commit to user
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
1. Pendidikan Formal
Pendidikan formal merupakan jenjang pendidikan yang penyelenggaraannnya tersusun dalam kurikulum yang terorganisir. Secara
terperinci, tingkat pendidikan formal yang ditempuh oleh responden dapat dilihat dalam Tabel. 5.3:
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Lama Pendidikan
tahun Jenjang
Jumlah Jiwa Persentase Tidak Bersekolah
2 3,3
3 Tidak Tamat SD
2 3,3
6 Tamat SD
37 61,7
9 Tamat SLTP
10 16,7
12 Tamat SLTA
7 11,7
13 Tamat Diploma
1 1,7
15 Tamat S1
1 1,7
Total 60
100,0
S
umber : Analisa Data Primer Sebagian besar petani responden, tingkat pendidikan formal yang
diikuti hanya sampai tingkat SD yaitu sebanyak 37 orang 61,7 persen, tingkat SLTP sebanyak 10 orang 16,7 persen, tingkat SLTA keatas
sebanyak 7 orang 11,7 persen, sedangkan yang tidak sekolah ataupun tidak tamat SD masing-masing sebanyak 2 orang 3,3 persen. Hal ini
menandakan bahwa, sebagian besar petani di desa Karangbangun kurang memperhatikan masalah pendidikan formal, hal ini disebabkan karena
letak sekolah yang jauh serta faktor pendapatan keluarga tani yang rendah, sehingga mempengaruhi keinginan petani responden untuk meneruskan
pendidikan yang lebih tinggi. Situasi ekonomi yang membelit petani dan mahalnya biaya pendidikan tersebut membentuk cara berpikir yang kurang
begitu menempatkan pendidikan sebagai salah satu hal yang sama pentingnya dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Ini artinya
tingkat pengharapan masyarakat untuk memberikan pendidikan yang layak, secara umum bisa dikatakan masih rendah.
commit to user
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan petani harus dapat memanfaatkan berbagai pengalaman yang pernah dialami sebagai
pelajaran berarti dalam mengatur strategi produksi. Penerapan pestisida organik dirasa cukup menghemat biaya input petani terutama pada masa
pemeliharaan tanaman, biasanya petani yang menggunakan pestisida kimia rata-rata 3 kali dalam 1 musim tanam Score dengan biaya Rp
120.000 Akan tetapi dengan menggunakan pestisida organik bisa meminimkan pengeluaran untuk masa pemeliharaan tanaman sebesar Rp
25. 000,- untuk 1 musim tanam tiap 1 Ha. 2.
Pendapatan Usahatani Tingkat pendapatan dapat digunakan sebagai tolak ukur
kesejahteraan ekonomi para petani. Sebagian besar petani di desa Karangbangun memiliki pendapatan tergolong sedang. Pendapatan
dihitung dari pendekatan selisih antara penerimaan dikurangi pengeluaran. Rata-rata pendapatan responden per tahun adalah sebesar Rp 9.864.000.
Adapun pendapatan dari 60 responden yang diperoleh dari hasil usahatani dan non usahatani dalam 1 tahun dapat dilihat pada Tabel 5.4:
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Pendapatan dalam I Tahun
Jumlah Jiwa Persentase
Rendah 3.600.000 1
1,7 Sedang 3.600.000-8.850.000
32 53,3
Tinggi 8.850.000 27
45,0 Total
60 100,0
Sumber : Analisa Data Primer Pendapatan responden pada penelitian ini merupakan pendapatan
yang diperoleh dari penghasilan on farm seperti usahatani padi, melon, semangka, cabai, kacang panjang dan ternak sebagai tabungan. Jenis
ternak yang dibudidayakan antara lain ayam, itik, kambing dan sapi. Sedangkan penghasilan off farm seperti berdagang atau menjual hasil
pertanian kepasar jawa: bakul, dan untuk penghasilan nonpertanian meliputi profesi guru, kuli batu atau pasir dan karyawan di salah satu
commit to user
instansi swasta. Petani yang harus bekerja diluar sektor pertanian seperti kuli batu atau bangunan bertujuan untuk menambah hasil pendapatannya,
karena penghasilan dari sektor pertanian dirasa kurang mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga responden. Akan tetapi ada juga responden yang
yang menjadikan profesi bertani untuk menambah pendapatan. Karena dirasa adanya usaha tani yang ditekuni dapat menambah penghasilan
keluarga seperti bertanam sayuran organik, yang dalam pemeliharaanya juga menggunakan pestisida organik.
