Tempat penyimpanan bahan baku, makanan jadi, serta tempat penyimpanan peralatan juga tidak jauh berbeda antara kota dengan kabupaten,
begitu juga jika dilihat berdasarkan status akreditasi. Sebagian besar kantin sekolah mempunyai tempat penyimpanan khusus baik untuk bahan baku,
makanan jadi, dan peralatan, hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kontaminasi. Berdasarkan tempat pengolahan dan penyajian terdapat perbedaan
antara kantin sekolah yang terletak di kota dengan kabupaten, tempat pengolahan dan penyajian lebih baik di kota daripada kantin sekolah di
kabupaten. Begitu juga jika dilihat berdasarkan status akreditasi terdapat perbedaan, di mana tempat pengolahan dan penyajian pada kantin akreditasi A
lebih baik daripada kantin yang berakreditasi B. Data kondisi kantin sekolah disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Kondisi kantin sekolah menurut wilayah
Kota Kab
Kondisi Kantin A
B A
B
1. Kondisi Bangunan
- Kedap air - Terdapat ventilasi
- Lantai, dinding, langit-langit kantin bersih Ya
Tdk Ya
Ya Tdk
Tdk Ya
Tdk Tdk
Ya Tdk
Tdk
2. Kondisi Air
- Memiliki suplai air yang cukup untuk pengolahan
- Air tidak berbau dan berwarna Ya
Ya Ya
Ya Ya
Ya Ya
Ya
3. Tempat Penyimpanan
- Terdapat tempat penyimpanan bahan baku - Terdapat tempat penyimpanan makanan jadi
- Terdapat tempat penyimpanan peralatan Ya
Ya Ya
Ya Ya
Ya Tdk
Ya Ya
Tdk Ya
Ya
4. Tempat Pengolahan dan Penyajian
- Ruang pengolahan bersih - Terdapat penerangan yang cukup
- Terdapat ventilasi udara - Tempat penyajian tersedia meja dan kursi
dalam jumlah yang cukup Ya
Ya Ya
Ya Tdk
Tdk Tdk
Tdk Ya
Ya Tdk
Tdk Ya
Ya Tdk
Tdk
5. Sanitasi, Higiene dan Pembuangan Limbah
- Terdapat bak cuci piring dengan suplai air yang mengalir
- Terdapat alat cucipembersih - Pengolah menggunakan celemek dan
penutup kepala - Terdapat tempat sampah tertutup dan cukup
- Kantin bebas sampah di dalam maupun luar - Terdapat saluran pembuangan air
Tdk Ya
Ya Tdk
Ya Ya
Tdk Ya
Tdk Tdk
Ya Tdk
Ya Ya
Ya
Tdk Ya
Ya Ya
Tdk Tdk
Tdk Ya
Ya
Di lihat dari segi sanitasi, higiene, dan pembuangan limbah, kantin yang terletak di kota dan kabupaten hampir sama, namun jika dilihat berdasarkan
status akreditasi sedikit berbeda. Kantin sekolah dengan status akreditasi A memiliki sanitasi, higiene, dan pembuangan limbah lebih baik daripada kantin
sekolah dengan status akreditasi B. Dengan kata lain status akreditasi mempengaruhi sanitasi, higiene dan pembuangan limbah di kantin. Kantin yang
tidak memiliki bak pencucian piring dengan suplai air yang mengalir namun memiliki alat pencucipembersih yaitu menggunakan ember dalam melakukan
pencucian.
Penjaja PJAS
Penjaja PJAS adalah orang yang berjualan makanan jajanan anak sekolah baik itu orang yang mengelola kantin maupun yang berjualan di luar
sekolah yang masih berada di sekitar lingkungan sekolah. Penjaja kantin yang dijadikan responden adalah orang yang memiliki kantin karena pemilik kantin
juga melakukan praktek yang sama dengan orang yang membantu dalam pengolahan, walaupun yang mengolah kantin biasanya lebih dari satu orang.
Menurut Muhilal dan Damanyati 2006 penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan
jajanan di sekolah. Penjaja kantin yang dijadikan responden hanya pemilik kantin, orang yang membantu dalam proses pengolahan tidak dijadikan
responden karena pemilik kantin merupakan perwakilan dari masing-masing kantin.
Jumlah penjaja PJAS pada masing-masing sekolah berbeda-beda. Jumlah penjaja PJAS di SD yang terletak di wilayah kota 20 orang lebih sedikit
daripada kabupaten 27 orang. Penjaja PJAS di kota dan kabupaten sebagian besar merupakan penjaja luar dengan masing-masing persentase 80 dan
66.7. Sedangkan penjaja pada status akreditasi A 19 orang lebih sedikit daripada akreditasi B 28 orang, penjaja PJAS pada status akreditasi A
sebagian besar 53 merupakan pengelola kantin dan akreditasi B sebagian besar 89.3 penjaja luar. Kelompok penjual PJAS menurut wilayah dan status
akreditasi disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kelompok penjual PJAS menurut wilayah dan status akreditasi
Wilayah Status Akreditasi
Kota Kab
A B
Total Kelompk
Penjual n
n n
n n
Kantin 4
20.0 9
33.3 10
53.0 3
10.7 13
27.7 Penjaja luar
16 80.0
18 66.7
9 47.0
25 89.3
34 72.3
Total 20 100.0
27 100.0 19 100.0
28 100.0 47 100.0
Karakteristik Penjaja PJAS
Karakteristik penjaja PJAS meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, dan sarana penjualan. Secara rinci karakteristik penjaja
PJAS dapat dilihat pada Lampiran 2. Setiap bagian karakteristik penjaja PJAS dianalisis dengan uji-t untuk melihat perbedaan karakteristik berdasarkan
wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. Secara rinci uji beda karakteristik penjaja PJAS dapat dilihat pada Lampiran 3.
Umur
Menurut Hurlock 1995 dalam Rahayu 2004 umur dapat mempengaruhi cara berpikir, bertindak, dan emosi seseorang. Dari hasil penelitian diperoleh
umur berkisar antara 18-65 tahun. Umumnya umur responden tergolong pada dewasa awal 68.1 dan tidak terdapat umur yang tergolong dewasa akhir baik
dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Umur responden berdasarkan letak wilayah, rata-rata responden lebih tua
di wilayah kota 37.9 tahun daripada di kabupaten 34.4 tahun. Sedangkan berdasarkan status akreditasi, rata-rata umur responden pada status akreditasi
A lebih muda 33.7 tahun daripada status akreditasi B 37.4 tahun, pada kelompok penjual rata-rata umur responden di kantin lebih tua 39.4 tahun
daripada penjaja luar 34.6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada usia yang produktif. Menurut Papalia Old 1986,
dewasa awal merupakan masa yang paling ideal dalam periode kehidupan manusia dimana masa penuh vitalitas dan daya tahan paling optimal. Sebaran
responden menurut umur disajikan pada Gambar 3. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan umur responden berdasarkan wilayah,
status akreditasi maupun kelompok penjual.
