Analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat (studi kasus pada implementasi musyawarah dalam PNPM mandiri perdesaan di desa Teluk kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

(1)

ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF

DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

FUAD MUCHLIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Fuad Muchlis NRP. I352070081


(3)

ABSTRACT

FUAD MUCHLIS. ANALYSIS OF PARTICIPATORY COMMUNICATION IN PROGRAM OF SOCIETY EMPOWERMENT (Case Study at Implementation of Discussion of PNPM Mandiri Perdesaan In The Teluk Village District Of Pemayung Batang Hari Regency). Under direction of SARWITITI and YATRI INDAH KUSUMASTUTI

Successfullness of assistance activity for society empowerment determined by participatory communication process. PNPM MPd, a recent society empowerment development model initiated by government, has become important and interested research topic related to development communication science. The research aim are to describe the role of facilitator in the activity of PNPM MPd, to express the meaning of facilitators credibility according to perspective of PNPM MPd participant and to analyze participatory communication that happen between facilitator and participant in activity of PNPM MPd in the effort of society empowerment. The research is constructivist paradigm by using design of communication ethnography, which located in Teluk Village District of Pemayung Batang Hari Regency. The research is conducted from 11st March 2009 to 13rd May 2009.

The result of research using access consept, heteroglasia (heterogenity of economic and gender) and dialogue indicates that communication in PNPM MPd activities was not undertaken participatively. Immature replication from PPK to PNPM MPd by government has become the cause of unparticipative communications. The role of facilitator is not maximal due to pursued by target of mechanistic program and greater location coverage. The credibility of facilitator also as a factor that makes PNPM MPd not as good as compared to previous program (PPK). Communication process that is not participatory in every activity of PNPM MPd make this program quite difficult to reach it purpose to empower the society.

Keyword : Participatory communication, role of facilitator, credibility, society empowerment


(4)

RINGKASAN

FUAD MUCHLIS. ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari). Dibimbing oleh SARWITITI dan YATRI INDAH KUSUMASTUTI.

Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi yang lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri. Proses pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level grass root itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dengan stakeholder lain dalam proses pembangunan.

Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam pemberdayaan masyarakat yang dipengaruhi oleh peran dan kredibilitas fasilitator menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma konstruktivis yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan pada aspek teknik, peran fasilitasi dan pendidikan terkesan diabaikan. Hal ini disebabkan oleh jenis kegiatan yang juga dominan pada aspek teknis yaitu pembangunan infrastruktur. Walaupun di lapangan dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, tetapi karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu maka fasilitator pemberdayaanpun ikut terjebak pada kerja teknis sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh dari pemberdayaan menjadi terabaikan. Peran fasilitator yang mengabaikan aspek fasilitasi dan pendidikan berdampak pada proses komunikasi yang berlangsung dalam implementasi program menjadi tidak partisipatif.

Hasil penelusuran peneliti berhasil merangkum makna kredibilitas fasilitator perspektif partisipan, yaitu : (1) Kompetensi, yang meliputi aspek keahlian dan berpengalaman, menguasai informasi, percaya diri dan berani mengambil resiko; (2) Berkarakter yang meliputi aspek trust , sabar, objektif, disiplin dan rajin; (3) Karismatik yang ditunjukkan oleh sosok yang selalu aktif, tegas, bersemangat, berwibawa, berpenampilan tenang dan bisa memberi teladan; dan (4) Adaftif. Dari perspektif pelaku PNPM MPd terungkap bahwa kredibilitas fasilitator menjadi menurun jika dibandingkan pada program PPK. Hal ini disebabkan oleh (1) semakin longgarnya syarat rekruitment calon fasilitator PNPM MPd jika dibandingkan dengan PPK. PPK mensyaratkan fasilitator


(5)

berpendidikan sarjana yang berpengalaman di bidang pemberdayaan minimal 3 tahun sementara pada program PNPM MPd diturunkan menjadi 0 tahun; dan (2) PPK memberikan pelatihan pra tugas yang relatif cukup bagi calon fasilitator sebelum diturunkan ke lapangan yaitu selama 21 hari, sedangkan PNPM MPd hanya memberi pelatihan selama lima hari saja sehingga praktis pelatihan hanya mampu memberikan materi teknis. Kredibilitas yang cenderung menurun ini juga berdampak pada peran fasilitator yang menurun dan proses komunikasi dengan partisipan juga menjadi tidak partisipatif.

Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator.

Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi, sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain.

Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi.

Dengan merujuk pada konsep akses, heteroglasia dan dialog, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif. Proses komunikasi yang tidak partisipatif disebabkan oleh situasi dimana fasilitator tidak dapat menjalankan peran fasilitasi dan pendidikan secara optimal dan hanya dominan menjalankan peran teknik. Situasi dimana aktivitas pemberdayaan (empowerment) belum berjalan semestinya tersebut juga disebabkan oleh kredibilitas fasilitator yang cenderung menurun dibandingkan dengan program sebelumnya (PPK). Fakta dimana peran fasilitator tidak optimal dan kredibilitas fasilitator yang menurun ini disebabkan oleh “policy” pemerintah terhadap program yang kurang mendorong visi pemberdayaan.

Kata kunci : komunikasi partisipatif, peran fasilitator, kredibilitas, pemberdayaan masyarakat


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF

DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

FUAD MUCHLIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

Judul Tesis : Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).

Nama : Fuad Muchlis

NIM : I352070081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat (Studi kasus pada implementasi PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi, MS dan Ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan serta arahan dengan penuh kesabaran sejak awal penyusunan proposal penelitian, selama di lapangan dan penulisan hingga proses penyelesaian tesis ini serta Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan berharga bagi penyempurnaan tesis ini. Terima kasih juga kepada masyarakat dan perangkat Desa Teluk, pengurus UPK Kecamatan Pemayung, perangkat Kecamatan Pemayung, PJO Kabupaten Batang Hari dan para pelaku PNPM MPd lain yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan pada Mbak Lia (Sekretariat KMP), teman-teman di mayor KMP 2007 (Pak Ojat, Pak Ipunk, Pak Hosea, Mb Ely, Bu Lina, Bu Loli, Bu Retno, Mb Hanif, Wiwin, Uni, Gita, , dan Ria) atas segala dukungannya selama proses belajar. Tidak lupa terima kasih juga untuk teman-teman di Markaz KIC Bogor (Bang Lukman, M.Si, Bang Sofyan, M.Si, Arman, M.Si, Husnul, Hayat, dan Nurhan) untuk kebersamaan yang selalu dan semoga tetap terjalin dengan baik.

Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Jambi yang telah memberikan izin mengikuti pendidikan pascasarjana di SPs IPB, Dirjen Dikti Depdiknas RI atas bea siswa (BPPS) dan Pemerintah Provinsi Jambi c.q Dinas Pendidikan atas bantuan biaya penelitian dan penulisan tesis ini.

Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan do’a ibunda Muhibah beserta seluruh keluarga (Mbak Alfiah, Mas Bisri, Srifitrotun Nisa, Kiki) serta Adinda Rica Natalisa atas segala cinta, pengertian dan dorongan untuk penyelesaian studi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diperlukan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga seluruh upaya ini dapat menjadi amal baik dan bermanfaat. Amin...