3. Luas Usahatani
Menurut Hernanto 1996 berdasar luas penguasaan lahan petani, dapat digolongkan menjadi berikut:
a. Golongan petani luas lebih dari 2 Ha
b. Golongan petani sedang 0,5-2 Ha
c. Golongan petani sempit kurang dari 0,5 Ha.
Luas kepemilikan lahan, 60 petani responden dapat dilihat pada Tabel 5.5: Tabel 5.5 Distribusi Responden Menurut Luas Usahatani
Luas Lahan Ha Jumlah Jiwa
Persentase Rendah 0,5
1 1,67
Sedang 0,5-2 58
96,66 Tinggi 2
1 1,67
Total 60
100,00 Sumber: Analisa Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.5 luas lahan sebagian responden dalam kategori sedang, dengan Persentase 96,66 persen. Luas kepemilikan lahan yang
dikelola pada penelitian ini adalah luas kepemilikan lahan untuk budidaya tanaman padi atau sawah. Menurut hasil penelitian mengemukakan bahwa,
kecenderungan kuantitas dan kualitas lahan semakin menurun. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya jumlah penduduk, sedang secara kualitas
diketahui bahwa penurunan tingkat kesuburan lahan disebabkan karena penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida. Padahal lahan yang
telah kehilangan lapisan atas yang kaya bahan organik, akan sulit
commit to user
dipulihkan kesuburannya seperti semula meskipun menggunakan metode pengelolaan tanah yang baik dalam jangka waktu 10 tahun Ulexkull dan
Boshart, 1989. Terdapat satu petani responden 1,67 persen yang memiliki luas
lahan lebih dari 2 Ha Bapak sugeng, dengan kepemilikan lahan seluas 41.500Ha. Lahan ini dimiliki oleh pejabat desa Karangbangun sebagai
gaji selama menjabat. Kondisi lahan pertanian sawah memberikan banyak pilihan kepada
petani, baik komoditas maupun banyaknya musim panen, akan tetapi sebagian besar petani Desa Karangbangun pada realisasinya hanya berani
memanfaatkan lahan sebanyak dua kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan karena sumber utama saluran irigasi lahan di Desa
Karangbangun hanya mengandalkan hujan. Pada petani dengan lahan yang relatif luas, mereka melakukan usahatani dengan komoditas yang
berbeda beda. Misalnya pada lahan sawah, pada bulan Oktober-Maret salah satu blok ditanami padi guna menunjang bahan makanan pokok dan
blok yang lain ditanami palawija. Variasi komoditas ini merupakan strategi untuk mengurangi resiko kegagalan panen. Apabila pada satu musim
tanam harga gabah turun, maka sebagian petani masih mendapatkan hasil dari tanaman palawija atau sebaliknya.
Pada musim tanam ke-3 Januari-Maret banyak tanaman yang mengalami gagal panen sebagai akibat perubahan iklim yang pada
gilirannya menyebabkan turunnya pendapatan petani. Pada kondisi seperti ini langkah yang ditempuh petani adalah masih menanami tanaman
palawija seperti singkong atau memberokan lahan yang dimiliki dan beralih keusaha non pertanian.