65 70.4
73.7 64.3
53.8 73.5
68.1
35 29.6
26.3 35.7
46.2 26.5
31.9
20 40
60 80
Kota Kab
A B
Kantin Penjaja
luar
W ila
y a
h S
ta tu
s A
k re
d it
a s
i K
e lo
m p
o k
P e
n ju
a l
T o
ta l
Dewasa Menengah Dewasa Awal
Gambar 3 Sebaran responden menurut umur
Jenis Kelamin
Jumlah responden dalam penelitian adalah 47 orang. Umumnya responden berjenis kelamin laki-laki sebesar 72.3 sedangkan perempuan
hanya 27.7. Berdasarkan wilayah kota, status akreditasi A dan B, serta penjaja luar terdapat lebih dari 60.0 responden yang berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan pada wilayah kabupaten dan kelompok penjual kantin lebih banyak responden yang berjenis kelamin perempuan dengan persentase lebih dari
75.0. Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan jenis kelamin berdasarkan wilayah, namun untuk status akreditasi dan kelompok penjual
menunjukkan adanya perbedaan. Sebaran responden menurut jenis kelamin disajikan pada Gambar 4.
25 70.4
63.2 78.6
23.1 91.2
72.3
75 29.6
36.8 21.4
76.9 8.8
27.7
20 40
60 80
100 Kota
Kab A
B Kantin
Penjaja luar
W ila
y a
h S
ta tu
s A
k re
d it
a s
i K
e lo
m p
o k
P e
n ju
a l
T o
ta l
Perempuan Laki-laki
Gambar 4 Sebaran responden menurut jenis kelamin
Pendidikan
Tingkat pendidikan responden tersebar dari tidak sekolah hingga perguruan tinggi. Sebagian responden berpendidikan SD 57.4 baik dilihat
berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Sedangkan
responden yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya 4.3, responden tersebut dengan latar belakang pendidikan S-1 dan D-III.
Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan tingkat pendidikan berdasarkan wilayah, dan kelompok penjual, namun pada status
akreditasi menunjukkan adanya perbedaan, hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya responden dengan akreditasi A mempunyai pendidikan yang cukup
baik jika dibandingkan dengan responden pada akreditasi B. Menurut Sumarwan 2002 tingkat pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam
menghadapi masalah. Sebaran responden menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan
Wilayah Status Akreditasi
Kelompok Penjual Kota
Kab A
B Kantin
Penjaja Luar
Total Tingkat
Pendidikan n
n n
n n
n n
Tidak Sekolah
1 5.0
1 3.7
- -
2 7.1
- -
2 5.9
2 4.3
SD
13 65.0 14
51.9 11 57.9 16
57.1 5
38.5 22 64.7 27
57.4
SMP
4 20.0
7 25.9
3 15.8
8 28.6
4 30.8
7 20.6 11
23.4
SMA
1 5.0
4 14.8
3 15.8
2 7.1
2 15.4
3 8.8
5 10.6
PT
1 5.0
1 3.7
2 10.5
- -
2 15.4
- -
2 4.3
Total
20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0
Pendapatan
Pendapatan perkapita responden berkisar antara Rp. 60.000,00 – Rp. 1.000.000,00. Pendapatan perkapita berdasarkan BPS 2008 dikategorikan
menjadi dua kelompok yaitu, miskin Rp. 176.216,00 dan tidak miskin Rp. 176.216,00. Sebagian besar 61.7 responden umumnya tidak miskin,
berdasarkan wilayah, rata-rata pendapatan perkapita responden di kota Rp. 443.133,00 lebih tinggi daripada di kabupaten Rp. 409.808,00, sedangkan
pada status akreditasi A Rp. 520.315,00 lebih tinggi daripada B Rp. 358.625,00, dan berdasarkan kelompok penjual kantin Rp. 604.307,00 memiliki
pendapatan lebih tinggi daripada penjaja luar Rp. 355.044,00. Berdasarkan wilayah dan kelompok penjual terdapat lebih dari 55.0 responden berkategori
tidak miskin. Namun jika dilihat berdasarkan status akreditasi lebih dari 57.0 responden berkategori tidak miskin. Sebaran responden menurut pendapatan
disajikan pada Gambar 5.
30 44.4
31.6 42.9
23.1 44.1
38.3
70 55.6
68.4 57.1
76.9 55.9
61.7
20 40
60 80
100 Kota
Kab A
B Kantin
Penjaja Luar
W ila
y a
h S
ta tu
s A
k re
d it
a s
i K
e lo
m p
o k
P e
n ju
a l
T o
ta l
Tidak Miskin Miskin
Gambar 5 Sebaran responden menurut pendapatan Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan pendapatan
perkapita responden berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun pada kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini diduga karena
penjualan di kantin umumnya menjual jenis pangan jajanan lebih bervariasi, sedangkan penjaja luar masing-masing hanya menjual pangan jajanan satu jenis
sehingga rata-rata pendapatan perkapita untuk kantin lebih besar daripada penjaja luar. Pendapatan perkapita yang diukur bukan hanya berasal dari
pendapatan yang diterima oleh individu, tetapi diukur juga dari pendapatan yang diterima oleh semua anggota keluarga dimana individu itu berada.
Sarana Penjualan
Dalam Proyek Makanan Jajanan IPB 1993, usaha makanan jajanan dibagi menjadi tiga ketegori berdasarkan cara berjualannya, yaitu pedagang
berpangkal Stationary units
, pedagang berpangkal di perkampungan Residential units
, dan berdagang keliling Ambulatory units
. Penjaja makanan dalam kantin sekolah termasuk sebagai pedagang berpangkal, namun untuk
penjaja luar merupakan gabungan dari pedagang berpangkal dan keliling karena pada saat jam sekolah penjaja luar berpangkal di sekitar sekolah dan setelah jam
sekolah habis mereka berdagang keliling. Sebagian besar sarana penjualan yang digunakan adalah gerobak dan
pikulan berkisar 34.0 hingga 36.2. Sarana pikulan yang digunakan paling banyak terdapat di kabupaten dengan akreditasi B oleh kelompok penjaja luar
berkisar 33.3 hingga 47.1, sedangkan sarana gerobak banyak digunakan di kota dengan akreditasi A oleh penjaja luar berkisar 31.6 hingga 47.1.
Sarana meja umumnya banyak digunakan di kota dengan akreditasi A oleh kelompok penjual kantin berkisar 29.6 hingga 69.2.
Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan sarana penjualan berdasarkan wilayah dan status akreditasi, namun berdasarkan
kelompok penjual menunjukkan adanya perbedaan sarana penjualan. Hal ini dikarenakan penjaja luar merupakan pedagang yang berjualan menetap
sementara dan berkeliling sehingga lebih banyak menggunakan sarana penjualan pikulan, sedangkan kelompok penjual kantin hampir keseluruhan
sarana seperti meja difasilitasi dari sekolah selain tempat yang telah dibuat sedemikian rupa untuk masing-masing penjaja kantin. Sebaran responden
menurut sarana penjualan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran responden menurut sarana penjualan
Wilayah Status Akreditasi
Kelompok Penjual Kota
Kab A
B Kantin
Penjaja Luar
Total Sarana
Penjualan n
n n
n n
n n
Gerobak
9 45.0
8 29.6
6 31.6
11 39.3
1 7.7
16 47.1 17
36.2
Meja
3 15.0
8 29.6
6 31.6
5 17.9
9 69.2
2 5.9 11
23.4
Pikulan
7 35.0
9 33.3
4 21.1
12 42.9
- -
16 47.1 16
34.0
Lemari Display
1 5.0
2 7.4
3 15.8
- -
3 23.1
- -
3 6.4
Total
20 100.0 27 100.0 19 100.0
28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0
Profil PJAS
Profil PJAS merupakan gambaran pangan jajanan anak sekolah yang meliputi jenis pangan, kemasan, dan jenis register. Secara keseluruhan jenis
pangan yang paling banyak dijual adalah makanan camilan sebesar 67.1 dan sebagian kecil 2.2 menjual buah. Berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan
kelompok penjual sebagian besar responden menjual makanan camilan dengan persentase bekisar antara 53.7 hingga 75.9. Hal ini mencerminkan bahwa
banyaknya penjaja PJAS menjual makanan camilan disebabkan karena anak sekolah dasar umumnya lebih menyukai makanan camilan sebagai makanan
jajanan dibanding jenis pangan lainnya di sekolah. Sebaran profil PJAS menurut jenis pangan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran profil PJAS berdasarkan jenis pangan
Profil PJAS Wilayah
Status Akreditasi Kelompok Penjual
Kota Kab
A B
Kantin Penjaja
Luar Total
Jenis Pangan n
n n
n n
n n
Makanan Sepinggan
7 4.5.0
15 7.0
11 7.5
11 4.9
18 9.4
4 2.2
22 5.9
Camilan 102
65.0 147
68.7 79
53.7 170
75.9 113
59.2 136
75.6 249
67.1 Minuman
48 31.0
44 20.6
57 38.8
35 15.6
60 31.4
32 17.8
92 24.8
Buah 8
3.7 8
3.6 8
4.4 8
2.2 Total
157 100.0
214 100.0
147 100.0
224 100.0
191 100.0
180 100.0
371 100.0
Jenis kemasan pangan jajanan anak sekolah bervariasi, sebagian besar kemasan yang paling banyak digunakan oleh penjaja PJAS adalah plastik
dengan persentase 78.4 dan yang paling sedikit digunakan adalah sterofoam
dan cup plastik dengan persentase yang sama sebesar 0.3. Penggunaan kemasan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok
penjual sebagian besar menggunakan plastik dengan persentase berkisar antara 70.1 hingga 83.9. Hal ini disebabkan karena plastik merupakan kemasan
yang paling praktis, sehingga penjaja lebih memilih plastik sebagai kemasan makanan jajanan yang dijual. Sebaran profil PJAS menurut kemasan disajikan
pada Gambar 6. Dengan diberlakukannya UU. No. 8 Tahun 1999 yang memberikan suatu
jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak kepada pelaku usaha yang tidak benar atau informasi yang menyesatkan melalui label.
Register pangan merupakan bagian dari label pangan, oleh karena itu label pangan yang merupakan informasi produk harus jelas dan benar mengenai
produk yang bersangkutan. Informasi pada label pada label yang tidak benar dapat menyebabkan kejadian yang dapat berakibat fatal bagi konsumen .
Gambar 6 Profil Kemasan PJAS Gambar 7 Profil Register PJAS
Menurut hasil penelitian BPOM 2008, jenis register pangan diikelompokkan menjadi MD produk dalam negeri, ML produk luar negeri, SS
siap saji, TTD tidak terdaftar, dan PIRT industri rumah tangga. Untuk jenis register umumnya memiliki register MD sebanyak 68.5 dan register makanan
yang paling sedikit adalah register PIRT. Profil PJAS menurut register berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian
besar menggunakan register MD dengan persentase berkisar antara 63.3 hingga 71.9. Makanan jajanan yang paling banyak dijual yaitu dengan register
MD, yang berarti makanan ini diproduksi di dalam negeri dan sudah terdaftar. Register pangan merupakan keterangan yang terdapat di kemasan pangan yang
menunjukkan keamanan suatu pangan. Jika pangan yang tidak memiliki register atau tidak terdaftar maka pangan tersebut tidak dapat dijamin keamanannya.
Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan
Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman responden tentang gizi dan keamanan pangan.
Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang berpengaruh terhadap praktek dalam pemilihan pangan, pengolahan dan penyimpanan
pangan Andarwulan et al
2008. Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan keamanan pangan
Wilayah Status Akreditasi
Kelompok Penjual Total
Kota Kab
A B
Kantin
Penjaja Luar
Pengetahuan n
n n
n n
n n
1. Gizi Baik
2 10.0
6 22.2
4 21.1
4 14.3
4 30.8
4 11.8
8 17.0
Sedang
3 15.0
4 14.8
4 21.1
3 10.7
2 15.4
5 14.7
7 14.9
Kurang
15 75.0 17
63.0 11 57.9 21
75.0 7
53.8 25 73.5 32
68.1
Total
20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0
2. Keamanan Pangan Baik
4 20.0
9 33.3
6 31.6
7 25.0
5 38.5
8 23.5 13
27.7
Sedang
6 30.0 13
48.1 6
31.6 13 46.4
5 38.5 14
41.2 19 40.4
Kurang
10 50.0
5 18.5
7 36.8
8 28.6
3 23.1 12
35.3 15 31.9
Total
20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0
3. Gizi Keamanan Pangan Baik
3 15.0
7 25.9
5 26.3
5 17.9
4 30.8
6 17.6 10
21.3
Sedang
5 25.0
7 25.9
4 21.1
8 28.6
3 23.1
9 26.5 12
25.5
Kurang
12 60.0 13
48.1 10 52.6 15
53.6 6
46.2 19 55.9 25
53.2
Total
20 100.0 27 100.0 19 100.0 28 100.0 13 100.0 34 100.0 47 100.0
Pengetahuan yang diteliti terdiri dari dua bagian yaitu pengetahuan gizi dan pengetahuan keamanan pangan. Pengetahuan gizi dan keamanan pangan
dianalisis menggunakan uji beda berdasarkan wilayah, status akreditasi dan kelompok penjual, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3. Pengetahuan gizi
responden berdasarkan wilayah memperoleh skor rata-rata di kota 50 lebih rendah daripada di kabupaten 59.3, responden pada status akreditasi
memperoleh skor rata-rata pengetahuan gizi pada akreditasi A 59 lebih baik daripada akreditasi B 52.9, sedangkan pada kelompok penjual memperoleh
skor rata-rata pengetahuan gizi pada kantin 63.1 lebih tinggi daripada penjaja luar 52.4. Secara keseluruhan umumnya pengetahuan gizi masih kurang
sebesar 68.1 dan persentase terkecil adalah berpengetahuan sedang 14.9. Berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian
besar pengetahuan gizi responden berkategori kurang dengan persentase berkisar antara 53.8 hingga 75 responden. Hasil uji beda statistik
menunjukkan tidak adanya perbedaan pengetahuan gizi baik berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual. Hal ini diduga karena
tingkat pendidikan dari responden yang relatif sama yaitu SD pada Tabel 6, walaupun jika dilihat berdasarkan skor rata-rata pengetahuan gizi sedikit berbeda
antara wilayah, status akreditasi dan kelompok penjual. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif dan signifikan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi responden r=0.463, p=0.001. Artinya bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
maka diikuti pula dengan pengetahuan responden. Secara keseluruhan umumnya responden memiliki pengetahuan
keamanan pangan berkategori sedang sebesar 40.4 dan sebagian kecil memiliki pengetahuan keamanan baik sebesar 27.7. Pengetahuan keamanan
pangan berdasarkan wilayah memiliki perolehan skor rata-rata di kota 62.3 lebih rendah daripada di kabupaten 78.2, dengan persentase masing-masing di
kota sebesar 50.0 masih kurang dan pengetahuan keamanan pangan di kabupaten umumnya berpengetahuan sedang sebesar 48.1.
