Analisis kebijakan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan di kawasan pesisir barat kabupaten Serang Provinsi Banten

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA

YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT

KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kebijakan Pengembangan Pariwisata Yang Berkelanjutan Di Kawasan Pesisir Barat Kabupaten Serang,Provinsi Banten adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2010

Zeinyta Azra Haroen NIM C 226010121


(3)

ZEINYTA AZRA HAROEN. Policy Analysis of Sustainable Tourism Development in the West Coast Regions of Serang, Banten Province, Directed by TRIDOYO KUSUMASTANTO, SUGENG BUDIHARSONO and AHMAD FAHRUDIN.

The purpose of this study are (1) to assess land suitability and carrying capacity of coastal tourism, (2) develop a planning zone of space utilization for coastal tourism, (3) analyze the policy to achieve sustainable coastal tourism. A survey method was used, data were collected by using questionnaires and field surveys. The method of data analyses consisted of visitor tourism trend, land suitability, carrying capacity, socio economic, ecological footprint. Input-output and dynamic models are used to analyze the planning development of coastal tourism. The results showed that in the subdistrict of Anyer the sustainable type of coastal tourism is beach recreational tourism total area for appropriate zone (S3) is 3.038 ha with carrying capacity of 1.215 people per day. Appropriate tourism activities are to enjoy the natural beauty of the panorama, sunbathing, swimming and fishing, and area of 56.326 ha is not sustainable public tourism which can be developed for residential use, hotels, resorts, cottages. Meanwhile, the subdistrict of Cinangka, total area appropriate zone (S3) with total area is 10.945 ha with carrying capacity of 4.378 people per day. Appropriate tourism activities is to enjoy the natural beauty of the panorama and beach, beach sports like beach volleyball, jogging, throwing discs and camping. Total area which is not appropriate (N) is 82,760 ha, that can be used for residential, hotels, resorts, and cottages. Sustainability of coastal tourism is shown by the index distribution of power degree 0,92 and 1,08, it is meant that the tourism sector more strongly influenced by the provider sector output than the corresponding user input. Therefore the coastal tourism sector is an important economic activities which can be developed in sustainable way and the tourism sector is one of the main sector for sustainable development. The results of simulation scenarios as a basis for development policies showed that the existing scenario of tourism investment around Rp. 5.31 billion until the end of the simulation year 20 (2025) provide employment of about 64.110 people per year. The best scenario for the sustainable coastal tourism policy based on ecology, social and economic parameter is to increase demand of tourism at 15% per year and investment at Rp.17.74 billion, this policy will improve per capita income from Rp. 4.41 billion to Rp. 12.40 billion per year and provide employment for 870.780 people per year at the end year 2025.


(4)

ZEINYTA AZRA HAROEN. Analisis Kebijakan Pengembangan Pariwisata Yang Berkelanjutan Di Kawasan Pesisir Barat Kabupaten Serang, Provinsi Banten, Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, SUGENG BUDIHARSONO dan AHMAD FAHRUDIN.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengkaji kesesuaian dan daya dukung pariwisata pesisir; (2) merencanakan pola pemanfaatan ruang pariwisata pesisir; (3) mengkaji kebijakan pengembangan pariwisata pesisir berkelanjutan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, data dikumpulkan berdasarkan kuesioner dan survei lapangan. Metode analisis data terdiri dari analisis trend pengunjung wisata, analisis kesesuaian lahan, analisis daya dukung, analisis sosial ekonomi, analisis ecological footprint dan analisis input-output serta model dinamik dilakukan untuk menganalisis kebijakan pengembangan pariwisata pesisir berkelanjutan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kawasan pesisir barat Serang Banten yang terdiri dari dua Kecamatan yaitu Kecamatan Anyer dan Kecamatan Cinangka didapat kesesuaian lahan untuk pariwisata pesisir kategori rekreasi. Kecamatan Anyer tipe yang ditemui adalah sesuai bersyarat (S3) dengan luasan 3,038 ha dan aktivitas pariwisata yang sesuai adalah menikmati panorama dan keindahan alam pantai, berjemur, berenang dan memancing dengan daya dukung sebanyak 1.215 orang/hari dan kebutuhan air bersih sebanyak 243 m3/hari.Tipe

lahan tidak sesuai (N) dengan luasan 56,326 ha, lahan ini dapat digunakan untuk pengembangan fasilitas pariwisata seperti hotel, resort, villa dan cottage. Kecamatan Cinangka tipe yang ditemui adalah sesuai bersyarat (S3) dengan luasan 10,945 ha dan aktivitas pariwisata yang sesuai adalah menikmati panorama alam dan keindahan pantai, olah raga pantai seperti volley pantai, jalan pantai, rekreasi dan berkemah, dengan daya dukung sebanyak 4.378 orang/hari dan kebutuhan air bersih sebanyak 876 m3/ hari. Tipe lahan yang tidak sesuai (N)

dengan luasan 82,760 ha, yang dapat dimanfaatkan untuk pemukiman, hotel, resort, cottage, villa. Melalui pendekatan analisis ecological footprint keberlanjutan pariwisata secara lestari masih dapat dilakukan karena ecological footprint (EF) lebih kecil dari biocapacity (BC) artinya kemampuan daya tampung masih rendah bila dibandingkan dengan pemanfaatannya.

Keberlanjutan pariwisata pesisir ditunjukkan oleh indeks daya penyebaran sebesar 0.92 dan derajad kepekaan sebesar 1.08, hal ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata lebih kuat dipengaruhi oleh sektor-sektor penyedia output dari pada pengguna input yang bersangkutan. Peran sektor pariwisata dapat ditingkatkan menjadi sektor andalan melalui dorongan peningkatan kunjungan wisata menginap sehingga dapat mendorong sektor penyedia output. Tingginya nilai koefisien pengganda tenaga kerja tipe I sektor pariwisata menunjukkan bahwa sektor tersebut dapat diandalkan untuk peningkatan pendapatan


(5)

prioritas untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat seperti sektor jasa, sektor perdagangan dan sektor pertanian.

Kebijakan pengembangan pariwisata pesisir yang berkelanjutan di kawasan pasisir barat Serang, Banten belum optimal. Oleh karena itu pariwisata pesisir merupakan suatu kegiatan ekonomi penting, yang dapat dikembangkan untuk mendukung sektor pariwisata. Hasil skenario eksisting pengembangan pariwisata menunjukkan investasi sekitar Rp. 5,31 milyar dan menyediakan tenaga kerja sekitar 64.110 orang per tahun. Skenario yang terbaik untuk kebijakan pengembangan pariwisata pesisir di kawasan barat Serang, Banten adalah berdasar pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi untuk meningkatkan permintaan pariwisata 15% per tahun dan investasi meningkat menjadi Rp.17,74 milyar, dan meningkatkan pendapatan per kapita dari Rp. 4,41 juta menjadi Rp. 12,40 juta per tahun serta menyediakan tenaga kerja sebanyak 870.780 orang per tahun pada akhir kurun waktu 20 tahun kedepan atau pada tahun 2025.


(6)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagai atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA

YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT

KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN

ZEINYTA AZRA HAROEN

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Penguji Luar Komisi Pembimbing

• Penguji Ujian Tertutup (29 Januari 2010) 1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc 2. Dr. Ir. Luky Adrianto

• Penguji Ujian Terbuka (28 Juli 2010) 1. Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi 2. Prof. Dr. I Gde Pitana, M.Sc


(9)

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, M.S. K e t u a

Dr. Ir. Ahmad Fahrudin, M.S. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono. Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Progam Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir.Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Kharil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 28 Juli 2010 Tanggal Lulus:

Judul Disertasi : Analisis Kebijakan Pengembangan Pariwisata Yang Berkelanjutan Di Kawasan Pesisir Barat Kabupaten Serang,Banten

Nama Mahasiswa : Zeinyta Azra Haroen NIM : C226010121


(10)

PRAKATA

Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul Analisis Kebijakan Pengembangan Pariwisata Yang Berkelanjutan Di Kawasan Pesisir Barat Kabupaten Serang Provinsi Banten”. Penyusunan disertasi ini adalah untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam rangka menyelesaikan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan disertasi ini penulis dibimbing oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, Bapak Dr. Ir. Ahmad Fahrudin, M.S dan Bapak Dr. Unggul Aktani (Alm), masing-masing sebagai anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen, DEA yang dengan sabar, disela-sela kesibukan beliau sehari-hari masih memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis untuk berkonsultasi. Oleh sebab itu pada kesempatan ini sudah sepantasnya penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan atas segala bimbingan dan arahan yang telah diberikan beliau mulai dari penyusunan usulan penelitian sampai pada penyelesaian disertasi ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan pada, Bapak Camat Kecamatan Anyer dan Kecamatan Cinangka serta Dinas Pariwisata Banten, Bapeldada Banten, dan yang lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Papa tercinta Haroen Hay (Alm) dan Mama Ajidah Thalib, Suami tercinta Wawan Sanwani (Alm), serta anak-anakku tersayang Roessiana Haroennia, SE, Andre Zein Akbar, Dendy Maulana, Dewi Indah Prihadana dan Okky Leonardy Tajuddin, Adikku Ahmad Mansyur, M.S atas segala bantuan, pengorbanan, pengertian dan dukungannya.

Teman-teman sejawat dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil selama mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Atas segala bantuan, bimbingan, arahan dan dukungan yang telah diberikan,


(11)

penulis mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan imbalan yang setimpal hendaknya, Amin Ya Rabbal’alamin. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kita.

Bogor, Februari 2011


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang Panjang (Sumatera Barat) pada tanggal 17 November 1958 sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Ayah Haroen Hay (Alm) dan Ibu Ajidah Thalib. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Kimia, Universitas Negeri Jakarta, lulus pada tahun 1982. Pada tahun 1998, penulis diterima Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen,’LPMI’ dan menamatkannya tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut diperoleh pada tahun 2001. Beasiswa pendidikan Sekolah Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis diangkat sebagai Dosen pegawai negeri sipil (PNS) di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambungmangkurat (UNLAM), di Banjarmasin Kalimantan Selatan pada tahun 1983. Saat ini penulis menjadi Dosen PNS Kopertis Wilayah III, Jakarta yang dipekerjakan (dpk) pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta dengan jabatan fungsional/golongan sebagai Lektor Kepala/IVb. Selain itu, penulis juga mengajar di Sekolah Tinggi Manajemen Transpor Trisakti (STMT-Trisakti) sebagai Dosen Tidak Tetap.