4. Pengalaman Berusahatani
Pengalaman petani dalam berusahatani diteliti dari lama petani mengelola usahatani. Lama berusahatani, dapat menunjukkan
keterpaksaan petani, karena memang tidak ada usaha lain yang dapat ditekuni, hal ini disebabkan karena faktor pendidikan yang rendah,
sehingga membuat petani tidak mempunyai keahlian lain kecuali disektor
commit to user
pertanian, disisi lain lama berusahatani juga menunjukkan kecintaan petani terhadap sektor pertanian, karena sektor pertanian dapat memberikan
keuntungan dibanding sektor lain. Hal ini berarti ada tidaknya pengalaman berusahatani ditentukan oleh bagaimana sikap petani selama kurun waktu
tersebut, berusaha mencari dan menerima perubahan-perubahan yang ada. Adapun banyaknya pengalaman petani responden dalam mengelola
usahataninya dapat dilihat pada Tabel 5.6: Tabel 5.6 Distribusi Responden Menurut Pengalaman berusahatani
Pengalaman Berusahatani Jumlah Jiwa
Persentase 4-22
18 30,00
23-41 32
53,33 42-60
10 16,67
Total 60
100,00 Sumber: Analisa Data Primer
Sebagian besar di desa Karangbangun petani sudah mengelola usahatani lebih dari 10 tahun. Petani yang memiliki pengalaman
berusahatani dalam kategori sedang dan tinggi 53,3 persen dan 16,67 persen disebabkan karena mereka berasal dari keluarga petani sehingga
mereka sudah aktif ikut mengelola usahatani sejak kecil. Berbagai pengalaman petani dalam berusahatani dapat kita lihat pada tahap berikut:
a. Pengolahan lahan
Pada bulan kering Agustus-September selain beralih ke profesi non pertanian, sebagian petani di Desa Karangbangun juga
memanfaatkan bulan ini untuk mengolah lahan. Hal ini bertujuan agar lahan yang dikelola mendapatkan panas yang optimal sehingga pada
saat musim hujan datang lahan bisa langsung ditanami. Petani yang berlahan luas biasanya mempergunakan traktor dalam mengolah lahan,
mengingat efesiensi waktu dan tenaga, sedangkan sebagian petani juga ada yang masih mempergunakan cangkul guna menghemat biaya
pengeluaran.
commit to user
b. Pemilihan bibit unggul
Benih yang baik merupakan syarat untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal guna meningkatkan pendapatan usahatani. Bila
pemilihan benih tidak baik, hasilnya juga kurang maksimal meskipun pemupukan dan pemeliharaan dengan penggunaan pestisida organik
sudah dilakukan dengan benar. Oleh karenanya pemerintah lewat dinas pertanian memberikan saprodi berupa 5 jenis benih padi Inpari 1,2,6,8
dan Menkongga. Dimana 5 jenis benih padi ini akan dikombinasikan dengan penggunaan pestisida organik dan diujikan ke lahan petani, agar
nantinya dapat diketahui jenis benih yang sesuai dengan kondisi alam di Desa Karangbangun
c. Penanaman
Petani Karangbangun menjadikan padi sebagai tanaman pokok. Pola tanam padi sebelum adanya penyuluhan masih berupa sistim tegel
dengan ukuran kurang dari 25 cm x 25 cm, dan umumnya sebagian besar petani kurang memperhatikan kedalaman bibit saat menanam.
Mereka beranggapan bahwa, penanaman bibit yang kurang dalam akan mengakibatkan bibit mudah roboh atau rusak pada saat pengairan atau
hujan. Padahal, bibit yang terlalu dalam dibenamkan akan berakibat pada berkurangnya jumlah anakan tanaman. Hal ini terjadi karena
semakin dalam pembenaman maka akan semakin berkurang suhu tanah, sehingga mata tunas yang ada dibagian bawah bibit tidak akan
membentuk anakan. Setelah diadakannya sekolah lapang di Desa Karangbangun,
berdasarkan kondisi lapang sebagian besar petani sudah mampu menerapkan jajar legowo dengan ukuran 25 x 25 cm, dan menjadikan
dua buku jari tangan sebagai patokan dalam menentukan kedalaman bibit. Mengingat bahwa tenaga kerja pada saat musim tanam
bersamaan, terkadang untuk mencari tenaga kerja dari lingkungan sekitar sangat sulit, bahkan terkadang karena sibuk dengan lahannya
masing-masing petani terpaksa harus mengambil tenaga kerja yang berasal dari luar desa.
commit to user
d. Pemeliharaan tanaman
Adanya iklim ekstrim akhir-akhir ini dan diprediksikan sampai dengan 5 tahun kedepan, merupakan faktor pemicu berkembangnya
serangan hama. Sebelum musim tanam tiba, petani Desa Karangbangun ada yang membeli bahan kimia seperti pupuk dan pestisida atau bahkan
pupuk dan pestisida organik seperti herbafarm yang seharga Rp. 58.000 per
botol sebagai bagian dari tabungan mereka, karena apabila dibelanjakan menjelang musim tanam biasanya harga lebih mahal.