Dalam hal status akreditasi responden memperoleh skor rata-rata pengetahuan keamanan pangan pada akreditasi A dan B hampir sama, dengan
persentase pada akreditasi A sebesar 36.8 berkategori kurang dan akreditasi B memiliki pengetahuan keamanan pangan 46.4 sedang. Sedangkan pada
kelompok penjual memiliki skor rata-rata pengetahuan keamanan pangan responden di kantin 77 lebih baik daripada penjaja luar 69.3, berdasarkan
kelompok penjual kantin berpengetahuan baik dan sedang sebesar 38.5, sedangkan pada penjaja luar umumnya tersebar pada pengetahuan keamanan
pangan berkategori sedang sebesar 41.2. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan
pengetahuan keamanan pangan berdasarkan status akreditasi dan kelompok penjual, namun berdasarkan wilayah menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini
diduga karena adanya komite sekolah di salah satu SD di wilayah kabupaten,
yang diduga berpartisipasi dalam memberikan penyuluhan dan pengawasan secara rutin mengenai keamanan makanan jajanan sehingga pengetahuan
keamanan pangan penjaja di kabupaten lebih baik daripada di wilayah kota. Hasil uji korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan
keamanan pangan responden diperoleh adanya hubungan positif r=0.397, p=0.006. Menurut Notoatmodjo 2003 peningkatan pengetahuan seseorang
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki baik yang diperoleh secara formal maupun non-formal.
Pengetahuan gizi dan keamanan pangan merupakan gabungan dari total nilai pengtahuan gizi dan pengetahuan keamanan pangan. Berdasarkan wilayah
responden yang memperoleh skor rata-rata pengetahuan dan gizi dan keamanan pangan di kota 56 lebih rendah daripada di kabupaten 68.7, pada status
akreditasi responden memperoleh skor rata-rata pada akreditasi A 66.1 dan B 61.4 hampir sama, sedangkan berdasarkan kelompok penjual responden
memperoleh skor rata-rata di kantin 70 lebih baik daripada penjaja luar 60.7. Secara keseluruhan sebagian besar 53.2 responden memiliki pengetahuan
gizi dan keamanan pangan kurang dan sebagian kecil 25.9 berpengetahuan gizi dan keamanan pangan baik dan sedang dengan persentase yang sama.
Berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian besar pengetahuan gizi responden berkategori kurang dengan persentase
berkisar antara 46.2 hingga 60.0. Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak ada perbedaan pengetahuan
gizi dan keamanan pangan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Namun berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan
adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan responden r=0.481, p=0.001. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pula pengetahuan gizi dan keamanan pangan responden.
Pada Tabel 10 dapat dilihat sebaran responden berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan responden. Pengetahuan
responden terbagi atas dua yaitu pengetahuan gizi dan pengetahuan keamaanan pangan yang masing-masingnya terdiri atas 10 pertanyaan. Sebaran responden
berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan
Wilayah Status Akreditasi
Kelompok Penjual Kota
Kab A
B Kantin
Penjaja Luar
Pengetahuan Gizi Keamanan
n n
n n
n n
A. Gizi
1. Pengertian makanan bergizi 9
45.0 19
70.4 13
68.4 15
53.6 10
76.9 19
55.9 2. Zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh
9 45.0
13 48.1
10 52.6
12 42.9
8 61.5
14 41.2
3. Contoh susunan makanan yang baik 14
70.0 21
77.8 14
73.7 21
75.0 11
84.6 24
70.6 4. Pengertian makanan jajanan yang
baik 13
65.0 23
85.2 16
84.2 20
71.4 11
84.6 25
73.5 5. Makanan jajanan sumber
karbohidrat 10
50.0 17
63.0 9
47.4 18
64.3 8
61.5 19
55.9 6. Akibat kekurangan sumber
karbohidrat 12
60.0 17
63.0 13
68.4 16
57.1 8
61.5 21
61.8 7. Makanan sumber protein
5 25.0
7 25.9
7 36.8
5 17.9
5 38.5
7 20.6
8. Akibat kekurangan zat besi 8
40.0 15
55.6 8
42.1 15
53.6 6
46.2 17
50.0 9. Makanan sumber vitamin A
13 65.0
18 66.7
14 73.7
17 60.7
10 76.9
21 61.8
10. Akibat kekurangan vitamin A 6
30.0 10
37.0 7
36.8 9
32.1 5
38.5 11
32.4 B. Keamanan Pangan
11. Es cendol ditemukan sehelai rambut,maka es tersebut
10 50.0
21 77.8
9 47.4
22 78.6
8 61.5
23 67.6
12. Akibat mengkonsumsi pangan yang tidak bersih dan sehat
15 75.0
23 85.2
15 78.9
23 82.1
10 76.9
28 82.4
13. Kebiasaan mencuci tangan 15
75.0 26
96.3 18
94.7 23
82.1 13
100.0 28
82.4 14. Es sirup terasa manis tetapi agak
pahit, kemungkinan menggunakan 16
80.0 23
85.2 18
94.7 21
75.0 12
92.3 27
79.4 15. Bahan yang bukan bahan bahan
tambahan pangan 6
30.0 14
51.9 10
52.6 10
35.7 7
53.8 13
38.2
16. Akibat es batu terbuat dari air mentah
10 50.0
14 51.9
9 47.4
15 53.6
8 61.5
16 47.1
17. Kegiatan yang menimbulkan cemaran
10 50.0
20 74.1
14 73.7
16 57.1
9 69.2
21 61.8
18. Bersin saat mengolah makanan 18
90.0 25
92.6 18
94.7 25
89.3 13
100.0 30
88.2 19. Informasi yang diperhatikan dari
kemasan 12
60.0 22
81.5 15
78.9 19
67.9 11
84.6 23
67.6 20. Jenis kemasan yang baik
13 65.0
23 85.2
14 73.7
22 78.6
9 69.2
27 79.4
Pengetahuan Gizi
Dari 10 pertanyaan yang diajukan, lima diantaranya yang kurang mampu dijawab oleh responden yang berada di kota, dan tiga pertanyaan di kabupaten.
Sedangkan pada status akreditasi A terdapat empat pertanyaan yang kurang mampu dijawab dengan benar dan responden pada status akreditasi B hanya
tiga pertanyaan. Berdasarkan kelompok penjual kantin dan penjaja luar hanya tiga pertanyaan kurang mampu dijawab oleh responden dengan baik.
Contoh pertanyaan mengenai zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh kurang mampu dijawab dengan benar oleh sebagian besar responden di kota,
kabupaten, responden dengan akreditasi B, dan penjaja luar berkisar 41.2 hingga 48.1. Sebagian besar responden kurang mampu menjawab dengan
benar mengenai makanan sumber protein berkisar 17.9 hingga 38.5, dan
akibat kekurangan vitamin A berkisar 30.0 hingga 38.5 terutama kurang mampu dijawab oleh responden berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun
kelompok penjual. Pertanyaan mengenai akibat kekurangan zat besi sebagian besar kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden di kota, terutama
responden dengan akreditasi A dan pengelola kantin berkisar antara 40.0 hingga 46.2. Sedangkan pertanyaan pengertian makanan bergizi kurang
mampu dijawab dengan benar oleh responden di kota 45.0, makanan jajanan sumber karbohidrat juga kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden
dengan status akreditasi A.
