Kemaksuman Dan Ilmu Imam

Kemaksuman Dan Ilmu Imam

Sebagaimana pada pelajaran 36, bahwa titik perbedaan an- tara Syi'ah dan Ahli Sunnah sekaitan dengan Imamah berkisar pada tiga poin penting, yaitu: pertama, keharusan pengang- katan imam dari sisi Allah swt. Kedua, seorang imam harus memiliki kemaksuman. Ketiga, seorang imam harus memiliki ilmu ladunni dari Allah.

Pada pelajaran 37 pun kami telah menjelaskan –dengan dalil-dalil rasional – ketiga masalah tersebut. Bahkan pada pe- lajaran 38, tidak hanya dalil-dalil itu, telah kami lengkapi pula pembahasan tersebut dengan dalil-dalil wahyu, yaitu ketika kami menjelaskan penunjukkan para imam yang suci dari sisi Allah swt. Studi kita selanjutnya adalah mengenai kemaksu- man dan ilmu ladunni mereka dari Allah swt.

Kemaksuman Seorang Imam

Setelah dapat dibuktikan bahwa sebenarnya masalah Imamah terfokus pada pengangkatan Ilahi yang telah Allah

MENGENAL AWAL KEHIDUPAN anugerahkan kepada Ali bin Abi Thalib a.s. dan sebelas

keturunannya, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka melalui ayat ini:

”Sesungguhnya janji Kami tidak akan meliputi orang-

orang yang zalim" (QS.Al-Baqarah: 142). Ayat ini secara tegas menafikan kedudukan karuniawi

Ilahi (Imamah) itu bagi orang-orang yang telah tersentuh noda maksiat dan dosa, sekecil apa pun dosa itu.

Selain ayat ini, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka dengan ayat "Ulil amri" di pelajaran lalu. Di dalam ayat itu, Allah swt. mewajibkan ketaatan kaum muslimin kepada mereka secara mutlak, dan menggandengkannya de- ngan ketaatan kepada Rasul-Nya. Artinya, ketaatan kepada mereka itu tidak akan bertentangan dengan ketaatan kepada Allah swt. Jadi, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perintah mentaati mereka secara mutlak berarti Allah swt. telah menjamin kemaksuman mereka, dan mereka itu adalah orang-orang yang sungguh memiliki kemaksuman.

Ayat lain yang dapat dijadikan sebagai argumen atas kemaksuman para Imam Ahlul Bait a.s. adalah "Ayat Tathir":

"Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kenistaan dari kalian wahai Ahlu Bait Nabi dan mensucikan kalian dengan sesuci-sucinya" (QS.Al-Ahzab:33).

Penjelasannya, kehendak Allah dalam ayat ini bukan berupa iradah tasyri'iyah (kehendak tinta Ilahi), karena iradah tasyri'iyah ihwal mensucikan hamba-hamba-Nya bersifat dan berlaku secara umum, artinya tidak khusus hanya kepada orang-orang tertentu saja. Sedangkan kehendak Allah dalam ayat ini khusus untuk Ahlul Bait Nabi saw. Dengan demikian, kehendak Allah dalam ayat ini tidak lain adalah iradah

PANDANGAN DUNIA ILAHI takwiniyah (kehendak cipta Ilahi) yang tidak mungkin akan

mengalami perubahan, sebagaimana firman-Nya:

"Sesungguhnya "amr" Allah apabila ia menghendaki sesuatu, ia berkata: 'jadilah', maka terjadi" (Qs.Yasin:82).

Penyucian secara mutlak dan pembersihan segala bentuk kotoran, kenistaan dan keburukan adalah kemaksuman. Kita telah mengetahui, bahwa tidak ada satu pun dari mazhab- mazhab Islam yang mengklaim adanya kemaksuman bagi seorang pun yang silsilah keturunannya bersambung kepada Nabi saw. selain mazhab Syi'ah Imamiyah. Penganut Syi'ah meyakini bahwa Siti Fatimah Az-Zahra a.s., putri Rasul saw., dan 12 Imam dari keturunannya menyandang sifat maksum.

Perlu kami tekankan di sini, bahwa terdapat lebih dari 70 hadis yang kebanyakan diriwayatkan oleh ulama Ahli Sunnah, yang menunjukkan bahwa "Ayat Tathir" tesebut ditu- runkan kepada lima manusia agung, yaitu Rasulullah saw., Imam Ali a.s., Fatimah a.s., Al-Hasan a.s. dan Al-Husein a.s.

Syeikh Ash-Shaduq menukil sebuah riwayat dari Amirul Mukminin Ali a.s., bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Wahai Ali, sesungguhnya ayat tathir ini diturunkan untukmu dan kepada kedua putramu dan para Imam dari putra-putramu".