(13)

 

xi

 

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

xi xv xvii xix

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Ruang Lingkup Studi ... 5

1.6. Novelty/Kebaharuan ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Wilayah Pesisir ... 7

2.2. Ekosistem Wilayah Pesisir ... 8

2.2.1. Hutan Mangrove ... 9

2.2.2. Terumbu Karang ... 11

2.2.3. Padang Lamun ... 12

2.2.4. Pantai Berbatu ... 13

2.3. Konsep Pariwisata Pesisir... 14

2.4. Pengembangan Pariwisata Pesisir Berkelanjutan ... 18

2.5. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ... 22

2.6. Kesesuaian dan Daya Dukung Untuk Pariwisata Pesisir ... 26

2.7. Ecologycal Footprint ... 29

2.8. Ecologycal Input-Output ... 32

2.9. Sistem Pemodelan Dinamik ... 33

2.10. Analisis Kebijakan ... 34

3 METODOLOGI PENELITIAN... 37

3.1. Kerangka Pemikiran ... 37

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

3.3. Metode Penelitian ... 42

3.4. Jenis dan Sumber Data ... 43

3.5. Metode Analisis Data ... 45

3.5.1. Analisis Trend Pengunjung Pariwisata ... 45

3.5.2. Analisis Sosial Ekonomi ... 46

3.5.3. Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Pariwisata Pesisir ... 48

3.5.4. Analisis Daya Dukung Untuk Pariwisata Pesisir ... 51

3.5.5. Analisis Ecologycal Footprint ... 53

3.5.6. Analisis Input-Output ... 59

3.5.7. Analisis Pemodelan Dinamik ... 63

3.5.7.1. Submodel Ekologi ... 63


(14)

 

 

3.5.7.3. Submodel Sosial ... 65

3.5.7.4. Formulasi Model ... 67

3.5.7.5. Verifikasi dan Validasi Model ... 69

3.5.7.6. Diagram Lingkar Sebab-Akibat (Causal Loop) .... 71

3.5.7.7. Diagram Input-Output Sistem Pengembangan             Pariwisata ... 73

3.5.7.8. Struktur Model Eksisting Kawasan Pesisir Barat Serang, Banten ... 74

3.5.7.9. Skenario Pengembangan Pariwisata Pesisir Barat Serang, Banten ... 75

4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 79

4.1. Kondisi Geografis dan Profil Kawasan Pesisir Pantai Barat Serang, Banten ... 79

4.2. Iklim ... 80

4.3. Karateristik Hidrologi ... 81

4.4. Kondisi Fisik Kawasan Pesisir Pantai Barat Serang, Banten ... 81

4.5. Pemerintahan, Kependudukan dan Sosial ... 85

4.6. Keadaan Pariwisata Pesisir... 89

5 ANALISIS KESESUAIAN, DAYA DUKUNG DAN POLA PEMANFAATAN RUANG WISATA ... 95

5.1. Analisis Trend Wisata ... 95

5.1.1. Trend Wisata Kecamatan Anyer ... 95

5.1.2. Trend Wisata Kecamatan Cinangka ... 96

5.2. Analisis Sosial, Ekonomi ... 98

5.2.1 Analisis Sosial ... 98

5.2.2 Analisis Ekonomi ... 99

5.3. Kesesuaian Lahan Kecamatan Anyer-Cinangka ... 101

5.4. Analisis Daya Dukung Kecamatan Anyer-Cinangka ... 104

5.5. Ecologycal Footprint ... 106

5.6. Pola Pemanfaatan Ruang Wisata ... 108

5.6.1. Peta Kesesuaian Lahan Wisata Kecamatan Anyer ... 109

5.6.2. Peta Kesesuaian Lahan Wisata Kecamatan Cinangka ... 109

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG,PROVINSI BANTEN ... 113

6.1. Analisis Input-Output ... 113

6.1.1. Analisis Keterkaitan ... 113

6.1.2. Daya Penyebaran ... 116

6.1.3. Dampak Pengganda ... 119

6.1.4. Pengganda Input-Output Lingkungan ... 121

6.1.5. Implikasi Kebijakan dari Analisis Input-Output ... 122

6.2. Analisis Pemodelan Dinamik ... 123

6.2.1. Perilaku Skenario Dasar (Model Eksisting) ... 123

6.2.2. Perilaku Skenario 1 ... 125


(15)

 

   

6.2.4. Perilaku Skenario 3 ... 128

6.2.5. Perilaku Skenario Gabungan ... 128

6.2.6. Verifikasi Struktur Model ... 130

6.2.7. Validasi Perilaku Model ... 130

7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN ... 131

7.1. Analisis Kebijakan Meningkatkan Bangkitan Hari Puncak Kunjungan Inap ... 132

7.2. Analisis Kebijakan Meningkatkan Laju Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah ... 135

7.3. Analisis Kebijakan Meningkatkan Laju Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja ... 136

7.4. Analisis Kebijakan Gabungan ... 136

8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 139

8.1. Kesimpulan ... 139

8.2. Saran ... 140

DAFTAR PUSTAKA ... 143

LAMPIRAN ... 153


(16)

 

xv

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kegiatan Wisata Alam yang dapat Dikembangkan ………. 17

2 Jenis dan Sumber Data Sekunder ...……….… 44

3 Responden dalam Pengembangan Pariwisata Pesisir………... 45

4 Matrik Kesesuaian Lahan Untuk Wisata Pesisir Kategori Rekreasi ... 51

5 Potensi Ekologi Pengunjung dan Luas Area Kegiatan ... 52

6 Prediksi Waktu yang dibutuhkan Untuk Setiap Kegiatan Wisata ... 53

7 Faktor Pembobotan Areal Menurut Tipe Lahan ... 55

8 Ringkasan Skenario Peubah-peubah Kebijakan yang Dilakukan dalam Simulasi beberapa Kebijakan ... 77

9 Klimatologi Kabupaten Serang ... 80

10 Volume Air Sungai di Sekitar Kabupaten Serang ... 81

11 Kualitas Air Laut Kawasan Pantai Barat Serang Banten ... 82

12 Nama Desa di Kecamatan Anyer dan Cinangka ... 84

13 Desa Pesisir di Kecamatan Anyer dan Cinangka ... 85

14 Panjang Pantai, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kawasan Pantai Barat, Serang Per Kecamatan tahun 2006... 86

15 Tingkat Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Serang, Banten... 86

16 Penduduk Menurut Umur, Kabupaten Serang ... 87

17 Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Serang ... 88

18 Jumlah Pedudukak menurut Tingkat Pendidikan ... 89

19 Keragaan Aktivitas Perhotelan ... 90

20 Jenis Pelayanan Perhotelan Kabupatan Serang ... 90

21 Jumlah Wisman dan Wisnu yang Berkunjung ke Anyer ... 91

22 Jumlah Wisman dan Wisnu yang Berkunjung ke Cinangka ... 92

23 Jenis dan Daya Tarik Kegiatan Pariwisata di Kawasan Anyer-Cinangka Saat Ini ... 93

24 Kunjungan Wisatawan yang Menginap di Kawasan Anyer-Cinangka... 97

25 Perkembangan PDRB Kabupaten Serang ... 100

26 Kelas Kesesuaian dan Luas Lahan Untuk Pariwisata Pesisir Kategori Rekreasi ... 102

27 Kemampuan dan Daya Dukung Pemanfaatan Wisata Kawasan Pesisir Barat Serang, Banten ... 106

28 Estimasi Kebutuhan Ruang Wisata Rekreasi ... 108

29 Kesesuaian Pariwisata Pesisir dengan Kategori Rekreasi ... 109

30 Keterkaitan Langsung ke Depan dan ke Belakang masing-masing Sektor ... 115

31 Koefisien Keterkaitan Langsung ke Depan dan ke Belakang ... 115

32 Kepekaan Penyebaran dan Koefisien Kepekaan ... 116

33 Pengganda Pendapatan Tipe I ... 120

34 Pengganda Tenaga Kerja Tipe I ... 121


(17)

xvii 

   

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Hubungan Antar Wilayah Pesisir dan Sistem Sumberdaya

Wilayah Pesisir ... 8

2 Hubungan Ekosistem yang ada di Pesisir ... 9

3 Hirarki Dalam Metode Analisis Kebijakan ... 36

4 Kerangka Pemikiran Pariwisata Pesisir Pantai Barat Serang, Banten ... 40

5 Peta Administrasi Kecamatan Anyer ... 41

6 Peta Administrasi Kecamatan Cinangka ... 41

7 Proses Penyusunan Peta Kesesuaian Wisata ... 58

8 Langkah - langkah Validasi Model Pengembangan Pariwisata Pesisir di Kawasan Pantai Barat Serang, Banten ... 71

9 Diagram Lingkar Sebab Akibat Komponen Sistem Pengembangan Pariwisata Pesisir Berkelanjutan ... 72

10 Diagram Input-Output Sistem Pengembangan Pariwisata Pesisir Berkelanjutan Kawasan Pantai Barat Serang, Banten ... 74

11 Trend Wisata Kecamatan Anyer ... 96

12 Trend Wisata Kecamatan Cinangka ... 96

13 Estimasi Kebutuhan Ruang Wisata Rekreasi ... 107

14 Peta Kesesuaian Kecamatan Anyer ... 111

15 Peta Kesesuaian Kecamatan Cinangka ... 112

16 Pengelompokkan Sektor Ekonomi Di Kabupaten Serang Berdasarkan Kepekaan Penyebaran dan Koefisien Penyebaran... 118

17 Perilaku Model Eksisting Wilayah Pesisir Pantai Barat Serang ... 124

18 Perubahan Perilaku Model Eksisting Dilakukan Kebijakan Bangkitan Hari Puncak Kunjungan Menginap Terhadap Tenaga Kerja Yang Dikehendaki ... 125

19 Perubahan Perilaku Model Laju Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pariwisata ... 127

20 Perubahan Perilaku Model Laju Pertumbuhan Investasi Terhadap Pariwisata ... 127

21 Perubahan Perilaku Model Laju Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja Terhadap Pariwisata ... 128


(18)

xix

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Submodel Ekologi ... 155

2 Submodel Ekonomi ... 156

3 Submodel Sosial ... 157

4 Formulasi Submodel Ekologi ... 158

5 Formulasi Submodel Ekonomi ... 160

6 Formulasi Submodel Sosial ... 163

7 Struktur Model Eksisting ... 166

8 Komposisi dan Ketergantungan Penduduk Kecamatan Anyer dan Kecamatan Cinangka Tahun 2005... 167

9 Hasil Analisis Pendapatan Pelaku Wisata di Kawasan Pesisir Pantai Barat Serang Banten. 168 10 Hasil Kesesuaian Lahan Untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi... 169

11 Hasil Perhitungan Daya Dukung untuk Kecamatan Anyer dan Kecamatan Cinangka. 170     12

Kemampuan Pemanfaatan dan Daya Dukung Wisata Kawasan Pesisir Barat Serang, Banten……... 171

13 Tabel Input-Output ... 172


(19)

1.1 Latar Belakang

Pada abad 21 industri pariwisata diperkirakan akan menjadi andalan perolehan devisa negara dan perkembangannya dapat memacu perekonomian suatu negara. Industri pariwisata akan tumbuh secara berlanjut rata-rata sebesar 4,6% per tahun dan pertumbuhan pasar pariwisata rata-rata 10% per tahun (WTTC, 2004). Industri pariwisata pada tahun 2010 diperkirakan akan memberikan kontribusi devisa pada gross domestic product (GDP) sebesar 12%. Pertumbuhan pariwisata pada tahun yang sama diperkirakan akan menciptakan lapangan kerja sebanyak 2,5 juta orang di Indonesia (WTO, 2002 diacu dalam Cabrini, 2002).

