2.8 Gliserolisis
Gliserol dan lemak ditransesterifikasi di dalam reactor yang distirer dengan katalis basa, secara umum KOH atau CaOH
2
. Temperatur berkisar 250
o
C untuk mencapai kelarutan yang sesuai dari gliserol dalam fase lemak dan reaksi yang
cepat. Nitrogen digunakan sebagai gas inert untuk mencegah terjadinya oksidasi dan didalam kasus katalis asam adalah pembentukan akrolein. Setelah mencapai
kesetimbangan, katalis dinetralisasi dengan asam fosfat dan dengan cepat didinginkan untuk mencegah reaksi terbalik. Produk netralisasi diserap dengan
tanah liat. Produk lalu dimurnikan dengan memisahkan gliserol berlebih dan mencucinya dengan air Kimmel, 2004.
Kelemahan reaksi gliserolisis dengan menggunakan katalis logam adalah suhu reaksi yang cukup tinggi yaitu 220-250
o
C. Hal ini menyebabkan produk yang dihasilkan berwarna gelap dan bau yang tidak diinginkan McNeill, 1991.
Sintesis monogliserida secara enzimatik oleh berbagai katalis lipase telah mengundang banyak perhatian dalam beberapa tahun belakangan karena
memerlukan energy yang lebih rendah dan selektivitas dari katalis. Kesetimbangan rasio molar untuk reaksi yang ideal antara gliserol dan
trigliserida adalah 2:1 dimana akan terbentuk 3 mol monogliserida. Akan tetapi, reaksi ini bersifat reversibel dan diyakini mengandung tiga jalur reaksi secara
berkelanjutan. Monogliserida diketahui sebagai produk utama dari reaksi, akan tetapi digliserida juga akan terbentuk dan beberapa trigliserida yang tidak ikut
bereaksi juga akan ditemukan pada akhir reaksi Nouredinni et al, 2004. Gliserolisis berjalan baik pada suhu yang cukup tinggi karena dapat
meningkatkan homogenitas campuran reaksi. Semakin homogeny campuran, semakin banyak molekul yang bertumbukan dan menghasilkan produk. Pada
reaksi ini gliserol yang polar harus ditingkatkan kelarutannya pada minyak yang cenderung bersifat non polar, yaitu dengan menaikkan suhu reaksi. Temperatur
Universitas Sumatera Utara
yang cukup tinggi diperlukan untuk meningkatkan kelarutan gliserol dalam minyak fase trigliserida. Semakin banyak gliserol yang larut dan bereaksi
dengan CPO, makin besar pula konversi yang diperoleh Corma et al, 1997. Menurunnya kelarutan CPO dalam gliserol menyebabkan tumbukan antar molekul
minyak dengan gliserol akan berkurang sehingga konversi reaksi akan menurun. Kelarutan minyak dalam gliserol sangat rendah pada suhu yang rendah sehingga
untuk meningkatkan kelarutan minyak dalam gliserol dapat dilakukan dengan menaikkan suhu reaksi atau dengan menggunakan pelarut.
Reaksi gliserolsis merupakan reaksi yang berjalan lambat tanpa adanya katalis. Katalis sangat berperan penting dalam meningkatkan laju reaksi.
