Aplikasi perda no.6 Tahun 1993 tentang hak-hak pramuwisma di Jakarta : perspektif Hukum Islam dan HAM

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

Nur Septa Ahdiyamsyah

203043101805

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM PRODI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Syari’ah (S.Sy) Oleh

Nur Septa Ahdiyamsyah Nim:203043101805 Di Bawah Bimbingan

Pembimbing

Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP: 19550505 198203 1 012

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

PRODI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Hidayatullah Jakarta pada 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH).

Jakarta, 22 Maret 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, S.H., MA ( ) NIP. 19551015 197903 1 002

Sekretaris : Drs.H. Ahmad Yani, M.Ag ( ) NIP. 196404012 199403 1 004

Pembimbing I : Prof.Dr.H. Muhammad. Amin Suma, S.H, MA, MM. ( ) NIP. 19550505 198203 1 012

Penguji I : Drs. Djawahir Hejazziey, S.H., MA ( ) NIP. 19551015 197903 1 002

Penguji II : Drs.H. Ahmad Yani, M.Ag ( ) NIP. 196404012 199403 1 004


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik, hidayah, dan Inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Selanjutnya salawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW beserta Sahabat keluarganya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM yang juga bertindak sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini, terimakasih atas waktunya ditengah kesibukan Bapak dalam memberikan bimbingan dan saran bagi penulis.

2. Ketua Progran Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA,. Dan sekretaris Progran Studi Perbandingan Mazhab Hukum, Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.

3. Orang Tua tercinta, dan kakak-kakak, yang senantiasa mendoakan penulis dan memberikan motifasi, baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi serta menyelesaikan penulisan skripsi ini.


(5)

ii

4. Segenap jajaran staff dan karyawan akademik perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah, perpustakaan Gandaria, LBH APIK, Komnas Perempuan Jakarta, KONTRAS, yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan rujukan skrispi. 5. Teman-teman PMF/PMH angkatan 2003, baik reguler maupun non reguler,

teman-teman di Majelis Rasulullah SAW, teman-teman di HMI, KOMPAK dan KMM RIAK yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang terus memberikan motifasi dan spirit kepada penulis dalam proses penulisan skripsi.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya pahala yang berlipat ganda. Amin.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada pembaca, meski skripsi ini tidak lepas dari kekurangannya.

Jakarta, 15 Maret 2010 M 30 Rabiul Awal 1431 H


(6)

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitiaan ... 6

E. Sistimatika Penulisan ... 7

BAB II : HAK-HAK PRAMUWISMA DALAM PERDA NO 6 TAHUN 1993... 9

A. Perda No 6 Tahun 1993 Tentang Pembinaan Kesejahtraan Pramuwisma ... 9

B. Hak dan Kewajiban Pramuwisma ... 15

C. HAM dalam Islam... 18

D. HAM Perspektip Barat ... 29

BAB III : HAK-HAK PRAMUWISMA YANG BELUM MENDAPATKAN PERLINDUNGAN HUKUM SECARA MAKSIMAL... 34

A. Upah Yang Tidak Mencukupi... 34


(7)

iv

E. Rentannya Terhadap Kekerasan ... 45

BAB IV : PENUTUP... 59

A Kesimpulan ... 59

B Saran – saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ...

62

LAMPIRAN


(8)

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dilahirkan dan diciptakan Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial yang selalu hidup bermasyarakat, tidak seorangpun sanggup hidup seorang diri tanpa bantuan orang lain. Hal ini merupakan kenyataan yang bersifat kekal dan berlaku Universal, tetap berlangsung selama manusia hidup dan berlaku diseluruh dunia.

Setiap orang memerlukan penghasilan agar ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan serta kebutuhan-kebutuhan yang lainnya yang tidak terbatas, untuk memperoleh hal tersebut ia harus bekerja.1

Makna bekerja ditinjau dari segi kemasyarakatan adalah melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa guna memuaskan kebutuhan masyarakat. 2

Seseorang yang tidak mempunyai modal atau penghasilan mengharapkan pekerjaan dari orang lain yang dapat memberikan penghasilan kepadanya, sehingga ia dapat memenuhi kehidupan dan keluarganya sehari-hari, dipihak lain

1

Ridwan Halim dan Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), Cet Ke I, hal.1.

2

Djumadi, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 1995), Edisi ke-2, cet. Ke-3, hal 1.


(9)

kesempatan melakukannya sendiri dalam hal ini ia memerlukan orang lain untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan adanya saling membutuhkan akan timbal balik suatu hubungan, yaitu hubungan hukum lahir karena adanya hubungan kerja antara buruh dan majikan.3 Majikan berhak atas hasil pekerjaan sedangkan buruh berhak mendapatkan upah hasil kerjanya. 4

Namun persoalannya, karena semua UU secara eksplisit menyebutkan istilah Pramuwisma sebagai pekerja, sehingga dalam implementasi, tetap saja Pramuwisma dianggap bukan sebagai pekerja yang masuk dalam wilayah perlindungan hukum perburuhan.

Akibatnya sering terjadi pelanggaran hukum perburuhan sebagai berikut : adanya penyalahgunaan perjanjian kerja (misal: secara lisan dipekerjakan sebagai Pramuwisma namun ternyata dijadikan pekerja seks), tidak adanya mekanisme dan sistem kerja yang jelas (upah, jam kerja dll), upah yang tidak dibayar, upah yang rendah, jam kerja yang panjang (dapat dikatakan sebagai kerja paksa dan merupakan bentuk eksploitasi) serta adanya kondisi kerja yang membahayakan tanpa perlindungan, tidak adanya jaminan kesehatan, kematian, kecelakaan jaminan hari tua dan lain-lain. 5

3

Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Pradya Paramita, 1985), hal.1

4

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Djambatan , Jakarta: 1985), ttc. hal 52. 5

Apiknet@centrin.net.id, “Kertas Posisi Usulan Revisi PERDA DKI JAKARTA NO. 6 Thn 1993 Tentang Pramuwisma”.


(10)

kurang mendapat penghargaan sehingga tidak mendapatkan perlindungan baik hukum maupun sosial secara layak. Padahal, sebagai pelaku kerja kerumah tanggaan mereka memiliki peran reproduktif sekaligus produktif yang penting dalam suatu keluarga/rumah tangga. Akibatnya mereka rentan menghadapi berbagai bentuk kekerasan (fisik, seksual, psikis dan ekonomis). Karena adanya ketimpangan kelas dan relasi kekuasaan, sangat jarang PRT yang mampu melawan kekerasan yang mereka hadapi.

Penindasan hak-hak PRT sebagai pekerja, tindakan semena-mena yang memperlakukan PRT bukan sebagai manusia merupakan manifestasi dari praktek perbudakan domestik (domestic slavery). Dalam praktek ini, terjadi eksploitasi dan pemaksaan kerja terhadap PRT. Bukan hanya di Indonesia, praktek perbudakan domestik ini telah dan terus menjadi fenomena global.

Hampir setiap hari media masa baik cetak maupun elektronik memberitahukan kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan majikan terhadap PRT-nya, dari yang luka ringan, babak belur hingga ada yang menyebabkan kematian, dan secara faktual sebagai PRT adalah perempuan termasuk anak perempuan dibawah umur 18 tahun.

Hingga kini belum ada data-data yang pasti mengenai kondisi PRT (baik dari segi kuantitas maupun aspek lainnya) di daerah DKI Jakarta. Estimasi penelitian Unika Atmajaya dan ILO-IPEC melalui rapid assessment


(11)

menggunakan asumsi 50 % rumah tangga di Jakarta menggunakan Pramuwisma. Satu-satunya peraturan yang mengeksplisitkan PRT sebagai pekerja terdapat dalam PERDA No. 06/1993 yang menyatakan Pramuwisma adalah tenaga kerja PRT yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan menerima upah, dan lebih jelas lagi dilihat dari lembaga yang mengatur masalah PRT yaitu Dinas Tenaga Kerja dibantu oleh Tim Penyelesaian Perselisihan PRT. Berdasarkan ketentuan ini, maka dapat ditegaskan bahwa hubungan kerja antara PRT dengan majikannya (Pengguna jasa) adalah hubungan kerja yang formal dan kontraktual.

Pada kenyataannya, tempat kerja PRT di ranah domestik merupakan wilayah kerja yang rentan terhadap pelanggaran HAM, terutama pada Perempuan dan anak dibawah umur, dari berbagai kasus yang diterima media, kasus-kasus kekerasan karena diskriminasi jenis kelamin sering sekali berkaitan dengan masalah upah yang rendah, ketidak jelasan waktu istirahat, beban kerja yang berlebihan dan sebagainya.6

Bahwa manusia dalam HAM dan Hukum Islam adalah mahluk yang mulia apapun jenis kelaminnya, agama, etnis dan warna kulitnya atau yang lainnya, memiliki hak-hak yang sama yang harus dilindungi, dihormati dan dijunjung tinggi. Agama Islam menganggap bahwa manusia itu sama dan merupakan anak

6

Estu R.F. dan Veronika, Wajah Perempuan Pekerja Rumah Tangga, (LBH APIK, Jakarta: 2003), Edisi ke 22, hal 6.


(12)

sekarang ini, hak-hak dan nasib PRT sangatlah berbeda jauh dengan apa yang diharapkan, penulis menjadi tertarik untuk membahas persoalan ini di dalam skripsi, yang berjudul, “APLIKASI PERDA NO 6 TAHUN 1993 TENTANG HAK-HAK PRAMUWISMA DI JAKARTA. Perspektif Hukum Islam dan HAM”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Agar pembahasan ini lebih terarah, penulis akan memperjelas persoalan dan permasalahan yang akan dibahas serta untuk membatasi bahasannya, maka penulis hanya membahas tentang Hak-hak pramuwisma dalam Perda No 6 tahun 1993 dan Hak-hak yang belum mendapatkan perhatian hukum secara maksimal.

Dalam pembatasan skripsi ini, penulis merumuskan permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Hak-Hak apa saja yang belum mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal?

2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap hak-hak PRT?

7

Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Gema Insani Pres, Jakarta: 1996), Cet Ke-1, hal 86.


(13)

Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Hak-Hak Pramuwisma yang diatur di dalam Perda No 6 Tahun 1993.

2. Untuk mengetahui Hak apa saja yang belum mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal.

3. Untuk memperoleh pemahaman dan wawasan yang luas tentang perlindungan hak-hak PRT menurut hukum Islam dan hukum positif.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan agar penulisan yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik dan sesuai prosedur keilmuan, maka penulis menggunakan metode kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data adalah studi dokumentasi.

Sementara dalam rangka mengumpulkan data untuk keperluan penulisan skripsi ini, penulis akan mengeksplorasi data primer dan data sekunder. Data primer digali dengan melakukan kajian terhadap Undang-undang yang berkaitan langsung mengenai pembahasan Pramuwisma.