World Tourism Organization (WTO) memperkirakan pada tahun 2020 jumlah wisatawan akan meningkat hingga 1.600 juta orang. Para wisatawan tersebut akan berwisata ke berbagai negara di dunia. Negara-negara yang diperkirakan menjadi tujuan wisata meliputi Eropa 816 juta orang (51%), Amerika 304 juta orang (19%), Asia Timur 240 juta orang (15%), Asean 96 juta orang (6%), Afrika 80 juta orang (5%), dan Asia Selatan 64 juta orang (4%), (WTO and UNEP, 2002; WTO, 2000). Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2006 mencapai 4.833.507 orang, sedangkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Banten sebanyak 1.123.000 orang (BPS, 2006).

Selanjutnya wilayah pesisir barat Kabupaten Serang meliputi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Anyer dan Kecamatan Cinangka dengan luas ± 1.734,09 Km² sangat potensial untuk dimanfaatkan, karena bentuk alam yang indah, struktur adat dan budaya yang khas. Kawasan pesisir barat Serang Banten memiliki panjang pantai ± 18,674 km berpotensi ekonomi yang besar. Khususnya pantai Anyer sudah terkenal sampai ke mancanegara karena memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati dalam berbagai bentuk alam pariwisata, historis, adat dan budaya (Pemda Banten, 2006).

Laporan Statistik Provinsi Banten (2005) menunjukkan peningkatan sektor pariwisata serta kontribusi ekonomi yang cukup besar dibandingkan dengan sektor


(20)

lain. Pendapatan sektor pariwisata berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berkisar 11% dari total nilai PDRB Kabupaten Serang. Kontribusi hotel dan restoran sekitar 2,9% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pajak dan retribusi hotel serta hiburan tahun 2001 mencapai Rp. 4,6 milyar sampai akhir tahun 2006 meningkat menjadi Rp. 6,5 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata memiliki potensi untuk dikembangkan secara berkelanjutan, dan akan menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta sumber pertumbuhan perekonomian baru di Kabupaten Serang.

Namun demikian pengembangan pariwisata tersebut nampak memberikan dampak yakni kerusakan lingkungan pesisir. Kecenderungan kerusakan pesisir lebih disebabkan oleh paradigma dan praktek pembangunan yang selama ini diterapkan belum sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan di wilayah pesisir cenderung bersifat ekstraktif serta didominasi kepentingan ekonomi dari pada kepentingan ekologi dan masyarakat. Khususnya dalam pengembangan pariwisata pesisir seharusnya bersifat partisipatif, transparan, dapat dipertanggung-jawabkan (accountable), efektif, efisien, merata serta mendukung supremasi hukum. Dalam rangka mencapai tujuan pengembangan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan termasuk pariwisata maka perlu dirumuskan suatu kebijakan mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan (proportionality) antar aspek ekologis, aspek sosial dan aspek ekonomi segenap pelaku (stakeholders) pembangunan industri wisata.

Pengembangan pariwisata, peningkatan ekonomi, kesempatan kerja, perubahan gaya hidup akan sangat mempengaruhi perubahan lingkungan fisik. Kegiatan yang bersifat eksploitasi berlebihan akan berdampak pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan di wilayah Provinsi Banten. Sehingga pengembangan pariwisata harus mempertimbangkan aspek daya dukung ekologi maupun daya dukung sosial dan ekonomi. Oleh karena itu pengembangan pariwisata kawasan pantai barat Serang, Banten harus dikaji secara seksama untuk menuju kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.

Kemampuan daya dukung sumberdaya dan lingkungan merupakan langkah awal yang penting untuk diketahui guna mendukung pengembangan


(21)

pariwisata berkelanjutan. Pengembangan pariwisata yang tidak terkendali akan mengarah kepada kerusakan sumberdaya dan lingkungan sekitarnya. Selain hal tersebut aspek sosial ekonomi dalam kaitannya dengan pengembangan kepariwisataan perlu diatur secara komprehensif dan terpadu dengan aspek sumberdaya dan lingkungan. Pengaturan ini dimaksudkan untuk dapat menciptakan suatu keadaan yang tertib, aman, nyaman, menarik bagi wisatawan maupun penduduk setempat.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka diperlukan kebijakan yang komprehensif dan terpadu dalam pengembangan pariwisata sehingga menjamin keberlanjutan pembangunan pariwisata di kawasan pesisir barat Kabupaten Serang. Penelitian ini mengkaji kebijakan pengembangan pariwisata pesisir yang terintegratif yakni melakukan analisis daya dukung, pola pemanfaatan ruang, maupun kebijakan yang mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi dalam pengembangan wisata pesisir. Kajian komprehensif tersebut merupakan pendekatan baru dan penting dalam mencapai pengembangan pariwisata pesisir berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1.2 PerumusanMasalah

Wisata pesisir barat Serang masih memiliki potensi untuk dikembangkan. Namun demikian nampak adanya kecenderungan pembangunan pariwisata yang tidak didasarkan pada kaidah keberlanjutan serta rendahnya peran masyarakat lokal maupun manfaat yang terbatas dari pengembangan pariwisata. Permasalahan yang masih dihadapi tersebut secara rinci disajikan sebagai berikut:

• Rendahnya optimasi pemanfaatan potensi pesisir yang diakibatkan pembangunan fasilitas wisata (hotel, resort, villa) yang tidak mengindahkan aspek ekologi dalam penataan ruang (sempadan pantai, daya dukung dan lain sebagainya). Kondisi estetika lingkungan yang buruk terutama di wilayah pemukiman masyarakat (Pemda Banten, 2005).

• Rendahnya tingkat kontribusi ekonomi dari aktifitas wisata dibandingkan dengan potensi yang dimiliki oleh pesisir barat Kabupaten Serang.

• Tingkat pendidikan yang belum mendukung pengembangan kepariwisataaan yang diindikasikan dengan jenis pendidikan bersifat umum seperti Sekolah


(22)

Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas serta belum tersedianya pendidikan lanjutan khususnya dalam bidang kepariwisataan secara memadai. • Terbatasnya penyerapan tenaga kerja pada sektor pariwisata. Sebagian besar

masyarakat Kecamatan Anyer dan Cinangka bermata pencarian petani (33,92%) dan nelayan (17,29%) dari 729.682 orang jumlah tenaga kerja di Kabupaten Serang (Pemda Banten, 2005).

• Terbatasnya infrastruktur dalam mendukung pengembangan pariwisata di wilayah pesisir barat Serang.

Dari permasalahan tersebut terlihat belum tersedia kebijakan pariwisata yang terintegrasi yakni dari aspek ekologi, sosial maupun ekonomi dalam rangka pengembangan pariwisata pesisir di Kabupaten Serang.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menyusun kebijakan pengembangan pariwisata pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, yang meliputi:

1 Mengkaji kesesuaian dan daya dukung pariwisata pesisir. 2 Merencanakan pola pemanfaatan ruang pariwisata pesisir.

3 Menganalisis kebijakan pengembangan pariwisata pesisir berkelanjutan. 1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam

menetapkan kebijakan pengembangan pariwisata berkelanjutan.

2. Memberikan informasi dan gambaran yang jelas bagi berbagai pihak mengenai kegiatan yang dilaksanakan dalam pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir sebagai kawasan pariwisata.

3. Bagi para peneliti dan perguruan tinggi, sebagai salah satu bahan kajian ilmiah dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pariwisata pesisir berkelanjutan.


(23)

1.5 Ruang Lingkup Studi

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kajian ekologi yang meliputi kesesuaian untuk wisata pesisir kategori rekreasi yang terdiri dari sepuluh parameter, sedangkan daya dukung pariwisata pesisir dihitung berdasarkan tingkat kemampuan suatu kawasan sebagai obyek tujuan wisata pantai dengan rasio luas kawasan dan jumlah pengunjung.

2. Pola pemanfaatan ruang pariwisata pesisir yang terkait aktifitas wisata.

3. Analisis kebijakan pengembangan pariwisata pesisir yang berkelanjutan berdasarkan kriteria ekologi, sosial dan ekonomi.

4. Studi ini lebih didasarkan tinjauan dan sisi penawaran wisata (supply) untuk kebutuhan wisatawan nusantara.

1.6 Novelty/Kebaharuan

Kebaharuan keilmuan dalam penelitian ini adalah penyusunan kebijakan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dengan mengintegrasikan analisis ekologi, sosial dan ekonomi. Hal tersebut dilakukan melalui analisis yang menggabungkan antara aspek biogeofisik dan lingkungan (kesesuaian lahan dan daya dukung ekologi serta ecological footprint), aspek sosial ekonomi (analisis input-output dan sistem pemodelan dinamik) secara terpadu.


(24)

2.1 Wilayah Pesisir

Dahuri (2001) menyatakan definisi wilayah pesisir secara geografis, sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, yang digunakan di Indonesia adalah pertemuan antara darat dan laut, kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mecakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Definisi wilayah pesisir (coastal zone) menurut UU No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang sa-ling berinteraksi, ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu untuk kabupaten/kota, dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.

