13
3. Rubi Ginting, Nim 067011076, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan,
Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Perkawinan Kontrak Dan Akibat Hukumnya Pada Saat Perceraian Kontrak
Perkawinan Berakhir”. 4.
Sandry Halim, Nim 107011045, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul:
“Pembagian Harta Bersama Melalui Pengadilan Pasca Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Studi Putusan-putusan Pengadilan”.
5. Masyithah, Nim 107011038, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan, Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dengan judul: “Penuntutan Pengembalian Harta Hadiah Perkawinan Akibat Perceraian Studi Kasus Putusan
Pengadilan Agama Medan Nomor: 583Pdt.G2010PAMdn”.
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk “menjelaskan nilai-nilai hukum dan
postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa
dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”
.11
“Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.
12
Jelaslah
11
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996, hal. 2
12
J.J.J. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Jilid I, FE-UI, 1996, hal. 126
Universitas Sumatera Utara
14
kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. “Bukan karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat
secara langsung dimasyarakat melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup mereka”
13
Teori
adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi
merupakan suatu
abstraksi intelektual
dimana pendekatan
secara rasional
digabungkan empiris.
14
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis dalam penelitian.
15
Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan teori kemaslahatan.
Teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yang memberikan sejumlah penekanan pada pertimbangan yang dikemukakan oleh prinsip ganti rugi.
Ini adalah prinsip yang dibutuhkan ketimpangan untuk mengkompensasi, dan karena ketimpangan kelahiran dan alami tidak berhak, maka ketimpangan-ketimpangan
tersebut menggantikannya. Maka prinsip tersebut menyatakan bahwa untuk memperlakukan semua orang secara sama, untuk memberikan kesetaraan kesempatan
yang genuine, masyarakat yang harus memberikan perhatian yang lebih besar dalam posisi-posisi sosial yang tidak menguntungkan.
16
Kata keadilan juga digunakan dalam pengertian hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif terutama kecocokan dengan undang-undang. Makna harfiahnya
berbeda dari pengertian hukum, kata keadilan berarti nilai mutlak.
17
Teori keadilan
13
Jujun J. Suryasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal. 237
14
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 27
15
Ibid, hal. 80
16
John Rawls, Teori Keadilan, dengan penyunting Kamdani, Yokyakarta: Cetakan 1, 2006, hal. 120.
17
Hans Kelsen, dengan penyunting Nurainun Mangunsong, Pengantar Teori Hukum,
Bandung: Nusa Media, Cetakan 3, 2010, hal. 48
Universitas Sumatera Utara
15
menyajikan gagasan mengenai keadilan sebagai fairness, suatu teori keadilan yang menggeneralisasikan dan mengangkat konsepsi tradisional ke level abstraksi yang
lebih tinggi. Tatanan masyarakat digantikan oleh situasi awal yang melibatkan batasan-batasan
prosuderal tertentu
pada argumen
yang dirancang
untuk memunculkan persetujuan awal tentang prinsip keadilan.
18
Teori keadilan dalam Islam dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka
bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu Allah. Pada optik inilah perbedaan-
perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab
manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi keadilan yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah.
Dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori
rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik
dan buruk secara obyektif. Bagi kaum Mu`tazilah tidak ada cara, dalam batas-batas logika biasa, untuk menerangkan hubungan kekuasaan Allah dengan tindakan
manusia. Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan
bentuk obyektivisme rasionalis. Sedangkan Asy`ariah menolak gagasan akal manusia sebagai sumber otonomi pengetahuan etika. Mereka mengatakan bahwa baik dan
buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh untuk menilai Allah berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan
manusia. Konsepsi Asy`ariah tentang pengetahuan etika ini dikenal sebagai subyektivisme teistis, yang berarti bahwa semua nilai etika tergantung pada ke
tetapan-ketetapan kehendak Allah yang diungkapkan dalam bentuk wahyu yang kekal dan tak berubah. Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat-
ayat Al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendak ilahiah di muka bumi.
19
18
John Rawls, Op.Cit, hal. 3
19
http:www.badilag.netdataARTIKELWACANA HUKUM ISLAMTEORI KEADILAN PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM.pdf, diakses pada tanggal 23 Pebruari 2013.
Universitas Sumatera Utara
16
Selanjutnya adalah teori kemaslahatan yang juga sebagai kerangka dasar dari ide pembaruan hukum Islam yang tetap menjadi sorotan dan terus melaju.
Kemaslahatan dalam perspektif hukum Islam adalah sesuatu yang prinsip. Prinsip maslahat sebagai dasar orientasi perkembangan hukum Islam telah disepakati oleh
para ahli. Namun, para ulama cukup berpolemik dalam menentukan kriteria
kemaslahatan umum tersebut. Di antara gagasan yang mengemuka dan cukup
kontroversial dalam teori kemaslahatan dalam visi pembaruan hukum Islam ini
dikemukakan oleh Najm al-Din al-Thufi. Dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi, intisari dari keseluruhan ajaran Islam yang termuat dalam nash ialah kemaslahatan
bagi manusia secara universal. Al-mashlahah, dalam gagasan al-Thufi, merupakan dalil yang bersifat mandiri dan paling dominan dalam penetapan hukum. Secara
terminologis, al-Thufi merumuskan al-mashlahah sebagai suatu ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah atau adat kebiasaan.