Dan data sekunder diperoleh dengan melakuakan kajian normatif khususnya terhadap naskah-naskah, buku-buku, artikel, media elektronik, yang berkaitan dengan masalah Pramuwisma. Seperti studi pustaka dilakukan untuk menemukan sumber bahan-bahan yang berkaitan dengan konsep-konsep,


(14)

doktrin-penulisan dan memberi arah pembahasan yang relevan dalam doktrin-penulisan ini. Dari data-data inilah, kemudian melakukan komparasi dan korelasi antara satu data dengan data yang lain yang berkaitan dengan penulisan ini dan akhirnya memberikan analisis terhadap data-data itu dalam hubungannya dengan penulisan, ini merupakan penelitian komparatif, yakni studi yang dilakukan dengan membandingkan antara Undang-undang dan hukum Islam.

Adapun pedoman penulisan skripsi ini adalah buku “Pedoman Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”.

E. Sistematika Penulisan

Bab I : Yang terdiri dari Pendahuluan, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Menyajikan Tinjaun Umum Hak-Hak Pramuwisma dalam Perda No 6 Tahun 1993; yang meliputi: Perda No 6 Tahun 1993 Tentang Kesejahtraan Pramuwisma, Hak dan kewajiban Pramuwisma, HAM dalm Islam dan HAM dan HAM Perspektif Barat.

BAB III : Berbicara seputar Hak-Hak Pramuwisma yang Belum Mendapatkan Perlindungan Hukum Secara Maksimal; yang meliputi: Upah yang tidak mencukupi, Jam kerja yang panjang, Kesehatan, Tidak adanya Hari libur, dan Rentannya terhadap kekerasan.


(15)

(16)

BAB II

HAK-HAK PRAMUWISMA DALAM PERDA NO 6 TAHUN 1993

A. Perda No 6 Tahun 1993 Tentang Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma 1. Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan otonomi daerah khususnya bidang ketenagakerjaan. Pemerintah DKI Jakarta berupaya untuk mengadopsi masalah ketenagakerjaan yang dituangkan dalam suatu Peraturan Daerah. Hal tersebut mengingatkan kita bahwa penanganan masalah ketenagakerjaan tidak semudah seperti apa yang dibayangkan. Hal ini juga terkait dengan semangat kejujuran dan perilaku baik bagi pelaku ekonomi maupun oleh aparat pemerintah yang menangani. Di samping itu sangat erat kaitannya dengan masalah politik, keamanan, ekonomi dan lain sebagainya.

Disadari bahwa Rancangan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan DKI Jakarta dimaksud tidak menutup kemungkinan telah beredar kepada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam upaya untuk memberi sumbang saran. Akan tetapi perlu disadari bahwa semangat penyusunan Rancangan Peraturan daerah dimaksud belum dilandasi oleh semangat Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Oleh karena hal itu juga tersebut tentunya akan menjadikan pertimbangan Pemerintah Propinsi untuk disesuaikan dengan semangat Undang-Undang 13 Tahun 2003 dimaksud.


(17)

Khusus menyangkut masalah tenaga kerja pramuwisma menurut Rancangan Peraturan Daerah dimaksud hanya mengatur garis-garis besarnya yaitu menyangkut masalah lembaga penyedia dan penyalur pramuwisma serta pengguna jasa.1

2. Sistematika Perda No 6 Tahun 1993

Jenis pekerjaan rumah tangga adalah salah satu alternatif pekerjaan untuk menyerap tenaga kerja sebagai upaya mengurangi jumlah pengangguran, pekerja yang bekerja pada jenis pekerjaan rumah tangga, memiliki “karakteristik tersendiri (khususnya)” maka memerlukan perlindungan hukum, sama dengan pekerja yang lainnya. Sistematika Perda Pramuwisma ini terdiri dari Tiga belas bab dintaranya adalah:

BAB I, ketentuan Umum yang terdiri dari satu pasal. Pasal 1 menjelaskan beberapa hal tentang definsi dari : Pekerja Rumah Tangga (PRT), Pengguna Jasa PRT, penempatan PRT, Lembaga penempatan PRT, Perjanjian Kerja, Upah PRT dan sebagainya. Perlindungan PRT berlandaskan kepada asas penghormatan terhadap hak asasi manusia atas dasar kesetaraan dan keadilan gender tanpa diskriminasi.2

1

Wakil Kepala Tenaga Kerja Dan Transaksi Propinsi DKI Jakarta, Makalah Perlindungan Pembantu Rumah Tangga Dalam Rancangan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan Propinsi DKI Jakarta

2

Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, “Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 6 Tahun 1993 Tentang Pembinaan Kesjahtraan Pramuwisma di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta”, (Dinas Tenaga Kerja, 1995), h. 3-4.


(18)

BAB II Pembinaan Kesejahtraan Pramuwisma, Pasal 2: Pembinaan kesejahtraan Pramuwisma dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah.3

BAB III Pengadaan dan Penyaluran, bab ini terbagi dari tiga bagian yaitu: Bagian pertama Badan Usaha, yang menjelaskan tentang kewajiban badan usaha dan pengguna jasa pramuwisma. Dintaranya: Pasal 3, pengadaan tenaga kerja pramuwisma. Pasal 4: yaitu kewajiban menyelenggarakan kesejahtraan pramuwisma. Pasal 5 meliputi waktu jam kerja pramuwisma dan kewajiban badan usaha untuk membuat laporan tertulis. Pasal 6 menjelaskan tentang kontrak kerja. Pasal 7 Badan usaha berhak mendapatkan biaya atas pembinaan pramuwisma dari pengguna jasa pramuwisma dan Pasal 8 tentang larangan badan usaha untuk memungut biaya kepada pramuwisma, menyalurkan melalui calo/perantara dan menyalurkan pramuwisma ke luar wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Bagian kedua Pengguna Jasa: pasal 9, 10 dan 11 yang berisi kewajiban pengguna jasa, pasal 12 dan 13 yaitu kewajiban-kewajiban pramuwisma. 4

BAB IV tentang Perizinan, pasal 14 dan 15 menjelaskan tentang penyelenggaraan, tata cara dan persyaratan perizinan operasional yang telah ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah. Pasal 16 menjelaskan tentang

3

Ibid, h. 4

4


(19)

jangka waktu perizinan dan tata cara perpanjangan peizinan, pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.5

BAB V tentang Penyelesaian Perselisihan, pasal 17 yaitu mengenai penyelesai perselisihan antara pramuwisma dan pengguna jasa, badan usaha dan pengguna jasa, pramuwisma dan badan usaha yang dapat diselesaikan melalui Tim Penyelesaian Perselisihan Pramuwisma yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah.6

BAB VI tentang Retribusi, pasal 18 menjelaskan tentang: yang dikenakan retribusi yaitu sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, besarnya retribusi dan tempat penyetoran retribusi yaitu di kantor Kas Daerah DKI Jakarta.7

BAB VII tentang Pembayaran dan Penetapan, pasal 19 dan 20 menjelaskan tentang ketetapan pembayaran retrebusi yang terhutang.8

BAB VIII tentang Penagihan, Pasal 21 ketetapan retribusi dan tambahannya merupakan dasar penagihan retribusi. Pasal 22 dan 23 menjelaskan tentang jumlah denda retribusi yang telah jatuh tempo yaitu 2 % selama-lamanya 24 bulan.9

5

Ibid, h. 8-9 6

Ibid, h. 9 7

Ibid, h. 9-10 8

Ibid, h. 10.

9


(20)

BAB IX tentang Keberatan, pasal 24 menjelaskan tentang wajib retribusi yang dapat mengajukan keberatan terhadap ketetapan retribusi, jangka waktu penetapan, dan kewajiban untuk membayar retribusi tidak tertunda dengan diajukan surat keberatan.10

BAB X tentang Pembebasan, pasal 25 menjelaskan mengenai pembebasan atau pengurangan besarnya retrebusi yang diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah ini.11

BAB XI tentang Pengawasan, pasal 26 menjelaskan mengenai pengawasan atas ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini ditugaskan kepada pegawai yang diserahi tugas pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku.12

BAB XII tentang Ketentuan Pidana, Pasal 27 menjelaskan mengenai pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 15 dan 16 dapat diancam pidana, dan terhadap perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang diatur dalam suatu ketentuan

10

Ibid, h. 12.

11

Ibid, h. 13. 12


(21)

peraturan perundang-undangan, diancam pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.13

BAB XIII tentang Penyidikan, pasal 28 menjelaskan mengenai pejabat penyidik yang bertugas menyidik tindak pidana, kewenangan penyidik, pembuatan berita acara penyidikan yang diserahkan kepada penyidik POLRI.14

BAB XIV tentang Ketentuan Peralihan, palsal 29 menjelaskan mengenai kewajiban ketentuan berlakunya Perda ini, Izin berlakunya, kewenangan Gubernur Kepala Daerah atau pejabat untuk menutup badan usaha yang tidak menjalankan ketentuan yang ada dalam Peratudan Daerah ini.15

BAB XV tentang Ketentuan Penutup, pasal 30 dan 31 menjelaskan mengenai penetapan pelaksanaan Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah, Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya. Perda ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 1993.16

13

Ibid, h. 13-14

14

Ibid, h. 14-15 15

Ibid, h. 16. 16


(22)

B. Hak dan Kewajiban Pramuwisma.

Seperti pekerja-pekerja yang lain, PRT juga memiliki hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan dalam ranah pekerjaannya dalam rumah tangga. Baik itu hak yang didapatkan dari Badan Usaha Penyalur maupun dari majikannya. Hak-hak PRT ini telah diatur secara eksplisit dalam Perda No 6 Tahun 1993 Tentang Hak-Hak Pramuwisma, meskipun demikian aplikasi dari Perda ini masih belum sepenuhnya dirasakan oleh PRT itu sendiri.

Dalam hal mempekerjakan pramuwisma dapat dilaksanakan melalui 2 (dua) cara, yaitu:

1. Melalui Badan Usaha

Apabila pengguna jasa mendapatkan pramuwisma dari Badan Usaha maka penyaluran pramuwisma dilakukan atas dasar permintaan pengguna jasa kepada badan usaha.

Selanjutnya dilakukan ikatan kerja antara pengguna jasa dan pramuwisma dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja tertulis yang memuat hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak.

2. Secara Langsung

Pengguna jasa yang mendapatkan pramuwisma secara langsung diwajibkan melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk. Hal ini


(23)

dimaksudkan pramuwisma yang didapat secara langsung oleh pengguna jasa agar dapat dijamin perlindungan bagi pramuwisma.17

Setiap badan usaha yang menyelenggarakan pengadaan dan penyaluran tenaga kerja pramuwisma memperoleh izin operasional dari Gubernur untuk menjamin perlindungan terhadap pramuwisma di badan usaha. Adapun hak yang dapat diperoleh pramuwisma dari Badan Usaha Penyalur Tenaga Kerja Pramuwisma adalah semua hal yang menyangkut kewajiban dari Penyalur pasal 4, 5, 6,14 Perda No 6 Tahun 1993, diantaranya:

1. Menyediakan tempat penampungan 2. Melatih calon pramuwisma

3. Memelihara kesehatan calon pramuwisma selama penampungan 4. Mempunyai izin operasional

5. Menjamin Pramuwisma bekerja minimal 6 bulan 6. Membuat laporan secara tertulis setiap 6 bulan 7. Menyalurkan berdasarkan permintaan

8. Membuat ikatan kerja antara pengguna jasa dengan pramuwisma dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja tertulis yang memuat hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak

17

Wakil Kepala Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Propensi DKI Jakarta, “Perlindungan Pembantu Rumah Tangga Dalam Rancangan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan Propensi DKI Jakarta”, (Makalah dalam diskusi terbatas dengan tema “Dimankah Ruang Perlindungan Hukum Bagi PRT?”, Jakarta), h. 5


(24)

Peraturan ini diatur secara tersendiri dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.1563 Thn 1989 tentang ketentuan penyelenggaraan usaha pengadaan tenaga kerja pembantu rumah tangga (pramuwisma) di wilayah DKI Jakarta.

