Bakteriosin Cair dari BAL SCG 1223

27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteri Asam Laktat galur SCG 1223 diketahui dapat memproduksi bakteriosin yang memiliki aktivitas hambat terhadap bakteri patogen E. coli, S. thypimurium, dan L. monocytogenes Usmiati et al., 2007. Bakteriosin yang didapatkan dari hasil metabolisme pertumbuhan BAL SCG 1223 yang ditumbuhkan pada kondisi media pertumbuhan pH 5, suhu inkubasi 33,5 o C dengan lama inkubasi 9 jam. Lama waktu pertumbuhan ini merupakan saat dimana berakhirnya fase eksponensial dan merupakan awal fase stasioner pertumbuhan BAL SCG 1223 Januarsyah, 2007 dan Deba et al., 1991 pada Rahayu E. S. dkk, 2000.

A. Bakteriosin Cair dari BAL SCG 1223

a Karakterisasi Bakteriosin terhadap pH dan Suhu Karakterisasi bakteriosin dilakukan untuk menentukan sifat dari bakteriosin terhadap pengaruh perlakuan lingkungan yaitu suhu dan tingkat keasaman pH. Suhu yang digunakan antara lain 4 o C, 27 o C, 55 o C, 80 o C, dan 100 o C, sedangkan pH yang diujikan antara lain pH 2, 4, 7, 10 dan 12. Penentuan sifat bakteriosin dari BAL SCG 1223 dilakukan dengan mengkombinasikan perlakuan pH dan suhu, kemudian didapatkan aktivitas hambat dari pengujian pada bakteri indikator E. coli, S. thypimurium dan L. monocytogenes yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Escherichia coli Pengaruh tingkat keasaman pH pada karakterisasi bakteriosin yang diujikan terhadap bakteri Escherichia coli memiliki pengaruh yang nyata terhadap kestabilan aktivitas hambat bakteriosin. Pada Gambar 5, terlihat bahwa adanya pengaruh derajat keasaman terhadap aktivitas hambat yang dihasilkan bakteriosin.Hal tersebut dapat diartikan sebagai pengaruh terjadinya penurunan aktivitas hambat bakteriosin akibat dari penurunan tingkat keasaman lingkungan Basa. Bakteriosin memiliki aktivitas hambat terbaik pada kondisi asam serta tetap memiliki aktivitas hambat pada kondisi netral hingga basa pH 7-12. 28 Gambar. 5 Grafik Persentase Perubahan Aktivitas Hambat Bakteriosin SCG 1223 pada Escherichia coli Kurva diatas menunjukkan perubahan nilai aktivitas hambat bakteriosin cair akibat dari pengaruh tingkat keasaman, pemanasan dan penyimpanan yang diujikan pada bakteri E. coli. Pada perlakuan dengan tingkat keasaman yang tinggi, awal penyimpanan 1 minggu dan 1 bulan bakteriosin mengalami kenaikan aktivitas hambat 25-42 yang dibandingkan dengan aktivitas hambat pada hari pertama, namun kemudian menurun pada penyimpanan 3 bulan dan 4 bulan sebesar 30-65. Pada perlakuan pH netral, aktivitas hambat bakteriosin hanya terdeteksi pada penyimpanan 1 bulan dan 4 bulan, sedangkan pada perlakuan basa tinggi,dari pengujian aktivitas hambat pada hari ke-1, larutan bakteriosin mengalami penurunan aktivitas hambat pada tingkat 20-70. 29 Gambar. 6 Kurva Aktivitas Hambat Bakteriosin SCG 1223 pada Escherichia coli Perlakuan pemanasan bakteriosin dari BAL SCG 1223 tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas hambat bakteriosin yang dihasilkan pada bakteri E. coli. Pada umumnya memiliki nilai aktivitas hambat yang relatif sama pada seluruh suhu pengujian. Aktivitas hambat bakteriosin tidak mengalami penurunan atau pun kenaikan nilai aktivitas hambat yang signifikan seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bhunia et al 1987, bahwa bakteriosin tetap aktif pada kondisi asam dan basa serta tetap stabil pada perlakuan suhu rendah maupun suhu tinggi Kombinasi perlakuan pH dan suhu pemanasan bakteriosin dari BAL SCG 1223 memiliki nilai aktivitas hambat tertinggi terhadap bakteri E. coli pada kombinasi perlakuan A 1 B 4 pH 2, T 80 o C sebesar 2668,40 AUml, sedangkan untuk kestabilan aktivitas hambat bakteriosin terdapat pada perlakuan A 1 B 5 pH 2, T 100 o C dengan nilai aktivitas hambat rata-rata sebesar 1957,22 AUml. Pada bakteri E. coli, pH 10 merupakan tingkat keasaman sensitif yang memiliki aktivitas hambat terendah dibandingkan dengan perlakuan pH lainnya. Pada faktor penyimpanan bakteriosin, adanya pengaruh kombinasi perlakuan pH dan suhu pemanasan menjadikan sifat dari bakteriosin dari BAL SCG 1223 lebih spesifik. Tampak pada perlakuan A 3 dan A 4 pH 7 dan 10 merupakan titik sensitivitas dari bakteriosin, dimana pada kondisi tersebut aktivitas bakteriosin tidak dipertahankan maksimal. Namun lain halnya pada 30 perlakuan pH 12, pada kondisi tersebut aktivitas hambat bakteriosin masih lebih dapat dipertahankan dibandingkan pada kondisi pH 7-10. Hal ini mungkin disebabkan oleh terdegradasinya protein bakteriosin oleh mikroorganisme yang tumbuh pada kondisi tersebut. Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa bakteriosin dari BAL SCG 1223 memiliki aktivitas hambat yang tetap stabil walaupun telah disimpan pada ruang pendingin bersuhu 4 o C selama 12 minggu dengan kondisi pH penyimpanan 2-4. Salmonella thypimurium Pengaruh tingkat keasaman pH pada karakterisasi bakteriosin yang diujikan terhadap bakteri Salmonella thypimurium memiliki pengaruh yang nyata terhadap kestabilan aktivitas hambat bakteriosin. Pada Gambar 8 terlihat bahwa adanya pengaruh penurunan tingkat keasaman terhadap aktivitas hambat yang dihasilkan. Penurunan aktivitash hambat bakteriosin disebabkan oleh menurunya tinkgat keasaman lingkungan bakterioasin Basa. Bakteriosin memiliki aktivitas hambat terbaik pada kondisi asam serta tetap memiliki aktivitas hambat pada kondisi netral hingga basa pH 7-12. Gambar. 7 Grafik Persentase Perubahan Aktivitas Hambat Bakteriosin SCG 1223 pada Salmonella monocytogenes 31 Kurva diatas menunjukkan persentase perubahan aktivitas hambat dari larutan bakteriosin yang dipengaruhi oleh adanya perlakuan tingkat keasaman, pemanasan dan penyimpanan yang kemudian diujikan pada bakteri S. thypimurium. Pada beberapa perlakuan pH rendah pada seluruh perlakuan penyimpanan, bakteriosin mengalami kenaikan aktivitas hambat dibandingkan dengan pengujian pada hari ke-1 dan kemudian menurun aktivitasnya pada penyimpanan 4 bulan. Pada perlakuan pH netral, bakteriosin tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan, sedangkan pada perlakuan basa bakteriosin mengalami kenaikkan aktivitas hambat hingga penyimpanan bulan ke-3 dan mengalami penurunan pada penyimpanan bulan ke-4. Gambar. 