Scura et al. (1992) dalam Cicin-Sain and Knecht (1998) mengemukakan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan daratan dan laut, yang didalamnya terdapat hubungan yang erat antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan dan lingkungan laut, seperti dinyatakan pada Gambar 1. Wila-yah pesisir mempunyai karateristik sebagai berikut:

1. Memiliki habitat dan ekosistem (seperti estuaria, terumbu karang, padang la-mun) yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, meneral) dan jasa (seperti bentuk perlindungan alam dari badai, arus pasang surut, rekreasi) untuk masyarakat pesisir.

2. Dicirikan dengan persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya dan ruang oleh berbagai stakeholders, sehinga sering terjadi konflik yang berdampak pada menurunnya fungsi sumberdaya.


(25)

3. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat menghasilkan GNP (Gross National Product) dari kegiatan seperti pengem-bangan perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata pesisir dan lain-lain. 4. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan merupakan wilayah

urbanisasi.

Gambar 1 Hubungan antar Wilayah Pesisir dan Sistem Sumberdaya

Wilayah Pesisir (Scura et al. 1992 dalam Cicin-Sain and Knecht.1998)

2.2 Ekosistem Wilayah Pesisir

Berdasarkan sudut pandang ekologi (Gambar 2) wilayah laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait dinamis dan produktif. Bengen (2002) mengungkapkan bahwa ekosistem utama di pesisir dan laut adalah (a) estuaria, (b) hutan mangrove, (c) padang lamun, (d) terumbu karang, (e) pantai berbatu dan (f) pulau-pulau kecil. Menurut Dahuri et al. (2006) menyatakan bah-wa ekosistem wilayah pesisir dan laut memiliki keanekaragaman habitat yang sangat beranekaragam. Umumnya jenis ekosistem di wilayah pesisir ditinjau dari penggenangan air dan jenis komunitas yang menempatinya dapat dikategorikan menjadi dua ekosistem, yaitu ekosistem yang secara permanen atau tergenang air secara berkala dan ekosistem yang tidak pernah tergenang air. Ditinjau dari pro-ses terbentuknya, ekosistem wilayah pesisir dapat dikelompokkan menjadi tem yang terbentuk secara alami dan ekosistem yang sengaja dibentuk atau


(26)

ekosis-tem buatan seperti tambak, sawah, pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan in-dustri dan kawasan pemukiman.

Gambar 2 Hubungan Ekosistem yang ada di pesisir (modifikasi Pearce, 2007)

2.2.1 Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan bentuk hutan tropis yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai diwilayah pesisir yang terlindung dari gempuran om-bak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang alirannya banyak mengandung lum-pur. Hutan mangrove juga merupakan habitat yang memiliki produktivitas ter-tinggi diantara habitat lain yang berada di wilayah pesisir (Scura et al.1992 dalam Ditjen-Bangda dan PKSPL 1998). Karakteristik hutan mangrove di antaranya adalah:

1. Tumbuh optimal di daerah pesisir pada muara sungai dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur, daerah intertidal dan supratidal di daerah tropis dan sub tropis yang cukup mendapat aliran air tawar dan pada


(27)

pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.

2. Hutan mangrove memiliki arti penting dalam ekosistem perairan karena menyumbangkan bahan organik bagi perairan di sekitarnya.

3. Perakaran mangrove mampu meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin taufan. 4. Hutan mangrove merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan

(spawning ground) hewan perairan (udang, ikan dan kerang-kerangan).

Mangrove hidupnya sangat tergantung pada aliran air tawar, serta terhindar dari gelombang yang besar dan pasang surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya sedimen. Sedimen diperlukan oleh mangrove sebagai substrat dan pasokan nutrien bagi tumbuhnya mangrove. Ketergantungan mangrove terhadap aliran air tawar menyebabkan terbatasnya penyebaran mangrove, namun vegetasi mangrove mampu beradaptasi untuk mempertahankan hidupnya (Nontji, 1987). Mangrove bergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya (JICA, 2004).

Mangrove umumnya tumbuh di daerah intertidal yang memiliki jenis tanah berlumpur dan berpasir. Tergenang oleh air laut secara berkala, dapat setiap hari maupun hanya tergenang pada saat surut purnama, frekuensi genangan ini menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Selain itu, mangrove juga membutuhkan suplai air tawar dari daratan dan biasanya hidup baik pada daerah yang cukup terlindung dari gelombang besar dan pasang surut yang kuat. Salinitas yang baik untuk mangrove tumbuh adalah pada salinitas 2-22 ‰ (permil) atau sampai asin pada salinitas 38 ‰ (Bengen dan Nontji, 2002).

Nybakken (1998) menyatakan bahwa adaptasi tumbuhan mangrove antara lain perakaran yang pendek dan melebar luas, dengan akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga menjamin kokohnya batang, berdaun kuat dan mengandung banyak air, mempunyai jaringan internal penyimpanan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Kemudian pada beberapa jenis mangrove mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam.


(28)

2.2.2 Terumbu Karang

Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, Klas Anthozoa), ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tumbuhan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1988). Untuk menggambarkan kondisi terumbu karang biasanya disajikan dalam bentuk suatu struktur komunitas yang terdiri dari data persentase tutupan karang hidup, persentase tutupan karang mati, jumlah marga, jumlah jenis, jumlah koloni, kelimpahan, frekuensi kehadiran, bentuk pertumbuhan dan indek keanekaragaman jenis (Suharsono 1998).

Parameter lingkungan yang sangat menentukan kehidupan terumbu karang menurut Nybakken (1998) adalah sebagai berikut:

1. Suhu: terumbu karang karang tumbuh secara optimal pada suhu 23-25ºC dan dapat mentoleransi suhu sampai kira-kira 36-40ºC, tetapi tidak dapat hidup pada suhu minimum tahunan di bawah 18ºC.

2. Kedalaman: terumbu karang dapat tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang dan tidak dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Kedalaman berhubungan erat dengan cahaya matahari yang dapat masuk ke perairan.

3. Cahaya: menjadi faktor pembatas kehidupan terumbu karang karena dibutuhkan oleh zooxanthella dalam melakukan fotosintesis. Tanpa cahaya fotosintesis berkurang, bersamaan dengan hal itu kemampuan karang menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu juga berkurang. 4. Salinitas: karang hanya dapat hidup pada salinitas normal air laut, yaitu pada

kisaran 32-35%. Diluar kisaran salinitas tersebut, pertumbuhan karang dapat terganggu dan dapat mengakibatkan kematian hewan karang.

5. Pengendapan: endapan sedimen akan menutupi dan menyumbat struktur pemberian makan karang dan menghalangi masuknya cahaya matahari ke perairan.

6. Gelombang: gelombang atau arus memungkinkan terjadinya pengendapan di terumbu karang, juga suplai plankton dan air segar yang kaya oksigen jadi berkurang.


(29)

2.2.3 Padang Lamun (Sea Grass)

Padang lamun (sea grass) adalah tumbuhan berbunga yang beradaptasi hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri atas akar, daun dan tangkai-tangkai merayap (rhizome) serta memiliki karateristik sebagai berikut:

1. Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir dan di terumbu karang. Pada tempat yang terlindung lamun berkembang dengan baik dan menutupi suatu kawasan yang luas sehingga membentuk padang lamun.

2. Secara ekologis memiliki fungsi penting bagi daerah pesisir, yaitu: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme, (3) menstabilkan dasar yang lunak, (4) tempat berlindung organisme, (5) tempat pembesaran beberapa spesies, (6) peredam arus, (7) tudung pelindung sinar panas matahari bagi penghuninya.

Selanjutnya parameter lingkungan utama yang dapat mempengaruhi padang lamun adalah:

1 Kecerahan (kedalaman tidak lebih dari 10 meter). 2 Temperatur (kisaran temperatur optimal 28°- 30° C). 3 Salinitas (nilai optimum 35 ‰).

4 Substrat (40 % endapan lumpur dan fine mud). 5 Kecepatan arus perairan (berkisar 0,5 m/detik).

Padang lamun (seagrass) merupakan tumbuhan yang tumbuh bergerombol membentuk rumpun dan sering merupakan komponen utama yang dominan di lingkungan pesisir. Jumlah jenis lamun di dunia adalah 58 jenis, sedangkan di perairan Indonesia tercatat sebanyak 12 jenis lamun (Den Hartog 1970 dalam Ditjen Bangda dan PKSPL 1999). Kumpulan lamun ini yang membentuk hamparan lamun disebut padang lamun. Padang lamun dapat terdiri dari tumbuhan satu jenis atau lebih, yang tumbuh bersama-sama sehingga membentuk tumbuhan campuran.

Padang lamun membentuk dasar yang lunak untuk mudah ditembus oleh akar-akar guna menyokong tumbuhan di tempatnya. Lamun dapat memperoleh makanan baik dari air permukaan melalui helaian daun-daunnya, maupun sedimen (substrat) melalui akarnya. Menurut Luzumi et al.1980 dalam Ditjen Bangda dan PKSPL 1998 sumber utama makanan lamun lebih banyak berasal dari sedimen.


(30)

2.2.4 Pantai berbatu (Rocky Beach)

Pantai berbatu (Rocky Beach) adalah pantai yang tersusun oleh batuan in-duk yang keras seperti batuan beku atau sedimen yang keras dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Pantai berbatu.

2. Komunitas biota di daerah berbatu jauh lebih kompleks.

3. Beach, yaitu pantai yang tersusun oleh material lepas. Pantai tipe ini dapat di-bedakan menjadi:

a. Pantai Pasir (Sandy Beach), yaitu pantai yang tersusun dari endapan pa-sir, karateristik pantai pasir (Sandy Beach) terdiri dari pasir kuarsa, bagian yang paling banyak dan paling keras sisa-sisa pelapukan batu gunung dan total bahan organik dan organisme hidup dipantai jauh lebih sedikit. Pantai pasir dibatasi hanya di daerah yang mempunyai gerakan air yang kuat mengangkut partikel-partikel yang halus dan ringan (Dahuri et al. 1996). Parameter lingkungan yang berpengaruh di pantai pasir ada-lah pola arus yang mengangkut pasir halus; gelombang yang melepaskan energinya di pantai, serta angin yang menerbangkan pasir halus yang ke-ring dan memindahkannya ke tempat lain.

b. Pantai gravel, pantai berbatu (Gravely beach), yaitu pantai yang tersusun dari gravel atau batuan lepas seperti pantai kerakal. Pantai bervegetasi, yaitu pantai yang ditumbuhi oleh vegetasi pantai. Parameter lingkungan utama yang mempengaruhi adalah: (1) Fenomena pasang, (2) Gelom-bang.