Dalam rangka memberikan perlindungan kepada pramuwisma sebagaimana telah diamanatkan dalam PERDA No 6 Tahun 1993 pasal 13 BAB III yang menyatakan bahwa “Pengguna jasa wajib menyelenggarakan kesejahtraan pramuwisma” dintaranya PRT berhak mendapatkan:

1. Upah;

2. Makan dan minum;

3. Pakaian minimal dalam 1 tahun 1 stel 4. Bimbingan dalam mengerjakan pekerjaan; 5. Tempat tinggal yang layak dan manusiawi 6. Cuti tahunan yang wajib;

7. Perlakuan yang baik dan manusiawi dari PJPRT dan tidak mendapat perlakuan yang diskriminasi serta tidak mendapat kekerasan dalam rumah tangga;

8. Uang pesangon bila terjadi pemutusan hubungan kerja; 9. Waktu istirahat yang wajib;

10.Kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya; 11.Perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja;


(25)

1. Melaksanakan pekerjaan dengan baik dan benar sesuai dengan kesepakatan dan atau perjanjian kerja;

2. Menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja;

3. Menjaga nama baik dan kerahasiaan keluarga yang bersifat pribadi pengguna jasa dan keluarganya;

4. Memberitahukan kepada pengguna jasa PRT apabila PRT akan berhenti bekerja sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hari kalender;

5. Menyelesaikan setiap pekerjaan dengan baik;

6. Ikut menjaga ketenangan, ketentraman dan keamanan rumah PJPRT.18

C. HAM DALAM ISLAM

Jika berbicara tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam maka yang dimaksudkan adalah hak-hak yang diberikan oleh Tuhan.19 Istilah hak asasi sebenarnya terbentuk dari dua buah kata yang berasal dari bahasa Arab, yakni kata hak (ﻖﺣ

)

dan kata asas ( سﺎﺳا ). Kata asas berarti dasar atau pondasi sesuatu. Kata hak secara etimologi mempunyai beberapa arti. Kamus lisan al-‘Arab mengartikan kata hak dengan ketetapan, kewajiban, yaqin, yang patut dan

18

Sunarno, RUU Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), (Makalah pada diskusi Publik dengan tema “Menuju Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Pekerja Rumah Tangga Yang Berkeadilan Bagi Korban”, Universitas Jayabaya, Oktober 2008), h. 8

19

Abul A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam. Penerjemah Bambang Iriana, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-1, h. 10.


(26)

Dengan memahami makna kata-kata pembentukannya, maka hak asasi manusia dapat diartikan dengan kekuasaan dan tanggung jawab yang dimiliki setiap manusia yang bersifat mendasar dan fundamental.

Abul A’la al-Maududi mengemukakan definisi hak asasi manusia yang lebih menekankan segi asal dan sifat hak tersebut. Dia menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak pokok yang diberikan Tuhan kepaa setiap manusia tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang ada diantara sesama manusia, di mana hak tersebut tidak dapat dicabut oleh siapapun atau lembaga apapun.22 Dengan demikian, ada beberapa kriteria hak asasi manusia yang diberikan al-Maududi.

Pertama, hak itu berasal dari Tuhan. Kedua, hak itu bersifat mendasar. Ketiga,

hak itu bersifat umum, dalam arti diberikan kepada setiap manusia. Keempat, hak itu bersifat tetap dan melekat pada diri manusia dan tidak bisa dicabut.23

20

Harun Nasution, “Pengantar” dalam Harun Nasution dan Bakhtiar Effendy (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & Pustaka Firdaus, 1995), Cet. Ke-2, h. vi.

21

Paul S. Baut dan Benny Harman K, Kompilasi Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1998), Cet. Ke-1, h. 3-4.

22

Hermawan Malik dan Bambang Parianom, Ham dan Pluralisme Agama: Tinjauan Historis dan Kultural, dalam Anshari Thayib dkk, Ham dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan, 1997), Cet. Ke-1, h. 40-41.

23

Ikhwan, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), Cet Pertama, h. 17-18.


(27)

Hak-hak asasi manusia terkandung dalam syari’at Islam. Hak-hak asasi manusia tersebut didasarkan kepada dan dirumuskan dari al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sumber utama syari’at Islam. Dalam hal ini, teori maqashid al-syari’ah

yang sangat terkenal dalam ilmu ushul fiqh dapat dipakai untuk merumuskan dan menguraikan hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam syaria’at Islam.

Maqasid al-syari’ah bermakna tujuan syari’at dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi perumusan suatu hukum. Tujuan hukum-hukum tersebut adalah kemaslahatan umat manusia. 24.

Isu tentang pelaksanaan HAM tidak lepas dari perhatian umat Islam, apalagi mayoritas negara Islam adalah tergolong ke dalam barisan negara dunia ketiga yang banyak merasakan perlakuan ketidak adilan negara-negara Barat dengan atas nama HAM. Dalam pandangan negara-negara-negara-negara Islam HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah SWT. Berkaitan dengan itu, negara-negara Islam yang tergabung dalam

Organization of the Islamic Conference (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syari’at Islam Kairo.

Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan negara-negara OKI ini selanjutnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Kairo. Deklarasi ini berisi 24 pasal tentang hak asasi manusia berdasarkan al-Qur’an dan sunnah yang dalam

24


(28)

penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia (The Universal Decration of Human Right /UDHR) yang dideklarisan oleh PBB tahun 1948.

Pasal-pasal yang terdapat dalam Deklarasi Kairo mencakup beberapa persoalan pokok, antara lain:

1. Hak Persamaan dan Kebebasan (pasal 19 ayat a, b, c, d, dan e). Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Israa’ ayat 70

b. Surah an-Nisa’ ayat 58,105,107, 135. c. Surah al-Mumtahanah ayat 8.

2. Hak Hidup (pasal 2 ayat a, b, c, dan d). Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Maidah ayat 45. b. Surah al-Isra’ ayat 33.

3. Hak Memperoleh Perlindungan (pasal 3) Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Insaan ayat b. Surah al-Balad ayat 12-17 c. Surah at-Taubah ayat 6. 4. Hak Kehormatan pribadi (pasal 4).

Pasal ini berdasarkan pada: a. Surah at-Taubah ayat 6.


(29)

5. Hak menikah dan berkeluarga (pasal 5 ayat a dan b) Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Baqarah ayat 221 b. Surah ar-Ruum ayat 21 c. Surah an-Nisa’ ayat 1 d. Surah at-Tahrim ayat 6

6. Hak Wanita sederajat dengan pria (pasal 6) Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Baqarah ayat 228

7. Hak-hak anak dari orang tua (pasal 7 aya a, b, c) Ayat ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Baqarah ayat 223 b. Surah al-Israa’ ayat 23-24

8. Hak memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam perkembangan ilmu pengetahuan (pasal 9 ayat a dan b)

Ayat ini berdasarkan pada: a. Surah al-Taubah ayat 122 b. Surah al-Alaq ayat 1-5

9. Hak kebebasan memilih agama (pasal 10) Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Baqarah ayat 256. b. Surah al-Kahfi ayat 29


(30)

c. Surah al-Kafirun ayat 1-6

10. Hak kebebasan bertindak dan mencari suaka (pasal 12) Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah an-Nisaa’ ayat 97 b. Surah al-Mumtahanah ayat 9 11. Hak-hak untuk bekerja (pasal 13)

Pasal ini berdasarkan pada: a. Surah at-Taubah ayat 105 b. Surah al-Baqarah ayat 286 c. Surah al-Muluk ayat 15.

12. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (pasal 14) Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Baqarah ayat 275-278 b. Surah an-Nisa ayat 161

c. Surah al-Imran ayat 130

13. Hak milik Pribadu (pasal 15 ayat a dan b) Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Baqarah ayat 29 b. Surah an-Nisaa’ ayat 29

14. Hak menikmati hasil atau produk ilmu (pasal 16) Pasal ini berdasarkan pada:


(31)

b. Surah al-Baqarah ayat 164

15. Hak tahanan dan narapidana (pasal 20-21) Pasal ini berdasarkan pada:

a. Surah al-Mumtahanah ayat 825

Tidak diragukan lagi “al-Qur’an berisi petunjuk bagi manusia, memberikan penjelasan-penjelasan tentang petunjuk, dan pembeda antara yang hak dan yang bathil, (furqan)”. Diantara petunjuk yang diberikan Al-Qur’an itu adalah mengenai eksistensi manusia itu sendiri dan bagaimana ia berperan ditengah jagad raya.

Sebagai mahluk yang terpilih untuk mengemban amanah (khalifah) Allah di Bumi, kepadanya Allah pikulkan berbagai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan reformasi (ishlah) dan mencegah berbagai macam tindakan pengrusakan (fasad) yang tidak disukai oleh-Nya. Untuk terlaksananya tugas dan tanggung jawab dalam misinya sebagai khalifah, kepadanya Allah memberikan sejumlah hak yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya serta dihormati. Hak-hak tersebut bersifat sangat mendasar (asasi), dan diberikan langusng oleh Allah sejak kehadirannya di muka bumi ini, karena itu, tak seorangpun dapat mengingkarinya dan mencabut dari dirinya.

Menurut ajaran Islam, perbedaan antara satu individu dengan individu lain terjadi bukan karena haknya sebagai manusia, melainkan didasarkan keimannan

25


(32)

dan ketakwaannya. Adanya perbedaan itu tidak menyebabkan perbedaan dalam kedudukan sosial. Hal ini merupakan dasar yang sangat kuat dan tidak dapat dipungkiri telah memberikan kontribusi pada perkembangan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia didalam masyarakat internasional.26

Islam, seperti agama-agama lain, selalu hadir dalam gagasan besar kemanusiaan. Agama memang dihadirkan oleh Tuhan bagi manusia untuk sebuah pembebasan terhadap seluruh bentuk penindasan, tirani kebiadaban dan perbudakan manusia. Setiap penindasan, tirani dan perbudakan adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Manusia, menurut Islam dilahirkan dalam keadaan suci dan bebas. Umar bin Khattab mengungkapkan kemerdekaan manusia itu dalam ucapanya yang sangat terkenal kepada Amru bin Ash :” Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal para ibu mereka melahirkannya dalam keadaan merdeka”.