8 Kurva Aktivitas Hambat Bakteriosin SCG 1223 pada Salmonella thypimurium Perlakuan pemanasan bakteriosin dari BAL SCG 1223 tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas hambat bakteriosin yang dihasilkan pada bakteri S. thypimurium. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa aktivitas hambat bakteriosin yang dihasilkan memiliki perbedaan nilai yang tidak terlalu signifikan pada seluruh suhu pengujian dalam perlakuan pH yang sama. Kombinasi perlakuan pH dan suhu pemanasan bakteriosin dari BAL SCG 1223 memiliki nilai aktivitas hambat tertinggi terhadap bakteri S. thypimurium pada kombinasi perlakuan A 1 B 3 pH 2, T 55 o C sebesar 2844,15 AUml, 32 sedangkan untuk kestabilan aktivitas hambat bakteriosin terdapat pada perlakuan A 1 B 4 pH 2, T 80 o C dengan nilai aktivitas hambat rata-rata sebesar 1889,82 AUml. Pada bakteri S. thypimurium, pH 7 dan 10 merupakan tingkat keasaman sensitif yang memiliki aktivitas hambat terendah dibandingkan dengan perlakuan pH lainnya. Pada faktor penyimpanan bakteriosin, sifat bakteriosin terhadap bakteri S. thypimurium memiliki sifat yang sama dengan penyimpanan bakteriosin terhadap pengujian pada bakteri E. coli. Bakteriosin tidak dapat dipertahankan aktivitas hambatnya pada kondisi penyimpanan pada titik sensitifnya pH 7-10, namun memiliki aktivitas hambat yang tinggi pada kondisi lingkungan yang asam. Hal ini menjadikan karakter dari bakteriosin yang semakin spesifik yaitu aktif pada kondisi lingkungan yang asam hingga netral, dan mengalami penurunan aktivitas pada kondisi basa. Selain itu, pada kondisi pH 12, aktivitas hambat bakteriosin masih lebih stabil dibandingkan dengan kondisi pH sensitifnya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh hal yang sama, yaitu terdegradasinya protein bakteriosin oleh mikroorganisme lain. Listeria monocytogenes Pengaruh tingkat keasaman pH pada karakterisasi bakteriosin yang diujikan terhadap bakteri Listeria monocytogenes memiliki pengaruh yang nyata terhadap kestabilan aktivitas hambat bakteriosin. Pada Gambar 9 dan dan 10 tampak bahwa terdapat pengaruh dari penurunan tingkat keasaman terhadap aktivitas hambat yang dihasilkan. Dari tabel tersebut juga dapat diartikan bahwa penurunan tingkat keasaman lingkungan akan menurunkan aktivitas hambat bakteriosin hingga kondisi pH netral. Bakteriosin memiliki aktivitas hambat terbaik pada kondisi asam serta menurun aktivitasnya hingga pada kondisi pH netral, kemudian naik kembali nilai aktivitas hambatnya pada kondisi pH basa pH 10 dan 12. 33 Gambar. 9 Grafik Persentase Perubahan Aktivitas Hambat Bakteriosin SCG 1223 pada Listeria monocytogenes Persentase perubahan aktivitas hambat bakteriosin dari BAL SCG 1223 dipengaruhi oleh faktor tingkat keasaman, pemanasan dan penyimpanan. Fari kurva diatas dapat dilihat bahwa bakteriosin mengalami penurunan aktivitas hambat pada bakteri Listeria monocytogenes. Nilai aktivitas hambat yang dihasilkan pada umumnya lebih kecil dari pada nilai pengamatan pada hari ke-1. Semakin rendah tingkat keasaman maka akan menurunkan aktivitas hambat pada bateri indikator. Pada bakteri Liseria monocytogenes, aktivitas hambat memiliki nilai yang cukup tinggi namun menurun pada setiap pengujiannya. Sedangkan pada pH netral, bakteriosin tidak menghasilkan aktivitas hambat. Pada perlakuan pH rendah Basa, terdapat aktivitas hambat bakteriosin, namun mengalami penurunan aktivitasnya. Perlakuan pemanasan bakteriosin dari BAL SCG 1223 tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas hambat bakteriosin yang dihasilkan pada bakteri L. monocytogenes. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa aktivitas hambat bakteriosin yang dihasilkan memiliki perbedaan nilai yang tidak terlalu signifikan pada seluruh suhu pengujian dalam perlakuan pH yang sama. 34 Gambar. 10 Kurva Aktivitas Hambat Bakteriosin SCG 1223 pada Listeria monocytogenes Kombinasi perlakuan pH dan suhu pemanasan bakteriosin dari BAL SCG 1223 dapat dilihat pada Gambar 9, dimana bakteriosin memiliki nilai aktivitas hambat tertinggi terhadap bakteri L. monocytogenes pada kombinasi perlakuan A 1 B 3 pH 2, T 55 o C sebesar 3887,52 AUml, sedangkan untuk kestabilan aktivitas hambat bakteriosin terdapat pada perlakuan A 1 B 4 pH 2, T 80 o C dengan nilai aktivitas hambat rata-rata sebesar 2142,02 AUml. Pada bakteri L. monocytogenes, pH 7 merupakan tingkat keasaman sensitif yang memiliki aktivitas hambat terendah dibandingkan dengan perlakuan pH lainnya. Pada faktor penyimpanan bakteriosin, sama aktivitasnya dengan penyimpanan bakteriosin yang diujikan terhadap bakteri E. coli dan S. thypimurium. Bakteriosin tidak dapat dipertahankan aktivitas hambatnya pada kondisi penyimpanan pada titik sensitifnya pH 7, namun memiliki aktivitas hambat yang tinggi pada kondisi lingkungan yang asam. Hal ini menjadikan karakter dari bakteriosin yang semakin spesifik yaitu aktif pada kondisi lingkungan yang asam dan mengalami penurunan aktivitas pada kondisi netral, kemudian naik kembali pada kondisi pH 10-12. Pada kondisi pH 10 dan 12, aktivitas hambat bakteriosin masih lebih stabil dibandingkan dengan kondisi pH 35 sensitifnya pH 7, hal ini kemungkinan disebabkan oleh hal yang sama, yaitu terdegradasi dan teroksidasinya protein bakteriosin oleh mikroorganisme lain. Tabel 2 Aktivitas Hambat Bakteriosin SCG 1223 Terbaik Terhadap Pengaruh pH dan Suhu. Bakteri Indikator Suhu pH Daya Hambat AUml Terbaik 4°C 27°C 55°C 80°C 100°C E. coli 2 2397,47 2131,36 2096,45 2668,40 2176,00 4 1256,00 973,89 730,55 1164,43 1562,64 7 1160,33 716,55 1542,13 1141,78 0,00 10 312,60 283,55 368,20 0,00 0,00 12 427,25 903,25 441,55 468,50 918,65 S. thypimurium 2 2559,49 2409,36 2844,15 2512,00 1890,67 4 1121,33 2007,10 1352,95 1284,11 1380,42 7 1355,79 1004,80 122,65 0,00 695,61 10 647,23 866,74 444,41 255,12 307,82 12 745,17 815,03 710,99 863,24 780,18 L. monocytogenes 2 3177,21 2592,50 3887,52 2414,07 1967,90 4 2397,89 339,30 3210,85 1844,00 2793,46 7 1771,75 1660,20 1605,95 1307,03 1802,99 10 1843,97 711,40 883,22 1000,48 1295,45 12 1263,10 1256,18 1098,56 1241,87 1100,56 Bakteriosin