apresiasi terdapat
beberapa tahapan yakni merasakan, membayangkan, memikirkan, dan mencipta karya sastra.
Cerpen merupakan salah satu jenis prosa naratif yang relatif pendek dan memiliki satu insiden tunggal. Cerpen sebagai suatu karya fiksi memiliki unsur-
unsur pembangun yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik. Pada penelitian ini, unsur yang difokuskan dalam mengembangkan modul apresiasi cerpen dan fabel adalah
unsur intrinsik. Berikut ini merupakan unsur intrinsik yang dimaksud. a. Tema
Tema merupakan makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Selain berfungsi memberikan kontribusi bagi elemen struktural lain seperti plot, tokoh,
dan latar; tema juga berfungsi menjadi elemen penyatu terakhir bagi keseluruhan fiksi. Pengarang menciptakan dan membentuk plot, membawa tokohnya menjadi
ada, baik secara sadar maupun tidak, eksplisit maupun implisit, pada dasarnya merupakan perilaku responsifnya terhadap tema yang telah dipilih dan telah
mengarahkannya Sayuti, 2000:187-192.
13
b. Plotalur Plotalur dapat diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan
dalam suatu rangkaian tertentu, yang disusun oleh penulisnya berdasarkan hubungan-hubungan kausalitasnya. Secara garis besar, plot dibagi menjadi tiga
bagian yakni awal, tengah, dan akhir. Namun, struktur plot tersebut dapat dirinci lagi ke dalam bagian-bagian kecil lainnya Sayuti, 2000: 31-32.
c. Latar Latar merupakan elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita di mana
dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung. Secara garis besar, latar dibedakan menjadi tiga bagian yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial
Sayuti, 2000: 126-127. d. Tokoh dan penokohan
Tokoh merupakan orang atau pelaku yang ada dalam cerita. Tokoh berbeda dengan penokohan. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita Nurgiyantoro, 2012: 165. Penokohan dapat digambarkan melalui dua teknik, yakni teknik analitik dan
dramatik. e. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya Nurgiyantoro,
2012: 248. Sudut pandang dibedakan menjadi sudut pandang persona pertama dan sudut pandang persona ketiga.
14
f. Amanat
Amanat moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat
diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca Kenny melalui Nurgiyantoro, 2012: 321.
Fabel atau cerita binatang merupakan salah satu jenis dongeng yang mengisahkan tentang kehidupan binatang berwatakkan seperti manusia Nursisto,
2000: 46. Fabel termasuk jenis cerita fiksi, bukan kisah tentang kehidupan nyata. Cerita fabel sering juga disebut cerita moral karena pesan yang ada di dalam cerita
fabel berkaitan erat dengan moral. Pendapat lain mengatakan bahwa “a fable is a short tale used to teach a moral lesson, often with animals as characters. They are
distinguished from other narrative genres because they offer a moral that is stated explicitly at the end” Wong, 2002: 26.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa fabel adalah salah satu cerita dongeng dengan tokoh binatang yang memiliki karakter seperti
manusia, di dalamnya mengandung pelajaran moral yang ingin disampaikan.
3. Model Sinektik
Model sinektik merupakan pendekatan yang sangat menarik dan menyenangkan dalam mengembangkan inovasi-inovasi. Model ini dirancang oleh
William J. Gordon. Elemen utama dalam sinektik adalah penggunaan analogi Joyce, 2009: 248. Sinektik berasal dari bahasa Greek “Synectikos”, synectics
Inggris yang berarti menghubungkan atau menyambung Suryaman dalam
15
Endraswara, 2005: 97. Di dalam model sinektik, siswa diajak untuk bermain dengan analogi-analogi sehingga mereka dapat menikmati tugasnya dengan
membuat perbandingan-perbandingan sesuai dengan imajinasinya. Penggunaan analogi-analogi tersebut untuk memecahkan masalah dan memunculkan ide-ide
baru yang menarik. Menurut Gordon melalui Joyce, 2009: 254-256, dalam model sinektik
terdapat tiga teknik yaitu 1 analogi personal, 2 analogi langsung, 3 konflik padat. Analogi personal mengharuskan siswa untuk berempati pada gagasan-
gagasan atau subjek-subjek yang dibandingkan. Siswa harus merasa bahwa mereka menjadi bagian dari unsur fisik dari masalah tersebut. Identifikasi untuk
analogi ini diterapkan pada orang, tumbuhan, hewan, atau benda-benda mati. Misalnya saja siswa diminta “menjadi seekor katak, apa yang kalian rasakan?”.