Islam adalah agama yang selalu menginginkan tegaknya kontruksi dan sistem kehidupan sosial yang adil, sejahtra, aman dan menghormati martabat manusia di satu sisi dan tidak mentoleransi segala bentuk perendahan martabat manusia apapun dengan alasan apapun disisi lain.27

Dan dengan menyatakan sebagai agama tauhid (monoteisme), maka sudah sangat dimengerti bahwa Islam adalah agama yang sama sekali tidak menyetujui

26

Tim PUSKIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Demokrasi, Ham dan Mayarakat Madani,

(Jakarta, IAIN Jakarta Pres, 2000), Cet. Ke-1, h. 214-215. 27

Dalam surat al-Imran ayat 103-104, dikatakan bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku adil, bersatu, berbuat kebajikan, dan saling menghargai.


(33)

segala realitas kehidupan yang mengistimewakan atau mengunggulkan satu atas yang lain. Seperti suku, ras, kebangsaan, kebudayaan, jenis kelamin, dan hal-hal lain yang dipandang oleh masyarakat sebagai sumber normatif nilai sosial. Ini berarti bahwa setiap cara pandang manusia yang membedakan kriteria-kriteria normatif sosiologis tadi dalam wacana Islam dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap kemaha-Esaan tuhan sendiri.

Dalam pandangan Islam ini, keistimewaan atau superioritas manusia yang satu atas yang lainnya hanya dapat dibenarkan sejauh menyangkut tingkat pengakuan atas ke-Esa-an Tuhan semata-mata. Hal tersebut dengan jelas terdapat dalam firman Allah QS. Al-Hujurat (49) ayat 13:

ا

)

تاﺮﺠﺤﻟا

: ( Artinya:

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.al-Hujarat (49):13).

Ayat ini membongkar segala macam bentuk diskriminatif atas dasar suku bangsa, warna kulit, dan termasuk perbedaan jenis kelamin. Yang membedakan diantara manusia adalah tingkat spritualitas dan amal kebaikan yang dilakukan


(34)

atas dasar ketakwaannya kepada Allah SWT. Ayat itu juga memberikan makna kesederajatan tentang universalitas Islam dengan memberikan makna kesederajatan manusia dan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaannya.

Keunggulan-keunggulan berdasarkan fisikal tidak berharga didepan Tuhan. Sebagaimana hadits Nabi menegaskan “ Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan rupamu, tetapi melihat kepada hati dan amal perbuatannya”. (HR. Muslim). Dan dalam pandangan Islam manusia adalah mahluk yang pada dasarnya dimuliakan Allah (QS. Al-Isra (17): 70):

)

ءاﺮﺳﻹا

:

٧

( Artinya:

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. al-Isra (17) : 70).

Atas dasar itu Islam melarang setiap cara pandang merendahkan, melecehkan, melukai apalagi menindas manusia dan berbagai kekerasan lainnya. Adalah merupakan pelanggaran hak-hak Tuhan. Maka wajar jika Tuhan mengecam keras cara pandang seperti ini. Dan begitu juga mengenai kekerasan majikan terhadap PRT.

Seperti halnya kisah Muawiyah yang memukul budaknya, kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk membebaskannya. Maka dari itu terlihat dengan


(35)

jelas agama Islam adalah agama keadilan, dan pada hakikatnya PRT itu adalah seorang anggota dalam keluarga, Rasulullah mewajibkan memberi makan kepada para budak sama dengan makanan yang dimakan anggota keluarga sendiri, bahkan memberi pakaian yang sama dengan pakaian kita.

Mengenai perilaku kekerasan majikan terhadap PRT yang berakibat luka-luka ataupun kematian, dalam hukum Islam perbuatan tersebut dikatakan sebagai kejahatan (jinayah/jarimah), yaitu perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya yang pelanggaran itu membawa kepada hukuman yang telah ditentukan. Dan hukuman pokok pada pembunuhan adalah qisas, dan apabila itu dimaafkan oleh keluarga korban maka pengganti hukumannya adalah diyat dan jika diyat dimaafkan maka penggantinya adalah ta’jir dan hukuman tambahannya adalah tehalangnya hak atas warisan dan wasiat, dan pelukaan hukumannya adalah qishas berdasarkan firman Allah QS. Al-Maidah (5): 45.

)

ةﺪﺋﺎﻤﻟا

: ( Artinya:


(36)

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maidah (5): 45).

Islam adalah agama yang selalu menginginkan tegaknya kontruksi dan sistem kehidupan sosial yang adil, sejahtra, aman dan menghormati martabat manusia di satu sisi dan tidak mentoleransi segala bentuk perendahan martabat manusia apapun dengan alasan apapun di sisi lain.28

D. HAM PERSPEKTIF BARAT

Hak Asasi Manusia (HAM) pada awalnya merupakan terjemahan dari kata

droits de I’homme (Perancis), yang terjemahan harfiahnya ialah hak-hak manusia. Yaitu suatu hak-hak manusia dan warga negara yang dikeluarkan di Prancis dalam tahun 1789 sewaktu berlangsung revolusi negeri itu. Pernyataan ini lalu digunakan pula oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didalam bahasa Inggrisnya disebut pada mulanya dengan istilah fundamental human right, kemudian disingkat dengan Humamn Right saja. Didalam kamus Besar Bahasa Indonesia, “Hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak pokok seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan” (KBBI, 1988:292). Hak-hak tersebut, menurut

28

Dalam surat al-Imran ayat 103 dan 104, dikatakan bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku adil, bersatu, berbuat, dan saling menghargai.


(37)

Maududi, bukanlah pemberiaan siapa-siapa tapi adalah pemberian Tuhan kepada seseorang sejak ia terlahir ke alam dunia.29

Menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB, Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagi manusia. Pengertian tersebut terdapat dalam taching human right yang merumuskan HAM dengan pengertian, “Human Right Could be generally defined as those right which are inharent in our nature and without which cannot live as human being”.

Selanjutnya Jhon Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta, sebagai hak-hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun didunia yang tidak mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (pundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hal kodrati yang tidak bisa terlepas dari dalam kehidupan manusia.30

Berdasarkan beberapa pengertian HAM diatas, diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah dari Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.

29

Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), Cet. Ke-1, Kata Pengantar, h. XVii

30

Dede Rosyada, etal, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE Asia Foundation dan Prenada Media, 2003), eet. Ke-1,h 200


(38)

Dan HAM ini berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial dan bangsa.

Konsepsi HAM di kalangan sejarawan Eropa tumbuh dari konsep hak (right) pada Yurisprudensi Romawi, kemudian meluas pada etika via teori hukum alam (natural law). Tentang hal ini, Robert Audi mengatakan: “Secara ringkas menggambarkan kronologis konseptualisasi penegakan HAM yang diakui secara yuridis-formal. Perkembangan berikut juga menggambarkan pertumbuhan kesadaran pada masyarakat Barat.31 Tonggak-tonggak sosialisasinya adalah sebagai berikut: Pertama, dimulai, yang paling dini, oleh munculnya “Perjanjian Agung” (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari pemberontakan para buron terhadap Raja Jhon (saudara raja Richard berhati singa, seorang pemimpin tenrtara salib). Isi pokok dokumen itu ialah hendaknya raja tak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorang pun dari rakyat (sebenarnya cukup ironis bahwa pendorong

31

Konsep HAM dan demokratisasi sebenarnya pertama-tama muncul bukan sebagai reaksi atas absolutisme negara melainkan sebagai akibat logis dari lahirnya negara-negara kebangsaan. Sperti diketahuai pada abad-abad pertengahan kekuasaan raja itu selalu dikaitkan dengan teori ke-Tuhan-an sehingga raja yang berkuasa itu mempunyai kekuasaan absolut untuk memerintah berdasar kekuasaan Tuhan, bahkan ada juga yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Tetapi, ketika kemudian muncul pertanyaan Paus Gregosius VII di dalam Dicattus Papae (1075 M) bahwa kekuasaan Tuhan itu yang tertinggi ada pada gereja dengan Paus dan para Pendetanya, sedangkan kekuasaan raja terbatas pada soal-soal duniawi yang itu pun berada di bawah gereja maka raja kehilangan dasar legitimasi.. Yang terjadi di sini adalah pertarungan antara kekuasaan raja dan kebebasan rakyat. Kemudian muncul teori kedaulatan rakyat yang menjadi alternatif atas terjadinya sekularisasi. Di dalam teori ini dikatakan bahwa raja atau pemerintah itu berkuasa bukan karena Tuhan melainkan karena social contrec di mana rakyat meresidukan sebagai HAM-nya untuk diurus oleh raja demi kepentingan bersama. Akhirnya, raja hanya menerima residu berdasarkan UUD. Bukan sebaliknya malah UUD yang meresidukan kekuasaan raja untuk rakyat. Lihat lebih lanjut Moh. Mahfud MD, “Undang-Undang Politik, Keormasan, dan instrumentasi Hak Asasi Manusia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Instum


(39)

pemberontakan para baron itu sendiri antara lain ialah dikenakannya pajak yang sangat besar, dan dipaksakannya para baron untuk membolehkan anak-anak perempuan mereka kawin dengan rakyat biasa).32

Setiap kali menyebut hak-hak asasi manusia, dengan sendirinya rujukan yang paling buku ialah UDHR/DUHAM. Ini wajar dan merupakan keharusan, karena UDHR merupakan puncak konseptualisasi manusia sejagat yang menyatakan dukungan dan pengakuan yang tegas tentang hak asasi manusia. UDHR/DUHAM 1948 bersifat tidak mengikat ppara anggota PBB, tergantung pada kemauan negara-negara itu sendiri apakah akan memuatnya dalam perundang-undangan atau tidak. Begitupun UDHR/DUHAM dipandang sebagai puncak konseptualisasi HAM sejagat, apa yang tertuang di dalamnya dilihat dari perspektif perkembangan generasi HAM adalah termasuk ke dalam generasi pertama dari empat generasi HAM yang ada.33 Cirinya yang terpenting adalah bahwa pengertian HAM hanya terbatas pada bidang hukum dan politik. Sangat wajar dikarenakan beberapa hal, yakni realitas politik global pasca-Perang Dunia ke-II, dan adanya keinginan kuat negara-negara baru untuk menciptakan tertib hukum dan politik yang baru.

32

Pasal 21 Magna Charta mengatakan, “Earls and barons shall be fined their equal and only in proportion to the measure of the offence” (para Pangeran dan Baron akan dihukum [didenda] berdasarkan atas kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya). Pasal 40 juga mengatakan ..(tidak seorangpun menghendaki kita mengingkari atau menunda tegaknya hak atau keadilan). Lihat Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,

(Jakarta: Prenada Media, 2003),Cet Ke-2, h;m. 202-203. 33

Tim ICCE UIN Jakarta, h. 204-205


(40)

Generasi HAM kedua menyesal pada keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam Sidang Umum PBB 16 Desember 1966 kemudian dirumuskan dua buah covenant (persetujuan), yakni

International Covenant on Economic, Social and Cultural Right,34 dan

International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan ini terdiri 5 buah dan 53 pasal).