Pantai dapat diklasifikasikan berdasarkan dua kriteria yaitu proses pemben-tukan dan morfologi yaitu:

1. Berdasar proses pembentukan pantai dapat dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut:

a. Pantai hasil proses erosi, yaitu pantai yang terbentuk terutama melalui proses erosi yang terjadi di pantai. Termasuk dalam kategori ini adalah pantai batu (rocky shore).


(31)

b. Pantai hasil proses sedimentasi yaitu pantai yang terbentuk terutama ka-rena proses sedimentasi yang bekerja di pantai. Termasuk kategori ini adalah beach baik sandy beach maupun gravely beach.

c. Pantai hasil aktifitas organisme yaitu pantai yang terbentuk karena akti-fitas organisme tumbuhan yang tumbuh di pantai. Termasuk kategori ini adalah pantai mangrove.

2. Berdasarkan ciri morfologi pantai dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Pantai bertebing (cliffed coast), yaitu pantai yang memiliki tebing ver-tikal. Keberadaan tebing ini menunjukkan bahwa pantai dalam kondisi erosional. Tebing yang terbentuk dapat berupa tebing pada batuan in-duk maupun endapan pasir.

b. Pantai berlereng (non-cliffed coast), yaitu pantai dengan lereng yang merupakan pantai berpasir.

Pariwisata pesisir memanfaatkan karateristik wilayah pesisir maupun ekosis-tem pesisir untuk kegiatan rekreasi.

2.3 Konsep Pariwisata Pesisir

Menurut Hall (2001) menyatakan bahwa konsep pariwisata pesisir men-cakup rentang penuh pariwisata, hiburan, dan kegiatan yang berorientasi rekreasi yang terjadi di zona pantai dan perairan pantai. Di dalam pariwisata pesisir terma-suk pengembangan pariwisata pesisir seperti akomodasi, restoran, industri maka-nan, dan rumah kedua, dan infrastruktur pendukung pembangunan pesisir (misal-nya bisnis ritel, marina, dan aktivitas pemasok). Juga termasuk kegiatan pariwisa-ta seperti rekreasi berperahu, panpariwisa-tai dan laut berbasis ekowisapariwisa-ta, kapal pesiar, be-renang, rekreasi memancing, snorkeling dan menyelam.

Selanjutnya konsep pariwisata pesisir berkelanjutan (sustainable coastal tourism) adalah pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan maupun daerah tujuan wisata pada masa kini, sekaligus melindungi dan mendorong kesempatan serupa dimasa yang akan datang. Pariwisata berkelanjutan mengarah pada pengelolaan seluruh sumberdaya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, estetika dapat terpenuhi sekaligus memelihara integritas kultural,


(32)

proses ekologi essensial keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan (WTO 1980).

Pengertian tersebut secara implisit menjelaskan bahwa dalam pendekatan pariwisata berkelanjutan bukan berarti hanya sektor pariwisata saja yang berkelanjutan tetapi berbagai aspek kehidupan dan sektor sosial ekonomi lainnya yang ada di suatu daerah (Butler 1980). Pariwisata pesisir yang berkelanjutan adalah pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.

Pengembangan pariwisata berkelanjutan mencakup upaya memaksimum kan net benefit dari pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya setiap waktu. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial dan lingkungan. Selanjutnya Clark and Dickson (2003) berpendapat bahwa walaupun isu-isu pariwisata berkelanjutan terkait dengan ilmu dan teknologi yang sesuai telah muncul sejak lama, namun kenyataan empiris membuktikan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan terutama pentingnya integrasi keilmuan dan riset guna mewujudkan konsep operasional pariwisata pesisir berkelanjutan.

Lebih lanjut, Daly (1990) memberikan tiga kriteria dasar bagi keberlanjutan modal alam (natural capital) dan keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu: (1). untuk sumberdaya alam terbarukan (renewable resources), laju pemanfaatannya tidak boleh melebihi laju regenerasinya (sustainable yield), (2). laju produksi limbah dari kegiatan pembangunan tidak boleh melebihi kemampuan asimilasi dari lingkungan (sustainable waste disposal), dan (3). untuk sumberdaya tidak terbarukan (non-renewable resources) laju deplesi sumberdaya harus mempertimbangkan pengembangan sumberdaya substitusi bagi sumberdaya tersebut.

Berdasarkan penelitian terdahulu pariwisata berkelanjutan menggunakan sistem dinamik semakin berkembang dan telah banyak dilakukan (Fedra. 1998, Skarstveit et al. 2003). Publikasi penelitian kewilayahan yang menggunakan pendekatan sistem dinamik sudah cukup banyak ditemukan, terutama dalam studi


(33)

dinamik dan perencanaan wilayah. Namun demikian penerapan sistem dinamik dalam perencanaan wilayah di Indonesia belum banyak dilakukan, padahal perencanaan wilayah memerlukan suatu metodologi sistem dalam proses pengembangan spasial.

Berbagai kegiatan yang dilakukan manusia maupun yang disebabkan oleh alam memiliki potensi mengancam ekosistem wilayah pesisir. Pemanfaatan di wilayah pesisir sesungguhnya dilakukan untuk menjawab tantangan pembangunan yang memerlukan rumusan perencanaan terpadu berkelanjutan. Banyaknya limbah domestik dan tingginya tingkat sedimentasi yang masuk dari wilayah pesisir, sehingga perlu dilakukan pengendalian, pencemaran limbah dan pengaturan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini merupakan masalah kritis, yang akan berdampak pada lingkungan wisata sehingga perlu dilakukan tindakan langsung baik secara hukum formal maupun hukum adat untuk menciptakan pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat merusak lingkungan. Dalam rangka menangani masalah tersebut, maka perlu dirumuskan suatu penataan ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pesisir yang memiliki dimensi keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar stakeholders, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai yaitu pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan serta adanya kepedulian antar generasi.

Perkembangan pariwisata telah mampu memberikan keuntungan sosial, ekonomi dan ekologi/lingkungan pada berbagai wilayah pesisir. Kecendrungan wisatawan untuk menikmati wisata di wilayah pesisir telah mendorong pertumbuhan di wilayah tersebut, mengakibatkan pula semakin banyaknya masyarakat terlibat dalam kegiatan pariwisata seperti peningkatan fasilitas dan aksesibilitas (Zia 2006).

Konsep wisata alam di dasarkan pada keindahan panorama, keunikan alam, karateristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karateristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah, dan Steele (1993) menggambarkan kegiatan wisata alam sebagai proses ekonomi yang memasarkan ekosistem yang menarik dan langka. Pariwisata alam adalah seluruh bentuk pariwisata yang secara langsung tergantung pada sumberdaya alam yang


(34)

ada dan yang belum dikembangkan, termasuk pemandangan, topografi, perairan tumbuhan dan hewan liar. Dengan demikian pariwisata alam dapat meliputi bera-neka ragam kegiatan seperti piknik, berjalan-jalan, rekreasi, olah raga pantai, be-renang, berjemur, memancing. Lingkungan perairan yang dapat dipergunakan untuk wisata alam yang terdiri dari wisata pantai dan wisata bahari, sangat bera-nekaragam biasanya terbentuk oleh proses alam dan buatan, (Yulianda 2007) seperti yang disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1 Kegiatan Wisata Alam yang dapat Dikembangkan

Wisata Pantai Wisata Bahari

1.Rekreasi pantai. 1.Rekreasi pantai dan laut.

2.Panorama. 2.Resort/peristirahatan. 3.Resort/peristirahatan. 3.Wisata selam (diving) , wisata snorkeling.

4.Berenang, berjemur. 4.Selancar, jet ski, banana boat, perahu kaca, kapal selam.

5.Olah raga pantai (volley pantai, jalan pantai, lempar cakram).

5.Wisata ekosistem lamun, wisata nelayan, wisata pulau, wisata .

6.Berperahu. 6.Pendidikan, wisata pancing. 7.Memancing.

Sumber: Yulianda 2007

Wong (1998) mendefinisikan pariwisata pesisir sebagai suatu kegiatan untuk menikmati pantai, pasir, laut, dan berjemur. Sementara itu Dahuri et al. (2001) mendefinisikan wisata pesisir sebagai kegiatan rekreasi yang dilakukan sekitar pantai seperti berenang, berselancar, berjemur, menyelam, snorkeling, berjalan-jalan atau berlari-lari di sepanjang pantai, menikmati keindahan suasana pesisir , dan bermediasi. Pariwisata semacam ini sering diasosiasikan dengan tiga ”S” yaitu Sun, Sea, Sand artinya jenis pariwisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kombinasi cahaya matahari, laut dan pantai berpasir putih.

Kawasan pesisir yang berpotensi untuk pengembangan pariwisata pesisir adalah taman wisata alam, khususnya taman wisata alam perairan. Potensi yang ada di taman wisata alam antara lain adalah panorama alam dengan pasir putihnya, taman laut dengan keindahan ikan hias dan terumbu karang, gejala alam seperti goa, kekayaan alam flora dan fauna, nilai sejarah dan lain-lain.


(35)

Pantai dengan garis pantai merupakan areal yang sangat sesuai untuk wisa-ta alam. Namun kondisinya sangat renwisa-tan terhadap perubahan awisa-tau kemerosowisa-tan kualitas lingkungan yang terjadi di perairan dan di daratan, maka penetapan untuk wisata sangat berhati-hati. Penetapan daya dukung lingkungan pantai menjadi sangat penting dalam menentukan jumlah pengunjung. Daya dukung pantai ini berbeda-beda tergantung dari jenis pantai (muddy, sandy atau rocky beach).

Kebijakan secara nasional sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1989 yang menetapkan lebar jalur sempadan pantai. Dalam keputusan ter-sebut dinyatakan bahwa: areal pantai di atas shoreline yaitu selebar 150-200 meter dari shoreline ke arah darat. Areal ini ditetapkan sebagai kawasan lindung yang berarti sebagai areal public beach yang melarang siapapun untuk membangun fa-silitas wisata. Kawasan lindung ini ditetapkan pemerintah untuk tujuan konservasi dan proteksi lingkungan.