yang telah diberi perlakuan pH dan suhu menunjukkan adanya spektrum aktivitas hambat yang bervariasi terhadap bakteri indikator Escherichia coli, Salmonella thypimurium, dan Listeria monocytogenes, Hasil pengujian aktivitas hambat pada umum terdapat pada perlakuan A 1 B 3 pH 2 dengan pemanasan selama 5-10 menit pada 55 o C sebesar 3887,52 AUml. Bakteriosin dari BAL SCG 1223 stabil pada kondisi pH penyimpanan rendah pH 2-4 pada ruang pendingin bersuhu 4 o C selama 12 minggu penyimpanan. Perbedaan aktivitas hambat bakteriosin pada setiap bakteri indikator menunjukkan bahwa 36 bakteriosin memiliki kemampuan menghambat yang berbeda-beda pada setiap bakteri indikator yang diujikan karena berkaitan dengan dekat atau tidaknya kekerabatan antara BAL penghasil bakteriosin dengan bakteri yang diujikan.yaitu antara lain beasal dari jenis bakteri Gram- positif dan bakteri Gram- negatif. Pada bakteri Listeria monocytogenes yang merupakan bakteri Gram- positif, bakteriosin memiliki aktivitas hambat yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri Escherichia coli dan Salmonella thypimurium yang merupakan bakteri Gram- negatif. Perbedaan ini dikarenakan oleh BAL SCG 1223 penghasil bakteriosin termasuk dalam jenis bakteri Gram- positif, yang merupakan jenis bakteri yang berada pada filial kekerabatan yang sama dengan bakteri penghasil bakteriosin. Selain itu, pada bakteri Gram- negatif memiliki lapisan membran luar yang dapat melindungi dirinya dari pengaruh zat antimikroba yang diberikan padanya sehingga beberapa bakteri Gram- negatif menjadi tidak sensitif terhadap bakteriosin, hal ini sependapat dengan Kordel dan Sahl, pada tahun 1986. b Aktivitas Hambat Bakteriosin dari BAL SCG 1223 Aktivitas hambat bakteriosin yang mendapat perlakuan karakterisasi pH dan suhu memiliki aktivitas hambat tertinggi pada setiap bakteri uji antara lain 2668,40 AUml pada E. Coli 2844,15 AUml pada S.thypimurium, dan 3887,52 AUml pada L. Monocytogenes. Aktivitas hambat tersebut pada umumnya dipengaruhi oleh adanya perlakuan tingkat keasaman lingkungan sedangkan perlakuan pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas hambat yang dihasilkan. Bakteriosin cair yang berasal dari BAL SCG 1223 memiliki aktivitas hambat sebesar 477,79 AUml pada bakteri E. coli, 383,27 AUml pada bakteri S. thypimurium dan pada bakteri L. monocytogenes sebesar 589,133 AUml dengan asumsi konsentrasi bakteriosin cair murni kering sebesar 0,00049 gram bb atau sebanyak 9,7 µl bakteriosin cair. B. Enkapsulasi Bakteriosin a Parameter Operasi Proses Enkapsulasi Rendemen Rendemen produk terbaik dapat dilihat pada Gambar. 11, dimana formulasi A 1 B 2 C 1 merupakan formulasi yang memiliki jumlah rendemen tertinggi yaitu 37 sebesar 69,18 dari persentase rata-rata 66,24. Rendemen dari seluruh perlakuan formulasi berkisar antara 61,25 - 69,18, nilai ini dihitung berdasarkan jumlah produk yang dihasilkan dari proses pengeringan dan kemudian dibandingkan dengan jumlah padatan awal yang digunakan dalam proses. Rendemen yang dihasilkan memiliki perbedaan nilai cukup signifikan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengeringan bakteriosin, yaitu antara lain kontinuitas kerja alat yang terganggu dan proses homogenisasi yang tidak sempurna sehingga menyebabkan terjadinya penyumbatan celah nozzle. Persentase rendemen yang didapat memiliki nilai yang jauh dari rendemen ideal yakni 100. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terlalu kecilnya jumlah sampel yang digunakan yaitu sebanyak 250 ml dengan persentase rendemen tertinggi yaitu sebesar 69,18 A 1 B 2 C 1 , sedangkan pada pengujian sampel sebanyak 1000 ml didapatkan hasil rendemen tertinggi sebesar 84,61. Dalam hal ini jumlah rendemen yang didapat dipengaruhi oleh banyaknya kehilangan bobot produk pada cyclone pengering, jenis bahan pengkapsul yang digunakan serta penanganan produk pasca proses yang tidak sempurna. Gambar. 11 Kurva Persentase Rendemen Serbuk Bakteriosin SCG 1223 Tingginya konsentrasi bahan pengkapsul dengan bobot molekul tinggi akan mempengaruhi jumlah rendemen yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahan pengkapsul maltodekstrin dan skim milk, semakin tinggi jumlah skim milk yang digunakan maka efisiensi hasil yang didapatkan semakin tinggi. Maltodekstrin yang berbobot molekul rendah mengakibatkan produk yang 38 keluar ruang pemanas menumpuk pada dinding cyclone pemisah sehingga terjadi penempelan produk yang mengakibatkan bobot produk akhir berkurang. Kadar Air Kurva kadar air produk bakteriosin dilukiskan pada Gambar. 12, formulasi bahan pengkapsul terbaik dengan kadar air terendah terdapat pada perlakuan A 3 B 2 C 1 dengan kadar air sebesar 1. Faktor komposisi bahan pengkapsul merupakan faktor yang berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air bahan P5. Terdapat interaksi diantara ketiga faktor yang dikombinasikan, yaitu formulasi bahan pengkapsul, persentase bakteriosin dan suhu umpan pengeringan dengan nilai P-value berada dalam selang kepercayaan 95 P5 terhadap kandungan kadar air bahan. Kadar air bahan berkaitan dengan penggunaan suhu pengeringan, dimana suhu keluaran pengeringan memberikan pengaruh yang besar terhadap produk yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Duncan Lampiran 2, terlihat bahwa ketiga faktor komposisi pengkapsul memiliki pengaruh yang sangat nyata dengan hasil yang berada pada kelompok yang berbeda. Komposisi pengkapsul terbaik ditunjukkan dengan kandungan kadar air bahan yang terendah. Aktivitas hambat dari serbuk bakteriosin juga dipengaruhi oleh persentase kadar air serta persentase kelarutan serbuk bakteriosin yang dihasilkan. Meningkatnya kadar air bahan akan menurunkan aktivitas hambat serbuk bakteriosin, sedangkan persentase kelarutan bahan memiliki pengaruh yang tidak nyata pada aktivitas hambat yang dihasilkan. Gambar. 