Pengetahuan Keamanan Pangan
Dari 10 pertanyaan mengenai kemanan pangan yang diajukan, satu diantaranya yang kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden yang
berada di wilayah kota dan responden dengan status akreditasi B, dua pertanyaan kurang mampu dijawab oleh responden dengan akreditasi A dan
penjaja luar. Pertanyaan yang kurang mampu dijawab dengan benar dari masing-
masing wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual hampir sama. Contoh pertanyaan yang kurang mampu dijawab terutama oleh responden yang
berada di wilayah kota, status akreditasi B, dan penjaja luar adalah bahan yang bukan bahan tambahan berkisar 30.0 hingga 38.2, pertanyaan lain yang
kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden dengan status akreditasi A dan penjaja luar adalah mengenai es batu yang berasal dari air mentah berkisar
47.1 hingga 47.4, dan pertanyaan yang kurang mampu dijawab dengan benar oleh responden dengan status akreditasi A yaitu mengenai sehelai rambut
mencemari es cendol 47.4. Namun pada responden dengan status akreditasi B dan pengelola kantin sebagian besar dapat menjawab pertanyaan cukup baik.
Praktek Keamanan Pangan
Praktek keamanan pangan dibagi menjadi higiene dan sanitasi penjual, penanganan dan penyimpanan, sarana dan fasilitas. Praktek keamanan pangan
dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu, baik, sedang, kurang. Praktek keamanan pangan dianalisis dengan menggunakan uji beda untuk melihat
perbedaan praktek keamanan pangan berdasarkan wilayah, status akreditasi, dan kelompok penjual. Secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3.
Praktek Higiene dan Sanitasi Penjual
Secara keseluruhan umumnya 57.4 praktek higiene dan sanitasi responden masih kurang dan sebagian kecil 4.3 memiliki praktek higiene dan
sanitasi yang baik. Dalam hal praktek higiene dan sanitasi berdasarkan wilayah memperoleh skor rata-rata di kota 63.7 hampir sama dengan di kabupaten
57.9, jika dilihat pada wilayah kota dan kabupaten sebagian besar mempunyai praktek higiene dan sanitasi kurang sebanyak 55.0 dan 59.3. Berdasarkan
status akreditasi, responden dengan akreditasi A 59.5 memperoleh skor rata- rata hampir sama dengan akreditasi B 60.9. Pada status akreditasi A maupun B
sebagian besar memiliki praktek higiene dan sanitasi kurang 63.2 dan 53.6. Praktek higiene dan sanitasi penjual pada kelompok penjual kantin memperoleh
skor rata-rata 59.5 juga hampir sama dengan penjaja luar 60.6. Pada kelompok penjual kantin maupun penjaja luar memiliki praktek higiene dan
sanitasi kurang sebesar 53.8 dan 58.8. Sebaran responden menurut praktek keamanan pangan disajikan pada
Tabel 11. Tabel 11 Sebaran responden menurut praktek keamanan pangan
Wilayah Status Akreditasi
Kelompok Penjual Kota
Kab A
B Kantin
Penjaja Luar
Total Praktek
Keamanan Pangan
n n
n n
n n
n 1. Higiene dan
Sanitasi Penjual Baik
2 7.4
1 5.3
1 3.6
1 7.7
1 2.9
2 4.3
Sedang 9
45.0 9
33.3 6
31.5 12
42.8 5
38.5 13
38.3 18
38.3 Kurang
11 55.0
16 59.3
12 63.2
15 53.6
7 53.8
20 58.8
27 57.4
Total 20
100.0 27
100.0 19
100.0 28
100.0 13
100.0 34
100.0 47
100.0 2. Penanganan Penyimpanan
Baik 10
50.0 6
22.2 8
42.1 8
28.6 4
30.8 12
35.3 16
34.0 Sedang
6 30.0
10 37.0
8 42.1
8 28.6
5 38.5
11 32.4
16 34.0
Kurang 4
20.0 11
40.7 3
15.8 12
42.9 4
30.8 11
32.4 15
31.9 Total
20 100.0
27 100.0
19 100.0
28 100.0
13 100.0
34 100.0
47 100.0
3. Sarana Fasilitas Baik
2 10.0
1 3.7
2 10.5
1 3.6
2 15.4
1 2.9
3 6.4
Sedang 2
10.0 6
22.2 6
31.6 2
7.1 4
30.8 4
11.8 8
17.0 Kurang
16 80.0
20 74.1
11 57.9
25 89.3
7 53.8
29 85.3
36 76.6
Total 20
100.0 27
100.0 19
100.0 28
100.0 13
100.0 34
100.0 47
100.0 4. Total Praktek Keamanan Pangan
Baik 2
10.0 3
11.1 2
10.5 3
10.7 2
15.4 3
8.8 5
10.6 Sedang
9 45.0
9 33.3
9 47.4
9 32.1
5 38.5
13 38.2
18 38.3
Kurang 9
45.0 15
55.6 8
42.1 16
57.1 6
46.2 18
52.9 24
51.1 Total
20 100.0
27 100.0
19 100.0
28 100.0
13 100.0
34 100.0
47 100.0
Hasil uji beda statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan praktek higiene dan sanitasi penjual baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi
maupun kelompok penjual. Sedangkan hasil uji korelasi praktek higiene dan sanitasi berhubungan sangat signifikan dengan praktek keamanan pangan lain
yaitu praktek penanganan dan penyimpanan pangan r=0.486, p=0.001, serta berhubungan sangat signifikan dengan praktek sarana dan fasilitas r=0.528,
p=0.000. Hal ini menunjukkan bahwa praktek higiene dan sanitasi berhubungan dengan beberapa praktek keamanan pangan lainnya. Praktek higiene dan
sanitasi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena erat kaitannya, apabila praktek higiene dan sanitasi tidak baik maka praktek penanganan dan
penyimpanan pangan juga tidak baik, begitu juga dengan praktek sarana dan fasilitas, apabila higiene seseorang sudah baik karena mau mencuci tangan
tetapi fasilitas air bersih tidak tersedia maka praktek higiene dan sanitasi tetap akan rendah Depkes RI 2001.
Praktek Penanganan dan Penyimpanan Pangan
Praktek penanganan dan penyimpanan pangan secara keseluruhan sebagian besar 34.0 responden berkategori baik dan sedang dengan
persentase yang sama, dan sebagian kecil 31.9 memiliki praktek penanganan dan penyimpanan pangan kurang. Berdasarkan wilayah responden memperoleh
skor rata-rata praktek penanganan dan penyimpanan pangan di kota 81.1 lebih baik daripada di kabupaten 65, di wilayah kota 50.0 responden berkategori
baik dalam hal praktek penanganan dan penyimpanan, sedangkan untuk wilayah kabupaten sebagian besar 40.7 praktek penanganan dan penyimpanan
berkategori kurang. Skor rata-rata praktek penanganan dan penyimpanan pangan pada status akreditasi A 79 lebih baik daripada akreditasi B 67.1,
sebagian besar 42.1 responden dengan akreditasi A memiliki praktek penanganan dan penyimpanan tersebar pada kategori baik dan sedang.