Hakikat analogi personal adalah keterlibatan empatik. Analogi personal mengharuskan lepasnya identitas diri sendiri menuju ruang atau objek lain. Hal ini
hanya dapat dilakukan jika siswa lebih kreatif dan inovatif membuat analogi tersebut.
Analogi langsung merupakan perbandingan dua objek atau konsep. Perbandingan tidak harus identik dalam segala hal. Fungsinya cukup sederhana,
yaitu untuk mentransposisikan kondisi-kondisi topik atau situasi permasalahan yang asli pada situasi lain untuk menghadirkan pandangan baru tentang gagasan
atau masalah. Hal ini melibatkan identifikasi pada orang, tumbuhan, hewan, atau benda mati.
16
Teknik yang ketiga adalah konflik padat, yang didefinisikan sebagai frasa yang terdiri dari dua kata di mana kata-kata tersebut tampak berlawanan dengan
kata yang lain. Mi salnya saja “agresif yang lesu”, “perlawanan yang aman”.
Menurut Gordon, konflik padat menyediakan wawasan luas dalam subjek yang baru. Konflik-konflik tersebut merefleksikan kemampuan siswa dalam
memasukkan dua kerangka rujukan dengan tetap berpedoman pada satu subjek Joyce, 2009: 254-256.
Model sinektik dapat diterapkan pada semua bidang kurikulum, baik sains maupun seni Joyce, 2009: 269. Dalam bidang sastra, penerapan model ini
seperti yang diuraikan oleh Endraswara 2005: 97-98 yaitu 1 pada teknik analogi personal, subjek didik diajak mengidentifikasi unsur-unsur masalah yang
ada di dalam sastra. mereka diminta merasakan bagaimana seandainya menjadi sastrawan besar, menjadi penulis sebuah karya, atau mendapatkan hadiah sastra.
2 Analogi langsung, dalam hal ini masalah sastra disejajarkan dengan kondisi lingkungan sosial budaya subjek didik. Misalnya saja, mereka diminta
menganalogikan dirinya sebagai tokoh Karna dan Arjuna yang harus bertanding dalam Serat Baratayuda. Bagaimana jika subjek didik mengalami nasib yang
sama seperti Siti Nurbaya, atau tokoh-tokoh dalam karya sastra lainnya. 3 Sedangkan analogi kempaan yaitu mempertajam pandangan dan pendapat posisi
masing-masing, terutama dalam menghadapi dua atau tiga pandangan yang berbeda sehingga subjek didik memahami objek dan penalaran dari dua atau tiga
kerangka pikir.
17
Dalam model sinektik ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipegang antara lain 1 jangan membatasi pengalaman yang mungkin diperoleh subjek
didik, 2 hormati gagasan-gagasan yang muncul, 3 jangan takuti subjek didik dengan soal ujian, 4 biarlah subjek didik berproses secara “liar”, 5 berilah
ruang untuk mengadu pendapat, 6 gugahlah mereka sehingga timbul ide-ide kreatif dan produktif Endraswara, 2005: 98. Jadi, model sinektik ini akan
digunakan sebagai landasan dalam pengembangan modul pembelajaran apresiasi cerpen dan fabel.
4. Pengembangan Modul Pembelajaran Apresiasi Cerpen dan Fabel untuk Siswa SMP Berdasarkan Model Sinektik
a. Landasan Penyusunan Bahan Ajar
Pemilihan bahan ajar merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran. Bahan ajar menjadi salah satu komponen yang menentukan
ketercapaian tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, di dalam memilih bahan ajar harus dilandaskan pada kurikulum. Menurut Suryaman 2012: 115, sumber
belajar perlu dipilih agar benar-benar fungsional dan bermakna bagi siswa di dalam mengembangkan kemampuan berbahasanya.