Bogor, Agustus 2009


(11)

ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF

DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

FUAD MUCHLIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Fuad Muchlis NRP. I352070081


(13)

ABSTRACT

FUAD MUCHLIS. ANALYSIS OF PARTICIPATORY COMMUNICATION IN PROGRAM OF SOCIETY EMPOWERMENT (Case Study at Implementation of Discussion of PNPM Mandiri Perdesaan In The Teluk Village District Of Pemayung Batang Hari Regency). Under direction of SARWITITI and YATRI INDAH KUSUMASTUTI

Successfullness of assistance activity for society empowerment determined by participatory communication process. PNPM MPd, a recent society empowerment development model initiated by government, has become important and interested research topic related to development communication science. The research aim are to describe the role of facilitator in the activity of PNPM MPd, to express the meaning of facilitators credibility according to perspective of PNPM MPd participant and to analyze participatory communication that happen between facilitator and participant in activity of PNPM MPd in the effort of society empowerment. The research is constructivist paradigm by using design of communication ethnography, which located in Teluk Village District of Pemayung Batang Hari Regency. The research is conducted from 11st March 2009 to 13rd May 2009.

The result of research using access consept, heteroglasia (heterogenity of economic and gender) and dialogue indicates that communication in PNPM MPd activities was not undertaken participatively. Immature replication from PPK to PNPM MPd by government has become the cause of unparticipative communications. The role of facilitator is not maximal due to pursued by target of mechanistic program and greater location coverage. The credibility of facilitator also as a factor that makes PNPM MPd not as good as compared to previous program (PPK). Communication process that is not participatory in every activity of PNPM MPd make this program quite difficult to reach it purpose to empower the society.

Keyword : Participatory communication, role of facilitator, credibility, society empowerment


(14)

RINGKASAN

FUAD MUCHLIS. ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari). Dibimbing oleh SARWITITI dan YATRI INDAH KUSUMASTUTI.

Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi yang lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri. Proses pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level grass root itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dengan stakeholder lain dalam proses pembangunan.

Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam pemberdayaan masyarakat yang dipengaruhi oleh peran dan kredibilitas fasilitator menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma konstruktivis yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan pada aspek teknik, peran fasilitasi dan pendidikan terkesan diabaikan. Hal ini disebabkan oleh jenis kegiatan yang juga dominan pada aspek teknis yaitu pembangunan infrastruktur. Walaupun di lapangan dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, tetapi karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu maka fasilitator pemberdayaanpun ikut terjebak pada kerja teknis sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh dari pemberdayaan menjadi terabaikan. Peran fasilitator yang mengabaikan aspek fasilitasi dan pendidikan berdampak pada proses komunikasi yang berlangsung dalam implementasi program menjadi tidak partisipatif.

Hasil penelusuran peneliti berhasil merangkum makna kredibilitas fasilitator perspektif partisipan, yaitu : (1) Kompetensi, yang meliputi aspek keahlian dan berpengalaman, menguasai informasi, percaya diri dan berani mengambil resiko; (2) Berkarakter yang meliputi aspek trust , sabar, objektif, disiplin dan rajin; (3) Karismatik yang ditunjukkan oleh sosok yang selalu aktif, tegas, bersemangat, berwibawa, berpenampilan tenang dan bisa memberi teladan; dan (4) Adaftif. Dari perspektif pelaku PNPM MPd terungkap bahwa kredibilitas fasilitator menjadi menurun jika dibandingkan pada program PPK. Hal ini disebabkan oleh (1) semakin longgarnya syarat rekruitment calon fasilitator PNPM MPd jika dibandingkan dengan PPK. PPK mensyaratkan fasilitator


(15)

berpendidikan sarjana yang berpengalaman di bidang pemberdayaan minimal 3 tahun sementara pada program PNPM MPd diturunkan menjadi 0 tahun; dan (2) PPK memberikan pelatihan pra tugas yang relatif cukup bagi calon fasilitator sebelum diturunkan ke lapangan yaitu selama 21 hari, sedangkan PNPM MPd hanya memberi pelatihan selama lima hari saja sehingga praktis pelatihan hanya mampu memberikan materi teknis. Kredibilitas yang cenderung menurun ini juga berdampak pada peran fasilitator yang menurun dan proses komunikasi dengan partisipan juga menjadi tidak partisipatif.

Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator.

Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi, sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain.

Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi.

Dengan merujuk pada konsep akses, heteroglasia dan dialog, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif. Proses komunikasi yang tidak partisipatif disebabkan oleh situasi dimana fasilitator tidak dapat menjalankan peran fasilitasi dan pendidikan secara optimal dan hanya dominan menjalankan peran teknik. Situasi dimana aktivitas pemberdayaan (empowerment) belum berjalan semestinya tersebut juga disebabkan oleh kredibilitas fasilitator yang cenderung menurun dibandingkan dengan program sebelumnya (PPK). Fakta dimana peran fasilitator tidak optimal dan kredibilitas fasilitator yang menurun ini disebabkan oleh “policy” pemerintah terhadap program yang kurang mendorong visi pemberdayaan.

Kata kunci : komunikasi partisipatif, peran fasilitator, kredibilitas, pemberdayaan masyarakat


(16)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(17)

ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF

DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)

FUAD MUCHLIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(18)

(19)

Judul Tesis : Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).

Nama : Fuad Muchlis

NIM : I352070081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(20)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat (Studi kasus pada implementasi PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi, MS dan Ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan serta arahan dengan penuh kesabaran sejak awal penyusunan proposal penelitian, selama di lapangan dan penulisan hingga proses penyelesaian tesis ini serta Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan berharga bagi penyempurnaan tesis ini. Terima kasih juga kepada masyarakat dan perangkat Desa Teluk, pengurus UPK Kecamatan Pemayung, perangkat Kecamatan Pemayung, PJO Kabupaten Batang Hari dan para pelaku PNPM MPd lain yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan pada Mbak Lia (Sekretariat KMP), teman-teman di mayor KMP 2007 (Pak Ojat, Pak Ipunk, Pak Hosea, Mb Ely, Bu Lina, Bu Loli, Bu Retno, Mb Hanif, Wiwin, Uni, Gita, , dan Ria) atas segala dukungannya selama proses belajar. Tidak lupa terima kasih juga untuk teman-teman di Markaz KIC Bogor (Bang Lukman, M.Si, Bang Sofyan, M.Si, Arman, M.Si, Husnul, Hayat, dan Nurhan) untuk kebersamaan yang selalu dan semoga tetap terjalin dengan baik.

Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Jambi yang telah memberikan izin mengikuti pendidikan pascasarjana di SPs IPB, Dirjen Dikti Depdiknas RI atas bea siswa (BPPS) dan Pemerintah Provinsi Jambi c.q Dinas Pendidikan atas bantuan biaya penelitian dan penulisan tesis ini.

Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan do’a ibunda Muhibah beserta seluruh keluarga (Mbak Alfiah, Mas Bisri, Srifitrotun Nisa, Kiki) serta Adinda Rica Natalisa atas segala cinta, pengertian dan dorongan untuk penyelesaian studi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diperlukan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga seluruh upaya ini dapat menjadi amal baik dan bermanfaat. Amin...

Bogor, Agustus 2009


(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Teluk Sialang, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi pada tanggal 06 September 1979 dari Ayah Isjudi Syujak (Alm) dan Ibu Muhibah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan Sarjana ditempuh pada tahun 1997 hingga tahun 2002 pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Kesempatan melanjutkan pendidikan program Magister Sains (S.2) Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2007 pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) dengan sponsor Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis diterima sebagai staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi pada Desember 2003 dan mulai aktif bekerja sejak tahun 2004. Selain mengajar penulis juga pernah diperbantukan sebagai Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) pada Badan Pelaksana Kuliah Kerja Nyata (KUKERTA) Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Jambi sejak tahun 2005-2007.