12 Kurva Aktivitas Kadar Air Serbuk Bakteriosin dari SCG 1223 39 Kelarutan Uji kelarutan pada tepung pati termodifikasi dan skim milk dilakukan untuk mengetahui berapa banyak bahan-bahan yang terlarut dalam air. Uji ini dilakukan dengan pemanasan, karena dengan pemanasan, bahan-bahan akan cepat melarut dibandingkan melarutkan bahan dalam keadaan dingin. Hasil pengujian kelarutan serbuk bakteriosin dari BAL SCG 1223, dapat dilihat pada Gambar 13, dimana persentase bahan terlarut tiga tertinggi yaitu terdapat pada perlakuan A 1 B 2 C 2 99,59, A 1 B 1 C 2 98,64 dan A 2 B 2 C 1 98,17. Nilai kelarutan berkisar diantara 61,25 - 99,59, hal ini menunjukkan bahwa sampel tidak melarut sempurna dalam pelarut akuades. kelarutan dipengaruhi oleh penggunaan bahan pengkapsul dengan sifat kelarutan yang dimilikinya serta adanya faktor pemanasan larutan yang menjadikan produk terlarut didalamnya . Gambar. 13 Kurva Persentase Kelarutan Serbuk Bakteriosin dari SCG 1223 b Aktivitas Hambat Serbuk Bakteriosin dari BAL SCG 1223 Proses pengkapsulan bakteriosin dari BAL SCG 1223 merupakan salah satu pengembangan yang dilakukan untuk mengubah bentuk bakteriosin cair menjadi serbuk bakteriosin. Efisiensi proses produksi diupayakan semaksimal mungkin agar mendapatkan rendemen yang tinggi disertai dengan nilai aktivitas hambat yang tinggi dari serbuk bakteriosin. Dari hasil pengujian aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap bakteri indikator, dapat diketahui bahwa bakteriosin yang dikapsulkan oleh maltodekstrin dan kombinasi maltodekstrin - skim milk menunjukkan adanya aktivitas hambat yang relatif sama dengan bakteriosin cair. Hal ini ditunjukkan oleh nilai aktivitas 40 hambat 1453,06 AUmL untuk pengkapsul maltodekstrin dan 2129,7AUmL untuk pengkapsul kombinasi maltodekstrin - skim milk. Sedangkan untuk kombinasi maltodekstrin - sodium caseinate tidak menunjukkan adanya aktivitas hambat bakteriosin BAL SCG 1223 terhadap bakteri indikator yang diujikan. Hal ini disebabkan oleh sifat yang dihasilkan dari kombinasi bahan pengkapsul yang tidak sesuai dengan karakteristik bakteriosin dari BAL SCG 1223. Escherichia coli Aktivitas hambat yang dihasilkan dari ketiga formulasi bahan pengkapsul menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penghambatan bakteri Escherichia coli. Hal ini dikarenakan komposisi bahan pengkapsul yang berbeda- beda dari setiap formulasi yang digunakan, dimana pada penghambatan terhadap bakteri E. coli ini formulasi A3 66,67 maltodekstrin dan 33,33 skim milk merupakan formulasi terbaik dengan nilai aktivitas hambat yang dihasilkan memiliki nilai tertinggi dari seluruh perlakuan formulasi yang diujikan pada bakteri E. coli yaitu sebesar 900,85 AUml. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa bakteriosin terkapsulkan dengan baik pada kombinasi pengkapsul A3. Kurva aktivitas hambat bakteriosin dari BAL SCG 1223 yang dipengaruhi oleh komposisi formulasi bahan pengkapsul terhadap bakteri E. coli dapat dilihat pada Lampiran 3. Aktivitas hambat bakteriosin tertinggi terhadap bakteri E. coli terdapat pada formulasi bakteriosin B 1 20 bakteriosin bb dengan aktivitas hambat sebesar 822,07 AUml. Faktor lain yang termasuk dalam proses pengkapsulan namun memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap aktivitas hambat bakteriosin pada bakteri E. coli yaitu antara lain suhu pengeringan, interaksi antara formulasi bahan pengkapsul dan persentase bakteriosin, interaksi antara formulasi bahan pengkapsul dan suhu pengeringan, interaksi antara persentase bakteriosin dan suhu pengeringan serta interaksi diantara ketiga perlakuan pengeringan, dapat dilihat nilai pengaruhnya pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Pengaruh interaksi formulasi bahan pengkapsul, persentase bakteriosin dan suhu pengeringan memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin pada bakteri E. coli. Namun perlakuan formulasi A 3 B 1 C 2 formulasi pengkapsul 66,67 maltodekstrin, 20 bakteriosin cair dan 41 150 o C suhu pengeringan menunjukkan kombinasi terbaik yang menghasilkan aktivitas hambat tertinggi diantara perlakuan formulasi lainnya dengan nilai aktivitas hambat sebesar 945,32 AUml. formulasi pengkapsul tersebut memiliki nilai kadar air dan kelarutan sebesar 2,35 dan 48,22. Tabel interpretasi ANOVA dan pengujian Duncan dari aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap E. coli dilihat pada Lampiran 6. Sedangkan kurva aktivitas hambat dari setiap formulasi yang dibandingkan dengan bakteriosin cair terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Gambar. 14. Salmonella thypimurium Pada pengujian aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap bakteri Salmonella thypimurium, komposisi bahan pengkapsul berpengaruh yang sangat nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin dengan nilai f hitung lebih kecil dari 5 Lampiran 7. Hal tersebut berkaitan dengan komposisi bahan pengkapsul yang berbeda disetiap perlakuan, dimana sifat yang dimiliki oleh masing-masing bahan pengkapsul mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengkapsulkan bakteriosin. Selain itu faktor suhu pengeringan pun memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin P5. Suhu pengeringan ini menentukan viabilitas bakteriosin yang tetap stabil atau menurun dari viabilitas bakteriosin sebelum dikapsulkan. Suhu masukan ini pun mempengaruhi suhu keluaran produk yang dihasilkan, dimana suhu keluaran mempengaruhi kadar air produk. Melalui uji lanjut Duncan Lampiran 8, faktor ketiga komposisi bahan pengkapsul berpengaruh sangat nyata dengan visualisasi pengelompokan A, B, dan C yang berada pada tiga kelompok yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga jenis komposisi bahan pengkapsul mempengaruhi aktivitas hambat bakteriosin yang telah dikapsulkan. Tampak bahwa perlakuan komposisi pengkapsul terbaik terhadap bakteri S. thypimurium yaitu pada perlakuan pengkapsul A 2 , dimana komposisi pengkapsul tersebut terdiri atas maltodekstrin 83,33 dan skim milk 16,67 dengan aktivitas rata-rata tertinggi sebesar 863,25 AUml. Penggunaan suhu pengeringan yang terbaik yaitu suhu 150 o C, pada perlakuan suhu tersebut terdapat aktivitas hambat serbuk bakteriosin yang 42 berbeda nyata diantara suhu 150 o C dangan 170 o C. Hal ini sejalan dengan rendahnya kestabilan aktivitas hambat serbuk bakteriosin pada suhu pengeringan yang tinggi. Tingginya suhu pengeringan bakteriosin dapat menyebabkan penurunan viabilitas