Terdapat beberapa hal yang harus dijadikan landasan dan pertimbangan dalam menentukan bahan ajar yaitu: pertama relevan. Sumber belajar haruslah
sesuai dengan kebutuhan belajar siswa. Kedua, kontekstual. Sumber belajar yang mudah dipahami siswa adalah sumber belajar yang dekat dengan kehidupan
siswa. Ketiga, menarik. Sumber belajar harus memiliki daya tarik. Perkembangan kognitif siswa lebih mudah dirangsang jika sesuatu yang akan dipelajarinya
18
menarik perhatian. Keempat, menantang. Selain sumber belajar harus menarik, sumber belajar juga harus mampu menimbulkan rasa penasaran dan ingin tahu
siswa. Menurut Suryaman, dkk. 2006, terdapat landasan khusus untuk buku
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yaitu: 1. Landasan Keilmuan Bahasa dan Sastra
Landasan penyusunan buku pelajaran adalah keilmuan mata pelajaran. Mata pelajaran berada di dalam lingkungan ilmu apa. Dalam hal ini ilmu yang
dimaksud adalah ilmu bahasa. Dalam pembelajaran bahasa, dikehendaki terjadinya kegiatan bahasa yaitu kegiatan menggunakan bahasa yang mencakup
kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pembelajaran bahasa hendaknya memperhatikan penggunaan bahasa sesuai dengan hakikat
penggunaannya. Prinsip-prinsip yang diperhatikan berdasarkan pandangan tersebut adalah:
a Prinsip Kebermaknaan Prinsip kebermaknaan menekankan pada pemenuhan dorongan bagi siswa
untuk mengungkapkan ide, pikiran, gagasan, perasaan, dan informasi kepada orang lain, baik lisan maupun tertulis.
b Prinsip Keotentikan Prinsip keontetikan menekankan pada pemilihan dan pengembangan materi
pelatihan berbahasa yaitu: 1 berupa teks atau wacana tulis atau lisan,
19
2 banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemahiran fungsi berbahasanya,
3 menekankan fungsi komunikatif bahasa, yakni menekankan pada proses belajar mengajar,
4 memenuhi kebutuhan berbahasa siswa, 5 berisi petunjuk, pelatihan, dan tugas-tugas dengan memanfaatkan media
cetak atau elektronik seoptimal mungkin, 6 didasarkan atas hasil analisis kebutuhan berbahasa siswa,
7 mengandung pemakaian unsur bahasa yang bersifat selektif dan fungsional, dan
8 mendukung terbentuknya performansi komunikatif siswa yang andal. c Prinsip Keterpaduan
Penataan bahasa dan sastra dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1 mempertahankan keutuhan bahan,
2 menuntut siswa untuk mengerjakan atau mempelajarinya secara bertahap, dan
3 secara fungsional, yakni bagian yang satu bergantung kepada bagian yang lain dalam jalinan yang padu dan harmonis menuju kebermaknaan yang
maksimal. d Prinsip Keberfungsian
Prinsip keberfungsian ada pada pemilihan metode dan teknik pembelajaran. Hal yang harus diperhatikan adalah:
20
1 memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil bagian dalam peristiwa berbahasa yang seluas-luasnya,
2 memberikan kepada siswa informasi, praktik, latihan, dan pengalaman- pengalaman berbahasa yang sesuai dengan kebutuhan berbahasa siswa,
3 mengarahkan siswa kepada penggunaan bahasa, bukan penguasaan pengetahuan bahasa,
4 bila dimungkinkan untuk memanfaatkan berbagai ragam bahasa dalam tindakperistiwa berbahasa yang terjadi,
5 diarahkan untuk mengembangkan kemahiran berbahasanya, dan 6 mendorong kemampuan berpikirbernalar dan kreativitas siswa.
e Prinsip Performansi Komunikatif Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pengalaman belajar ialah
mendukung terbentuknya performansi komunikatif siswa yang handal. f Prinsip Kebertautan Kontekstual
Pembelajaran bahasa menuntut penggunaan media dan sumber belajar. Penggunaan media dan sumber belajar sebaiknya dapat memberikan
pengalaman langsung kepada siswa dalam belajar berbahasa. g Prinsip Penilaian
Penilaian dalam pembelajaran berbahasa hendaknya dapat mengukur secara langsung kemahiran berbahasa siswa secara menyeluruh dan tepat.