(22)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii DAFTAR GAMBAR ... xiv DAFTAR LAMPIRAN ... xv DAFTAR SINGKATAN ... xvi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Rumusan Masalah ... 5 Tujuan Penelitian ... 5 Kegunaan Penelitian ... 5 TINJAUAN TEORI ... 6 Komunikasi Pembangunan dan Pemberdayaan ... 6 Komunikasi Partisipatif dan Pemberdayaan ... 11 Habermas dan Ruang Publik ... 14 Peran-peran Fasilitator dalam Pemberdayaan ... 15 Kredibilitas Komunikator ... 18 Tentang PNPM Mandiri Perdesaan ... 19 Kerangka Pemikiran ... 28 METODE PENELITIAN ... 30 Paradigma Penelitian ... 30 Desain Penelitian ... 31 Tempat dan Waktu Kajian ... 32 Data dan Metode Pengumpulan Data ... 33 Teknik Analisis Data ... 37 PROFIL DAN PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA TELUK KECAMATAN PEMAYUNG ... 38 Gambaran Umum Wilayah ... 38 Kependudukan ... 41 Aktivitas Pendidikan ... 42 Aktivitas Keagamaan ... 43 Struktur Komunitas ... 44 Organisasi, Kelembagaan dan Kepemimpinan ... 46 Sistem Ekonomi ... 48 AKTIVITAS PNPM MPd DI KECAMATAN PEMAYUNG ... 50 Sekilas Tentang PNPM MPd di Kecamatan Pemayung ... 50 Alur Kegiatan PNPM MPd ... 56 Jenis Kegiatan dalam PNPM MPd ... 61 Pelaksanaan dan Pelestarian Kegiatan PNPM MPd ... 62


(23)

PERAN FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd 65 Peran Teknik ... 65 Peran Fasilitasi... 69 Peran Pendidik ... 74 Ikhtisar ... 77 PEMAKNAAN KREDIBILITAS FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd ... 78

Kredibilitas Fasilitator: Perspektif Partisipan ... 78 Kompetensi ... 78 Berkarakter ... 81 Karismatik ... 82 Adaptif ... 84 Kredibilitas Fasilitator : Perspektif Pelaku PNPM MPd ... 86 Ikhtisar ... 88 ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM IMPLEMENTASI

MUSYAWARAH DI PNPM MPd ... 90 Akses yang Tak Sama ... 98 Heteroglasia yang Terabaikan ... 100 Komunikasi Tanpa Dialog ... 106 Ikhtisar ... 109 SIMPULAN DAN SARAN ... 110 Simpulan ... 110 Saran ... 112 DAFTAR PUSTAKA ... 113 LAMPIRAN ... 117


(24)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Daftar Informan di Lokasi Penelitian ... 34 2. Orbitasi Jarak dan Waktu Tempuh Desa Teluk dari Pusat

Pemerintahan ... 39 3. Komposisi Penduduk Desa Teluk Berdasarkan Jenis Kelamin,

Tingkat Kesejahteraan dan Tingkat Pendidikan Tahun 2008 ... 41 4. Jenis dan Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Pemayung .... 42 5. Kegiatan PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan Kecamatan Pemayung 52 6. Pemetaan Pembangunan Infrastruktur dan Pembiayaan PPK


(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian ... 29 2. Proses Analisis Data Penelitian... 37 3. Struktur Kelembagaan Pemerintahan Desa Teluk Tahun 2008 ... 47 4. Kunjungan Dirjen PMD Depdagri RI dan Salah Satu Event Komunikasi pada PNPM MPd (MAD III) di Kecamatan Pemayung... 51 5. Fasilitas infrastruktur bangunan PNPM MPd dan aktivitas Simpan

Pinjam Khusus Perempuan (SPP) di Kecamatan Pemayung ... 53 6. Peneliti bersama Fasilitator Usai Melakukan Wawancara di Ruang UPK PNPM MPd Kecamatan Pemayung ... 54 7. Alur Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan ... 57 8. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh rekanan

Dinas PU di Desa Teluk ... 66 9. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh Masyarakat Melalui PPK di Desa Teluk ... 67 10. Posisi Tempat Duduk Peserta Rapat ... 91 11. Pemisahan Tempat Duduk Peserta Rapat antara Kelompok Laki-laki dan Kelompok Perempuan ... 92


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian ... 117 2. Metoda Pengumpulan Data dan Informasi Penelitian ... 118 3. Surat Izin Penelitian ... 119


(27)

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

ADD : Alokasi Dana Desa

AD/ART : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BKAD : Badan Kerja Sama Antar Desa

BBM : Bahan Bakar Minyak

BLM : Bantuan Langsung Masyarakat

BPKP : Badan Pemeriksan Keuangan dan Pembangunan

BPS : Badan Pusat Statistik

FK : Fasilitator Kecamatan

FasKab : Fasilitator Kabupaten

HAM : Hak Asasi Manusia

HOK : Hari Orang Kerja

IPM : Indeks Pembangunan Manusia

Kades : Kepala Desa

KM-Prov : Konsultan Manajemen (tingkat) Provinsi KPMD : Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MAD : Musyawarah Antar Desa

MDGS : Milenium Development Goals

Musdes : Musyawarah Desa

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM MPd : PNPM Mandiri Perdesaan

PPK : Program Pengembangan Kecamatan

PELITA : Pembangunan Lima tahun

Perda : Peraturan Daerah

PerDes : Peraturan Desa

PJOK : Penanggung Jawab Operasional Kegiatan PjOKab : Penanggung Jawab Operasional Kabupaten PjOProv : Penanggung Jawab Operasional Provinsi


(28)

PMD : Pemberdayaan Masyarakat Desa

P2KP : Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan Pokmas : Kelompok Masyarakat

PTO : Petunjuk Teknis Operasional

RAB : Rencana Anggaran Biaya

RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

RT : Rukun Tetangga

RTM : Rumah Tangga Miskin

RW : Rukun Warga

SDM : Sumber Daya Manusia

SPP : Simpan Pinjam Khusus Perempuan

TPK : Tim Pengelola Kegiatan

TP3 : Tim Pengelola dan Pemelihara Prasarana

TPU : Tim Penulis Usulan

TV : Tim Verifikasi

UEP : Usaha Ekonomi Produktif


(29)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan pendekatan top-down dan sentralistis, belum berhasil menghadirkan kesejahteraan bagi publik dalam arti yang sesungguhnya. Implementasi pendekatan dan sistem pembangunan tersebut mengakibatkan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, bukan dalam pengertian partisipasi yang sebenarnya, tetapi lebih pada dimobilisasi. Karena itu, kegiatan pembangunan makin menjadikan masyarakat sangat bergantung terhadap input-input dari pemerintah. Hal ini menjadikan masyarakat menjadi kurang percaya diri, tidak kreatif dan tidak inovatif. Pendekatan top-down dan sentralistis juga mengakibatkan hak-hak masyarakat terserap ke dalam kepentingan pemerintah, dan menjadikannya tidak berdaya baik pada aspek politik, sosial dan ekonomi. Pada aspek ekonomi misalnya, terlihat bahwa upaya penanganan kemiskinan untuk menyejahterakan rakyat tidak benar-benar berhasil secara nyata.

Penanganan kemiskinan sesunguhnya sejak lama telah diupayakan. Sejak PELITA I (era pemerintahan Suharto) upaya penanganan kemiskinan yang dilakukan pemerintah telah menjangkau berbagai pelosok tanah air. Out-putnya, secara kuantitatif menunjukkan hasil yang cukup significant. Hal ini terlihat pada data statistik yang menunjukkan, ketika dimulainya pembangunan lima tahunan (PELITA) pada akhir 1960-an, kurang lebih 60 persen penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, dan kemudian pada 1996-an menjadi sekitar 12 persen dari total penduduk Indonesia (BPS 1997). Tetapi, ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-an telah mengecilkan pencapaian prestasi pembangunan pada umumnya dan penurunan angka kemiskinan pada khususnya. Krisis tersebut menyebabkan melonjaknya angka kemiskinan mencapai 40 persen dari total penduduk Indonesia. Terdapat pelajaran berharga dan (mungkin) sebagai penyadaran bagi para penyelenggara negara, bahwa kebijakan dalam melakukan pembangunan yang menempatkan warga miskin sebagai obyek pembangunan perlu dikoreksi.