Kemudian Yoeti (1996) menyatakan bahwa tujuan pengembangan pariwisata adalah: (1) dapat meningkatkan pendapatan devisa khususnya dan pendapatan negara pada umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja dan mendorong kegiatan industri; (2) memperkenalkan dan mendayagunakan keindahan alam dan kebudayaan suatu negara; (3) meningkatkan persahabatan dan persaudaraan nasional dan internasional.

2.4 Pengembangan Pariwisata Pesisir Berkelanjutan

Pengembangan pariwisata berkelanjutan telah didefinisikan sebagai pari-wisata yang "memaksimalkan potensi paripari-wisata untuk memberantas kemiskinan dengan mengembangkan strategi yang tepat dalam kerjasama dengan semua ke-lompok utama, masyarakat adat dan masyarakat lokal", (Komisi PBB untuk Pem-bangunan Berkelanjutan 1999). Definisi pemPem-bangunan berkelanjutan ini didasar-kan pada WCED, 1987 : "pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tan-pa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutu-han mereka sendiri" (WCED, Our Common Future 1987).

Menurut Gunn (1994) menyatakan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan


(36)

dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Pengembangan yang berkelanjutan (sustainable development) diberi batasan sebagai pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tujuan pengembangan yang berkelanjutan adalah memadukan pembangunan dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan yang strategis sampai kepada penerapannya di lapangan.

Pengembangan pariwisata pesisir yang berkelanjutan (Sustainable Coastal Tourism) dapat diartikan sebagai pengembangan wisata yang berwawasan lingkungan dengan tidak merusak kondisi sumberdaya alam pesisir yang telah ada, sehingga dapat dimanfaatkan terus-menerus sampai generasi yang akan datang. Kegiatan wisata alam selain memberikan dampak positif juga dapat membawa dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya, baik dampak negatif terhadap lingkungan obyek wisata alam itu sendiri maupun terhadap lingkungan sosial budaya setempat. Dampak negatif terhadap alam umumnya terjadi sebagai akibat dari perencanaan dan pengelolaan yang kurang baik, misalnya perencanaan pengembangan kegiatan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kurangnya pengetahuan, kesadaran serta pendidikan masyarakat dan wisatawan terhadap kelestarian lingkungan (Soeriaatmaja 1997).

Selanjutnya konsep pariwisata berkelanjutan yaitu : (a) kegiatan kepariwi-sataan tersebut dapat memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat setem-pat, (b) kegiatan kepariwisataan tersebut tidak merusak lingkungan, (c) kegiatan kepariwisataan tersebut bertanggung-jawab secara sosial, dan (d) kegiatan kepa-riwisataan tersebut tidak bertentangan dengan budaya setempat. Dari konsep ter-sebut dapat mengubah pola pikir masyarakat bahwa perkembangan kepariwisa-taan di suatu wilayah dengan obyek wisatanya yang merupakan suatu berkah bu-kan sebaliknya merupabu-kan suatu musibah. Dengan demikian, masyarakat abu-kan selalu berupaya menjaga kelestariannya, menjaga keberlanjutannya, dan tentunya menciptakan suasana yang aman dan kondusif (Muriawan 2009).

Pengembangan pariwisata tanpa perencanaan dan pengelolaan yang baik akan mengakibatkan kehilangan dan penurunan mutu kawasan yang tidak


(37)

diharapkan, sebagai akibatnya adalah hilangnya kawasan yang menarik bagi wisatawan. Fasilitas dan lokasi adalah faktor utama yang menyebabkan hilangnya dan penurunan mutu sumberdaya pesisir. Pemilihan lokasi yang tidak sesuai dapat menyebabkan kesulitan dalam melaksanakan pemilihan pengembangan, baik sekarang maupun akan datang. Banyaknya dampak negatif yang terjadi akibat kesalahan dalam melakukan pendugaan terhadap karakteristik proses alami kawasan pesisir (kerusakan akibat badai dan ombak, erosi pantai dan intrusi air laut) adalah sebagai penyebab kegagalan umum perencanaan tata guna lahan,yang mengakibatkan rapuhnya ekosistem dan bahkan merusak infrastruktur (Baehaqie dan Helvoort 1993).

Commonwealth Coastal Action Program (1997) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable coastal tourism) adalah pengembangan pariwisata yang memperhatikan wilayah konservasi dan perubahan komunitas ekologi yang ditimbulkannya, meliputi perlindungan terhadap satwa liar dan menjaga kualitas kehidupan yang ada di lingkungan tersebut untuk generasi yang akan datang. Jadi pengembangan pariwisata yang berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan keramahan lingkungan di sekitarnya.

Lebih lanjut UI, ITB, UGM (1994) menyatakan bahwa penyelenggaraan pengembangan pariwisata harus mengunakan prinsip keberlanjutan dan secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusipada upaya pelestarian sumberdaya alam, serta sensitif terhadap budaya masyarakat lokal. Oleh karena itu pengembangan pariwisata harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:

1. Prinsip Keseimbangan

Pengelolaan pariwisata harus didasarkan pada komitmen pola keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial budaya dan konservasi.

2. Prinsip Partisipasi Masyarakat

Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan usaha pariwisata. 3. Prinsip Konservasi

Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan (alam dan budaya). Pengembangan harus diselenggarakan secara bertanggung jawab dan mengikuti kaidah-kaidah ekologi serta peka dan


(38)

menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat.

4. Prinsip Keterpaduan

Pengelolaan pariwisata harus direncanakan secara terpadu dengan memperhatikan kondisi ekosistem dan disinerjikan dengan pembangunan berbagai sektor.

5. Prinsip Penegakan Hukum

Pengelolaan pariwisata harus dikembangkan sesuai dengan aturan-aturan yang ada,serta dilaksanakan dengan penegakan hukum maupun peraturan yang berlaku untuk menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan pariwisata.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: Km. 67/Um.001/Mkp/2004 tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata menyatakan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang. Pembangunan pariwisata berkelanjutan dicitrakan menjadi patokan dalam pengaturan sumberdaya sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika tercapai, dengan tetap menjaga integritas budaya, proses-proses dan keanekaragaman hayati.

Selanjutnya pariwisata berkelanjutan dapat dicapai bila pertumbuhan yang selaras antara ekologi, ekonomi dan sosial serta instansi-instansi yang terkait. Aspek sosial merupakan unsur yang penting dalam menggalakkan pelestarian masyarakat setempat memiliki peran penting bersama pengelola dalam memberikan penguatan kepedulian dan kesadaran akan hak dan tanggung jawab dari para pelaku termasuk wisatawan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan alam yang sehat. Masyarakat setempat diberi kesempatan dan peluang untuk bermitra dengan pengelola dalam melakukan kegiatan usaha, yang terpenting adalah menumbuhkembangkan budaya menghargai dan peduli terhadap kelestarian alam beserta lingkungannya untuk mendukung proses keseimbangan (Yulianda 2007).


(39)

2.5 Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT) atau Integrated Coastal Zone Management (ICZM) pertama kali dikemukakan pada Konferensi Pesisir Dunia (World Conference of Coast) yang digelar pada tahun 1993 di Belanda. Pada forum tersebut, PWPT diartikan sebagai proses paling tepat menyangkut masalah pengelolaan pesisir, baik untuk kepentingan saat ini maupun jangka pan-jang, termasuk di dalamnya akibat kerugian habitat, degradasi kualitas air akibat pencemaran, perubahan siklus hidrologi, berkurangnya sumber daya pesisir, ke-naikan muka air laut, serta dampak akibat perubahan iklim dunia (Sugiarto 1996) Lebih jauh, Sugiarto (1996) juga menyatakan bahwa konsep PWPT me-nyediakan suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan yang tepat dalam menak-lukkan berbagai kendala dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti adanya pengaturan institusi yang terpecah-pecah, birokrasi yang berorien-tasi pada satu sektor, konflik kepentingan, kurangnya prioritas, kepastian hukum, minimnya pengetahuan kedudukan wilayah dan faktor sosial lainnya, serta ku-rangnya informasi dan sumberdaya. Dahuri, et al, (2001) mendefenisikan PWTP sebagai suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpa-du (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanju-tan.

Guna mewujudkan hal tersebut maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut sangat penting, keterpaduan tersebut men-cakup lima aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b) keterpaduan sek-toral; (c) keterpaduan kebijakan secara vertikal; (d) keterpaduan disiplin ilmu; dan (e) keterpaduan stakeholder. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan ka-wasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwu-jud one plan dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanju-tan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat


(40)

pemerintah tertentu (horizontal integration); antar tingkat pemerintahan dari mu-lai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin secara kompleks dan dinamis.

Seperti diuraikan di atas, bahwa wilayah pesisir pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, estuaria, pantai ber-pasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Peru-bahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosis-tem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam ke-giatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland area) maupun lautan (ocean). Dengan kata lain, penetapan komposisi dan la-ju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan per-tumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan. Kondisi empiris semacam ini mensyaratkan bahwa Pengelola-an Wilayah Pesisir dPengelola-an LautPengelola-an Secara Terpadu (PWPLT) harus memperhatikPengelola-an segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) tersebut, yang dapat mempen-garuhi suatu wilayah pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memrikan makna bahwa wilayah dengan seluruh isinya perlu dihargai dan secara be-rencana dapat dieksploitasi, sehingga diperlukan upaya-upaya perlindungan makhluk hidup yang sifatnya hayati dan manusiawi.

Menjaga dan melestarikan wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap pe-rubahan ekosistemnya, diperlukan perhatian yang serius dalam pengembangan dan pengelolaannya agar senantiasa berjalan secara berkelanjutan dan lestari. Adapun arah tujuan pengelolaan potensi sumberdaya pesisir adalah agar mampu meningkatkan pengelolaan secara terpadu untuk mencapai pemanfaatan sumber-daya secara optimal, efisien, efektif yang mengarah pada peningkatan upaya pe-lestarian lingkungan.


(41)

Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu memerlukan pendekatan yang komprehensif dengan melibatkan pengelolaan kawasan daerah aliran sungai, yang merupakan satu kesatuan ekosistem. Degradasi lingkungan perairan pesisir meru-pakan hasil akibat kegiatan manusia yang tidak hanya bersumber di kawasan pesi-sir itu sendiri, namun juga bersumber di sepanjang daerah aliran sungai yang mengalir ke kawasan pesisir.