2. Landasan Ilmu Pendidikan dan Keguruan, dan Pemilihan bahan, penentuan luas cakupan, dan urutannya dalam pembelajaran
dipertimbangkan berdasarkan kaidah-kaidah pendidikan dan keguruan.
21
3. Landasan Keterbacaan Materi dan Bahasa yang Digunakan Bahan ajar yang disusun dan diolah agar memberikan kemudahan bagi siswa
untuk memahaminya. Buku pelajaran yang memberi kemudahan kepada siswa mempunyai tingkat keterbacaan tinggi. Sebaliknya, buku pelajaran yang
menimbulkan kesulitan siswa disebut mempunyai tingkat keterbacaan rendah. Landasan tersebut kemudian dijadikan dasar dalam mengembangkan
modul pembelajaran apresiasi cerpen dan fabel agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan memenuhi syarat sebagai bahan ajar yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran baik siswa maupun guru.
b. Bahan Ajar Modul
Materi atau bahan pengajaran adalah sesuatu yang mengandung pesan yang akan disajikan dalam proses belajar mengajar Ismawati, 2011: 91.
Seringkali, banyak yang menganggap bahan ajar adalah hanya buku teks pelajaran saja. Padahal, yang dimaksud bahan ajar tidak hanya buku teks pelajaran tetapi
dapat berbagai macam hal yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Modul
merupakan wujud
dari bentuk
pengembangan materi
pembelajaran. Modul biasanya dijadikan sarana belajar secara mandiri oleh siswa. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus dapat dipelajari siswa dengan mudah
tanpa bantuan guru. Modul merupakan suatu unit bahan yang dirancang secara khusus untuk dapat dipelajari siswa secara mandiri. Modul merupakan program
pembelajaran yang utuh, disusun secara sistematis, mengacu pada tujuan pembelajaran yang jelas dan terukur. Modul memuat tujuan pembelajaran, bahan
22
dan kegiatan untuk mencapai tujuan. Dalam modul terdapat pula evaluasi terhadap pencapaian tujuan pembelajaran Suryaman, dkk., 2006: 17.
Hal senada juga diungkapkan oleh Daryanto, 2013: 9 yang menyatakan bahwa modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh
dan sistematis, di dalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar
yang spesifik. Di dalam modul, minimal memuat tujuan pembelajaran, materi, dan evaluasi. Modul memiliki fungsi sebagai sarana belajar yang bersifat mandiri,
sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri sesuai dengan kecepatan masing-masing.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa modul merupakan salah satu bahan ajar yang didesain secara spesifik untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu yang ditujukan untuk belajar mandiri siswa. Modul memuat tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, dan evaluasi.
Dalam penyusunan modul, pengembang harus memperhatikan beberapa karakteristik modul, antara lain:
1 dirancang untuk sistem pembelajaran mandiri, 2 program pembelajaran yang utuh dan sistematis,
3 mengandung tujuan, bahankegiatan, dan evaluasi, 4 disajikan secara komunikatif, dua arah,
5 diupayakan agar dapat mengganti beberapa peran pengajar, 6 cakupan bahasan terpumpun dan terukur, dan
7 mementingkan aktivitas belajar pemakai.
23
Selain karakteristik modul, sturktur modul juga harus diperhatikan sebelum menyusun modul. Pada dasarnya modul berisi pendahuluan, isi dan
penutup. Berikut ini merupakan struktur modul secara lebih rinci. Pertama, pendahuluan. Pendahuluan setidaknya terdiri dari lima hal yaitu
tujuan, pengenalan topik yang akan dipelajari, informasi tentang pelajaran, hasil belajar atau indikator pencapaian yang akan diperoleh setelah mempelajari modul,
dan orientasi. Kedua, kegiatan belajar. Kegiatan belajar merupakan inti dari modul.