bakteriosin yang dikapsulkan. Listeria monocytogenes Pada pengujian aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap bakteri indikator L. monocytogenes, faktor komposisi pengkapsul tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas hambat. Sedangkan faktor persentase bakteriosin berpengaruh yang nyata terhadap aktivitas hambat. Interaksi antara faktor komposisi pengkapsul dengan persentase bakteriosin memiliki pengaruh yang sangat berbeda nyata P5 terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap L. monocytogenes Lampiran 9. Hal ini sesuai dengan kemampuan bahan pengkapsul dalam mengkapsulkan bakteriosin yang digunakan yaitu sebanyak 20 bb sampel. Faktor interaksi antara komposisi bahan pengkapsul dan persentase bakteriosin yang dikapsulkan memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin yang dihasilkan pada bakteri L. monocytogenes. Faktor interaksi A dan B ini memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas hambat serbuk bakteriosin pada bakteri indikator L. monocytogenes. Hasil uji lanjut Duncan Lampiran 10 terhadap faktor persentase bakteriosin serta interaksi persentase bakteriosin dengan komposisi bahan pengkapsul menunjukkan aktivitas yang berbeda nyata. Nilai persentase bakteriosin yang terbaik yaitu pada penggunaan bakteriosin 20 dengan nilai aktivitas hambat terhadap bakteri L. monocytogenes sebesar 977,31 AUml, sedangkan komposisi bahan pengkapsul dengan persentase bakteriosin saling berinteraksi terhadap aktivitas bakteriosin. Interaksi terbaik dari kedua faktor tersebut yaitu pada perlakuan A 1 B 1 C 2 dengan komposisi bahan pengkapsul yang terdiri atas maltodekstrin 100, bakteriosin 20 bb sampel serta suhu pengeringan 170 o C. Dengan persentase kadar air bahan sebesar 4. Kadar air terbaik terdapat pada perlakuan A 3 B 2 C 1 dengan kadar air sebesar 1. Nilai kadar 43 air bahan ini selain mempengaruhi aktivitas daya hambat, juga mempengaruhi umur simpan produk ketika dilakukan perlakuan penyimpanan produk. Perbedaan suhu masukan digunakan untuk melihat dampak yang terjadi terhadap serbuk bakteriosin yang dihasilkan dengan parameter uji aktivitas hambatnya terhadap bakteri uji, dengan arti bakteriosin yang dikeringkan tersebut memiliki viabilitas maksimum sama besar dengan aktivitas hambatnya ketika belum dikeringkan sehingga dari proses tersebut dapat ditentukan penggunaan suhu masukan, laju alir umpan, komposisi bakteriosin dan bahan pengkapsul terbaik yang akan digunakan dalam proses skala besar nantinya scale up process. Penggunaan suhu masukan sebesar 170 o C akan memberikan suhu keluaran yang berkisar antara 80-85 o C sedangkan pada suhu masukan 150 o C memberikan suhu keluaran yang berkisar antara 75-80 o C. Meningkatnya suhu keluaran pengeringan otomatis akan menurunkan kadar air bahan. Secara umum, suhu keluaran pengeringan pada nilai 80-85 o C memungkinkan untuk mendapatkan produk dengan kadar air yang tidak melebihi batas minimum yang disyaratkan untuk penyimpanan tepung KA 4 sehingga suhu masukan 170 o C dapat digunakan sebagai suhu masukan proses pengeringan. c Perbandingan Aktivitas Hambat Bakteriosin dalam Bentuk Cair dan Serbuk Gambaran secara umum dapat dilihat pada Gambar. 14, bahwa aktivitas hambat tertinggi yang dihasilkan dari 12 kombinasi bahan pengkapsul pada masing-masing bakteri indikator yaitu sebesar 945,35 AUml untuk E. coli, 929,39 AUml untuk S. thypimurium dan untuk L. monocytogenes sebesar 1165,95 AUml dengan konsentrasi bakteriosin yang digunakan sebesar 0,00049 ww. Sedangkan bakteriosin cair yang tidak dikapsulkan memiliki aktivitas hambat sebesar 477,79 AUml pada bakteri E. coli, 383,27 AUml pada bakteri S. thypimurium dan pada bakteri L. monocytogenes sebesar 589,133 AUml pada konsentrasi yang sama. Sensitivitas bakteri terhadap bakteriosin merupakan karakteristik intrinsik tersendiri yang dimiliki oleh setiap bakteri dan juga dipengaruhi oleh kondisi bakteriosin yang digunakan. 44 Gambar. 14 Kurva Aktivitas Hambat Bakteriosin Cair dan Serbuk dari BAL SCG 1223 Pada Bakteri Indikator Dari kurva diatas dapat diketahui bahwa pengaruh yang terjadi pada aktivitas hambat serbuk bakteriosin, kadar air bahan, hasil rendemen dan kelarutan bahan memiliki hubungan yang erat. Dimana aktivitas hambat serbuk bakteriosin dari BAL SCG 1223 yang stabil pada ketiga bakteri indikator memiliki kadar air bahan yang rendah serta hasil dan kelarutan yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada perlakuan A 2 B 1 C 1 dan A 3 B 1 C 1 , aktivitas hambat, rendemen, kadar air dan kelarutan bahan berada pada kondisi yang optimal, dimana pada perlakuan tersebut aktivitas hambat terhadap bakteri Escherichia coli, Salmonella thypimurium dan Listeria monocytogenes memiliki aktivitas hambat yang hampir sama. Pada kurva tersebut dapat dilihat bahwa pada konsentrasi bakteriosin yang sama, aktivitas hambat serbuk bakteriosin memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakteriosin cair yang belum dikapsulkan. Hal tersebut membuktikan bahwa bakteriosin tidak mengalami penurunan aktivitas hambat setelah dilakukan pengkapsulan. Aktivitas hambat tertinggi pada bakteri Escerichia coli terdapat pada formuasi A 3 B 1 C 2 dengan nilai 945,32 AUml sedangkan bakteriosin cair memiliki aktivitas hambat sebesar 477,79AUml. pada bakteri Listeria monocytogenes, aktivitas hambat serbuk bakteriosin tertinggi terdapat pada kombinasi A 1 B 1 C 2 dengan nilai aktivitas hambat sebesar 945,35 45 AUml sedangkan aktivitas hambat bakteriosin cair aktivitasnya sebesar 589,133 AUml. Perlakuan A 2 B 2 C 1 merupakan perlakuan terbaik pada aktivitas hambat serbuk bakteriosin terhadap bakteri S. thypimurium dengan aktivitas hambat sebesar 879,24 AUml. Komposisi pengkapsul A 2 B 2 C 1 maltodekstrin 83,34, skim milk 16,66, bakteriosin 40 serta penggunaan suhu pengeringan sebesar 150 o C memiliki kadar air sebesar 3,76 yang masih berada pada batas kandungan air bahan tepung kultur hasil pengeringan spray sebesar 4 Masters, K 1985 dalam Gardiner et al., 2000. Pada Gambar 14, dapat dilihat bahwa adanya proses pengkapsulan bakteriosin tidak menurunkan aktivitas hambat bakteriosin pada