Penanganan permasalahan pencemaran perairan misalnya, memerlukan penanganan menyeluruh terhadap seluruh aktifitas penghasil limbah di sepanjang daerah aliran sungai, mulai dari daerah hulu sampai ke hilir. Tanpa melakukan pengelolaan menyeluruh melibatkan daerah aliran sungai, akan menjadikan upaya pengelolaan kawasan pesisir, khususnya pengelolaan pencemaran akan menjadi kurang mengenai sasaran dan sifatnya sementara saja. Pengelolaan kawasan pesi-sir terpadu hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip “good governance” yaitu keterbukaan (openness), partisipasi (participation), akuntabilitas (accountability), efektivitas (effectiveness) dan keterhubungan (coherence), dan juga dengan saling menghargai (respect), transparan (transparency) dan kepercayaan (trust).

Perlakuan kawasan pesisir dan daerah aliran sungai sebagai suatu kesatuan ekosistem, sejalan dengan konsep pengelolaan secara terpadu (integrated) semua stakeholder di kawasan pesisir dan daerah aliran sungai, tidak hanya berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan pesisir dan daerah aliran sungai, namun juga turut aktif (bernegosiasi) dalam perumusan kebijakan dan konsep pengelolaan kawasan tersebut, sesuai dengan kondisi lokal di masing-masing kawasan.

Bappenas (1998) menyatakan untuk mencapai pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arah Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PKSPL-IPB (1998) menyatakan bahwa arah kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan meliputi empat aspek utama yaitu: (1) aspek teknis dan ekologis; (2) aspek sosial ekonomi budaya; (3) aspek sosial politik dan (4) aspek hukum dan kelembagaan termasuk pertahanan dan keamanan.

Pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan memberikan makna bahwa wilayah dengan seluruh isinya perlu dihargai dan secara berencana dapat dieksploitasi, sehingga diperlukan upaya-upaya perlindungan makhluk hidup yang


(42)

sifatnya hayati dan manusiawi. Untuk menjaga dan melestarikan wilayah pesisir dan laut yang sangat rentan terhadap perubahan ekosistemnya, diperlukan perha-tian yang serius dalam pengembangan dan pengelolaannya agar senantiasa berja-lan secara berkeberja-lanjutan dan lestari. Adapun arah tujuan dari pengembangan dan pengelolaan potensi sumberdaya pesisir adalah agar mampu meningkatkan penge-lolaan secara terpadu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya secara optimal, efisien, efektif yang mengarah pada peningkatan upaya pelestarian lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebu-tuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi menda-tang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED 1987). Dengan demikian eko-sistem alamiah seperti kawasan pesisir memiliki 4 (empat) fungsi pokok bagi pengembangan ekonomi masyarakat pesisir, yaitui: (i) jasa-jasa pendukung kehi-dupan; (ii) jasa-jasa kenyamanan; (iii) penyedia sumberdaya alam dan (iv) pene-rima limbah (Ortolano dalam Dahuri 2001).

Keempat fungsi ekosistem diatas, secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) kehar-monisan spasial; dan (ii) kapasitas asimilasi; dan (iii) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial (spatial suitability) mensyaratkan, bahwa dalam suatu wi-layah pembangunan memiliki tiga zona, yaitu zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan (utlilization), wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi juga dialokasikan untuk zona pre-servasi dan konpre-servasi. Contoh daerah prepre-servasi adalah daerah pemijahan ikan (spawning ground) dan jalur hijau pantai. Dalam zona preservasi ini tidak diper-kenankan adanya kegiatan pembangunan, kecuali penelitian. Sementara itu, bebe-rapa kegiatan pembangunan seperti pariwisata alam, pemanfaatan hutan bakau dan perikanan secara berkelanjutan (sustainable basis) dapat berlangsung dalam zona konservasi (Dahuri et al. 1998).

Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu wilayah pemban-gunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara; membersihkan limbah secara alamiah; dan sumber keanekaragaman hayati (biodiversity). Bergantung pada kondisi alamnya,


(43)

luas zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pemban-gunan sebaiknya 30-50% dari luas totalnya.

Selanjutnya, setiap kegiatan pembangunan (industri wisata, pertanian, bu-didaya, perikanan, pemukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis. Penempatan setiap kegiatan dalam zona pemanfaatan ini hendaknya memperhatikan : (i) kesesuaian (suitability) dari unit lahan atau perai-ran bagi setiap kegiatan pembangunan; (ii) pengaruh (dampak) kegiatan pemban-gunan di lahan atas/daratan, terutama dalam bentuk pencemaran, sedimentasi dan perubahan regim hidrologi; dan (iii) keserasian (compatability) antar kegiatan pembangunan (Dahuri 2001).

Lebih lanjut terdapat enam sistem utama dalam setiap pembangunan eko-nomi nasional, yaitu sistem kependudukan, sumberdaya alam, lingkungan dan ekologi, ilmu dan teknologi, serta masyarakat. Namun demikian penduduk dan sumberdaya alam serta lingkungan merupakan sistem-sistem yang paling funda-mental, karena sumberdaya lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan ber-kelanjutan (Suparmoko 1997).

Upaya pengelolaan sumberdaya harus dilaksanakan secara konsisten untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan me-merlukan adanya kontinuitas pertumbuhan ekonomi dan bukannya stagnasi karena rusaknya sumberdaya alam dan lingkungan. Pembangunan Indonesia yang ber-wawasan lingkungan lebih tepat untuk mencapai sasaran pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan (Kusumastanto 1995). Salah satu prasyarat bagi ter-laksananya pembangunan yang berkelanjutan adalah tersedianya neraca sumber-daya alam dan lingkungan. Terciptanya tingkat penghasilan yang berkelanjutan memerlukan pengetahuan mengenai berapa volume sumberdaya alam dapat dini-lai serta bagaimana kualitasnya, untuk terciptanya kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang.

2.6 Kesesuaian dan Daya Dukung Untuk Parwisata Pesisir

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas)


(44)

la-han serta pola tata guna lala-han yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, se-hingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pe-meliharaan kelestariannya. Pengembangan daerah yang optimal dan berkelanjutan membutuhkan suatu pengelolaan keruangan wilayah pesisir yang matang. Berkai-tan dengan hal tersebut, maksimum kajian tenBerkai-tang model pengelolaan dan arahan pemanfaatan wilayah pesisir yang berbasis digital dengan menggunakan SIG me-rupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu dikaji, Harjadi (2004).

Pengembangan berkelanjutan (sustainable development) suatu wilayah pesisir dan laut memerlukan empat persyaratan, (1) setiap kegiatan pembangunan (seperti pemukiman, tambak, pertanian, pariwisata) harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan, termasuk perairan, (2) jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut, jika menggunakan air tawar (biasanya mengunakan faktor pembatas terpenting dalam suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan kawasan termasuk untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu tertentu, (3) jika membuang limbah ke lingkungan perairan, maka jumlah limbah (bukan limbah B3 tapi jenis limbah yang biodegradable) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan perairan tersebut. (4) jika memodifikasi bentang alam (lanscape) suatu wilayah (seperti penambangan pasir dan reklamasi) atau melakukan konstruksi di lingkungan khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga dan hotel harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan proses-proses alami lainnya (http://www.tandf.co.uk/journal/titles Jan 2007).

Scones (1993) diacu Taurusman (1999) membagi daya dukung lingkungan menjadi 2 (dua) yakni daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis (economic carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum individu atau manusia pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-parameter


(45)

kelayakan usaha secara ekonomi. Di wilayah pesisir, telah banyak perhatian yang dicurahkan terhadap daya dukung manusia dan habitat alami untuk mendukung pembangunan pariwisata dan resort. Dalam hubungan ini daya dukung didefinisikan sebagai lingkungan fisik, biologi, sosial dan psychological untuk mendukung aktivitas wisatawan tanpa mengurang kualitas lingkungan atau kepuasan pengunjung (Clark 1995).

Selanjutnya Miler (1988) diacu Clark (1995) pengertian daya dukung dapat dijelaskan dalam dua penjelasan. Pertama, daya dukung menunjuk kepada kepadatan optimum wisatawan untuk memanfaatkan kesenangannya sebagai contoh; kepadatan orang pada suatu pantai atau kunjungan pada suatu tempat bersejarah. Kedua, daya dukung menunjuk suatu ambang batas tertentu dari kegiatan wisatawan dimana akan terjadi kerusakan pada lingkungan, yang mencakup habitat alam, seperti terumbu karang.

Dampak pembangunan pariwisata yang melampaui daya dukung mencakup pengurangan keanekaragaman hayati, masalah-masalah kesehatan manusia, penurunan sumberdaya alam, kehilangan pekerjaaan dan pendapatan. Clark (1995) menambahkan komponen ketiga yaitu daya dukung sosial ekonomi. Bila ambang batas sosial terlewatkan maka masalah ekstrim muncul misalnya di Caribia, karena penyebab utama dari ketidaktentraman sosial, maka ketidaknyamanan wisatawan sangat cepat terekspansi. Kapasitas sosial harus dibatasi pada maksimum pengunjung yang dapat diterima oleh penduduk, yang tinggal disekeliling daerah tujuan wisata.

Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan dengan cara menganalisis: (1) kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan, dan (2) kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, sangat berpengaruh terhadap wilayah pesisir akan sumberdaya dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah tersebut.


(46)

Selanjutnya Gunn (1993) mengemukakan bahwa pembangunan suatu kawasan wisata yang baik dan berkelanjutan, apabila secara optimal didasarkan pada empat aspek sebagai berikut:

1. mempertahankan kelestarian lingkungannya.

2. meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. 3. menjamin kepuasan pengunjung.

4. meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya.

Lebih lanjut Saparjadi (1999) menjelaskan bahwa pada skala mikro daya dukung lingkungan diwujudkan sebagai berikut:

1. Tingkat kepadatan pengunjung dalam luasan yang masih dapat didukung dalam besaran dan teknologi, sarana dan prasarana pemukiman yang tersedia. 2. Kepadatan bangunan dalam suatu kawasan.

3. Rasio antar unit bangunan dengan luasan kawasan (floor area ratio).

4. Rasio jumlah orang dengan ruang yang tersedia di kawasan (per capita ratio). 5. Jarak,ketinggian dan bangunan tidak menghalangi sirkulasi dan pemandangan. 6. Peruntukan pemukiman yang tidak berada di wilayah yang berpotensi

bencana.