Diperlukan pelarut organic yang dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam gliserol supaya reaksi gliserolsis dapat dilakukan pada suhu yang relative rendah
untuk menghindari terbentuknya warna coklat dan bau tidak sedap akibat terbakarnya bahan dan produk Pramana dan Mulyani, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Bab 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan unggulan dan utama Indonesia. Tanaman yang produk utamanya terdiri dari minyak sawit Crude Palm Oil dan
minyak inti sawit Palm Kernel Oil ini memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadikan salah satu penyumbang devisa negara yang terbesar dibandingkan
dengan komoditas perkebunan lainnya. Hingga saat ini kelapa sawit telah diusahakan dalam bentuk perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit hingga
menjadi minyak dan produk turunannya. Minyak sawit dapat dimanfaatkan di berbagai industry karena memiliki susunan dan kandungan gizi yang cukup
lengkap. Industri yang banyak menggunakan minyak sawit adalah industry pangan serta industri nonpangan seperti kosmetik dan farmasi. Fauzi dkk, 2012
Monoasilgliserol dan Diasilgliserol atau biasa disebut monogliserida dan digliserida MG-DG dibuat dari senyawa gliserida yang banyak terdapat dalam
bahan minyak atau lemak, seperti minyak kelapa sawit dengan gliserol Anggoro dan Budi, 2008. Di masa lalu, monogliserida dan digliserida hanya dapat
diproduksi melalui sejumlah proses pada temperatur yang tinggi 220-260
o
C dengan adanya katalis anorganik seperti natrium, kalium, atau kalsium hidroksida
Sonntag, 1982. Akan tetapi, proses ini memiliki kelemahan karena penggunaan temperatur yang tinggi sehingga produk yang dihasilkan berwarna gelap dan
terbentuk bau yang tidak diinginkan McNeill, 1991.
Proses gliserolisis dengan penggunaan biokatalis enzim lipase banyak sekali dilakukan karena dalam prosesnya energi yang diperlukan untuk reaksi
lebih sedikit, lebih ramah lingkungan, dan dapat menghasilkan produk dengan warna yang lebih terang. Akan tetapi, reaksi enzimatis secara umum berjalan
lambat dan harga enzim yang mahal. Noureddini, 2004. Hal ini membuat perlunya enzim dengan kinerja yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
Sihotang dan Ginting 2006 melakukan penelitian mengenai Pembuatan Monogliserida Melalui Gliserolisis Minyak Inti Sawit Menggunakan Katalis
Natrium Metoksida dimana hasil monogliserida terbesar diperoleh dengan perbandingan mol minyak inti sawit dengan gliserol adalah 1:3. Insani 2012
melakukan Studi esterifikasi antara asam lemak hasil hidrolisis minyak kelapa sawit dengan sukrosa menggunakan lipase Candida rugosa EC 3.1.1.3
terimobilisasi pada matriks silica gel 60 dimana suhu reaksi optimum oleh enzim lipase Candida rugosa adalah 37
o
C. Menurut Ferretti et al 2009, kenaikan temperature reaksi akan membuat gliserol semakin larut dengan fase minyak dan
aktivitas katalis meningkat, hal ini akan meningkatkan yield MG. Fregolente et al 2007 melakukan penelitian tentang Monoglycerides and
Diglycerides Synthesis in a Solvent-Free System by Lipase-Catalyzed Glycerolysis dimana gliserolisis dilakukan selama 24 jam tanpa pelarut. Hal ini membuat
enzim lipase Candida rugosa tidak dapat bekerja optimum dalam mengubah trigliserida. Menurut Damstrup et al 2005, pelarut diperlukan untuk
meningkatkan kelarutan substrat sehingga meningkatkan konversi substrat menjadi produk dan yang paling baik adalah pelarut tert-butanol. Pada penelitian
tersebut gliserolisis dilakukan selama 4 jam dengan perbandingan pelarut tert- butanol dan minyak 5:1 dan 30 enzim ww, didapatkan hasil MG sebanyak
57,3 . Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai waktu reaksi optimum enzim lipase Candida rugosa dalam gliserolisis minyak inti sawit dalam pelarut tert-butanol karena pelarut tersebut
merupakan alcohol tersier, sehingga dapat meningkatkan kelarutan minyak dengan gliserol dibandingkan dengan pelarut sederhana seperti n-heksana. Selama
ini tidak ada perbandingan pelarut yang baku dalam gliserolisis, oleh karena itu diadakan percobaan pendahuluan untuk mendapatkan perbandingan minimal tert-
butanol agar minyak bercampur sempurna dengan gliserol yaitu 1:1 v pelarutw minyak. Setelah diketahui perbandingan minimal pelarut, maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui waktu konversi terbanyak minyak menjadi monogliserida dan digliserida dan kadar produk gliserolisis.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan masalah