Perkembangan pemikiran HAM juga mengalami peningkatan ke arah kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (the Rightof Fevelopment). Inilah generasi HAM ketiga.

Sebagai sebuah proses dialektika, pemikiran HAM akhirnya memasuki tahap penyemurnaan sampai munculnya generasi HAM ke empat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi, sehingga menimbulkan dampak negatif seperti diabaikannya berbagai aspek kesejahtraan rakyat. Munculnya generasi keempat HAM ini dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983

34

Kovenan ini terdiri dari 4 bab dan 31 pasal. Di Pasal 1 ditegaskan bahwa, “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development”.


(41)

melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan declaration of the Basic Duties of Asia People and Government.35

35

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. h. 53-54


(42)

BAB III

HAK-HAK PRAMUWISMA YANG BELUM MENDAPATKAN PERLINDUNGAN HUKUM SECARA MAKSIMAL

A. Upah Yang Tidak Mencukupi

PRT menjadi sasaran dalam hal upah di bawah standar secara besar-besaran, dibandingkan dengan pekerja lain, dan sering hidup dalam kondisi yang buruk dan tidak layak Di Indonesia, secara tradisional PRT tidak dimasukkan dalam perlindungan upah minimum. Biasanya dikatakan bahwa sebagai PRT mereka diberi akomodasi, makan, dan tunjangan lain, sulit untuk menghitung berapa yang harus dikurangkan dari gaji mereka untuk pembayaran hal-hal itu. Pejabat pemerintah menyatakan lebih lanjut bahwa penetapan upah minimum akan menghambat banyak majikan untuk mempekerjakan PRT, oleh karenanya mengganggu karena para majikan tidak akan lagi mendapatkan keuntungan dari jasa ini, dan PRT tidak akan menemukan pekerjaan lagi.

Sementara mengatur hak-hak PRT merupakan tantangan khusus, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mencabut para PRT dari hak-hak mereka, yang telah dijanjikan Indonesia untuk dihormati ketika meratifikasi konvensi internasional yang relevan.1 Keprihatinan utama seharusnya menjamin bahwa

1

Amnesty International, “Eksploitasi dan Pelanggara: Situasi Sulit Pekerja Rumah Tangga Perempuan”, (Jakarta: Amnesty International, Februari 2007), h. 23


(43)

semua PRT dijamin menerima upah yang cukup untuk menjamin hak mereka untuk mendapatkan standar hidup yang layak.

Undang-undang tentang upah minimum melindungi PRT di negara-negara lain. Sejumlah negara, termasuk Filipina, telah memiliki legislasi tentang upah minimum bagi PRT. Negara lainnya seperti Kolombia dan Spanyol telah menerapkan upah minimum nasional bagi PRT. Sebagian undang-undang nasional juga membuat PRT berhak terhadap tunjangan dalam bentuk lainnya. Misalnya di Filipina, undang-undang tentang PRT menyatakan bahwa penginapan, pangan dan perawatan medis harus ditambahkan pada tingkat upah minimum yang ditentukan oleh peraturan mengenai dipekerjakannya PRT. Sejumlah undang-undang nasional tentang pekerjaan rumah tangga menjamin bahwa PRT dibayar secara reguler, apakah itu mingguan atau bulanan.

Di Afrika Selatan, undang-undang merujuk pada pemotongan tertentu yang tidak diizinkan oleh undang-undang. Misalnya seorang majikan tidak bisa menerima atau menahan pembayaran dari PRT untuk: pekerjaan atau pelatihan mereka, memasok mereka dengan perlengkapan kerja, termasuk peralatan kerja atau pakaian, atau makanan ketika mereka bekerja atau di tempat kerja.

Selama proses rekrutmen, beberapa orang ditipu tentang gaji mereka. Walaupun mereka diberitahu bahwa mereka akan dibayar sejumlah tertentu, ada yang hanya dibayar setengah dari gaji yang telah dijanjikan tersebut (lihat kasus


(44)

Imah di dalam lampiran). PRT juga melaporkan tentang tidak dibayarnya mereka, bayaran yang terlambat, dan uang lembur mereka yang tidak dibayar.2

B. Jam Kerja Yang Panjang

PRT di Indonesia sering bekerja berlebihan dengan jam kerja yang tidak masuk akal panjangnya. PRT perempuan yang diwawancarai oleh Amnesty International bekerja rata-rata 70 jam per minggu, kadang-kadang jauh lebih panjang dari itu – sampai 22 jam per hari.

Kebanyakan PRT bekerja tujuh hari per minggu tanpa hari libur. Seperti kondisi kerja yang lain, periode jam dan istirahat tergantung pada kemauan baik majikan. Majikan yang paling simpatik memberikan sehari libur per minggu. Dalam beberapa hal, mereka diberi jam istirahat dalam hari kerja. Namun sebagian mengatakan bahwa mereka hanya punya waktu sangat sedikit atau bahkan tidak ada waktu untuk beristirahat sepanjang hari. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak PRT untuk mendapatkan kondisi kerja yang aman dan sehat, maupun hak untuk mendapatkan upah yang adil, dalam kasus bilamana mereka tidak mendapat kompensasi untuk kerja lembur.

Kurangnya regulasi hukum dan sifat ‘pintu tertutup’ pekerjaan rumah tangga membuat sulit untuk memonitor jumlah persis jam kerja PRT. Bagi mereka yang ‘tidur di dalam’ di rumah majikan mereka, batas antara kerja dan istirahat sering amat sangat kabur. Ini secara khusus benar, ketika PRT yang

2


(45)

menjaga anak tidur di kamar yang sama dengan anak-anak tersebut atau kalau tidak diberi tugas mengurusi kebutuhan anak-anak sepanjang malam. Ketika anak sakit, mereka tidak bisa tidur, karena mereka harus mengurusi anak-anak tersebut. Mereka harus selalu siap selama 24 jam sehari, sering selama tujuh hari seminggu:

“Saya bekerja dari pukul 5 pagi sampai anak tidur, kadang-kadang sampai pukul 3 pagi –biasanya sampai pukul 10 malam. Kadang-kadang saya bisa beristirahat, maksimum satu jam di siang hari. Ketika anak sakit (sekitar sekali sebulan), saya harus tinggal dan tidur sekamar dengan dia. Saya

merasa bertanggung jawab karena itu adalah pekerjaan saya”.3

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, para pekerja dituntut untuk bekerja maksimum 40 jam per minggu. Bila mereka bekerja lebih, maka mereka harus berhak untuk mendapatkan uang lembur mereka.4 Namun sebagian besar PRT yang diwawancarai menerima gaji yang sama, tidak peduli berapa jam mereka bekerja. Mereka menyatakan bahwa tidak ada pilihan tentang jumlah jam kerja mereka. Mereka merasa berkewajiban bekerja lembur untuk bisa tetap bekerja dalam pekerjaan mereka.

Undang-Undang Ketenagakerjaan, sesuai dengan standar-standar internasional, menawarkan ketetapan untuk bekerja di malam hari, dan

3

Wawancara Amnesty International dengan Dewi. Jakarta, 26 Februari 2006. 4

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan (pasal 77) tahun 2003, para pekerja seharusnya tidak bekerja lebih dari tujuh jam per hari atau 40 jam per minggu, selama enam hari kerja per minggu, atau delapan jam per hari atau 40 jam per minggu, untuk lima hari kerja per minggu. Walaupun ketetapan ini tidak diterapkan untuk bisnis-bisnis tertentu, bila pengusaha menginginkan supaya pekerjanya bekerja lebih lama, mereka diharuskan untuk memberikan persetujuan para pekerjanya, membayar uang lembur mereka, dan tidak meminta mereka bekerja lembur lebih dari tiga jam dalam sehari atau 14 jam dalam seminggu.


(46)

menentukan periode istirahat khusus, termasuk satu hari libur per minggu untuk para pekerja yang bekerja tujuh jam sehari, atau dua hari libur per minggu untuk pekerja yang bekerja delapan jam per hari.5 Semua pekerja harus dijamin mendapat ketetapan dasar yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ini.

Koordinator ILO-IPEC (Program Internasional bagi Penghapusan Pekerja Anak) Pandji Puranto menyatakan:

“Selama ini tidak ada peraturan yang secara spesifik mengatur PRT, kecuali bersifat umum”.6

Karena itu, pihaknya menganggap hak libur sehari bagi PRT itu baik. Bila mereka libur, akan memiliki kesempatan untuk beristirahat atau mungkin mengenyam pendidikan maupun keterampilan.

Direktur Eksekutif Jarak Anwar Solikhin berpendapat:

“Tanpa ada regulasi maka majikan akan memperlakukan PRT sesuka hati, libur mingguan merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap PRT yang cederung terabaikan, meskipun masih banyak perlindungan lain yang menjadi haknya dan tidak pernah diperoleh. Tambahnya: Gerakan Libur Mingguan untuk PRT sekedar gerakan moral yang diterima di masyarakat, sebelum diperoleh bentuk-bentuk perlindungan

lainnya. Apalagi jika didukung dengan berbagai peraturan.”7

5

Konvensi ILO tentang Kerja Malam, 1990 (No. 171) dan Rekomendasi (No. 178) yang bisa diterapkan kepada pekerja rumah tangga (PRT), meminta adanya tindakan khusus yang dilakukan bagi pekerja malam untuk melindungi kesehatan mereka, serta membantu mereka untuk memenuhi kewajiban keluarga dan sosial mereka, memberikan kesempatan bagi peningkatan keterampilan kerja, dan memberikan kompensasi yang layak kepada mereka.

6

“Berikan Hak Libur Pekerja Rumah Tangga: Menakertrans dan Menneg PP Sepakat”, Media Indonesia, 24 Januari 2003, h. 9.

7 Ibid


(47)

Menakertrans Jacob Nuwa Wea saat mencanangkan ‘Gerakan Libur Mingguan untuk PRT’ menyadari perlindungan berupa istirahat sehari dalam seminggu bagi PRT menghadapi hambatan teknis. Kendala itu katanya:

“Kendala teknis itu terletak pada UU Ketenagakerjaan yang belum menjangkau perkerja dengan lokasi kerja di luar perusahaan.”