Respons terhadap pendekatan pembangunan tersebut, berkembanglah diskusi tentang civil society di kalangan perguruan tinggi maupun organisasi non pemerintah. Diskursus tentang civil society ini menyadarkan para penyelenggara negara untuk menemukan pendekatan baru dalam kebijakan pembangunan yang


(30)

2

berpihak pada rakyat dengan mengedepankan demokratisasi dan hak asasi manusia (HAM). Terkait dengan wacana civil society ini berkembang pula pemikiran, bahwa untuk mewujudkan bangsa yang demokratis, harus dimulai dari masyarakat akar rumput (grass root).

Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pelaksanaan pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an tersebut. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu ternyata telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri serta cara-cara merealisasikan kebutuhannya itu melalui proses pembangunan. Proses pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level akar rumput (grass root) itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dalam proses pembangunan. Dalam konteks ini pemberdayaan ditantang untuk dapat menumbuhkan kembali inovasi dan kreatifitas rakyat (Wrihatnolo 2007)

Salah satu program pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan (empowerment) yang diusung oleh pemerintah saat ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M). PNPM-M diharapkan dapat mewujudkan masyarakat berdaya dan mandiri yang mampu mengatasi berbagai persoalan kemiskinan, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam menerapkan model pembangunan partisipatif yang berbasis kelembagaan masyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan meningkatkan capaian manfaat program kepada kelompok sasaran yang ditandai dengan adanya peningkatan IPM Milenium Development Goals (MDGs).

Sejak tahun 2007, PNPM Mandiri dilaksanakan dengan memperluas cakupan wilayah sasaran pelaksanaan P2KP dan PPK. Selanjutnya pada tahun 2008 mulai diterapkan PNPM Mandiri Perkotaan (pengembangan dari P2KP) dan PNPM Mandiri Perdesaan (pengembangan dari PPK). Proses pemberdayaan masyarakat dititikberatkan pada fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat di tingkat basis kelurahan/desa, fasilitasi pengintegrasian program jangka menengah penanggulangan kemiskinan tingkat kelurahan/desa sesuai kebutuhan masyarakat dengan perencanaan pemerintah. Program ini diharapkan dapat menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar delapan persen dan


(31)

3

tingkat pengangguran menjadi sebesar lima persen sampai dengan tahun 2009 (Pedum PNPM Mandiri 2007/2008)

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah PNPM Mandiri yang merupakan kelanjutan dari program-program pemberdayaan sebelumnya (PPK dan P2KP) benar-benar mampu memberdayakan keluarga miskin ? Dalam penelitiannya, Solihin (2005) menyebutkan bahwa pada aspek ekonomi terjadi peningkatan modal dan pendapatan bagi masyarakat miskin sebesar 60 persen sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pada aspek sosial juga terjadi peningkatan interaksi sosial antar anggota KSM dengan fasilitatornya dan terjadi peningkatan partisipasi warga masyarakat. Selanjutnya juga terjadi peningkatan pada aspek pembangunan sarana dan prasarana fisik di lokasi kegiatan.

Hal yang kontras justru terjadi pada penelitian Zainuri (2005) yang memfokuskan penelitiannya pada proses partisipasi, transfer kekuasaan dan perbaikan kualitas hidup menurut perspektif pekerjaan sosial. Ia menyatakan bahwa Program Pengembangan Kecamatan/PPK (sekarang PNPM Mandiri Perdesaan) ternyata belum berhasil memberdayakan keluarga miskin. Berikutnya penelitian Muchtar (2007) juga membuktikan bahwa tidak terjadi proses pemberdayaan dalam implementasi P2KP (sekarang PNPM perkotaan).

Keberhasilan sebuah kegiatan pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat akan ditentukan oleh komunikasi yang partisipatif. Adanya komunikasi yang partisipatif memungkinkan anggota komunitas penerima program (partisipan) memiliki rasa tanggung jawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan masyarakatnya serta dapat menggali potensi dan kreativitas masyarakat. (Suparjan et al. 2003). Dengan komunikasi partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan kreativitas masyarakat dapat lebih tergali. Pendeknya, dengan pendekatan partisipatif diharapkan dapat berkembangnya aktifitas yang berorientasi pada kompetensi dan tanggung jawab sosial sebagai anggota komunitas itu sendiri. Dengan melibatkan masyarakat dalam keseluruhan proses, maka keterampilan analisis dan perencanaan menjadi teralihkan kepada mereka atau partisipan.

Proses-proses komunikasi dalam PNPM MPd dapat teramati dalam berbagai event komunikasi di lokasi kegiatan. Dalam proses ini peran seorang fasilitator sangat menentukan apakah komunikasi berjalan secara partisipatif atau sebaliknya. Hal ini dapat dipahami karena fasilitator merupakan ujung tombak dalam aktivitas PNPM MPd. Ia adalah sosok yang selalu bersentuhan langsung


(32)

4

dengan partisipan atau penerima program di lapangan. Dalam konteks ini faktor kredibilitas yang melekat pada diri seorang fasilitator juga sangat menentukan keberhasilan dalam menjalankan peran-peran pendampingan bervisi pemberdayaan.

Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat yang ditunjukkan oleh peran seorang fasilitator dan kredibilitas yang melekat pada dirinya menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma kualitatif yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang komunikasi pembangunan.

Perumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah yang diungkap oleh peneliti adalah bagaimana peran fasilitator dalam melakukan pendampingan, bagaimana partisipan dan pelaku PNPM MPd memaknai kredibilitas seorang fasilitator dalam melakukan pendampingan untuk memberdayakan masyarakat serta bagaimana proses komunikasi berlangsung antara fasilitator dan partisipan dalam aktivitas PNPM MPd di lokasi penelitian ?

Tujuan Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan peran fasilitator dalam melakukan pendampingan pada aktivitas PNPM MPd.

2. Mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator dalam melakukan pendampingan menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd

3. Menganalisis komunikasi partisipatif yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat.


(33)

5

Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Memberikan masukan strategis yang efektif dan efisien kepada pemegang kebijakan program PNPM MPd

2. Memberikan sumbangan hasil diskusi bersama partisipan kepada pelaku PNPM Mandiri Perdesaan dan komponen masyarakat yang peduli terhadap isu-isu pemberdayaan.


(34)

6

TINJAUAN TEORI

Komunikasi Pembangunan dan Pemberdayaan

Dalam konteks komunikasi pembangunan, Melkote (2002) mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok paradigma dominan (modernisasi) dan kelompok paradigma alternatif (pemberdayaan). Teori-teori dan Intervensi dalam paradigma dominan dari modernisasi dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Daniel Lerner dalam bukunya The Passing of Traditional Society menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasi dan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu, kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional (Sarwititi 2005).

Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Teori Difusi dan Inovasi (Diffusion of Innovation Theory) yang mulai ditulis Rogers (1962) dan berkembang pada tahun 1970-an yang beranggapan bahwa pembangunan terjadi melalui penyebaran (difusi) inovasi dari agen pembangunan ke luar sistem sosial di tingkat lokal melalui berbagai saluran (Media massa, interpersonal dan lain-lain) kepada anggota-anggota sistem sosial dalam kurun waktu tertentu. Pendekatan ini mendapat kritik dari kalangan komunikasi pembangunan antara lain tidak memberikan umpan balik yang sangat mempengaruhi keberhasilan kampanye. Sejak akhir tahun 1970-an dan berkembang pada tahun 1990-an muncullah pendekatan pemasaran sosial yang melihat bahwa proses komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai proses bertahap yang memerlukan pesan-pesan dan pendekatan yang berbeda pada setiap tahap proses perubahan perilaku. Pengembangan lebih jauh dari pendekatan pemasaran sosial ini adalah strategi hiburan pendidikan yang berkembang pada akhir tahun 1990-an. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa media massa sangat


(35)

7

efektif dalam meningkatkan tingkat kognisi khalayak mengenai kejadian-kejadian yang spektakuler dan media massa berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan khalayak termasuk hiburan dan informasi sesuai dengan teori uses and gratification. Selain itu kecendrungan komersialisasi dan privatisasi media meningkatkan pertumbuhan dan kepopuleran program hiburan-pendidikan (entertainment-education program). Dalam pendekatan ini pendidikan melekat pada program-program hiburan. Teori-teori modelling, self efficacy dan para-social interaction digunakan untuk menduga dan menjelaskan hierarki efek yang dihasilkan program media.

Sedangkan paradigma alternatif dalam komunikasi pembangunan melihat perlunya memasukkan masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan perlindungan budaya asli dalam konsep pembangunan. Terdapat dua jalur dalam pendekatan alternatif-komunikasi partisipatori, yakni PAR (Participatory Action Research) dan pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan dan psikologi komunitas. Oleh karena itu, pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan dapat diamati pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di tingkat komunitas, pemberdayaan berarti proses peningkatan kontrol kelompok-kelompok terhadap konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi anggota kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al. 1984 diacu dalam Melkote 2002). Sedangkan di tingkat individu pemberdayaan didefinisikan sebagai “perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau pengaruh pribadi dan kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual, kekuasaan politis dan hukum legal (Rappaport 1987 diacu dalam Melkote 2002)

Pergeseran pada isu pemberdayaan memberikan implikasi kepada perubahan etika, metodologi dan filosofi konsep-konsep dalam teori-teori komunikasi pembangunan (Wilkins 2002 diacu dalam Sarwititi 2005). Dalam hal etika, peneliti komunikasi didorong untuk peduli terhadap kelompok yang tertindas : wanita, orang miskin, kelompok etnis dan bahasa minoritas, pengungsi dan lain-lain. Perhatian terhadap hal-hal praktis dan etis (aksiologi) menjadi lebih diutamakan daripada masalah epistimologis seperti obyektivitas dan pemisahan antara peneliti dan yang diteliti (detacmhment)

Jan Servaes menghubungkan pemberdayaan dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara kolektif pada semua tingkat sosial sehingga masyarakat dapat mengkontrol dampak dari keputusan tersebut. Pemberdayaan


(36)

8

adalah usaha untuk menjamin bahwa rakyat mampu menolong diri mereka sendiri (Servaes 1999). Lebih lanjut Servaes (1999) juga menyatakan bahwa inisiatif pembangunan harus diawali dari komunitas dan organisasi akar rumput. Bagi Servaes aktor utama dalam proses pembangunan adalah pergerakan sosial yang menyempal dari kondisi yang stabil dan membentuk struktur hirarki untuk menampilkan sistem bebas dari komunikasi dan organisasi. Untuk memperoleh energi pembangunan organisasi lokal harus diijinkan untuk memutuskan program-progam, isu-isu, bagaimana mengatasinya dan bagaimana hal tersebut dievaluasi.

Kedua, dalam model pembangunan yang inisiatifnya berasal dari akar rumput partisipasi struktur komunikasi menjadi sangat penting. Secara tidak langsung dibutuhkan suatu media yang dikuasai oleh komunitas lokal, organisasi dan pergerakan. Hal ini akan mendorong mereka untuk memilih informasi yang benar-benar penting dan membentuk gambaran positif tentang diri mereka sendiri. Dengan begitu organisasi akan memiliki peluang untuk mempengaruhi media lainnya.

Ketiga, langkah penting dalam pemberdayaan adalah bahwa tiap unit pembangunan harus bersifat mandiri. Hal ini berarti mengurangi ketergantungan pada mitra yang berkuasa, tiap unit harus berusaha mencari dan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan sumberdaya yang ada. Intinya adalah tidak tergantung pada pihak luar, kalaupun tergantung pada sumberdaya yang berasal dari luar maka sifatnya hanya melengkapi dari apa yang sudah ada.

Keempat, menyadari pentingnya kebijakan desentralisasi. Pembangunan di suatu negara tidak didominasi oleh satu pusat metropolitan melainkan terdiri atas beberapa pusat pemerintahan lokal dan regional yang tersebar.

Kelima, pembangunan harus didefinisikan secara kultural daripada secara ekonomi atau politik, menurut Servaes kebudayaan merupakan arena perjuangan dari upaya pemberdayaan.

Selanjutnya, Melkote dan Steves (2001) juga menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah konsep inti dari dari pengorganisasian. Mereka menganggap ketidaksamaan kekuasaan merupakan masalah utama dari masalah pembangunan. Menurut mereka pemberdayaan adalah suatu proses dimana individu atau organisasi memperoleh kontrol dan menguasainya melalui suatu kondisi sosial ekonomi, melalui partisipasi demokrasi dalam komunitasnya dan melalui kisah mereka sendiri


(37)

9

Sementara itu, Payne (1997) diacu dalam Nasdian (2003), mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment), pada intinya, ditujukan untuk :

“to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existising power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.” Pemberdayaan adalah kegiatan yang ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya). Shardlow (1998) diacu dalam Adi IR (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka “such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their own future”. Pemberdayaan (empowerment) juga dapat didefinisikan sebagai “proses “ maupun sebagai hasil (DuBois & Miley 2005 diacu dalam Suharto 2006). Sebagai “proses” pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemampuan personal, interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi kehidupannya. Sebagai sebuah hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan atau keberkuasaan.

Definisi lain tentang pemberdayaan dikemukakan oleh Suharto (2005) yang berpendapat sebagai sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Sementara itu Ife (1995), menyatakan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit tetapi penguasaan klien atas pilihan personal untuk membuat keputusan gaya hidup, mendefinisikan kebutuhan, kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan, kemampuan menjangkau dan menggunakan lembaga masyarakat, kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan dan kemampuan memanfaatkan dan mengelola


(38)

10

mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang serta jasa. Dengan demikian pemberdayaan diterjemahkan sebagai serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu yang mengalami masalah kemiskinan.

Penelitian terkini mengenai komunikasi pembangunan menekankan bahwa pemberdayaan merepresentaikan harga diri, dan nilai identitas seseorang dan bentuk re-evaluasi kebudayaan lokal. Hal tersebut juga dapat dinyatakan sebagai institusi kebudayaan sehingga orang yang memiliki modal kebudayaan dihargai dan diakui. Ini juga penting dalam hal pergantian kebudayaan seseorang tidak harus mengganti identitas dirinya. Konsep pemberdayaan yang berkembang saat ini akan berbahaya jika tidak diorientasikan secara jelas kepada pelayanan masyarakat, pemberdayaan harus secara eksplisit diletakkan dalam kerangka kerja yang sesuai dengan paramater kemanusiaan dan kesamaan sosial (White 2004).