Sedangkan pada akreditasi B praktek penanganan dan penyimpanan pangan umumnya berkategori kurang sebesar 42.9. Skor rata-rata praktek penanganan
dan penyimpanan pangan pada kelompok penjual kantin 74.4 hampir sama dengan penjaja luar 70.9, sebagian besar 38.5 praktek penanganan dan
penyimpanan pangan responden di kantin berkategori sedang, sedangkan pada penjaja luar berkategori baik sebesar 35.5.
Hasil uji beda statistik mengenai praktek penanganan dan penyimpanan pangan menunjukkan tidak adanya perbedaan baik dilihat berdasarkan wilayah
dan kelompok penjual, sedangkan berdasarkan status akreditasi menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini diduga karena pada sekolah yang berakreditasi A
umumnya fasilitas yang disediakan oleh pihak sekolah sedikit lebih baik daripada akreditasi B.
Praktek Sarana dan Fasilitas
Praktek sarana dan fasilitas sebagian besar 76.6 responden memiliki praktek berkategori kurang, dan sebagian kecil 3.7 praktek sarana dan
fasilitas berkategori baik. Berdasarkan wilayah, skor rata-rata praktek sarana dan fasilitas di kota 48 hampir sama dengan di kabupaten 46.3, sedangkan
berdasarkan status akreditasi praktek sarana dan fasilitas memperoleh skor rata- rata pada akreditasi A 55.8 lebih baik daripada akreditasi B 41.1, namun jika
dilihat pada kelompok penjual praktek sarana dan fasilitas memperoleh skor rata- rata responden di kantin 63.1 lebih baik daripada panjaja luar 40.9.
Berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual sebagian besar memiliki praktek sarana dan fasilitas kurang berkisar antara 53.8 hingga
89.3. Hasil uji beda statistik praktek sarana dan fasilitas menunjukkan tidak
adanya perbedaan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun kelompok penjual. Hal ini disebabkan karena sebagian besar praktek sarana dan
fasilitas dari masing-masing responden masih sangat kurang.
Total Praktek Keamanan Pangan
Total praktek keamanan pangan adalah gabungan dari keseluruhan praktek yaitu, praktek higiene dan sanitasi penjual, praktek penanganan dan
penyimpanan, serta praktek sarana dan fasilitas. Secara keseluruhan praktek keamanan pangan responden berkategori kurang sebesar 51.1 dan sebagian
kecil 10.6 berkategori baik. Berdasarkan wilayah, skor rata-rata praktek keamanan pangan
responden di kota 63.7 lebih baik daripada di kabupaten 56.8. Responden di wilayah kota sebagian besar 45.0 berkategori praktek keamanan pangan
sedang dan kurang dengan persentase yang sama, sedangkan pada wilayah kabupaten sebagian besar 55.6 memiliki praktek keamanan pangan kurang.
Dalam hal status akreditasi, skor rata-rata responden mengenai praktek keamanan pangan pada akreditasi A 62.3 lebih baik daripada akreditasi B 58,
sebagian besar 47.4 responden pada akreditasi A memiliki praktek keamanan pangan sedang, sedangkan pada akreditasi B 57.1 responden memiliki praktek
keamanan berkategori kurang. Pada kelompok penjual skor rata-rata responden mengenai praktek keamanan pangan di kantin 63 lebih baik daripada penjaja
luar 58.5, pada kelompok penjual kantin dan penjaja luar memiliki praktek keamanan pangan berkategori kurang sebanyak 46.2 dan 52.9.
Hasil uji beda statistik total praktek keamanan pangan menunjukkan tidak adanya perbedaan baik dilihat berdasarkan wilayah, status akreditasi maupun
kelompok penjual. Namun berdasarkan uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara total praktek keamanan pangan dengan
bagian dari praktek itu sendiri, yaitu dengan praktek higiene dan sanitasi r=0.901, p=0.000, berhubungan sangat signifikan dengan praktek
penanganan dan penyimpanan pangan r=0.721, p=0.000, dan total praktek keamanan pangan juga berhubungan sangat signifikan dengan praktek sarana
dan fasilitas r=0.797, p=0.000. Hal ini menunjukkan bahwa bagian dari praktek keamanan pangan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan,
apabila satu bagian praktek tidak dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan mempengaruhi bagian praktek keamanan pangan lainnya.
Praktek keamanan pangan terdiri dari tiga bagian yaitu praktek higiene dan sanitasi penjual yang terdiri dari 30 pernyataan, praktek penanganan dan
penyimpanan pangan terdiri dari sembilan pernyataan, praktek sarana dan fasilitas yang terdiri dari 10 pernyataan, total keseluruhan pernyataan adalah 49.
Higiene dan Sanitasi
Dari 30 penyataan yang diamati, empat diantaranya yang kurang mampu dilakukan oleh responden dengan baik yang berada di kota, dan delapan
pernyataan di kabupaten. Sedangkan pada status akreditasi A terdapat lima pernyataan yang kurang mampu dilaksanakan dengan benar dan responden
pada status akreditasi B terdapat enam pernyataan. Berdasarkan kelompok penjual responden di kantin terdapat delapan pernyataan dan penjaja luar
sembilan pernyataan kurang mampu dijawab oleh responden dengan baik. Dari hasil pengamatan secara langsung terlihat bahwa praktek higiene dan sanitasi
penjual di kota lebih baik daripada di kabupaten terlihat dari jumlah pernyataan yang masih belum dilaksanakan dengan benar. Sedangkan berdasarkan status
akreditasi A lebih baik daripada akreditasi B. Namun jika dilihat menurut kelompok penjual, praktek higiene dan sanitasi responden di kantin lebih baik
daripada penjaja luar. Sebaran responden berdasarkan praktek keamanan pangan mengenai higiene dan sanitasi penjual disajikan pada Lampiran 4a.
Pernyataan yang kurang mampu dilakukan dengan benar oleh responden dari masing-masing wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual hampir
sama. Contoh pernyataan mengenai penjual tidak mengobrol saat mengolah makanan kurang mampu dilakukan dengan benar oleh sebagian besar
responden di kota, kabupaten, dan pengelola kantin berkisar 15.4 hingga 48.1. Pernyataan yang masih belum dilaksanakan dengan benar oleh
responden baik berdasarkan wilayah, status akreditasi, maupun kelompok penjual yaitu mengenai penjual selalu mencuci tangan sebelum melayani
pembeli mengolah berkisar antara 15.0 hingga 23.1, penjual selalu mencuci tangan sesudah melayani pembelimengolah berkisar antara 0
hingga 11.8, dan penjual tidak memegang uang secara langsung selama mengolah menyajikan berkisar antara 0 hingga 15.4. Pernyataan lain
mengenai penjual tidak menyentuh pangan langsung dengan tangan saat menyajikan melainkan menggunakan sendok berkisar 42.1 hingga 50.0
belum dilakukan dengan baik oleh responden yang berada di kabupaten, status akreditasi A, kelompok penjual kantin dan penjaja luar.