Jacob menyarankan perlunya peraturan tersendiri apabila seluruh komponen masyarakat ingin memberikan perlindungan berupa istirahat mingguan kepada profesi PRT sebagai pekerja sektor informal. Namun, Menakertrans mengharapkan, perlindungan ini Cuma diizinkan kepada PRT yang berusia lebih dari 18 tahun.8

C. Kesehatan

Ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, pasal 35 (3), yang mengkaitkan tugas 'pemberi kerja' terhadap para pekerja mereka, hanya membahas konsep yang longgar bahwa pemberi kerja “wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.” Sebagaimana dibahas dalam bagian 4.1, tidak adanya hak-hak yang terperinci apa pun atau patokan apa pun untuk menilai pemenuhan kewajibankewajiban ini berarti bahwa para majikan PRT terus mendasarkan perlakuan mereka terhadap para PRT hampir secara ekslusif pada kemauan baik. Lebih dari itu, hal ini menandakan perbedaan besar dari banyak ketentuan khusus

8


(48)

yang menyinggung mengenai kesehatan serta kesejahteraan, yang berlaku bagi para pekerja yang bekerja untuk pengusaha menurut UU Ketenagakerjaan. Akibatnya, Amnesty International menemukan dengan jelas adanya perbedaan perlakuan di antara para PRT yang diwawancara. Sementara beberapa PRT diberi waktu cukup untuk beristirahat ketika mereka sakit, yang lain harus tetap bekerja ketika mereka tidak enak badan. Sebagian merasa bahwa mereka dimonitor dengan kecurigaan ketika mereka sakit, dan walaupun mereka ingin beristirahat, mereka berkewajiban untuk tetap bekerja. Di samping itu, hanya sedikit PRT yang dilatih untuk menggunakan barang yang berpotensi berbahaya, meskipun adanya laporan-laporan mengindikasikan bahwa PRT berada dalam risiko serius terluka dalam rumah tangga.9

Sejumlah majikan tidak mengizinkan PRT untuk mencari bantuan medis ketika mereka sakit. Bahkan bila majikan mengizinkan mereka untuk mencari pertolongan medis, PRT sering tidak mampu membayar biaya medis atau biaya rumah sakit, karena upah mereka yang rendah.10 Ini merefleksikan pola umum di Indonesia di mana perawatan kesehatan secara ekonomis tidak bisa diakses oleh sebagian besar penduduk. Indonesia adalah negara anggota ICESCR yang

9

Human Rights Watch, Always on Call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia (Selalu Tersedia: Pelanggaran dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia), Juni 2005, dan ILO, Bunga-bunga di Atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak Di Indonesia, 2004, hal. 109-110.

10

World Health Organization, “Macroeconomics and Health initiatives in Indonesia (Makroekonomi dan Inisiatif Kesehatan di Indonesia) ” diakses pada 23 April 2009 dari

http://www.who.int/macrohealth/action/Indonesia_finalreport.pdf.


(49)

menjamin hak mendapat standar kesehatan tertinggi. Ini berarti bahwa pemerintah berkewajiban untuk menjamin bahwa perawatan kesehatan secara progresif tersedia, bisa diakses, dalam kualitas yang bisa diterima dan memadai. Pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah konkret untuk menjamin bahwa tidak ada orang pun yang tidak dapat mengakses perawatan kesehatan karena tidak mampu membayar.

Berbagai macam ketetapan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan tentang tanggung jawab para pengusaha terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja mereka. Ini termasuk: menjamin bahwa pekerja mendapat waktu istirahat yang cukup (pasal 79), menjamin lingkungan kerja yang sehat dan aman (pasal 86 dan 87) serta menjamin bahwa tenaga kerja perempuan bisa mengakses pertemuan perawatan untuk kebutuhan khusus mereka, khususnya yang berhubungan dengan kehamilan (pasal 76)11. Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja harus dibayar jika mereka sakit, dalam kesempatan pesta dan kematian dalam keluarga (pasal 93).

Ketetapan-ketetapan khusus diberikan pula untuk para pekerja perempuan mengenai kerja semasa periode menstruasi, saat hamil dan kerja malam. Namun demikian, tidak ada dari ketetapan-ketetapan khusus bagi pekerja perempuan yang dipekerjakan para pengusaha yang bisa diterapkan kepada PRT perempuan.

11

Lihat Sub-Bagian 5, Keamanan dan Kesehatan yang berhubungan dengan Pekerjaan, Undang-Undang Ketenagakerjaan.


(50)

Oleh karena PRT tidak dimasukkan dalam penjaminan menurut ketetapan-ketetapan khusus untuk perempuan dalam UUKetenagakerjaan ini, mereka tidak menikmati perlindungan yang berkaitan dengan kebutuhan khusus gender mereka, bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi Indonesia menurut CEDAW: Standar Internasional tentang jaminan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan: Sebagai negara peratifikasi Konvensi tentang Eliminasi terhadap Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Indonesia telah menyetujui untuk menegakkan HAM bagi setiap orang tanpa memandang jenis kelamin.12 CEDAW mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan sebagai “pembedaan, pengesampingan atau pembatasan apa pun yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai akibat atau tujuan untuk menghalangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh

perempuan, dengan mengabaikan status perkawinan mereka, berdasarkan pada

kesetaraan laki-laki dan perempuan, akan HAM dan kebebasan fundamental di

bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lain apapun”.

Menurut CEDAW, pemerintah Indonesia bertugas untuk “melakukan

semua tindakan yang tepatuntuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di

12

Piagam PBB (Pasal 1, 13 dan 55(b) dan 55(c)); Deklarasi Universal tentang HAM (pasal 2); ICCPR (Pasal 2(1) dan 3); ICESCR (Pasal 2(3) dan 3). Piagam PBB merupakan traktat yang mengikat semua negara anggota PBB, termasuk Indonesia.


(51)

bidang pekerjaan, untuk menjamin adanya kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan, dengan hak-hak yang sama” (pasal 11).13

Secara khusus, hak-hak berikut harus ditegakkan (pasal 2.1): Hak untuk mendapatkan upah yang setara, termasuk tunjangan-tunjangan, dan perlakuan setarasehubungan dengan pekerjaan yang bernilai setara, demikian juga kesetaraan perlakuan dalam evaluasitentang kualitas pekerjaan (d);Hak untuk mendapatkan jaminan sosial, khususnya dalam hal pensiun, pengangguran, sakit, cacat, usialanjut dan ketidakmampuan lain untuk bekerja, demikian juga hak untuk cuti dengan bayaran (e); Hak untuk perlindungan kesehatan dan keamanan dalam kondisi kerja, termasuk penjagaan fungsi reproduksi (f). Lebih jauh lagi, sebagaimana diutarakan dalam ICCPR, semua orang adalah sama di muka hukum.

Menurut ICESCR dan standar-standar lain, ibu-ibu harus diberi perlindungan khusus sebelum dan setelah melahirkan. Selama waktu ini, mereka harus diberi cuti dengan tetap dibayar atau cuti dengan tunjangan keamanan sosial yang layak (pasal 10).14 Kemudian, pasal 12 dari CEDAW menuntut pihak negara untuk menjamin bahwa perempuan menerima “pelayanan yang pantas

13

Lihat juga ICESCR: “Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama periode yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan. Selama periode tersebut, para ibu yang bekerja harus diberikan cuti dengan bayaran atau cuti dengan tunjangan jaminan sosial yang layak” (pasal 10.2).

14

Beberapa konvensi ILO membahas tentang kesehatan pekerja perempuan yang menjadi ibu, khususnya tentang kondisi kerja yang berbahaya dan tentang diskriminasi yang berhubungan dengan kehamilan, termasuk Konvensi Perlindungan Kehamilan, No. 3 (1919), 103 (1952) dan 183 (2000), dan Rekomendasi Perlindungan Kehamilan, No. 95 (1952).


(52)

sehubungan dengan kehamilan, periode persalinan dan sesudah melahirkan, memberikan pelayanan gratis bila perlu, demikian juga gizi yang cukup selama

masa kehamilan dan menyusui”.15

D. Tidak Adanya Hari Libur

Walaupun kebanyakan PRT yang diwawancarai oleh Amnesty International diperbolehkan pulang ke keluarga mereka untuk satu atau dua minggu pada saat Lebaran, ada yang tidak diperbolehkan libur sama sekali. Sebagian lagi tidak diberi libur pada hari-hari libur nasional, misalnya hanya sedikit yang diizinkan untuk menghadiri upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Ketika dikombinasikan dengan jam kerja yang lama, tidak adanya istirahat regular dan bekerja pada hari-hari libur umum, kondisi para PRT yang tidak diberikan hari liburtersebut sangatlah menekan.

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, para pekerja di Indonesia yang telah bekerja pada seorang majikan untuk selama lebih dari setahun mendapatkan alokasi 12 hari cuti dalam setahun, di samping libur di hari-hari libur resmi.16 Di situ jelas dinyatakan bahwa bila mereka bekerja selama hari libur umum, mereka harus diberi bayaran sebagai kompensasi. Di kebanyakan

15

Amnesty International, “Eksploitasi dan Pelanggara: Situasi Sulit Pekerja Rumah Tangga Perempuan”, (Jakarta: Amnesty International, Februari 2007), h 28-30

16

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan (pasal 75), para pekerja tidak diwajibkan untuk bekerja pada hari-hari libur umum,kecuali jika jenis dan sifat pekerjaan mereka yang harus dilakukan secara terus-menerus, atau ada perjanjian khusus di antarapekerja dan pengusaha. Mereka harus menerima upah lembur untuk pekerjaan semacam itu.


(53)

legislasi nasional tentang PRT, ada ketetapan-ketetapan tentang cuti tahunan dan hari libur umum17. Di Kolombia, Cile, Kosta Rika, Honduras, Paraguay dan Vietnam PRT diberi hak umum yang sama seperti pekerja-pekerja lain, sehubungan dengan dibayar ketika libur. Pada umumnya, PRT juga berhak untuk hari istirahat/tak kerja dengan bayaran penuh pada hari libur umum dan liburan menurut undang-undang.18

E. Rentannya Terhadap Kekerasan

Konteks isolasi dalam kehidupan PRT, ditambah dengan status sosial mereka yang rendah dan kurangnya pilihan pekerjaan, membuat mereka berada dalam kerentanan yang tinggi terhadap berbagai pelanggaran, termasuk kekerasan fisik, seksual dan psikologis.

1. Faktor-Fktor Penyebab Kekerasan Terhadap Pembantu Rumah Tangga.

adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan majikan terhadap PRT adalah aspek sosial yang meliputi relasi kekuasaan yang tidak seimbang, status sosial PRT yang rendah dan kurang dihargai, kultur masyarakat, kemudian aspek yuridis, yang menganggap PRT bukan bekerja dan tempat kerja PRT tanpa perlindungan hukum berpotensi menimbulkan kekerasan. Selain dari itu, karena hasil kerja PRT dianggap tidak sesuai dengan keinginan

17

Ramirez-Machado, penelitian ILO, 2003, hal. 42-45.

18

Amnesty International, “Eksploitasi dan Pelanggara: Situasi Sulit Pekerja Rumah Tangga Perempuan”, h. 25-26


(54)

majikan dan karena adanya stess/permasalahan pribadi majikan juga menyebabkan faktor penyebabnya.

Lebih jelasnya faktor yang menjadi sebab terjadinya kekerasan terhadap PRT sebagai pekerja (dan sebagai perempuan), yaitu:

a. Aspek Sosial

1) Relasi kekuasaan yang tidak seimbang.