Pada kegiatan belajar ini, terdapat tujuan pembelajarn yang akan dicapai, materi pokok pembelajaran yang berisi penjelasan, contoh, ilustrasi, akitivitas,
tugaslatihan, dan rangkuman. Aktivitas dalam modul dapat berupa aktivitas mentalpikiran, aktivitas membacamenulis, dan aktivitas melakukan tindakan lain
seperti aktivitas yang bersifat motivasi untuk melakukan kegiatan, praktik berbahasa, dan praktik bersastra.
Ketiga, penutup. Dalam bagian penutup modul berisi salam, rangkuman, aplikasi, tindak lanjut, kaitan dengan modul berikutnya. Selain itu, terdapat pula
daftar kata penting, daftar pustaka, dan kunci tes mandiri, Suryaman, dkk., 2006: 18-20.
Penggunaan bahasa dalam modul juga penting untuk diperhatikan. Modul digunakan siswa untuk belajar mandiri. Oleh sebab itu, penggunaan bahasa juga
harus disesuaikan dengan perkembangan anak. Menurut Suryaman, dkk. 2006: 22 bahasa dalam modul sebagai berikut.
1 Gunakan bahasa percakapan, bersahabat, dan komunikatif.
24
2 Buat bahasa lisan dalam bentuk tulisan. 3 Gunakan sapaan akrab yang menyentuh secara pribadi.
4 Pilih kalimat sederhana, pendek, tidak beranak cucu. 5 Hindari istilah yang sangat asing dan terlalu teknis.
6 Hindari kalimat positif dan negatif ganda. 7 Gunakan pertanyaan retorik.
8 Sesekali bisa digunakan kalimat santai, humor, ngetrend. 9 Gunakan bantuan ilustrasi untuk informasi yang abstrak.
10 Berikan ungkapan pujian, memotivasi. 11 Ciptakan kesan modul sebagai bahan belajar yang hidup.
c. Kajian Isi Buku
Di dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, terdapat materi bahasa dan sastra. Cerpen dan fabel merupakan materi sastra yang diajarkan di jenjang SMP
kelas VII dan VIII. Oleh karena itu, modul pembelajaran apresiasi cerpen dan fabel ini dibuat untuk siswa SMP. Penyusunan modul ini tidak berdasarkan
kompetensi dasar tertentu yang tercantum dalam kurikulum. Akan tetapi, modul ini ditujukan untuk pembelajaran apresiasi pada umumnya, sehingga dapat
digunakan baik Kurikulum 2013 maupun KTSP yang memuat materi apresiasi cerpen atau fabel.
Modul terdiri dari dua kegiatan belajar. Kegiatan belajar 1 cerpen dan kegiatan belajar 2 adalah fabel. Penyajian materi dalam modul nantinya akan
mengikuti teknik dalam model sinektik. Tahapan di dalam model sinektik didasarkan pada tiga teknik yakni analogi personal, analogi langsung, dan konflik
25
padat. Penggunaan model sinektik mulai dari penyajian materi hingga latihan- latihan. Meskipun terdapat tiga teknik, penggunaan ketiga teknik tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga tidak serta merta digunakan secara berurutan.
5. Tinjauan Buku Teks Pelajaran a. Buku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia
Buku teks pelajaran adalah buku acuan wajib pembelajaran yang digunakan di satuan pendidikan dasar dan menengah yang isinya merujuk pada
standar isi untuk pendidikan dasar dan menengah Suryaman, 2012: 110. Pusat Perbukuan 2006 menyatakan bahwa buku pelajaran ialah buku yang digunakan
sebagai sarana belajar di sekolah untuk menunjang program pelajaran. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005
menjelaskan tentang buku teks pelajaran secara lebih rinci. “Buku teks buku pelajaran adalah buku acuan wajib yang digunakan di
sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketaqwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, serta potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan
standar nasional pendidikan”, Muslich, 2010: 51.