Akan tetapi ada juga kelompok tani yang bersiap-siap membuat pestisida organik dari awal musim tanam, mengingat pestisida organik
yang jauh lebih murah dan baik untuk perbaikan lahan. Tabel 5.7 Contoh perbedaan harga pestisida organik dengan pestisida
kimia. Biaya Pestisida organik I MT
Biaya Pestisida Kimia I MT Telur bebek: 5 x 1000 = 5.000
Fungisida SCORE Alkohol 1liter = 10.000
botol: Rp 40.000 Susu cair 1 liter = 5.000
40.000 x 2 pembelian Madu 5 sendok = 5.000
Air I liter Total 25.000
Rp 80.000 Sumber: Analisis Data Primer
Kedua pestisida diatas sama manfaatnya yakni sebagai fungisida pengendali penyakit tanaman pangan dan holtikultura. Penerapan
pestisida organik sudah dilakukan sebagian besar petani ± 2 tahun terakhir. Penggunaan pestisida organik, dilakukan secara periodik,
untuk takaran dipergunakan 1 gelas Aqua, yang kemudian ditambahkan dengan 10 liter air untuk 1 tangki sprayer. Sedangkan takaran untuk
pestisida kimia yakni dengan mepergunakan ukuran tutup botol, kemudian dicampur dengan 10 liter air untuk I tangki sprayer.
Penyemprotan pestisida organik dilakukan 2 minggu setelah tanam. Selain pestisida hewani, petani juga membuat pestisida lain seperti
pestisida nabati yakni pembasmi pembasmi serangga sekaligus sebagai pupuk karena mengandung bahan dari urine sapi yang dicampur dengan
empon-empon.
commit to user
e. Panen
Kendala pada waktu panen yakni apabila harga tanaman komoditi rendah. Petani menjual harga panen kepada penebas, dimana petani
tidak mempunyai bargaining position yang baik. Maka, langkah yang ditempuh petani adalah dengan menyimpan hasil panen berupa gabah
kering dan menjualnya sewaktu harga mulai stabil. f.
Pasca panen Hasil panen terutama berupa kebutuhan pokok seperti padi dalam
bentuk gabah, tidak dijual semuanya melainkan disimpan sebagai persediaan makanan sembari menunggu musim panen berikutnya. Pada
bulan kering Agustus-September petani biasa melakukan penjemuran gabah. Sedang untuk tanaman holtikultura seperti cabe dan kacang
panjang dengan menjualnya langsung ke pasar. 5.
Frekuensi Penggunaan Saluran Komunikasi Saluran komunikasi terdiri dari saluran interpersonal, media massa
serta saluran lokal dan saluran kosmopolit. Saluran interpersonal adalah saluran yang melibatkan pertemuan tatap muka sumber dan penerima
antara dua orang atau lebih, sedangkan saluran media massa adalah alat- alat penyampaian pesan yang memungkinkan sumber mencapai suatu
audiens dalam jumlah yang besar dan dapat menembus ruang dan waktu
misalnya radio, televisi, surat kabar, buku dan lain sebagainya. Frekuensi penggunaan saluran dalam menerapkan pestisida organik dapat dilihat
pada Tabel 5.8:
commit to user
Tabel 5.8 Distribusi Responden Menurut Frekuensi Pengguna Pestisida Organik
Frekuensi penggunaan saluran dalam menerapkan pestisida organik
Jumlah Jiwa Presentase
Rendah 13 43
71,7 Sedang 13-15
16 26,7
Tinggi 15 1
1,7 Jumlah
60 100,0
Sumber: Analisa Data Primer Frekuensi penggunaan saluran mengenai inovasi pestisida organik
tergolong dalam kategori rendah yakni kurang dari 13 kali dalam 1 tahun sebanyak 43 responden 71.7 persen. Pertemuan atau kegiatan penyuluhan
hanya dilakukan selama 10 kali dalam 1 tahun. Sedangkan untuk informasi dan pelatihan pembuatan pestisida dilakukan sebanyak 3 sampai 4 kali.