Yakni relasi kerja antara majikan dan PRT yang tidak seimbang menempatkan PRT sebagai pihak yang tersubordinasikan. Posisi yang tidak seimbang atas simetris tersebut dikuatkan karena adanya ketergantungan PRT terhadap majikannya secara ekonomis. Terlebih lagi mereka juga membutuhkan pekerjaan sehingga mereka rela diupah rendah dan akibatnya posisi tawar-menawar pemilik modal demikian mutlak untuk berada diatas. Sedemikian sempitnya ruang bagi PRT untuk menyuarakan kepentingan mereka, menyebabkan mereka tidak memiliki keberanian untuk melawan ketika mereka menghadapi perilaku kekerasan baik yang berasal dari majikan maupun penyalur yang mengambil keuntungan disituasi ini.

2) Status Sosial PRT yang rendah dan kurang dihargai.

Karena dianggap sebagai tugas kodrati perempuan dan adanya pandangan masyarakat bahwa pekerjaan tanpa keahlian serta tidak


(55)

propesional memberikan kontribusi terhadap tidak dihargainya posisi PRT dan minimnya upah yang mereka terima

3) Kultur Masyarakat

Permasalahan sosial yang dihadapi oleh PRT terlepas dari pola berpikir masyarakat patriarti yang bias gender dan juga sikap feodalistis baik tradisional atau moderen dan selama konteks budaya masih masih bernuansa feodalistik, kapitalistik sama-sama memiliki kecenderungan mengarah pada kondisi perbudakan (domestic slavery) yang menempatkan PRT sebagai budak yang diharuskan mengabdi secara mutlak dengan segenap totalitas mereka. Dan dalam kondisi tersebut, seolah-olah ada hak kepemilikan oleh seseorang atas yang lainnya dan sangat potensial menimbulkan kekerasan terhadap pihak yang tersubordinasi dalam hal ini PRT.

4) Pekerjaan yang dilakukan oleh PRT tidak dianggap pekerjaan produktif.

Kontribusi ekonomi yang diberikan oleh PRT sangat besar dan nyata karena keberadaan PRT sangat berperan bagi kelancaran aktivitas kehidupan keluarga, terutama bagi pasangan yang keduanya bekerja disektor publik. Dalam hal ini tugas-tugas domestik digantikan oleh PRT.

Namun, peran dan kontribusi PRT ini seringkali diabaikan oleh perencana pembangunan maupun pembuat kebijakan. Arti penting kerja


(56)

ini seringkalli dikaburkan oleh pandangan tentang kerja kerumahtanggaan yang dianggap sebagai kerja “alamiah” perempuan.19

b. Aspek Yuridis

1) PRT Masih Dianggap Bukan Pekerja

Hal ini tertuang dalam putusan PA Pusat No.70/59/III/02/c tanggal 19 Desember 1959, pekerjaan PRT dikategorisasikan sebagai pekerjaan disekitar informasi, maka perlindungan merekapun berada diluar wilayah hukum perburuhan. Sejumlah peraturan yang pernah ada seperti UU.No 22/1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No 12/1948 tentang Undang-Undang Kerja Tahun 1984, Undang-Undang No 14 Tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok tenaga kerja. Secara kontekstual termasuk dalam kecakapan hukum perburuhan, namun tidak secara eksplisit menyebutkan PRT sebagai pekerja. Dan dipengaruhi sosial kultur dalam masyarakat kita, kedudukan PRT masih dianggap pekerja sektor informal dan tidak masuk dalam perlindungan hukum perburuhan. 2) Tempat kerja tanpa perlindungan hukum berpotensi menimbulkan

kekerasan.

Wilayah pekerja PRT yang berada diranah privat, dalam lingkungan rumah tangga selama ini dianggap tertutup bagi orang

19

LBH APIK, Usulan Revisi PERDA DKI JAKARTA No.6 Tahun 1993 Tentang Pramuwisma, (Jakarta : 2002).


(57)

diluar rumahtangga itu membuat PRT rentan terhadap kekerasan. Persoalan didalam rumah masing-masing dipandang sebagai permasalahan non public yang tidak perlu diintervensi oleh pihak luar.

Seorang PRT yang lemah, baik dari aspek sosial tidak jarang mengalami pemaksaan, kekerasan seksual, dari majikannya. Belum lagi tekanan psikologis yang memanfaatkan kondisi subordinat secara ekonomis sebagai buruh upahan oleh majikan yang memprihatinkan, dalam kondisi semacam ini PRT seringkali tidak mempunyai banyak pilihan serta dihadapkan pada konsekuensi fisik, ekonomis, psikis yang berat jika benar ia melawan. 20

Selain Faktor-faktor tersebut diatas, ada beberap faktor lagi yang menyebabkan kekerasan terhadap PRT yaitu :

a. Karena hasil kerja PRT yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan majikan. 21

2. Kekerasan Terhadap Pembantu Rumah Tangga Perempuan

Pada bulan Februari 2006, seorang PRT berumur 13 tahun lari dari rumah

majikannya diBogor, Jawa Barat. Di kamar mandi, majikan perempuannya memukul

kepalanya berkali-kali, dan menyiram air ke tubuhnya. Kemudian mukanya

dimasukkan ke lubang toilet. Selama tujuh bulan masa tinggal di rumah

20

Neni Indriati, PRT dan KDRT Quovadis Perlindungan Perempuan Pekerja Rumah Tangga,

(Jakarta : LBH APIK, 2003), Edisi Ke-23,h.4

21


(58)

tangga tersebut, gadis ini menuduh bahwa majikannya telah menganiaya dia berkali-kali, termasuk memukul dia dengan panci dan membakarnya dengan puntung rokok.23 Gadis tersebut termasuk yang cukup beruntung bisa lari dari situasi pekerjaan yang buruk. Bagi Syahriani yang berumur 20 tahun, tidak ada jalan keluar. Pada bulan Mei 2006, majikan laki-lakinya ditangkap di Makasar, Sulawesi Selatan, karena telah menganiaya dia sampai meninggal.24 Dilaporkan bahwa majikan tersebut telah memukuli tangan, kaki dan kepalanya dengan setrika. Penganiayaan tersebut terjadi dua kali dalam dua hari, yang membuat Syahriani meninggal dua hari kemudian.

Kasus penganiayaan semacam itu tidak dilaporkan ke polisi, dan jarang terdengar oleh publik. Karena terisolasi dari keluarga dan kawan, PRT perempuan berisiko kehilangan pekerjaan bila mereka buka mulut – risiko yang membuat sebagian besar dari mereka tidak mau menghadapinya. Ketakutan mereka, ditambah lagi dengan gagalnya badan berwenang pemerintah untuk melindungi hak-hak PRT serta mencegah, menginvestigasi dan menghukum pelaku penganiayaan, membuat banyak kekerasan terhadap perempuan dan gadis seperti itu tersembunyi22.

Bekasi, Kompas - Meskipun Kepala Desa Bungur Lopong, Pandeglang, Banten, M Yusuf AS (45), yang mewakili keluarga Sari (18)-pembantu rumah tangga yang dianiaya majikannya-sudah datang ke

22


(59)

Kepolisian Resor Metro Bekasi untuk membawa dia pulang ke rumah orangtuanya, Kamis (11/9), namun Polres Bekasi masih belum mengizinkan. Sari masih diperlukan polisi memberikan keterangan mengenai dugaan penganiayaan berat yang menimpa dirinya selama dua tahun bekerja di rumah tersangka Chandriga (48) dan Nita (57).

Menurut Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bekasi Komisaris Hendro Pandowo, Sari yang sejak Selasa lalu ditangani polisi wanita di Ruang Pelayanan Khusus Polres Bekasi, hingga Kamis masih dimintai keterangan sehingga belum memungkinkan dibawa pulang hari itu juga oleh kepala desa yang menjemputnya.23

Pada tanggal 18 Februari 2009 di dalam surat kabar Pos Kota diberitakan,

didaerah Slipi seorang Ibu rumahtangga Ny. Elis Irena Santoso diadili karena telah menganiaya pembantu rumah tangga (PRT)-nya Tarsini hingga meninggal dunia, di Pengadilan Negri Jakarta Barat. Saat diperiksa sebagai terdakwa ini mengakui perbuatannya dengan alasan jengkel karena korban disuruh menyapu kamarnya, tetapi dijawab sudah dibersihkan. Atas kebohongan PRTnya itu, terdakwa emosi dan marah sambil menampar dan memukul muka korban. Selain itu Elis juga mencekik leher dan memukul kepala korban dua kali.

23

ELN, Polisi Belum Izinkan Sari di Jempput Keluarganya“, diakses pada 23 April 2009 dari


(60)

Selain Elis, di PN Jakarta Barat juga terdapat kasus persidangan Ranatha Tan, yang juga majikan yang menganiaya PRT-nya sampai meninggal dunia. Terdakwa istri dokter ini sudah tiga kali melakukan hal yang sama.24

Selain dari dua kasus diatas pada bulan yang sama diberitakan kembali pada surat kabar Warta Kota, seorang PRT tewas dengan kondisi mulut mengeluarkan Darah, kejadian ini dialami oleh PRT pada keluarga Marsekal Muda (purn) Sutoyo dijalan Kemiri Gondangdia, Menteng Jakarta Pusat.25

3. Kekerasan Seksual

PRT juga menghadapi risiko besar pelanggaran seksual, termasuk

pemerkosaan. Seorang PRT berumur 22 tahun dipaksa oleh majikannya di Jakarta

untuk melakukan hubungan seks dengan adik laki-lakinya antara bulan Juni dan

Oktober 2004. “Dia memaksa saya melakukan hubungan seks dengannya”, cerita

dia.

“Dia memulainya dengan mencoba merayu saya, memuji-muji saya, merangkul dan menciumi seluruh tubuh saya. Dia menjadi bergairah dan melepaskan tangan saya, sehingga saya berhasil lari. Tetapi dia menangkap saya lagi, memaksa saya untuk ke kamar dan menutup pintunya”.

Ketika PRT tersebut hamil, keluarga majikan menyelenggarakan pertemuan

dan meminta sang adik menikahi si PRT. Namun laki-laki tersebut menolak dan

mengatakan bahwa PRT tersebut jelek. Pada tanggal15 November, keluarga tersebut

24

Jengkel Tidak Bersihkan Kamar Tidur PRT Tewas Dianiaya Majikan”, Pos Kota, Jakarta 18 Februari 2009, h. 3

25


(61)

mengeluarkan PRT tersebut. Upahnya yang masih tersisa dibayarkan dan dia diberi

ongkos transpor sebesar Rp 40.000 (US$ 4). Seorang PRT berumur 33 tahun

melaporkan bahwa dia telah diperkosa berkali-kali oleh majikannya, seorang

penghibur, antara Desember 2004 dan Januari 2005 di Jakarta. Dia mengatakan

bahwa laki-laki tersebut biasanya mendekati dia ketika dia tidur, dan membuka

pakaiannya. Dia mengatakan “dia bertubuh besar ”, dan dia tidak bisa melakukan

apa-apa.Setelah beberapa waktu, dia berhasil lari dari rumah tersebut.26

Banyak PRT perempuan dan anak-anak rentan terhadap pelanggaran seksual. Menurut data dari sebuah ornop lokal, PRT anak-anak di Pamulang, Jakarta, dipaksa untuk memijat para majikan mereka di bagian tubuh yang intim, merangkul dan mencium mereka, dan menonton mereka ketika mereka sedang mandi. Selain dari kasus-kasus di atas, masih banyak sekali kasu-kasus lain yang belum tercium oleh media masa dan aparat penegak hukum, dan kesemuanya itu dibutuhkan perhatian lebih dari para penegak hukum.