Berangkat dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan”. Sebagai proses , pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu : penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan (Wrihatnolo 2007). Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai “sesuatu”. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun “demand) diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka. Tahap kedua adalah pengkapasitasan atau “capacity building” atau sederhananya adalah memampukan (enabling). Proses pengkapasitasan dilakukan pada tiga aspek, yaitu (1) memampukan manusia, baik dalam konteks individu maupun kelompok; (2) memampukan organisasi, dapat dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut; dan (3) memampukan sistem nilai (aturan main). Dalam cakupan organisasi, sistem nilai berkenaan dengan AD/ART, sistem dan prosedur dan peraturan. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya organisasi dan etika organisasi. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan “aturan main” diantara mereka sendiri. Tahap ketiga adalah pemberian daya itu sendiri. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas atau peluang.


(39)

11

Komunikasi Partisipatif dan Pemberdayaan

Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk “membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.“ (Payne 1979 diacu dalam Nasdian 2003)

Harus diakui bahwa selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003).

Terhadap pengertian partisipasi di atas, terjadi tindakan korektif yang disejajarkan dengan upaya mencari definisi masyarakat yang lebih genuine, aktif dan kritis. Konsep yang baru tersebut menumbuhkan daya kreatif dalam dirinya sendiri sehingga menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh Paul (1987) diacu dalam Nasdian (2003) sebagai berikut :

“……participation refers to an active process whereby beneficaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share of project benefits. “

Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai “sadar” akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka (memiliki kesadaran kritis). Partisipasi telah menjadi kata kunci untuk suatu perubahan dan menjadi koreksi total terhadap berbagai sistem interaksi (komunikasi) termasuk antara pemerintah dan rakyatnya. (Dwivedi 2003). Komunikasi partisipatif dengan demikian mesti dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pendidikan masyarakat yang partisipatif, tentu bukan sekedar teknik melainkan suatu


(40)

12

pendekatan atau bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama yang bersifat sistem bank.

Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif.

“…..participation is concerned with the distribution of power in society, for it is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met through the distribution of resources” (Curtis et al. 1978 diacu dalam Nasdian 2003).

Selanjutnya Rahim (2007), mengajukan empat konsep terkait komunikasi partisipatif yang akan mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval.

Pertama, Heteroglasia; Konsep ini menunjukan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda-beda dengan berbagai variasi ekonomi, sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik di tingkat nasional-lokal, makro-mikro, publik-privat, teknis-ideologis dan informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut terdapat berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan berbagai peserta yang berbeda. Sebagai contoh, dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan menggunakan bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Sementara itu, petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata yang berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan permasalahan yang sama, tapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan yang lainnya.

Tantangan bagi komunikasi pembangunan adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan heteroglasia, bagaimana menempatkan konsep tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi dan kelompok yang berbeda-beda atau variasi pandangan tentang pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Inilah yang menjadi problem dari partisipasi.


(41)

13

Kedua, Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Dalam dialog yang diperluas, masing-masing peserta juga melakukan dialog dengan dirinya sendiri sebelum berbicara atau merespon peserta yang lain. Peserta dalam dialog tidak memiliki kedaulatan ego, dia mesti membangun suatu kesadaran diri (sosial). Kesadaran dirinya tergantung pada seberapa aktif kesadaran sosial yang lain juga dimunculkan. Ketika peserta berbicara kepada yang lain pesan mereka secara umum terhubung dan tergantung pada pesan yang disampaikan oleh pembicara lain pada waktu dan tempat yang berbeda.

Dialog internal merupakan aspek penting dalam proses dialog. Ini mirip seperti meditasi. Subjek meditasi menumbuhkan perhatian pada dunia sekitar dan subjek lain yang ada dalam dunia. Dia secara diam berbicara dengan mereka, berargumentasi dengan mereka, mencoba untuk mengerti posisi mereka, dan dalam proses tersebut menguji secara kritis ideologi mereka sendiri. Meskipun demikian hanya sedikit orang yang dapat melakukan meditasi seperti ini. Bagi sebagian orang lain, hal ini harus dipelajari dan itu dapat dipraktekkan apabila situasi komunikasi di desain untuk menstimulai proses tersebut. Salah satu jalan untuk mendorong meditasi tersebut dalam komunikasi pembangunan adalah dengan menstrukturkan situasi-situasi komunikasi untuk meditasi tertentu dan untuk mengkonstruksi suatu pesan yang dapat menstimulasi suatu dialogi internal.

Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain, atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar, dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain.

Ketiga, Poliponi adalah bentuk tertinggi dari suatu dialog dimana suara-suara yang tidak menyatu atau terpisah dan meningkat menjadi terbuka, memperjelas satu sama lain, dan tidak menutupi satu sama lain. Itu adalah suatu bentuk ideal dari komunikasi partisipatif dimana keberbedaan suara-suara disadari secara kolektif dengan menghubungkan berbagai perlakuan konstruksi umum komunitas. Kesatuan poliponi bukan sesuatu yang diperkenalkan dari luar tetapi terbangun dari suatu proses dialog sehingga otonomi suatu suara selalu


(42)

14

diartikulasikan dengan yang lain, mendirikan ikatan saling ketergantungan yang saling menguatkan.

Keempat, Karnaval ; Konsep ini bagi komunikasi pembangunan membawa semua varian dari semua ritual seperti legenda, komik, festival, permainan, parodi, dan hiburan secara bersama-sama. Proses ini dilakukan dengan tidak formal dan biasa juga diselingi oleh humor dan canda tawa. Anggota komunitas didorong berpartisipasi dalam karnaval secara bebas. Karnaval tidak memiliki sanksi resmi. Ini merupakan lawan dari sesuatu yang serius dan otoritatif dari Negara, agama, politik, dan doktrin-doktrin ekonomi. Karnaval dan pembangunan bermain secara berdampingan, masing-masing saling mengartikulasikan dan mengisi. Orang-orang hidup dengan karnaval sebelum dan selama mereka hidup dengan pembangunan. Bahasa dan gaya dari komunikasi karnaval selalu berdasarkan pengalaman khalayak yang tidak dimediasi, menggunakan kosakata yang umum, fantastik dan berbau pengalaman dari mereka.

Habermas dan Ruang Publik

Menurut Habermas, masyarakat memiliki tiga jenis kepentingan yang masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing. Kepentingan pertama adalah teknis, adalah kepentingan untuk menyediakan sumberdaya natural. Kepentingan yang kedua adalah interaksi. karena kerjasama sosial amat dibutuhkan untuk bertahan hidup, Habermas menamakannya kepentingan “praktis”. Ia mencakup kebutuhan-kebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi beserta praktek-prakteknya. Kepentingan yang ketiga adalah kekuasaan. Tatanan sosial, secara alamiah cenderung pada distribusi kekuasaan, namun pada saat yang sama juga memiliki kepentingan untuk membebaskan diri dari dominasi. Kekuasaan mengarah pada distorsi terhadap komunikasi, namun dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan dirinya untuk mengubah keadaan. Maka, kepentingan kekuasaan adalah kepentingan yang “emansipatoris”.

Masyarakat selalu mengandung ketiga jenis kepentingan ini. Pertentangan antar kepentingan-kepentingan yang ada, hanya dapat diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional. Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep ruang publik. Baginya, ruang publik adalah wahana di mana setiap kepentingan


(43)

15

terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi, kemudian mereka terdorong untuk mendahulukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan maasalah-masalah yang mereka hadapi. Ruang Publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta situasi berbicara yang ideal. Situasi yang ideal ini, adalah keadaan di mana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Dalam situasi ideal ini, kebenaran muncul lewat argumentasi.