Pernyataan mengenai tempat penyajian pangan tidak berdekatan dengan saluran pembuangan air masih belum dilakukan oleh responden dengan
akreditasi A dan pengelola kantin berkisar 31.6 dan 38.5, pernyataan mengenai pencucian peralatan dengan menggunakan air mengalirselalu diganti
masih belum dilaksanakan dengan baik oleh penjaja luar 47.1, pernyataan mengenai air sabun pembersih selalu diganti masih belum dilakukan dengan baik
oleh responden yang berada di kabupaten, dengan status akreditasi B dan penjaja luar berkisar antara 44.4 hingga 50.0, pernyataan mengenai
tersedia lap kering dan bersih juga masih belum dilaksanakan oleh responden di kabupaten, dengan akreditasi B, kelompok penjual kantin dan penjaja luar
berkisar antara 33.3 hingga 50, dan pernyataan yang masih belum dilaksanakan dengan baik oleh responden di kabupaten, dengan akreditasi B,
dan kelompok penjual kantin mengenai gelasmangkokpiring dikeringkan terlebih dahulu dengan lap bersih kering berkisar antara 37.0 hingga 42.9.
Penanganan dan Penyimpanan Pangan
Praktek kemanan pangan mengenai penaganan dan penyimpanan pangan terdiri dari sembilan pernyataan. Sebaran responden berdasarkan
praktek keamanan pangan responden mengenai penanganan dan penyimpanan pangan disajikan pada Lampiran 4b.
Pada sembilan pernyataan keamanan pangan mengenai penanganan dan penyimpanan umumnya sudah dilakukan dengan baik dan benar dimana
rata-rata responden telah melaksanakan praktek dengan baik lebih dari 50.0 responden, namun masih terdapat satu pernyataan yang kurang mampu
dilaksanakan dengan baik oleh responden di kabupaten, dengan akreditasi B, kelompok penjual kantin dan penjaja luar yaitu mengenai pangan yang dijual
dikemas selalu ditutup berkisar antara 38.5 hingga 50.0.
Sarana dan Fasilitas
Praktek keamanan pangan mengenai sarana dan fasilitas terdiri dari 10 pernyataan. Pada umumnya praktek keamanan mengenai sarana dan fasilitas
masih sangat kurang, terlihat pada Lampiran 5 masih banyak responden yang belum mempraktekkan sarana dan fasilitas dengan baik dan benar. Dari 10
pernyataan yang diamati, enam diantaranya yang kurang mampu dilakukan oleh responden dengan baik yang berada di kota, dan lima pernyataan di kabupaten.
Sedangkan pada status akreditasi A terdapat empat pernyataan yang kurang mampu dilaksanakan dengan benar dan responden pada status akreditasi B
terdapat tujuh pernyataan. Berdasarkan kelompok penjual responden di kantin terdapat tiga
pernyataan dan penjaja luar enam pernyataan kurang mampu dijawab oleh responden dengan baik. Dari hasil pengamatan secara langsung terlihat bahwa
praktek higiene dan sanitasi penjual di kabupaten lebih baik daripada di kota terlihat dari jumlah pernyataan yang masih belum dilaksanakan dengan benar.
Sedangkan berdasarkan status akreditasi A lebih baik daripada akreditasi B. Namun jika dilihat menurut kelompok penjual, praktek higiene dan sanitasi
responden di kantin lebih baik daripada penjaja luar. Praktek sarana dan fasilitas terdiri dari 10 pernyataan, pernyataan
mengenai praktek sarana dan fasilitas yang masih kurang dilaksanakan dengan baik dan benar hampir sama antara wilayah, status akreditasi, maupun kelompok
penjual. Contoh pernyataan mengenai ketersediaan air bersih masih belum di praktekkan dengan baik oleh responden di kota, kabupaten, dengan akreditasi B,
dan penjaja luar berkisar antara 26.0 hingga 48.1. Pernyataan yang belum dilakukan dengan baik oleh responden di kota, kabupaten, dengan akreditasi A
dan B, serta penjaja luar yaitu mengenai air tersedia dalam jumlah yang cukup berkisar 17.6 hingga 42.1.
Pernyataan lain yang masih belum dilaksanakan dengan baik dan benar oleh responden berdasarkan letak wilayah, status akreditasi, maupun kelompok
penjual yaitu mengenai tersedianya tempat cuci tangan berkisar antara 10 hingga 30.8 dan pernyataan mengenai tersedianya tempat sampah sementara
dan tertutup berkisar antara 17.9 hingga 36.8. Sedangkan responden yang masih belum menerapkan pernyataan mengenai tersedianya lap tangan hanya
responden kelompok penjual kantin 46.2, pernyataan mengenai tersedia tempat pencucian peralatan dengan suplai air mengalir masih kurang
dilaksanakan oleh responden di kota, kabupaten, dengan akreditasi A dan B, serta penjaja luar berkisar antara 22.2 hingga 45, pernyataan mengenai
tersedia peralatan yang bersih, tidak berkarat, dan berfungsi baik juga masih belum dilaksanakan dengan baik oleh responden di kota, dengan akreditasi B,
dan penjaja luar berkisar antara 47.1 hingga 50, dan pernyataan terdapat saluran pembuangan limbah cair belum di praktekkan dengan baik oleh
responden dengan akreditasi B. Sebaran pernyatan berdasarkan praktek keamanan pangan responden mengenai sarana dan fasilitas disajikan pada
Lampiran 4c.