Berdasarkan pendapat tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa buku teks pelajaran ialah buku wajib yang digunakan di sekolah sebagai sumber
belajar dalam proses pembelajaran yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Buku teks pelajaran yang digunakan dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia tidak harus hanya satu jenis, apalagi hanya berasal dari satu pengarang
26
atau penerbit. Semakin banyak buku yang digunakan akan semakin luas wawasan yang diperoleh Suryaman, 2012: 110.
Permasalahan yang sering dialami oleh guru adalah pemilihan buku teks pelajaran. Pada dasarnya, pemilihan buku teks pelajaran sama halnya dengan
pemilihan materi pembelajaran. Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan. Buku teks pelajaran yang digunakan akan sangat berpengaruh
terhadap tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Oleh sebab itu, pemilihan buku teks pelajaran sangatlah penting.
Mengingat pentingnya keberadaan buku teks pelajaran, guru harus pandai memilih buku teks yang cocok digunakan dalam proses pembelajaran. Buku teks
pelajaran yang dipilih harus memenuhi standar kualitas baik dari segi materi, penyajian materi, keterbacaan, dan grafika, Muslich, 2010: 243. Lebih lanjut,
secara teknis, Geene dan Petty menjelaskan kategori yang harus dipenuhi buku teks yang berkualitas yaitu:
1 Buku teks haruslah menarik minat siswa yang mempergunakannya. 2 Buku teks haruslah mampu memberikan motivasi kepada para siswa
yang memakainya. 3 Buku teks haruslah memuat ilustrasi yang menarik bagi siswa yang
memanfaatkannya. 4 Buku teks seyogianya mempertimbangkan aspek-aspek linguistik
sehingga sesuai dengan kemampuan paras siswa yang memakainya. 5 Isi buku teks haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran
lainnya, lebih baik lagi, kalau dapat menunjangnya dengan terencana sehingga semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan
terpadu.
6 Buku teks haruslah dapat menstimulasi, merangsang aktivitas- aktivitas pribadi para siswa yang mempergunakannya.
7 Buku teks haruslah dengan sadar dan tegas menghindar dari konsep- konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak membuat
bingung siswa yang memakainya.
27
8 Buku teks haruslah mempunyai sudut pandang atau point of view yang jelas dan tegas sehingga ada akhirnya juga menjadi sudut
pandang para pemakainya yang setia. 9 Buku teks haruslah mampu memberi pemantapan, penekanan pada
nilai-nilai anak dan orang dewasa. 10 Buku teks haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi
para pemakainya.
Oleh sebab itu, sebelum menentukan pilihan terhadap buku teks yang akan digunakan dalam pembelajaran, guru harus mencermati aspek-aspek tersebut.
b. Manfaat dan Fungsi Buku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia
Buku teks pelajaran memiliki banyak manfaat dalam proses
pembelajaran. Buku teks pelajaran dipandang sebagai simpanan pengetahuan tetang berbagai segi kehidupan. Karena sudah dipersiapkan dari segi kelengkapan
materi dan cara penyajiannya, buku pelajaran memberikan fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik tentang substansinya maupun tentang caranya, Suryaman,
dkk., 2006. Dengan buku teks pelajaran, program pembelajaran dapat dilaksanakan
lebih teratur, karena guru sebagai pelaksana pendidikan memperoleh pedoman materi yang jelas. Bagi siswa, buku teks pelajaran dapat mendorong untuk
berpikir dan berbuat yang positif, misalnya memecahkan masalah yang tersaji di dalam buku teks, mengadakan pengamatan yang disarankan dalam buku teks, atau
melakukan latihan yang diinstruksikan dalam buku teks. Bagi orang tua, dengan adanya buku teks mereka bisa memberikan
arahan kepada anaknya apabila ia kurang memahami materi yang diajarkan di sekolah. Dalam proses pembelajaran, buku teks bermanfaat untuk mencapai
kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Buku teks pelajaran juga
28
mempunyai peranan penting terhadap hasil belajar siswa. Hal ini terbukti dari hasil laporan World Bank tahun 1995 yang menunjukkan bahwa tingkat
kepemilikan siswa akan buku dan fasilitas lain berkorelasi positif dengan prestasi belajar siswa Muslich, 2010: 55-57.
Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa keberadaan buku teks pelajaran memiliki manfaat dan fungsi yang sangat penting dalam proses pembelajaran di
sekolah. Buku teks pelajaran memang ditujukan untuk siswa. Akan tetapi, tidak hanya bermanfaat bagi siswa saja, melainkan bermanfaat pula untuk guru, dan
orang tua.
c. Penilaian Buku Teks Pelajaran
Buku teks pelajaran yang digunakan harus memenuhi standar kelayakan buku. Dalam menentukan kelayakan sebuah buku teks, Badan Standar Nasional
Pendidikan BNSP telah mengembangkan instrumen penilain kelayakan buku teks. Menurut BNSP 2007, buku teks yang berkualitas wajib memenuhi empat
unsur kelayakan, yakni kelayakan isi, kelayakan penyajian, kelayakan kebahasaan, dan kelayakan kegrafikan.
Penilaian kelayakan isi terdiri dari, 1 kesesuaian materi dengan SK dan KD yang di dalamnya terdapat indikator kelengkapan materi, keluasan materi, dan
kedalaman materi; 2 keakuratan materi yang meliputi akurasi konsep dan definisi, akurasi prinsip, akurasi prosedur, akurasi contoh, fakta, dan ilustrasi, dan
akurasi soal; 3 materi pendukung pembelajaran, terdiri dari kesesuaian dengan perkembangan ilmu dan teknologi, keterkinian fitur, contoh, dan rujukan,
penalaran, pemecahan masalah, keterkaitan antar konsep, komunikasi, penerapan,
29
kemenarikan materi, mendorong untuk mencari informasi lebih jauh, dan materi pengayaan.
Kelayakan penyajian meliputi, 1 teknik penyajian yang terdiri dari sistematika penyajian, keruntutan penyajian, keseimbangan antarbab; 2
penyajian pembelajaran, terdiri dari tiga indikator yakni berpusat pada siswa, mengembangkan keterampilan proses, dan memerhatikan aspek keselamatan
kerja; 3 kelengkapan penyajian yaitu bagian pendahulu, bagian isi, bagian penyudah.
Selanjutnya adalah penilaian kelayakan bahasa, yang dikategorikan menjadi tiga yaitu 1 kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa, terdiri dari
dua indikator yaitu kesesuaian dengan tingkat perkembangan intelektual dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan sosial emosional; 2 kekomunikativan
meliputi keterbacaan pesan, ketepatan kaidah bahasa; 3 keruntutan dan keterpaduan alur pikir meliputi keruntutan dan keterpaduan antarbab, keruntutan
dan keterpaduan antar-paragraf. Kelayakan kegrafikan meliputi, 1 ukuran buku, yakni kesesuaian
ukuran buku dengan standar ISO dan kesesuaian ukuran dengan materi isi buku; 2 desain kulit buku, meliputi tata letak, tipografi kulit buku, dan penggunaan
huruf; 3 desain isi buku, terdiri dari pencerminan isi buku, keharmonisan tata letak, kelengkapan tata letak, daya pemahaman tat letak, tipografi isi buku, dan
ilustrasi isi Muslich, 2010: 291-312.
30
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Yuliastanti 2013 yang ber
judul “Pengembangan Bahan Ajar Membaca Sastra Berbasis Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas VIII SMP
Kota Yogyakarta”. Dalam penelitian ini menggunakan model pengembangan Borg dan Gall yang disederhanakan menjadi tiga langkah yaitu penelitian dan
pengumpulan informasi, perencanaan, dan pengembangan produk. Penelitian ini menghasilkan produk berupa modul membaca sastra untuk siswa SMP.