Dengan demikian, al-mashlahah dalam arti syara’ dipandang sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’. Pemikiran al-Thufi tentang al-mashlahah
membawa nuansa lain terhadap pendapat
mayoritas ulama semasanya. Dalam
persepsi umum para ulama, kemaslahatan itu harus mendapatkan dukungan dari syara’,
baik melalui nash tertentu maupun cakupan makna dari sejumlah nash. Sementara Al-Ghazali memformulasikan teori kemaslahatan dalam kerangka
mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syarak. Suatu kemaslahatan, menurut al-Ghazali, mesti sejalan dengan tujuan syarak,
meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Atas dasar ini, yang menjadi ukuran dari maslahah itu adalah tujuan dan kehendak syarak, bukan diasaskan pada
kehendak hawa nafsu manusia. Secara sederhana maslahat al-mashlahah diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Secara leksikal, menuntut
ilmu itu mengandung suatu kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan batin
.
Hukum Islam bersifat elastis. Elastisitas hukum Islam sangat adaptatif dengan dinamika perubahan
sosial dan kemajuan zaman. Sifat multidimensional dalam ruang lingkup hukum
Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia. Tujuan dari penetapan hukum Islam tersebut adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.
20
Lebih lanjut fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan petunjuk serta menjelaskan mengenai gejala yang diamati berdasarkan dari
pengertian tersebut serta berangkat dari konsep “mengambil manfaat dan menolak
20
Efrinaldi.multiply.comjournalitem15.teori kemaslahatan, diakses tanggal 23 Pebruari 2013.
Universitas Sumatera Utara
17
kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syarak, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia” bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu
dan mencapai kesejahteraan spiritual.
21
Perkawinan juga bertujuan untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah Allah dan Rasul-Nya dengan tujuan menciptakan rasa tentram dan saling kasih sayang diantara suami dan
isteri serta dari sunnah Rasul yang menyatakan, nikah adalah sebagian dari sunnahku Hadis,
22
walaupun pada akhirnya harus mengakhiri perkawinan tersebut dengan perceraian.
Beberapa penulis Belanda memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: “perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui
oleh negara untuk hidup bersamabersekutu yang kekal”.
23
Secara positif, maka perkawinan itu hanya mungkin dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita
monogami mutlak dan dari sifatnya yang kekal itu bertujuan untuk melanjutkan kehidupan. Bubarnya perkawinan selain kerena kematian, menurut hukum adalah
21
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1982, hal. 105.
22
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan 1, 2013, hal. 68
23
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, 2002, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
18
pembubaran yang tidak semestinya dan tidak normal, yang hanya terjadi di dalam kasus-kasus tertentu yang patut dihindari.
24
Akibat dari suatu perkawinan memiliki dimensi yang cukup luas antara lain sosial dan hukum, mulai pada saat perkawinan, selama perkawinan maupun setelah
perkawinan, karena dalam perkawinan banyak hal yang akan terjadi seperti: keturunan, harta maupun masalah perceraian. Putusnya perkawinan karena perceraian
dapat terjadi karena salah satu pihak mengajukannya ke Pengadilan, jika suami yang mengajukan perceraian maka pangajuan itu disebut permohonan thalak, sedangkan
jika isteri yang mengajukan permohonan perceraian maka disebut gugatan cerai. Menurut Kompilasi Hukum Islam
dalam pasal 132 ayat 1 menyebutkan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami. Berbagai macam alasan
dikemukakan untuk dapat dilakukakannya proses perceraian. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan cerai gugat diatur dalam pasal 116, yaitu:
a. Cerai gugat dengan alasan suami berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b.
Cerai gugat dengan alasan suami meninggalkan isteri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak laindan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya. c.
Cerai gugat dengan alasan suami mendapat hukuman penjara 5 lima tahun.
24
Ibid
Universitas Sumatera Utara
19
d. Cerai gugat dengan alasan suami melakukan kekejaman atau penganiayaan.
e. Cerai gugat dengan alasan suami mendapat cacat badan atau penyakit.
f. Cerai gugat dengan alasan suami isteri terjadi perselisihan terus menerus.
g. Cerai gugat dengan alasan suami melakukan pelanggaran sighat taklik talak.
h. Cerai gugat dengan alasan suami murtad.
i. Cerai gugat dengan alasan suami melalaikan kewajibannya.
j. Cerai gugat dengan alasan syiqaq.
k. Cerai gugat dengan alasan khuluk dan acaranya.
Sementara dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya sedikit yang memuat tentang alasan perceraian, seperti yang terdapat dalam pasal 39 ayat 2
menyebutkan bahwa “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”.
Apabila perceraian ini terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap orang-orang yang berkaitan dalam suatu rumah tangga,
mulai dari masalah harta bersama, perebutan hak asuh anak sampai ada penuntutan pengembalian mahar sebagai reaksi dari ketidaksenangan akibat perceraian. Jika
ditinjau dari segi Hukum Islam tidak diperbolehkan meminta kembali mahar yang telah diberikan apabila telah bercampur atau telah menggauli isterinya.
Mahar adalah suatu pemberian wajib dari seorang suami kepada seorang isteri dalam kaitannya dengan perkawinan.
25
Mahar tersebut mutlak menjadi hak milik
25
H. Rahmat Hakim, Loc. cit
Universitas Sumatera Utara
20
isteri. Dalam hukum Islam tidak ada aturan yang jelas yang mengatur tentang keharusan isteri untuk mengembalikan mahar ketika mengajukan gugatan cerai.
2. Konsepsi