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Praktek keamanan pangan juga meliputi penggunaan bahan tambahan pangan BTP. Menurut BPOM 2003, kegunaan BTP di dalam pangan adalah
untuk mengawetkan, membentuk pangan lebih baik, memberikan warna, meningkatkan kualitas dan menghemat biaya. Berdasarkan hasil penelitian
terdapat beberapa responden yang mengaku masih menggunakan BTP. Umumnya BTP yang paling banyak digunakan yaitu jenis BTP penyedap dengan
merk dagang Sasa, Royco, Masako, bumbu penyedap sebanyak 44.7. Responden yang menggunakan pemanis hanya sedikit yaitu menggunakan
Sodium Siklamat , dan pemanis Cap Cangkir sebanyak 4.3. Sedangkan untuk
penggunaan pewarna, umumnya responden mengaku menggunakan pewarna makanan yang diperbolehkan untuk makanan yaitu pewarna dengan merk
dagang Cap Kupu-kupu dan Cap Tawon sebanyak 6.4 dan 44.7 responden tidak menggunakan BTP sama sekali. Hanya sebagian kecil responden yang
menyatakan menggunakan BTP. Hal ini diduga karena sebagian besar pedagang makanan jajanan di lokasi penelitian mengolah makanan setengah jadi menjadi
makanan jadi, sehingga mereka berasumsi tidak menambahkan BTP pada pengolahan makanan yang akan dijual. Sebaran responden menurut
penggunaan BTP disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran responden menurut penggunaan BTP
Wilayah Status Akreditasi
Kelompok Penjual Jenis BTP
Kota Kab
A B
Kantin Penjaja
Luar Total
n n
n n
n n
n 1. Penyedap
Sasa 4
50.0 5
50.0 3 42.9
6 54.5 3
42.9 6
54.5 9
50.0 Royco
2 25.0
3 30.0 2
28.6 3
27.3 2 28.6
3 27.3
5 27.8
Masako 2
25.0 2
20.0 2 28.6
2 18.2 2
28.6 2
18.2 4
22.2 Total
8 100.0 10 100.0 7 100.0 11 100.0 7 100.0 11 100.0 18 100.0
2. Pemanis Sodium siklamat
- -
1 50.0
- -
1 50.0
- -
1 50.0
1 50.0
Cap Cangkir -
- 1
50.0 -
- 1
50.0 -
- 1
50.0 1
50.0 Total
2 100.0 -
- 2 100.0
- -
2 100.0 2 100.0
3. Pewarna Cap Kupu-kupu
1 50.0
1 100.0 2 66.7
- - 1 100.0
1 50.0
2 66.7
Cap Tawon 1
50.0 -
- 1 33.3
- -
- -
1 50.0
1 33.3
Total 2 100.0
1 100.0 3 100.0 -
- 1 100.0 2 100.0
3 100.0
Berdasarkan penggunaan BTP yang menggunakan penguat rasa dari keseluruhan responden sebagian besar 50 menggunakan Sasa. Sedangkan
penggunaan pemanis Sodium Siklamat
dan Cap Cangkir hampir sama. Dalam hal penggunaan pewarna sebagian responden menggunakan pewarna Cap
Kupu-kupu. Alasan responden yang menggunakan BTP umumnya karena faktor
ekonomi, dengan menggunakan penyedap maka makanan jajanan yang dijual akan semakin gurih rasanya sehingga lebih merangsang anak-anak untuk
membeli makanan jajanan tersebut.. Sedangkan alasan menggunakan pemanis dan pewarna juga dengan alasan yang sama yaitu ekonomi. Pemanis buatan
yang digunakan akan mengurangi jumlah pemakain gula murni dimana harga dari gula murni jauh lebih mahal daripada pemanis buatan, dengan kata lain
responden ingin meminimalisasi modal dengan keuntungan yang maksimal. Begitu pula dengan penggunaan pewarna, pewarna makanan sintetik lebih
praktis dalam pengolahan daripada pewarna alami. Contohnya dalam pembuatan cendol, untuk memperoleh warna hijau pada cendol ditambahkannya tiga tetes
pewarna sintetik makanan, namun jika cendol dibuat dengan pewarna alami responden harus menggunakan daun suji atau daun pandan yang harus diolah
terlebih dahulu sebelum pemakaian, sehingga responden lebih menyukai menggunakan pewarna sintetik makanan yang diperbolehkan.
Penerapan Peraturan PJAS
Upaya agar masyarakat mengubah perilaku dengan cara-cara tekanan atau paksaan
coertion . Upaya ini bisa dalam bentuk undang-undang atau
peraturan-peraturan law enforcement
, instruksi-instruksi, tekanan-tekanan fisik atau non fisik, sanksi-sanksi dan sebagainya Notoatmodjo 2003. Untuk
mengatasi masalah keamanan PJAS sangat diperlukan pengawasan dari pihak sekolah dimana salah satunya adalah dengan membentuk suatu peraturan
mengenai makanan jajanan anak sekolah. Seluruh sekolah yang dijadikan lokasi penelitian memiliki peraturan
mengenai PJAS. Umumnya peraturan sekolah mengenai PJAS meliputi kebersihan penjaja PJAS, kedisiplinan, serta mengenai penggunaan BTP.
Sebagian besar sekolah menyampaikan peraturan secara lisan, tetapi juga terdapat sekolah yang memiliki peraturan secara lisan dan tertulis. Pihak sekolah
biasanya melakukan pemantauan mengenai pangan jajanan yang dijual oleh penjaja baik di kantin maupun penjaja luar di sekitar sekolah.
Berdasarkan hasil jawaban dari pihak sekolah yang telah menerapkan peraturan mengenai PJAS dengan jawaban berbeda-beda dari masing-masing
sekolah, dengan mengkategorikan penerapan peraturan berdasarkan Slamet 1993 sehingga diperoleh bahwa sebagian besar sekolah memiliki penerapan
peraturan mengenai PJAS berkategori sedang. Namun terdapat satu sekolah yang memiliki penerapan peraturan mengenai PJAS berkategori baik yaitu
sekolah dengan akreditasi A yang berada di wilayah kabupaten. Hal ini disebabkan karena sekolah tersebut terdapat komite sekolah yang bekerja sama
dengan pihak sekolah membentuk peraturan mengenai PJAS. Peraturan- peraturan tersebut dibuat sepenuhnya oleh pihak sekolah karena peraturan
khusus mengenai PJAS belum ada standar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui UU, namun pada penelitian ini memberikan kuesioner kepada pihak
sekolah mengenai peraturan sekolah dengan pendekatan ideal yang sebaiknya dilaksanakan oleh pihak sekolah dalam menjaga keamanan PJAS. Sebaran
sekolah menurut penerapan peraturan mengenai PJAS disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran sekolah menurut penerapan peraturan mengenai PJAS
Kota Kabupaten
Penerapan Peraturan PJAS
A B
A B
Kurang -
- -
- Sedang
√ √
- √
Baik -
- √
-
Penerapan peraturan terbagi menjadi empat bagian yaitu peraturan umum, sarana dan fasilitas, pembinaan dan pengawasan. Khususnya mengenai
peraturan umum semua sekolah memiliki peraturan mengenai PJAS secara lisan dan peraturan tersebut sebagian besar dikeluarkan oleh kepala sekolah,
namun ada satu sekolah yang terdapat di kabupaten dengan akreditasi A yang memiliki peraturan tertulis maupun lisan yang dikeluarkan oleh kepala sekolah
dan komite sekolah.
Peraturan Umum
Hasil penelitian PJAS dalam skala nasional oleh SEAFAST Center 2008 peraturan sekolah mengenai PJAS dikeluarkan dari berbagai sektor antara lain
Dinas Pusat 1.7, Dinas Propinsi 1.7, Dinas KabupatenKota 8.5, Sudin Kecamatan 7.4, dan kepala sekolah 95.0. Hasil penelitian hampir sama
dengan penelitian PJAS nasional 2008 dimana peraturan lebih banyak dikeluarkan oleh kepala sekolah. Sebagian besar sekolah tidak membedakan
peraturan antara penjaja kantin dengan penjaja luar dan umumnya memberi sanksi kepada penjaja jika melanggar peraturan.
Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan pernyataan tentang peraturan umum disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran penerapan peraturan PJAS berdasarkan sistematis peraturan
Kota Akreditasi
A Kota
Akreditasi B
Kab Akreditasi
A Kab
Akreditasi B
Skor Maksimum
Penerapan Peraturan
n n
n n
n
1. Peraturan Umum
- Ada peraturan mengenai pangan jajanan
1 100.0
1 100.0 1 100.0
1 100.0 1 100.0
- Yang mengeluarkan peraturan
1 20.0
1 20.0
2 40.0
1 20.0
5 100.0
- Peraturan pangan jajanan meliputi
3 50.0
3 50.0
4 66.7
2 33.3
6 100.0
- Penyampaian peraturan
1 50.0
1 50.0
2 100.0 1
50.0 2 100.0
- Ada perbedaan peraturan antara kantin dengan penjaja
luar
1 100.0
- -
1 100.0
- Bentuk sanksi
1 33.3
1 33.3
2 66.7
1 33.3
3 100.0
Peraturan Fasilitas