pengujian terhadap bakteri S. thypimurium yang dibandingkan dengan aktivitas hambat bakteriosin cair pada konsentrasi yang sama. Berikut ini disajikan data-data pembanding untuk kedua perlakuan diatas : Tabel 3 Perbandingan Atribut Nilai pada Perlakuan A 2 B 1 C 1 dan A 3 B 1 C 1 Keragaman Nilai yang diamati pada perlakuan A 2 B 1 C 1 Nilai yang diamati pada perlakuan A 3 B 1 C 1 E. coli S. thypimurium L. monocytogenes E. coli S. thypimurium L. monocytogenes Aktivitas Hambat 779,82 AUml 912,68 AUml 947,25 AUml 943,16 AUml 973,64 AUml 740,38 AUml Kadar Air 2,73 3,01 Yield 69,3 68,64 Kelarutan 66,81 66,24 Dari pendekatan tersebut maka selanjutnya dapat ditentukan bahan pengkapsul terbaik yang dapat digunakan untuk mengkapsulkan bakteriosin yang berasal dari BAL galur SCG 1223. Formulasi terbaik yang dapat digunakan yaitu formulasi A 2 B 1 C 1 yang memiliki aktivitas hambat sebesar 779,82 AUm untuk bakteri E. Coli, 912,68 AUml untuk S. Thypimurium dan 947,25 AUml untuk L. monocytogenes dengan persentase kadar air, rendemen serta kelarutan bahan sebesar 2,73, 69,3 dan 66,81. Tabel hasil perhitungan persentase kadar air, kelarutan, dan rendemen dapat dilihat pada Lampiran. 46 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Bakteriosin dari Bakteri Asam Laktat SCG 1223 mempunyai sifat stabil pada kondisi penyimpanan asam pH 2-4 dengan pemanasan hingga 100 o C serta penyimpanan di ruang pendingin bersuhu 4 o C. Perlakuan enkapsulasi bakteriosin dari BAL SCG 1223 terbaik terdapat pada perlakuan A 2 B 1 C 1 , yaitu formulasi pengkapsul yang menggunakan 83,33 maltodekstrin, 16,67 skim milk, 20 bakteriosin cair serta penggunaan suhu pengeringan masukan 150 o C dan suhu keluaran 75-80 o C dengan laju alir 20 mlmenit. Aktivitas hambat serbuk bakteriosin A 2 B 1 C 1 sebesar 779,82 AUml terhadap Escherichia coli, 912,68 AUml terhadap Salmonella thypimurium dan 947,25 AUml terhadap Listeria monocytogenes. Kadar air bakteriosin yang diperoleh sebesar 2,73, kelarutan sebesar 66,81 dan rendemen produk sebesar 69,3. Semakin rendah kadar air serbuk bakteriosin dan semakin tinggi kelarutannya, menghasilkan nilai aktivitas hambat terhadap bakteri uji yang lebih tinggi. Bakteriosin yang telah dikapsulkan memiliki aktivitas hambat yang tinggi terhadap bakteri indikator dengan aktivitas yang cenderung meningkat. B. SARAN Pada penelitian lebih lanjut, diperlukan adanya pengujian aktivitas serbuk bakteriosin dari BAL SCG 1223 yang diberi perlakuan kondisi penyimpanan dan perlakuan enzim proteolitik. Selain itu perlu ada pengujian kadar air bahan yang dilakukan setelah adanya faktor penyimpanan. 47 DAFTAR PUSTAKA Andreas, J.B., Billy, M.H., and Renee M.T. 2000. Tracing the Origins of Salmonella Outbreaks. [DOI: 10.1126science.287.5450.50] in Perspectives Atkins Physical Chemistry, 7th Ed. by Julio De Paula, P.W. Atkins ISBN 0-19-879285- 9, didalam : www.id.Wikipedia.org http:id.wikipedia.orgwikiKelarutan [17 January 2009]. Backus, J and Brown, W. 1985. The Lactobacilli : Meat Products in Bacterial Stater Cultures for Foods Ed. Gilliland, S. E pp 47-72. CRC Press, Inc. Boca Raton, FL. Bakan, J. A. 1978. Microencapsulation. Didalam : M. S. Peterson and R. Jhonson, eds Encyclopedia of Food Science. New York : AVI Pub. CO., Inc.,Westport,Com. Bangs, W and Reinecciua, G. A. 1981. J. Food Science. 47 : 254-259. Didalam Risch, Sara. J. 1995. Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients. American Chemical Society, Washington DC. Bhunia, AK., Jhonson MC, Ray B. 1988. Purification, Characterization and Antimicrobial Spectrum of a Bacteriocin Produced by Pediococcus acidilactici. J. Appl. Bacteriol. 65 : 261-268. Didalam Ogunbanwo, S. T; Sanni, A. I. dan A. A. Onilude. 2003. Characterization of Bacteriocin Produced by Lactobacillus plantarum F1 and Lactobacillus brevis OG1. African Journal of Biotechnology Vol. 2 8, pp. 219-227, ISSN 1684-5315. Department of Botany and Microbiology University of Ibadan, Nigeria. Becher, P. 1977. Emulsion Theory and Practice. Robert E Krieger Publishing Company : Hunington, New York. Blackburn, C. de W., and McClure, P. J. 2002. Food-Borne Pathogens : Hazard, Risk Analysis and Control. Woodhead Publishing Limited, Cambridge. Buchanan, R. E and Klawitter, L. A. 1992. Effectiveness of Carnobacterium piscicoa LK5 for Controlling the Growth of Listeria monocytogenes Scott in Refrigerator foods. J. Food Safety. 12 : 219-236. Buchanan, R. E. and Gibbons, N. E. Eds. 1974. In Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology 8 th Eds p. 585. Williams Wilkins, Baltimore, MD. Buckle, K. A. 1985. Ilmu Pangan UI- Press. Jakarta. Didalam Setiawan, D. 2007. Pengujian Mutu Bahan Baku Skim milk Powder Di Tropicana Slim Quality Laboratory TQL SBU Tropikana Slim Indonesia, PT Nutrifood Indonesia Ciawi - BOGOR. Laporan Magang. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB : Bogor. 48 Champagne, C. P. Y., Raymond, F. M., and Julien, J. P. 1995. Studies on the Encapsulation of Bifidobacterium longum cultures by spray-coating or cocrystallization. Bifidobacteria Microflora 14:7-14. Coventry, M. J., Muirhead, K., and Hickey, M. W. 1995. Partial Characterization of Pediocin PO 2 and Comparison with Nisin for Biopreservation of Meat Products. Int. J. Food Microbiol. 26 : 133-145. Davidson, P. M and Braner, A. L. 1983. Antimicrobials in Food. 2 nd Ed. New York, Marcel Dekker Inc. De Vos, W. M., Mulders, J. W., Hugenholtz, J., and Kuipers, O. P. 1993. Properties of Nisin Zand Distribution of Its Genes, Nis Z, in Lactococcus lactis. Appl. Environ. Microbiol. 59 : 213-218. Deasy, P. 1987. Microencapsulation and Related Drugs Process. New York : Marcel Dekker Inc. Degnan, A. J., and Luchansky, J. B. 1992. Influence of Beef Tallow and Muscle on the Anti listerial Activity of Pediocin AcH and Liposome Encapsulated Pediocin AcH. J. Food Protection. 55: 552-554. Dziezak, J. D. 1988. Microencapsulation and Encapsulated Ingredients. Food Technology 28 4:138. El Jastimi, R., and Lafleur, M. 1997. Structural Characterization of Free and Membran- Bound Nisin by Infrared Spectroscopy. Biochem. Biophysic. Acta. 1324: 151- 158. El Jastimi, R., Lafleur, M., and Edwards, K. 1999. Characterizations of Permeability and Morphological Pertubation Induced by Nisin on Phosphatidylcholine Membrans. J. Biophysic. 