7. Ukuran dan jaringan jalan dan sarana transportasi yang memadai. 8. Terpenuhinya prasarana dan sarana lingkungan sosial (umum). 9. Tercukupinya prasarana pembuangan dan pengolahan limbah. 10.Kawasan perlindungan (konservasi dan zona penyangga).

Dengan demikian daya dukung merupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata pesisir yang berkelanjutan.

2.7 Ecological Footprint

Sachs (2003) diacu dalam Anielski (2005) mengatakan bahwa “Dunia tidak lagi dibagi oleh ideologi ‘kiri’ dan ‘kanan’ tetapi oleh mereka yang menerima adanya keterbatasan ekologis dan mereka yang tidak”. Oleh karena itu, perhatian terhadap keberlanjutan ekologi menjadi kewajiban bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain diperlukan suatu pendekatan, salah satu konsep pen-dekatan yang ditawarkan adalah ecological footprint sebagai panduan kebijakan


(47)

dan alat keberlanjutan pembangunan. Ecological footprint merupakan suatu kon-sep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyara-kat (Adrianto 2006).

Selain itu menurut Anielski (2005) diacu dalam Ditya (2007) ecological footprint adalah suatu alat untuk memonitor kemajuan ke arah keberlanjutan. Ini merupakan salah satu langkah penyampaian mengenai perbandingan konsumsi manusia yang secara langsung dengan batasan produktivitas sumberdaya alam. Ini merupakan suatu alat menarik untuk berkomunikasi, mengajar, dan perenca-naan dengan menggunakan kriteria ekologis minimum untuk keberlanjutan.

Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackerna-gel dan Rees, (1996) dalam bukunya yang berjudul: Our Ecological Foot-print:Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan areal untuk konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangu-nan, jalan, tempat pembuangan akhir (TPA) dan lain-lain (degraded land foot-print), dan perlu hutan (dan juga lautan) untuk mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy footprint). Jumlah footprint tersebut merupakan apa yang disebut ecological footprint diri kita.

Venetoulis et al. (2004) menambahkan ecological footprint merupakan suatu alat untuk mengukur dan meneliti konsumsi sumberdaya alam oleh manu-sia dan output buangan di dalam konteks sumberdaya alam dapat diperbaharui dan memiliki kapasitas regenerasi (biocapacity). Pendekatan ini memberikan pe-nilaian yang bersifat kuantitatif mengenai produktifitas area secara biologi yang diperlukan untuk menghasilkan sumberdaya baik makanan, energi dan material serta untuk menyerap buangan dari individu, kota, wilayah, atau negara. Pada saat kita makan nasi, maka jumlah nasi yang kita konsumsi selama satu tahun memerlukan sejumlah areal yang khusus diperuntukkan untuk memenuhi kebu-tuhan nasi kita.Tidak penting lokasi areal itu dimana, tetapi pasti ada areal di permukaan bumi yang telah berproduksi untuk kita. Kertas dan kayu yang kita gunakan setiap tahun juga memerlukan sejumlah areal hutan yang khusus dipe-runtukkan untuk keperluan kita.

Demikian pula areal untuk rumah, perkantoran, kawasan perkotaan, jalan dan lain-lain, merupakan areal yang harus tersedia untuk kita sebagai areal yang


(48)

secara ekologis telah ”terdegradasi” karena secara biologis tidak produktif lagi. Mengingat areal di permukaan bumi yang terbatas, ekspansi seseorang terhadap komponen-komponen kebutuhan tersebut pasti akan mengurangi atau berakibat kerugian pada orang lain. Analisis ecological footprint dari kebutuhan nyata ter-sebut dapat memberikan gambaran pada tingkat mana permukaan bumi dapat mendukung pola konsumsi manusia ketika populasi bertambah dan standar hidup di negara berkembang juga meningkat (Palmer 1999).

Secara konseptual ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity. Biocapacity dapat diartikan sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung sa-ja. Ferguson (2002) mendefinisikan biocapacity sebagai ukuran ketersediaan areal produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi tersebut, yang didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological foot-print.

Menurut Rees (1996) yang dikutip dalam Wackernagel dan Yount (1998), ecological footprint adalah suatu indikator area-based yang digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas menghasilkan limbah di suatu area khusus dalam hubungan dengan kapasitas area untuk menyediakan aktivitas tersebut. Wackernagel dan Yount (1998) men-jelaskan bahwa analisis ecological footprint didasarkan pada dua fakta sederhana yakni sebagai berikut: Pertama, dapat ditelusuri banyaknya sumberdaya yang dikonsumsi pada suatu populasi manusia dan aliran buangannya. Kedua, bahwa sumberdaya dan aliran buangan tersebut dapat dikonversi ke suatu area yang pro-duktif untuk keperluan menyediakan sumberdaya dan asimilasi buangan. Setiap proses kehidupan akan memiliki ecological footprint dengan ukuran yang berbe-da. Pada skala global, manusia secara keseluruhan dapat dibandingkan dengan total kekayaan alam dan jasa yang tersedia. Ketika manusia dalam pemanfaatan-nya masih di dalam kemampuan alam melakukan regenerasi, maka keberlanjutan sebagai konsekuensinya.


(1)

169 Lampiran 10 Hasil Kesesuaian Lahan Untuk Wisata Pesisir Kategori Rekreasi

No Parameter Bobot Anyer Skor Cinangka Skor 1 Kedalaman

perairan(m) 5 N 1 N 1

2 Tipe pantai 5 S1 3 S2 2

3 Lebar pantai (m) 5 S1 2 S1 2

4 Material dasar

peraian 3 S1 3 S2 2

5 Kecepatan

arus(m/dt) 3 N 1 N 1

6 Kemiringan

pantai(0) 3 S1 3 S1 3

7 Kecerahan

perairan(m) 1 S2 3 S2 3

8 Penutupan lahan

pantai 1 S1 3 S1 3

9 Biota berbahaya 1 S1 3 S1 3

10 Ketersedian air

tawar (jarak/ Km) 1 S1 3 S2 3

Total Skor 63 55

Sumber: Hasil Survei 2007

Indeks kesesuaian untuk Kecamatan Anyer adalah : IKW = ∑ [ Ni/ Nmaks] x 100 %

= 63/156 x 100% = 40,38%

Indeks kesesuaian untuk Kecamatan Cinangka adalah : IKW = ∑ [ Ni/ Nmaks] x 100 %

= 55/156 x 100% = 35,26%


(2)

170

Lampiran 11 Hasil Perhitungan Daya dukung di Kecamatan Anyer dan Kecamatan Cinangka

9 Daya dukung untuk Kecamatan Anyer: DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp = 1 x 30380/50 m x 6/3 = 1.215 orang/ hari/ kawasan.

9 Daya dukung untuk Kecamatan Cinangka adalah: DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp

= 1 x 109450/50 m x 6/3 = 4.378 orang/hari/ kawasan.


(3)

171 Lampiran 12 Hasil Perhitungan Kemampuan Pemanfaatan dan Daya Dukung

Wisata di Kawasan Pesisir Barat Serang, Banten

Perhitungan Perbandingan Ecological Footprint dengan Biocapacity

Anyer CC 1.215

Kapita (Pengunjung) 717876

EF 1.6928 BC 2.9348

Cinangka CC 4.378

Kapita (Pengunjung) 146425

EF 0.0943 BC 2.9899 Kecamatan EF(ha/kapita) BC (ha/kapita)

Luas lahan Sesuai Bersyarat

Anyer 1.6928 2.9348 3.038

Cinangka 0.0943 2.9899 10.945

Perhitungan Perbandingan Ecological Footprint dengan Biocapacity

Anyer CC 1.215

Kapita (Pengunjung) 717876

EF 1.6928 BC 2.9348

Cinangka CC 4.378

Kapita (Pengunjung) 146425

EF 0.0943 BC 2.9899 Kecamatan EF(ha/kapita) BC (ha/kapita)

Luas lahan Sesuai Bersyarat

Anyer 1.6928 2.9348 3.038


(4)

 

        

Output

Sektor (Output Antara) FD Keb.Air

Bersih

Output Total

Input

Ind Jasa Perd Prwst Prtn

Sektor (Input antara)

Industri 221887,1243 199346,2066 8790,402072 17,48997157 54252,54138 4437852,224 4922145,989 2959329,472

Jasa 56029,11732 516704,7772 22062,77609 112823,6844 57956,82334 352554,7019 1118131,88 4909595,378

Perdagangan 59521,00485 222575,2229 82703,4501 24543,68757 28820,77458 2953558,42 3371722,56 848489,995

Pariwisata 73150,04104 99382,29574 80694,30134 2297,445873 13309,78081 346646,4748 615480,3396 388315,5025

Pertanian 1318,656984 11426,30678 2348,988403 1390,802553 4734,420084 55643,45206 76862,62686 356060,5989

Nilai Tambah

TK 366962,6627 363198,0225 145361,1368 16920,3723 39700,76963 932142,9639

Impor 173103,4721 475397,3778 163854,995 18012,50248 73532,59885 903900,9461

Upah Gaji 7231646 2507760 1298872 824908 2224014 14087200

Laba 2007357,393 3021565,168 342673,9452 212309,5173 83752,89018 5667658,914

Air Bersih 421443 69250 129871,2 835498 212905 1668967,2

Total Input 2959329,472 4909595,378 848489,995 388315,5025 356060,5989 9461790,946

PDRB 2002 2786226 4434198 684635 370303 282528 8557890

Koefisien Masing‐Masing Sektor (Matrix A) 

Output Keterkaitan Langsung ke

Depan Rangking

Input Ind Jasa Perd Prwst Prtn

Industri 0,074978851 0,040603388 0,010360054 4,50406E-05 0,152368843 0,278356177 3

Jasa 0,018933045 0,105243862 0,0260024 0,290546434 0,162772358 0,603498098 1

Perdagangan 0,020113004 0,045334739 0,097471332 0,063205531 0,080943454 0,307068059 2

Pariwisata 0,024718451 0,020242462 0,095103421 0,005916441 0,037380662 0,183361437 4

Pertanian 0,000445593 0,002327342 0,002768434 0,00358163 0,013296669 0,022419669 5

Keterkaitan Langsung

ke Blkng 0,139188944 0,213751792 0,231705641 0,363295077 0,446761986


(5)

 

 


(6)