Ruang Publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat. Kekuasaan, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam ruang publik. Sementara masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa. Hanya melalui ruang publik inilah, dapat terwujud masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan menanggulangi krisis yang mereka hadapi (Hardiman 1993).

Peran-Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan

Prinsip dasar dari kegiatan pendampingan adalah egaliter atau kesederajatan kedudukan. Dengan demikian hubungan yang terjalin antara fasilitator dan komunitas (masyarakat) adalah berupa kemitraan (partnership). Artinya adalah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.

Pendampingan komunitas adalah proses saling hubungan dalam bentuk ikatan pertemanan atau perkawanan antara fasilitator dengan komunitas, melalui dialog kritis dan pendidikan berkelanjutan, dalam rangka menggali dan mengelola sumber daya, memecahkan persoalan kehidupan secara bersama-sama serta mendorong tumbuhnya keberanian komunitas untuk mengungkapkan realitas yang meminggirkan dan melakukan aksi untuk merombaknya. Pendampingan komunitas pedesaan juga diartikan sebagai proses pembangunan organisasi dan peningkatan kemampuan dalam menangani berbagai persoalan dasar yang mereka hadapi untuk mengarah kepada perubahan kondisi hidup yang semakin baik.

Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat. Dalam suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini bergerak dari satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda.


(44)

16

Oleh karena itu, tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang “generalist”. (Nasdian 2003).

Ife (1995), membagi menjadi empat kategori seorang fasilitator dalam pengembangan masyarakat sebagai berikut :

1. Peran Fasilitatif

Dalam proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat, dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri : bersemangat, memiliki komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, mampu menganalisis dan mengambil langkah yang tepat, dan mudah bergaul dan terbuka; (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar, dan mampu bernegosiasi (negosiator); (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas ; (d) membantu anggota komunitas untuk mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak; (e) memberikan fasilitas kepada anggota komunitas; dan (f) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas.

2. Peran Pendidik

Tantangan untuk fasilitator adalah ‘mengajar’ dengan cara seterbuka mungkin sambil mananggapi agenda partisipan, daripada menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi profesional. Ini dapat menjadi suatu tantangan yang berarti, dan menekankan pentingnya diskusi analisa struktural yang lebih luas. Banyak dari ketrampilan dasar yang berasosiasi dengan pendidikan, seperti dengan kelompok dan interaksi interpersonal. Mereka memasukkan dan memberikan suatu gagasan dengan menggunakan bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, dapat mendengar dan menanggapi pertanyaan orang lain dan merasakannya. Peran pendidikan dari fasilitator adalah menerbitkan kesadaran, menginformasikan, menghadapkan (mengkonfrontasi), dan memberikan pelatihan kepada partisipan.

Dalam konteks ini seorang fasilitator mesti mampu menjawab bagaimana dia menumbuhkan kesadaran (conciousness), menyampaikan informasi, menciptakan dinamika internal dari suatu komunitas, dan


(45)

17

memberikan pelatihan berdasarkan topik yang sesuai dengan kebutuhan anggota komunitas. Fasilitator dituntut berperan aktif dalam proses pendidikan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Kegiatan itu tidak saja membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari.

3. Peneliti

Fasilitator juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian , guna mengumpulkan dan menginterpretasikan data baru yang terkait, sehingga dapat memperkaya wawasan dan memberikan sumbangan bagi pengembangan model pemberdayaan sejenis di masa mendatang. Pekerja masyarakat (fasilitator) tidak terelakkan terlibat di dalam proses-proses riset, dengan menggunakan bermacam metodologi riset ilmu sosial untuk mengumpulkan data yang relevan, meneliti dan menyajikan data. Hal ini termasuk dalam hal merancang dan melaksanakan survai sosial, meneliti data dari survei-survei, menggunakan dan meneliti data sensus, mengumpulkan dan meneliti data tentang permintaan dan pemanfaatan berbagai jasa. Ini adalah satu bidang di mana pengetahuan teknis seperti sampling, membangun daftar pertanyaan/kuisioner dan analisis statistik diperlukan jika pekerjaan sosial ingin berjalan dengan baik.

4. Peran Teknikal

Dalam proses pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan keahlian dan teknik-teknik yang khas, terutama untuk melakukan “need assesment”. Peran teknik yang akan dilakukan oleh seorang fasilitator dalam pemberdayaan dapat terlaksana jika yang bersangkutan memiliki kualifikasi teknis untuk membantu masyarakat melakukan hal-hal teknis yang berkaitan dengan pembangunan prasarana desa. Untuk maksud tersebut,seorang fasilitator teknik harus memiliki tiga macam keterampilan, yaitu :

a. Keterampilan untuk memberdayakan masyarakat, termasuk peningkatan kapasitas teknis dan manajerial. Hal ini termasuk keterampilan untuk menerapkan prosedur dan metode yang mendorong peningkatan tingkat pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan pengalihan ilmu sesuai dengan uraian tugas.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adi IR. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI

[Anonim]. Profil Desa Teluk Tahun 2008. Jambi: Kantor Kepala Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi.

Antoni. 2004. Riuhnya Persimpangan Itu. Profil dan Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi. Solo: Tiga Serangkai.

Agusta I. 2007. Kritik Atas Komunikasi Pembangunan dan Program Pengembangan Kecamatan. Bogor: Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol. 01 No.03 Desember 2007. Departemen KPM IPB.

Bagus, L. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bungin B. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2001. Data Statistik Indonesia [terhubung berkala].

http: //www.demografi.bps.go.id. [15 November 2008]

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Batang Hari dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari 2008

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kecamatan Pemayung dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari 2008

Creswell JW. 2002. Research Design Qualitative & Quantitatif Approaches. Terjemahan oleh Angkatan III & IV KIK UI. Jakarta : KIK UI Press. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2008. PTO (Petunjuk

Teknis Operasional) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Jakarta : Tim Koordinasi PNPM Mandiri Perdesaan.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2008. Penjelasan PTO (Petunjuk Teknis Operasional) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Jakarta : Tim Koordinasi PNPM Mandiri Perdesaan.

[Depdagri] Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. 2008. Pedoman Umum (Pedum) PNPM Mandiri Tahun 2007/2008. Jakarta: Tim Koordinasi PNPM Mandiri .

Denzin. N.K. 1989. Interpretive Biography : Qualitative Research Method Series 17. Sage Publications

Dey I. 1993. Qualitative Data Analysis, A user-friendly Guide for social scientist. New York: Library of Congress Cataloging data.

Devito, 1997. Human Communication. Edisi Kelima. Jakarta: Professional Books. Dwivedi A. 2003. Metodelogi Pelatihan Partisipatif. Cetakan I Bantul: Pondok

Edukasi

Etzioni A.1964. Complex Organizations a Sociological Reader. New York: Holt Rinehart and Winston.


(2)

Freire P. 1984. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : LP3ES.

Freire P. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. DiIndonesiakan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta : PT. Gramedia.

Gube Egon G. Ed.1990. The Paradigm Dialog. Newbury Park. London. New Delhi: SAGE Publications.

Habermas J. 1984. Theory of Communicattive Action Boston: Beacon.

Hardiman FB. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu, Masyarakat Politik & Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. Hidayah N. 2005. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Swadaya

Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Hidayat DN. 1999. Paradigma Klasik dan Hypoyheco Deductive Method. Bahan Penunjang Kuliah Metodologi Penelitian Sosial Program Studi Ilmu-ilmu social. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Ife J. 1995. Community Development: Creating community lternatives-vision, analysis and practice, Australia: Longman Pty Ltd.