77: 842-852. Earle, R. L. 1983. Unit Operations in Food Processing. Published by NZIFST Inc. [http:www.nzifst.org.nz] 12 Juli 2007. Eckner, K. F. 1992. Bacteriocins and Food Applications. Dairy, Food and Environ. Sanitation. 12: 204-209. Didalam Rahayu, E. S., Margino, S., Djoni K, dan Eni H. 2000. Produksi Bakteriosin oleh Leuconostoc mesenteroides SM 22 dan Aplikasinya Sebagai Bahan Pengawet PAngan yang Diinginkan. Fakultas Teknologi Pertanian, Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. Espina, F and V. S. Packard. 1979. Survival of Lactobacillus acidophilus in a Spray drying Process. J. Food. Prot. 42: 149-152. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 49 Gardiner, G. E., O’Sullivan, E., Kelly, J., Auty, M. A. E., Fitzgerald, G. F., Collins, J. K.. Ross, R. P., dan Stanton, C. 2000. Comparative Survival Rates of Human- Drived Probiotic Lactobacillus paracasei and L. salivarius Strains during Heat Treatment and Spray drying. J. Appl. Environ. Microbiol. 666. Gilliland, S. E. 1988. Introduction, 2-3. In S. E. Gilliland ed. Bacterial Starter Cultures for Foods. CRC Press, Boca Rotan, Florida. Giraffa, G. 1995. Enterococcal Bacteriocins : Their Potential as Anti Listeria Factors in Dairy Technology. J. Food Microbiol. 12: 291-299. Graver, K. I. and Muriana. 1993. Detection, Identification and Characterization of Bacteriocin-Producing Lactic Acid Bacteria from Retail Food Products. Int. J. Food Microbiol. 19 : 241-258. Hadiwiyoto, S. 1991. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Heath, H. B. 1986. Flavour Chemistry and Technology. New York : AVI Van Wostrand Reinhold Company. Hogan, S. A., McNamee, B. F., O’Riordan E. D., and O’Sullivan, M. 2001. Emulsification and Microencapsulation Properties of Natrium CaseinateCarbohydrate Blends. Int. J. Dairy 11: 137-144. Holzapfel, W. H., Geisen, R and Schillinger, U. 1995. Bioligical Preservation of foods With Refrencse to Protective Cultures Bacteriocins and Food Grade Enzymes. Int J. Food Microbiol. 24 3. Jack, R. W., Tagg, J. R., and Ray, B. 1995. Bacteriocin of Gram Positif Bacteria. J. Appl. Environ. Microbiol. 59:171-200. Jackson, L. S. and Lee, K. 1991. Microencapsulation and The Food Industry. Lebens wiss u Technology 24 :289-297. Januarsyah, T. 2007. Kajian Aktivitas Hambat Bakteriosin dari Bakteri Asam Laktat Galur SCG 1223. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor : Bogor. Jhonson, J. A. C and Etzel, M. R. 1993. Inactivation of Lactic Acid Bacteria During Spray drying, p. 98-107. In G. V. Barbosa-Carnovas dan M. R. Okos ed., Food Dehydration. Institute of Chemical Engineering, New York : NY. Jimenez-Diaz, R. 1993. Plantaricin S and T, Two new Bacteriocin Produced by Lactobacillus plantarum LPC010 Isolated from a Green olive Fermentation. J. Appl. Environ. Microbiol. 59:1416-1429. 50 Kenyon, M. M. 1995. Modified Starch Maltodextrin, and Corn Syrup Solids As Wall Materials for Food Encapsulation. Chemical Society. Grain Processing Corporation, 1600 Oregon Street, Muscatine IA 52761. Kenyon, M. M. and Anderson, R. J. 1988. Maltodextrine and Low-Dextroce- Equivalence Corn Syrup Solids. Didalam : Sara J. R. and Gary A. R., editor. Flavour Encapsulation. New Orleans : American Chemical Society. Kim, Y. D. and Morr, C. V. 1996. Microencapsulation Properties and Gum Arabic and Several Food Proteins : Spray Dried Orange Oil Emulsions Particles. J. Agriculture Food Chemist 44: 1314-1320 Kim, S. S., and Bhowmik, S. R. 1990. Survival of Lactic Acid Bacteria During Spray drying of Plain Yogurt. J. Food Sci. 55: 1008-1010. Kordel, M and Sahl, H. G. 1986. Susceptibility of Bacterial, Eukaryotic and Artificial Membrans to the Disruptive Action of the Cationic Peptides Pep 5 and Nisin. FEMS Microbiol. Lett., 34, 139-44. Liao, C C., Yousef, A. E., Chism G. W., and Richter E. R. 1994. Inhibition of Staphylococcus aureus in Buffer, Culture Media and Foods by Lacidin A, a Bacteriocin Produced by Lactobacillus acidophilus OSU 133. J. Food Safety. 14 : 87-101. Didalam. Rahayu, E. S., Margino, S., Djoni K, dan Eni H. 2000. Produksi Bakteriosin oleh Leuconostoc mesenteroides SM 22 dan Aplikasinya Sebagai Bahan Pengawet PAngan yang Diinginkan. Fakultas Teknologi Pertanian, Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. Masters, K. 1985. Analytical methods and properties of dried dairy products, p. 393- 403. In R. Hansen ed., evaporation membran filtration and spray drying in milk powder and cheese production. J N E Dairy. Vanlosc : Denmark. Mazzotta, A. S., Crandall, A. D., and Montville, T. J. 1997. Nisin Resistance in Clostridium boyulinum spores and vegetative cells. Appl. Environ. Microbiol. 63: 2654-2659. Mulders, J. W., Boerrigter, I. J., Rollema, H. S., Siezen, R. J., and De Vos, W. M. 1991. Identification and Characterization of the Lantibiotic nisin Z, a Natural Nisin Variant. European J. Biochem. 201: 581-581. Nurliana. 1997. Pengaruh Penambahan Bakteriosin dan Gabungan Bakteriosin Produksi Bakteri Asam Laktat Terhadap Jumlah Bakteri dalam Susu Pasteurisasi. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor : Bogor. Ogunbanwo, S. T., Sanni, A. I. and Onilude, A. A. 2003. Characterization of Bacteriocin Produced by Lactobacillus plantarum F1 and Lactobacillus brevis OG1. African J.Biotechnol. Vol. 2 8, pp. 219-227, ISSN 1684-5315. 51 Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Jakarta : UI Press. Rahayu, Amalia. P. 2008. Pengaruh Penambahan Bakteriosin Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 yang Diisolasi dari Susu Sapi Terhadap Karakteristik Mikrobiologi Daging Ayam Segar. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. IPB : Bogor. Rahayu, E. S., Margino, S., Djoni, K., dan Eni H. 2000. Produksi Bakteriosin oleh Leuconostoc mesenteroides SM 22 dan Aplikasinya Sebagai Bahan Pengawet Pangan yang Diinginkan. Fakultas Teknologi Pertanian, Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta. Rahayu, A. P. 2008. Pengaruh Penambahan Bakteriosin Lactobacillus sp. Galur SCG 1223 yang Diisolasi dari Susu Sapi Terhadap Karakteristik Mikrobiologi Daging Ayam Segar. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. IPB : Bogor. Ray, B. 1992. Bacteriocins of starter culture bacteria as biopreservatives an overview, p. 177-205. In B. Ray and M. A. Daeschel ed., Food biopreservatives of microbial origin. CRC Raton, B. F., Risch, S. J. 1995. Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients. American Chemical Society, Washington DC. Ruiz-Barba. J. L., Cathcart, D. P., Warner, P. J., and Jimenez-Diaz, R. 1994. Use of Lactobacillus Plantarum LPCO 10,a Bacteriocins Producers, as Starter Culture in Spanish-Style Green Olive Fermentation. App. Environ. Microbiol. 6 : 2059- 2064. Saleh, Eniza. 2004. Teknologi Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian - Universitas Sumatera Utara. USU Digital Library [6 Juli 2008]. Schenk, F. W and Hebeda, R. E. 1992. Starch Hidrolysis Products. VCH Publishers Inc., New York. Schnell, N., Entian, K. D., Schneider, U., Gots, F., Zahner, H., Kellner, R., and Jung, G. 1998. Prepeptida Sequence of Epidermin, a Ribosomally Synthesized Antibiotic with four Sulphide-ring. Nature London. 333 : 276-278. Stevens, K. A., Klapes, N. A., Sheldon, B. W. and Klaenhammer, T. R. 1991. Nisin Treatment for Inactivation of Salmonella species and other Gram-negatif Bacteria. Appl. Environ. Microbiol., 57, 3613.15. Suarsana, I. N. 2003. Sifat Fisikokimia Bakteriosin yang Dihasilkan oleh Bakteri Staphylococcus epidermidis. J. Veteriner. Vol 4 4. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. http:www.jvetunud.com [17 Maret 2008]. 52 Subarna, N. A. dan Nurheni S. P. 1990. Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia dan Fungsional Minyak dan Protein Kacang Tanah Laporan Penelitian. Bogor : Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sudarmaji, S., Haryono, B dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. UGM Press, Yogyakarta. Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung. Suryani, A., Sailah, I dan Hambali E. 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian-IPB : Bogor. Suyitno; Haryadi; Supriyanto; Budi, Sulismadji; Haryanto, G; Guritno, A. D. dan Supartono, W. 1989. Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusan Antar Universitas Pangan dan Gizi-UGM : Yogyakarta. Tagg, J. R., Dajani, A. S. and Wannamaker, L. W. 1976. Bacteriocins of Gram Positif Bacteria. J. Bacteriol. Rev. 40 3 : 722-756. Tahara, T., Oshimura, M., Umezawa, C and Kanatani, K. 1996. Isolation, Partial Characterization and Mode of Action of Acidocin J1132, a two-component Bacteriocin Produce by Lactobacillus acidophilus JCM 1132. App. Environ. Microbiol. 62 : 892-897. Thies, C. 1996. A Survey of Microencapsulation Processes. Didalam : S. Benita, Editor. Microencapsulation. Methods and Industrial Applications. New York : Marcel Dekker, Inc. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Vlaemynck, G., Herman, L. and Coudijzer, K. 1994. Isolation and Characterization of Two Bacteriocins Produced by Enterococcus faceium strains Inhibitory to Listeria monocytogenes. Intl. J. Food Microbiol. 24: 211-225. Vust and Vandamme, E. J. 1994. Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria : Microbiology, Genetics and Applications. London. Blackie Academic Proffesional. Dalam : Lucde Vuyst. 2007. Bacteriocins from Lactic Acid Bacteria : Purification and food Applications. J. Mol. Microbiol. Biotechnol. ; 13 : 194-199. Yang, R., Johnson, M.C., and Ray, B. 1992. Novel method to extract large amounts of bacteriocins from lactic acid bacteria. Appl Environ Microbiol..58: 3355–3359 http:tech.groups.yahoo.comgroupTeknik-Kimiamessage10950.[15Januari 2009]. http:id.wikipedia.orgwikiRendemen_kimia. [15 Januari 2009] 53 http:www.food-info.netidbactcolio157.htm [17 January 2009] www.textbookofbacteriology.net Kenneth Todar, Ph.D. All rights reserved.[17 January 2009]. LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Kadar Air Bahan dan Kelarutan Bahan Analisa Kadar Air Metode Oven AOAC, 1995 Cawan alumunium bersih dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang bobot cawan kosong. Sebanyak 3-5 gram sampel dimasukkan kedalam cawan, lalu dikeringkan dalam oven bersuhu 100 o C selama 6 jam dan atau hingga mencapai bobot yang konstan. Kemudian cawan beserta isinya didiamkan hingga dingin didalam desikator lalu ditimbang bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan. Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar Air bb = c – a - b x 100 c Keterangan : a = bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan gram b = bobot cawan kosong gram c = bobot sampel awal gram Analisa Kelarutan Bahan Sebanyak 0,5 gram sampel dilarutkan dengan 50 ml aquades dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Sampel ditempatkan dalam penangas air pada suhu 70 o C selama 2 jam dengan pengadukan secara kontinyu. Setelah itu diamkan beberapa saat hingga terbentuk batas suspensi dan endapan bahan yang tidak melarut. Pisahkan bagian tersebut dengan mengambil 30 ml larutan suspensi dan diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Kemudian cawan dikeringkan pada oven bersuhu 100 o C hingga didapat bobot yang konstan. Cawan beserta isinya dikeluarkan dari oven dan didiamkan hingga dingin dalam desikator kemudian ditimbang dan dihitung kenaikkan bobotnya. Kelarutan = b – a x 30 ml x 100ml x100 50 ml 30ml 54 Keterangan : a = bobot awal cawan petri kosong gram b = bobot akhir cawan petri gram Lampiran 2. Hasil Uji Lanjut Duncan pada Interaksi Faktor-Faktor Pengkapsulan pada Proses Enkapsulasi Bakteriosin BAL SCG 1223 terhadap Kadar Air. Means with the same letter are not significantly different Kadar Air. Duncan Grouping Mean N kombinasi A 4.4625 4 A1_40_1 A B A 3.9325 4 A1_20_1 B A B A C 3.7625 4 A2_40_1 B C B C 2.8350 4 A2_20_1 B C B C 2.6800 4 A3_20_1 C C 2.4700 4 A3_40_1 Lampiran 3. Hasil Uji Lanjut Duncan pada Komposisi Bahan Pengkapsul dan Persentase Bakteriosin pada Proses Enkapsulasi Bakteriosin BAL SCG 1223 terhadap E. coli. Means with the same letter are not significantly different

E. coli Duncan Grouping