Hasil uji validasi produk menyatakan bahwa modul yang dikembangkan layak digunakan. Berdasarkan validasi ahli materi, guru bahasa Indonesia, dan
siswa, menunjukkan bahwa aspek kelayakan isi berkategori “baik”, aspek bahasa dan gambar berkategori “baik”, aspek penyajian berkategori “baik”, dan aspek
kegrafikan juga “baik”. Penelitian relevan kedua adalah penelitian Widiarti 2013 dengan judul
“Keefektifan Model Sinektik dalam Pembelajaran Keterampilan Menulis Cerpen Siswa Kelas X SMA N 2 Purworejo”. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
eksperimen. Dalam penelitian ini model sinektik terbukti efektif digunakan untuk pembelajaran menulis cerpen.
Kedua penelitian tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Pada penelitian yang dilakukan Yuliastanti, perbedaan terletak pada model
pembelajaran yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan Pendekatan Kontekstual, sedangkan penelitian ini menggunakan Model Sinektik. Perbedaan
juga terdapat pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiarti.
31
Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan R D, sedangkan jenis penelitian yang dilakukan Widiarti adalah eksperimen.
C. Kerangka Pikir
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dapat diperoleh kerangka berpikir bahwa efektivitas pembelajaran apresiasi harus
selalu ditingkatkan dan didukung oleh berbagai pihak antara lain guru, siswa, bahan ajar, sarana dan prasarana, dan strategi pembelajaran yang digunakan. Akan
tetapi, dalam kenyataannya banyak ditemukan permasalahan salah satunya adalah bahan ajar yang digunakan masih mengandalkan buku teks sebagai sumber belajar
yang utama. Sumber belajar pendukung atau pendamping khusus pada kemampuan tertentu dengan strategi atau model tertentu masih sangat terbatas.
Selain itu, pembelajaran keterampilan apresiasi di SMP masih kurang efektif sehingga tujuan pembelajaran pada keterampilan apresiasi sastra belum tercapai
secara maksimal. Pembelajaran dengan model sinektik merupakan pembelajaran yang
menyenangkan karena siswa diajak dengan bermain dengan analogi-analogi. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa siswa membutuhkan sumber
belajar yang dapat digunakan untuk belajar secara mandiri. Oleh karena itu, sumber belajar pendukung yang dapat digunakan siswa secara mandiri, menarik,
dan menyenangkan masih dibutuhkan oleh siswa. Dengan kata lain, pengembangan modul pembelajaan apresiasi cerpen dan fabel dapat dijadikan
sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
32
D. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan batasan masalah, rumusan masalah, dan uraian yang telah dipaparkan bagian sebelumnya, maka didapatkan pertanyaan sebagai berikut.
1. Seperti apa gambaran pembelajaran apresiasi cerpen dan fabel di SMP? 2. Bagaimana penggunaan dan pemanfaatan buku teks pelajaran dalam
pembelajaran cerpen dan fabel di SMP? 3. Bagaimana mengembangkan modul pembelajaran apresiasi cerpen dan fabel
berbasis model sinektik untuk siswa SMP?
33
BAB III CARA PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan atau sering disebut dengan Research and Development R D. Penelitian dan
pengembangan merupakan
metode penelitian
yang digunakan
untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut
Sugiyono, 2013: 297. Penelitian ini mengembangkan produk berupa modul pembelajaran apresiasi cerpen dan fabel dengan model sinektik untuk siswa SMP.
B. Model Pengembangan
Produk yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah modul pembelajaran apresiasi cerpen dan fabel berbasis model sinektik untuk siswa
SMP. Bahan ajar tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dalam mengapresiasi cerpen dan fabel siswa SMP. Pengembangan modul ini didasarkan
pada pengembangan Borg dan Gall dengan modifikasi.
C. Prosedur Pengembangan
Borg dan Gall melalui Sukmadinata, 2013: 169 menyatakan bahwa terdapat sepuluh langkah pelaksanaan penelitian dan pengembangan R D
yaitu: 1. Penelitian dan pengumpulan data Research and information
Pengukuran kebutuhan, studi literatur, penelitian dalam skala kecil, dan pertimbangan-pertimbangan dari segi nilai.