Khan M, Mackwon. 1997. Introduction to Political Science. Ontario:.Irwin-Dorsey Ltd.

Kuswarno E. 2008. Etnografi Komunikasi. Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Bandung:Widya Padjajaran.

Melkote SR. 2006. Everett M. Rogers and His Contributions to the Field of Communication and Social Change in Developing Countries. Journal of Creative Communications 1:1 (2006) SAGE PUBLICATIONS New Delhi: l Thousand Oaks l London

Miles MB, Huberman AM. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Moelong LJ. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Muchtar. 2007. Strategi Pemberdayaan Berbasis Kelembagaan Lokal Dalam Penanganan Kemiskinan Perkotaan(Kasus Implementasi P2KP di Desa Sukadanau). Jakarta: Jurnal BALATBANGSOS Departemen Sosial Republik Indonesia.

Nasdian. 2003. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor: Bagian Ilmu-ilmu Sosial, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian-IPB.

Rahim SA. 2004. Participatory Development Communication as a Dialogical Process dalam White, SA. 2004. Participatory Communication Working for Change and Devwelopment. New Delhi: Sage Publication India Pvt Ltd

Rachman ZM. 2007. Teknik Fasilitasi Partisipasi Pendampingan Masyarakat. Tim Partnership for e-Prosperity for the poor (Pe-PP). Jakarta: Bappenas-UNDP.


(3)

Rogers EM. 1985. Komunikasi dan Pembangunan Perspektif Kritis. Jakarta: LP3ES.

Ritzer G, Douglas JG. 2004. Teori Sosiologi Modern (terjemahan dari Modern Sociological Theory oleh Alimandan). Jakarta : Penerbit Kencana

Sahab K. 2002. Perubahan Nilai-nilai Sosial Budaya, Kajian Kasus Perubahan Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Pada Masyarakat Bengkulu [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor

Salim A. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana

Saribanon N. 2007. Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis Masyarakat (Kasus di Kotamadya Jakarta Timur). [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarja. Institut Pertanian Bogor.

Sarwititi. 2005. Tantangan Intelektual Terhadap ‘Komunikasi Pembangunan. Bogor: Jurnal Komunikasi Pembangunan Vol.03, No.1. Februari 2005. Sastrosasmita S. 1998. Pemberdayaan Desa-Kota bagi Penanggulangan

Kemiskinan di Perdesaan. Jakarta: Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota

Servaes.J. 2002. Communication for development: one world, multiple cultures. Second printing. The Hampton Press, INC, Cresskill, New Jersy

Solihin T 2005. Evaluasi Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat. Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor

Smith WA. 2008. Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Diterjemahkan dari The Meaning of Conscientizacao, The Goal of Paulo Freire’s Pedagogi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Cetakan II .

Spradley.JP. 1997. Metode Etnografi.. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Suparjan. 2003. Pengembangan Masyarakat : dari Pembangunan sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Aditya Media.

Sutaryo. 2005. Sosiologi Komunikasi Perspektif Teoritik. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.

Susanto. S. 2007. Hubungan Ethos Komunikator dengan Sistem Latihan dan Kunjungan dalam Meningkatkan Keberhasilan Penyuluhan Pertanian Lapangan. [Tesis]. Bandung: Program Pascasarjana. Universitas Padjajaran.

Silverman D. 1993. Interpreting Qualitative Data : Methods for Analysis talk, text and interaction. Sage publications. London, thousand oals. New Delhi Sitorus MT. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan. Bogor: Dokumen

Ilmu-Ilmu Sosial IPB.

White RA. 2004. Is “Empowerment The Answer “? Current Theory and Research on Development Communication ? International Communication Gazette 2004; 66; 7. Copy right 2004 by Sage Publications

Wiradi G. Metodologi Studi Agraria : Karya terpiliha Gunawan Wiradi. Bogor: Sajogyo Institute.


(4)

Wrihatnolo. RR. 2007. Manajemen Pemberdayaan, Sebuah Pegantar dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Elek Media Komputindo. Kelompok Gramedia.

Yunus FM. 2005. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire & YB. Mangunwijaya. Yogyakarta: .Logung Pustaka.

Zainuri. M. 2005. Pemberdayaan Keluarga Miskin dalam Program Pengembangan Kecamatan menurut Perspektif Pekerjaan Sosial (Studi Kasus di Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Instiut Pertanian Bogor.


(5)

(6)

Lampiran 2. Metoda Pengumpulan Data dan Informasi Penelitian

Sumber Data Jenis Data/Informasi Metode Waktu

BPS, Dinas KSPM Provinsi Jambi, KM Prov PNPM MPd Jambi, Pemkab Batanghari, BPMD Kab Batanghari, Kantor Kecamatan Pemayung dan Kantor Kepala Desa Teluk.

1. Data Sekunder 2. Indikator keberhasilan

kegiatan PNPM MPd 3. Persepsi tentang

kredibilitas fasilitator dan perannya di lokasi kegiatan PNPM MPd

Studi Dokumentasi dan Wawancara 2 Minggu Fasilitator Kabupaten 1. Fasilitator

Pemberdayaan 2. Fasilitator Teknik

1. Info Pelaksanaan PNPM-MP/Kecamatan 2. Info tentang kecamatan

yang berhasil

melaksanakan PNPM-MP

3. Indikator keberhasilan kegiatan PNPM-MP 4. Persepsi tentang

kredibilitas fasilitator dan perannya di lokasi kegiatan PNPM MPd

Wawancara mendalam dan studi dokumentasi 2 Minggu Fasilitator Kecamatan 1. Fasilitator

Pemberdayaan 2. Fasilitator Teknik

1. Proses Pelaksanaan PNPM- MP di

Kecamatan Pemayung 2. Peta sosial lokasi

PNPM-MP

3. Aktivitas komunikasi di lokasi kegiatan program

Wawancara mendalam, studi dokumentasi dan pengamatan berperan serta 2 Bulan

Unsur Masyarakat/Penerima Program

1. Tokoh Adat dan Budaya

2. Tokoh Agama 3. Tokoh Perempuan 4. Tokoh Pemuda 5. Rumah Tangga Miskin

(RTM)

1. Pelaksanaan kegiatan PNPM-MP dan peran fasilitator di setiap tahapan kegiatan 2. Peta sosial wilayah dan

partisipan penerima PNPM MPd

3. Riwayat dan Kredibilitas Fasilitator di lokasi kegiatan.

4. Harapan dan capaiannya dalam kegiatan PNPM MPd: perspektif partisipan. 5. Aktivitas komunikasi di

lokasi kegiatan program

Pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam 2 Bulan


Dokumen yang terkait

Pengaruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Di Desa Kampung Bilah Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu

0 57 124

Efektifitas Pelaksanaan Program Pinjaman Bergulir (PNPM Mandiri Perkotaan) di Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan Barat Kota Medan

0 27 245

Pengaruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mandiri Pedesaan terhadap Pembangunan Desa di desa Suka Damai.

12 108 132

Sosialisasi Pemanfaatan Fasilitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan (Study Deskriptif di Desa Purbadolok, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbanghasundutan)

4 63 111

Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Administrasi Pembangunan (Studi Pada PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Hilimo’asio Kecamatan Idanogawo Kabupaten Nias)

10 139 123

Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Nasional (PNPM) Mandiri Perdesaan (Studi Deskriftif di Kelurahan Aek Simotung, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara)

0 62 148

Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP)Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

4 84 264

Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) (Studi Kasus di Desa Sitio II Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 46 125

Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Desa Dolok Hataran Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

0 55 76

PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM-MP) DAN PARTISIPASI MASYARAKAT Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Sooka, Kecamatan

0 0 16