4. Langkah Hukum

Isolasi rumah tangga dan perbedaan status antara PRT dan majikan telah menciptakan suatu lingkungan di mana para majikan bisa bertindak dengan yakin bahwa mereka tidak akan menghadapi konsekuensi dari tindakan pelanggaran mereka. Menurut standar internasional, pelecehan seksual termasuk perilaku seksual yang tidak dikehendaki seperti kontak dan

26


(62)

pendekatan fisik, ucapan yang mengandung ungkapan seksual, menunjukkan pornografi dan tuntutan seksual, apakah dengan kata-kata atau tindakan.

Kelakuan seperti itu bisa menghina dan bisa merupakan masalah kesehatan dan keamanan; ini merupakan diskriminasi ketika perempuan tersebut memiliki alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa keberatannya akan merugikan dia sehubungan dengan pekerjaannya, termasuk rekrutmen atau promosi, atau ketika hal tersebut menciptakan permusuhan di lingkungan kerja.27

Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan telah menggolongkan pelanggaran seksual sebagai kekerasan yang melawan hukum, dan pelanggaran terhadap martabat manusia, dan mempertimbangkannya sebagai diskriminasi terhadap perempuan.28 Dalam laporannya pada tahun 1997, dia menyimpulkan bahwa pelecehan seksual digunakan sebagai alat untuk mengontrol dan mengintimidasi perempuan, dan memelihara status sosial mereka sebagai orang bawahan. “Pelecehan seksual

menyerang di pusat swasembada ekonomi perempuan”.“Perempuan

mempunyai kemungkinan sembilan kali lebih besar daripada laki-laki untuk

27

Rekomendasi Umum CEDAW 19, A/47/38.

28

Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan menjelaskan tentang pelecehan seksual sebagai suatu bentuk kekerasan dalam masyarakat, suatu bentuk diskriminasi seks, dan suatu serangan terhadap seksualitas perempuan yang memberikan pengekalan bahwa perempuan berada dalam posisi bawahan dalam masyarakat. Radhika Coomaraswamy, Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan, Laporan kepada Komisi PBB tentang HAM, UN Doc.E/CN.4/1995/42, 22 November 1994. Juga lihat Deklarasi PBB tentang Eliminasi Kekerasan terhadap Perempuan, Pasal 2.


(1)

59

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari semua kajian yang dijelaskan dalam skripsi ini, banyak sekali penulis mendapatkan pengetahuan, yaitu pada aplikasi penyalahgunaan hak-hak terhadap pramuwisma di lapangan. Maka sebagai akhir dari pembahasan ini dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Implementasi kebijaksanaan Perda Nomor 6 Tahun 1993 belum memperoleh hasil yang optimal karena di samping masih terdapatnya kerancuan dalam perumusan kebijaksanaan, juga karena strategi implementasi kebijaksanaan tersebut tidak melalui tahapan yang telah ditetapkan sebagaimana tahapan berikut ini:

a. Sosialisasi Perda Nomor 6 Tahun 1993, agar pengguna jasa dapat mengetahui dan memahami Perda tersebut.

b. Pendataan secara menyeluruh jumlah pramuwisma di DKI Jakarta dan pemantauan mobilitas pramuwisma.

c. Penyuluhan kepada petugas lapangan dan petugas RT dan RW agar dapat mengetahui fungsinya dalam seluruh rangkaian pembinaan kesejahtraan pramuwisma.

d. Melaksanakan pembinaan keterampilan calon pramuwisma secara sistimatis, dengan adanya keterampilan yang memadai maka akan


(2)

membawa dampak terhadap peningkatan harkat, martabat, perlindungan dan kesejahtraan pramuwisma.

2. Kesimpulan-nya bahwa Perda No 6 Tahun 1993 Tentang Hak-Hak Pramuwisma ini merupakan suatu upaya Pemerintah yang ingin mehujudkan kemaslahatat, dipergunakan untuk menjamin hak-hak pramuwisma.

Tindakan preventif Pemerintah berpijak pada Perda No 6 Tahun 1993 di atas, sejalan dengan kaidah “Mashlahah al-Mursalah”, kepentingan umum juga dipandang sebagai suatu dasar hukum dalam syari’ah.

Agurmentasinya didasarkan pada sabda Nabi: “janganlah menimbulkan kesulitan bagi orang, dan jangan pula dipersulit orang lain”(La darara wala dirara). Bahwa hal ini merupakan prinsip pertama Syari’ah. Maslahah adalah untuk mencegah kesulitan yang diperlukan guna memberikan kemudahan bagi orang yang membutuhkan atau berhadapan dengan kesulitan dan ini berarti kebutuhan yang harus ada.

Perda No 6 Tahun 1993 Tentang Hak-Hak Pramuwisma di atas ini jelas sesuai dengan prinsip hukum Islam mehujudkan kemaslahatat, Hal ini menunjukan bahwa undang-undang tersebut tidak menginginkan adanya kolompok atau perseorangan yang mengambil atau dengan bahasa lain merampas hak dari seseorang atau kelompok tertentu, hal ini adalah salah satu jalan terhujudnya maqasid asy-syari’ah.


(3)

61

B. Saran-Saran

Berdasarkan kesimpulan analisis implementasi kesejahtraan pramuwisma Pada akhir skripsi ini penulis merekomendasikan kepada seluruh struktur yang ada dimasyarakat yaitu:

1. Faktor sumber daya manusia ( SDM ) harus lebih ditingkatkan lagi, kerena hal tersebut dapat membantu manusia berpikir sebelum melakukan sesuatu.

2. Kepada masyarakat khususnya umat Islam yang berkedudukan sebagai majikan agar jangan melakukan pelanggaran Hak-hak terhadap PRT nya, begitupun dengan pramuwisma harus menjalankan kewajibannya dengan benar sebagai pekerja pramuwisma.

3. Kepada pemerintah yang pertama kepada departemen kehakiman dan HAM agar menindak lanjuti pelaku pelanggaran kekerasan, baik terjadi didalam lingkungan rumah tangga maupun diluar lingkup rumah tangga, khususnya dalam hal ini pelaku kekerasan terhadap PRT agar dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku dan berdasarkan keadilan, dan yang kedua kepada Departemen Ketenagakerjaan, agar PRT yang berada di Indonesia maupun PRT migran agar lebih diperhatikan, serta dapat membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menguntungkan PRT, seperti memperhatikan Hak-Hak mereka sebagai pekerja, mengatur upah minimum, mengatur jam kerja, memberi istirahat mingguan dan hari lubur, memberikan pengobatan dan perawatan jika PRT menderita sakit dan lain sebagainya, yang diperoleh oleh layaknya seorang pekerja.


(4)

Ali Muhammad, Rusjdi. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syariat Islam. Jakarta: Jakarta: Ar-Raniry Pres, 2004. Cet. Ke-1.

Apik; LBH, Usulan Revisi PERDA DKI JAKARTA NO. 6 Thn 1993 Tentang Hak-Hak Pramuwisma di Jakarta.

Baut, Paul S. dan Harman, Benny , Kompilasi Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1998, Cet. Ke-1.

Dede, Ubaidillah. dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. Edisi Revisi.

Djumadi. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 1995, Edisi ke-2, Cet. Ke-3.

Djumialdji. Perjanjian Kerja. Jakarta : Bumi Aksara, 2001. Cet Ke-4.

El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2007. Cet. Ke-2.

ELN, Polisi Belum Izinkan Sari di Jempput Keluarganya“, diakses pada 23 April 2009 dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/12/metro/559306.htm Galtung, Johan. Kekerasan dan Kekerasan Menurut John Galtung, Yogyakarta:

Penerbit Kanasius, 1992, Cet. Ke-1.

Halim, Ridwan dan Sri Subandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Jakarta: Pradya Paramita, 1987, Cet. Ke-I.

Hartono, Sunaryati. Kapita Selekta Perbandingan Hukum.Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. ttc.

Howard , Rhoda. E. HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Jakarta: Pustaka Utama Grafika, 2000, Cetakan Pertama.


(5)

63

Hussain, Syaukat. Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Pres, 1996, Cet. Ke-1.

Ikhwan. Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2004, Cetakan Pertama.

Kosasih, Ahmad. HAM dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, Cet. Ke-1. LBH APIK, “Kertas Posisi Usulan Revisi PERDA DKI JAKARTA NO. 6 Thn 1993

Tentang Pramuwisma”. diakses pada 12 februari 2009 dari http: //www.Apiknet@centrin.net.id.

Lopa, Baharuddin. Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima, 1999. Cet ke-II.

Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989, Cet. Ke-8.

Magnis Suseno, Franz. Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Utama, 2001, Cet. Ke-1.

Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: PT Alumni, Tth.

Malik, Hermawan dan Parianom, Bambang. HAM dan Pluralisme Agama: Tinjauan Historis dan Kultural, dalam Anshari Thayib dkk, Ham dan Pluralisme Agama. Jakarta: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan, 1997, Cet. Ke-1.

Muladi. Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Refika Aditama, 2004, Cetakan Pertama. M.S, Wahyu. Wawasan Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.

Naning, Ramdhon. Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesi., Jakarta : Lembaga Kriminolog; Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Insonesia, 1983.

Nasution, Harun. “Pengantar” dalam Harun Nasution dan Bakhtiar Effendy (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & Pustaka Firdaus, 1995, Cet. Ke-2.


(6)

Jakarta: Yayasan LBH Indonesia, 1989, Cet Pertama.

R.F. Estu dan Veronika, Wajah Perempuan Pekerja Rumah Tangga, LBH APIK, Jakarta: 2003, Edisi ke 22.

Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mijan, 1998.

Soepomo, Imam. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Pradya Paramita, 1985.

Simon dan Mugiyanto, Mengenal HAM dan Hak Korban. Jakarta Pusat: Sentralisme Production, 2003.

Ubaedilalh, Rozak, Abdul. dkk. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Cet. Ke-3.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004. Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 6 Tahun 1993, Tentang Pembinaan Kesejahtraan Pramuwisma di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Yatim, Badri dan Suryana, Ana, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 1987. Cet Pertama.

World Health Organization, “Macroeconomics and Health initiatives in Indonesia (Makroekonomi dan Inisiatif Kesehatan di Indonesia) ” diakses pada 23 April 2009 dari http://www.who.int/macrohealth/action/Indonesia_finalreport.pdf.

Surat Kabar:

Media Indonesia, 24 Okteber 2002 Pos Kota, 16 dan 18 Februari 2009. Rakyat Merdeka, 31 Juli 1993 The Jakarta Post, 10 Mei 2006. Warta Kota, 13 Februari 2009.