Informasi pestisida organik dari media cetak, biasanya hanya pada saat pelatihan atau penyuluhan. Keterbatasan jumlah media ini juga menjadi
kendala penyampaian informasi dalam menerapkan pestisida organik. Dari kondisi di lapang media cetak mengenai informasi bahan
pembuatan pestisida organik dan cara aplikasinya yang didistribusikan ke desa jumlahnya sangat sedikit yakni pada saat penyuluhan, sehingga untuk
membacanya petani harus bergantian dan terkadang harus memperbanyak sendiri. Untuk media elektronik seperti televisi dan radio petani jarang
mendapatkan informasi tentang pestisida organik langsung. Karena pada saat tayangan mengenai pestisida organik berlangsung, sebagian petani ada
yang sedang bekerja disawah sehingga tidak dapat menyaksikan informasi tersebut, informasi mengenai pestisida organik lewat siaran di televisi
seperti acara “Pelangi Desa”setiap Rabu jam 14.00, dan Info Agribisnis yang ditayangkan setiap Minggu pukul 09.30 WIB di stasiun TVRI
Nasional. Terdapat I 1,7 persen responden yang banyak memanfaatkan berbagai media tersebut, dalam mencari berbagai informasi tentang
penerapan pestisida organik dan informasi lain terkait dengan pengembangan pertanian yakni ketua gapoktan Bapak Y. Sugiyanto dengan
commit to user
frekuensi penggunaan saluran sebanyak 15 kali dalam I tahun di Desa Karangbangun.
6. Kredibilitas Penyuluh
Kredibilitas penyuluh didalam penelitian ini adalah kemampuan penyuluh untuk berkomunikasi atau berinteraksi, dengan masyarakat
sasaran. Persentase penilaian kredibilitas penyuluh di Desa Karangbangun dapat dilihat dari Tabel 5.9
Tabel 5.9 Kredibilitas Penyuluh Menurut penilaian Petani Desa Karangbangun
Kredibilitas Penyuluh Skor
Jumlah Jiwa Persentase
Rendah 47 3
5,0 Sedang 48-53
14 23,3
Tinggi 54 43
71,7 Total
60 100,0
Sumber: Analisa Data Primer Kredibilitas penyuluh menurut petani termasuk dalam kategori tinggi
43 71,7 persen. Sebagian besar responden merasakan akrab dengan penyuluh, selaras berdampak positif terhadap efektivitas komunikasi.
Dimana petani akan semakin cepat memahami apa yang akan disampaikan penyuluh. Karena tidak ada hambatan komunikasi. Apabila petani kurang
paham terhadap penyampaian informasi dari penyuluh mereka bisa menanyakan langsung baik didalam maupun di luar forum. Hal ini berarti
bahwa, kemampuan untuk mengkomunikasikan pengetahuan yang dimiliki penyuluh diakui baik oleh responden. Sehingga dapat dikatakan bahwa
petani tidak ada kesulitan dalam menerima informasi dari penyuluh langsung untuk dapat menerapkan pestisida organik.
7. Sifat Inovasi
Pada kajian pustaka, ditulis bahwa tiap inovasi umumnya mempunyai karakteristik yang menjadikan pertimbangan seseorang untuk
membuat keputusan apakan seseorang mau menerapkan inovasi atau tidak. Bahkan karakteristik dari inovasi ini akan sangat penting untuk bisa
commit to user
difahamkan kepada para petani yang diharapkan mengadopsi inovasi karena kefahaman tersebut. Adapun penilaian petani terhadap inovasi
pestisida organik dapat dilihat pada Tabel 5.10: Tabel 5.10 Distribusi petani berdasarkan score sifat inovasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
petani x berdasarkan sifat inovasi
Keputusan petani dalam menerapakan pestisida organik Y
1-10 11-20 21-30 Keuntungan relatif
• Rendah • Sedang
• Tinggi -
25 orang 35 orang
Kompatabilitas • Tidak Kompatabilitas
• Cukup Kompatabilitas • Kompatabilitas
- 28 orang
32 orang Kompleksitas
• Sangat rumit • Cukup rumit
• Tidak Rumit -
37 orang 23 orang
Triabilitas • Tidak mudah
• Cukup mudah • Mudah
- 22 orang
38 orang Observabilitas
• Tidak bisa diamati • Cukup bisa diamati
• Dapat diamati -
40 orang 20 orang
Sumber : Analisa Data Primer a.
Keuntungan relatif Adanya pestisida organik dirasakan dapat memberikan
keuntungan bagi masyarakat tani di Desa Karangbangun. Sebanyak 35 58,3 persen responden menilai bahwa pestisida organik
menguntungkan bagi petani. Keuntungan tersebut dapat dilihat dari: 1
Keuntungan ekonomis Biaya pembuatan pestisida organik yang lebih rendah
dibandingkan pestisida kimia. Dengan adanya pestisida organik dirasa dapat menghemat biaya pengeluaran usahatani, kebiasaan
petani yang dulu masih menerapkan pestisida kimia merek Decis dan merek Score seharga Rp.40.000,- 3 kali penggunaan dalam I
commit to user
musim tanam, petani harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 120.000, atau bahkan bisa lebih, sedangkan untuk penggunaan
pestisida organik petani hanya mengeluarkan biaya sebesar 25.000 dalam 1 kali musim tanam.
2 Keuntungan teknis
Adapun takaran pestisida organik dalam aplikasinya tidak membingungkan petani, selain itu petani tidak terlalu banyak
menggunakan pengaman seperti masker, sarung tangan ataupun kacamata seperti waktu menerapkan pestisida kimia yang dirasa
dapat membahayakan tubuh petani. Hal ini terbukti didapati 3 responden yang terkena efek dari pestisida kimia jenis organofosfat
insektisida seperti curacron, dursban, kreban, dan decis yang menyebabkan penyakit kulit dermatitis atau alergi pada kulit.
b. Kesesuaian Compatability
Kesesuaian petani dalam menerapkan pestisida organik dapat dinilai dari penerapan pestisida organik yang disesuaikan dengan
kebutuhan petani baik kesehatan maupun kebutuhan ekonomi, keamanan lingkungan, serta teknik pengendalian hama yang lain,
seperti dengan adanya pembuatan perangkap. Sebanyak 32 respoden 61,6 persen mengadopsi pestisida organik karena menganggap
bahwa adanya pestisida organik sangat sesuai bagi petani. Hal tersebut seperti yang diungkapkan slamet dalam Mardikanto 1982, yang
menyatakan bahwa setiap inovasi baru akan cepat diadopsi manakala mempunyai kecocokan atau berhubungan dengan kondisi setempat
dalam suatu masyarakat. c.
Kerumitan Complexity Berdasarkan Tabel 5.10 diketahui bahwa sebanyak 23 responden
menganggap aplikasi pestisida organik tidak rumit. Sedangkan 37 responden menganggap bahwa pembuatan pestisida organik cukup
rumit. Kerumitan ini disebabkan karena daya kerja pestisida organik yang sangat lambat, sehingga penyemprotan terhadap tanaman padi
commit to user
maupun sayuran yang terserang hama harus dilakukan secara berulang-ulang yakni dengan interval 3 hari sekali.
d. Ketercobaan Triability
Ketercobaan pestisida organik dapat diamati melalui jumlah takaran atau dosis pestisida organik dan penerapannya pada berbagai
kondisi lahan, baik lahan yang sempit maupun lahan yang luas. Sebanyak 38 63,6 persen responden memutuskan menerapkan
pestisida organik dengan alasan dapat dicobakan. Keputusan petani untuk menerapkan pestisida organik tergolong tinggi. Hal ini
dikarenakan bahwa pestisida organik mudah dicoba oleh semua petani. Akan tetapi 18 responden akhirnya memutuskan untuk
berhenti. Alasan dari discontinue decision ini disebabkan karena responden kurang merasa mendapat keuntungan dari adanya
penggunaan pestisida organik, hal ini dikarenakan kesalahan teknis yang dilakukan petani pada waktu melakukan penyemprotan, kondisi
tanaman budidaya sudah banyak yang diserang hama sehingga petani tidak dapat mengantisipasinya lagi. Oleh karenanya kepercayaan
terhadap manfaat pestisida organik dirasa kurang dibandingkan dengan pestisida kimia.
e. Observabilitas Observability
Observabilitas dalam penerapan pestisida organik dapat diamati melalui proses, hasil pembuatan pestisida serta kenaikan hasil panen
dan kualitas produksi tanaman budidaya, seperti berat padi yang lebih berbobot, bulir padi yang banyak serta tanaman sayuran yang lebih
hijau dan subur. Karena dilain sisi, pestisida organik juga mampu digunakan sebagai pupuk. Adapun responden yang memutuskan untuk
menerapkan pestisida organik adalah sebesar 20 33,3 persen. Dilain sisi petani Desa Karangbangun menganggap bahwa dengan
menerapkan pestisida organik dapat mengurangi takaran penggunaan pestisda kimia sebesar setengah atau keseluruhan
.
commit to user
C. Keputusan