Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Dunia pelacuran merupakan suatu pelanggaran atau kejahatan yang semakin hari semakin menunjukan kenaikan jumlah dalam kualitas kejahatan dan gejala ini
akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi, industrialisasi dan urbanisasi. Pelacuran termasuk dalam salah satu penyakit masyarakat, karena
akibat dari pelacuran banyak terjadinya kemorosotan di bidang pendidikan dan agama yang mengakibatkan kemerosotan moral, kenakalan anak-anak, dsb,
sehingga norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat mengharamkan adanya tindak pidana pelacuran dalam segala bentuknya. Yang mana Tujuan
pembangunan nasional Indonesia adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan nasional berdasaskan Pancasila, yakni sila pertama
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu sudah selayaknya kalau perilaku pelacuran itu tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat Indonesia. Untuk
mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut, maka perlu memperhatikan pembangunan di bidang hukum, yang salah satunya adalah
tentang pelaksanaan hukum pidana. Hukum pidana bagi suatu bangsa merupakan indikasi yang penting tentang tingkat peradaban bangsa itu, karena di dalamnya
tersirat bagaimana pandangan bangsa tersebut tentang etika tata susila, moralitas, sistem masyarakat, dan norma-norma sosial.
Perbuatan pelacuran merupakan suatu perzinahan, Perzinahan adalah setiap hubungan kelamin antara wanita dan pria di luar perkawinan yang sah. Ketentuan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Diperjelas pula dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut huku masing-masing agama dan kepercayaan
”. Dari ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 tersebut diatas dapat dilihat bahwa
perbuatan pelacuran merupakan suatu perzinahan karena dilakukan diluar dari perkawinan yang sah antara laki-laki dan wanita oleh salah satu pihaknya
pelaku, perbuatan ini dilakukan dengan maksud mendapat suatu keuntungan
bagi dirinya atau orang lain atau mendapat imbalan jasa atas perbuatannya. Pelacuran disini tidak dijadikan suatu perbuatan pidana dalam arti, bahwa
perbuatan pelacurnya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana.
6
Bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP tidak
ada satupun pasal yang mengatur secara khusus atau tegas yang melarang praktek- praktek pelacuran. Ketidak tegasan pemerintah dapat dilihat pada Pasal 296,
Pasal 297, dan Pasal 506 KUHP. Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal,
artinya larangan hanya diberikan untuk muchikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya secara khusus.
Adapun ukurannya, perbuatan melawan hukum yang mana yang ditentukan sebagai perbuatan pidana, hal itu adalah termasuk kebijaksanaan pemerintah, yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perbuatan pelacuran ini sendiri sangat menimbulkan kerugian yang sangat besar dalam masyarakat maka dari hal ini lah
perlunya suatu sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran. Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-peraturan dalam
6
Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 3-4.
industri seks di Indonesia, karena larangan pemberian layanan seksusal khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum negara, maka
peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, dan
kecamatan, dengan reaksi, aksi dan tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang adanya tindak pidana pelacuran tersebut.
Bali memang kota yang tidak sebesar Jakarta, Bandung, Surabaya ataupun Yogyakarta, namun statusnya sebagai kota pariwisata menjadikan Bali mendapat
suatu permasalahan sosial seperti pelacuran sebagai suatu masalah yang semakin kompleks. Di Bali masalah pelacuran sangat bertentangan dengan norma hukum,
norma agama, norma kesopanan, maupun norma kesusilaan. Perkembangan industri pariwisata yang sangat pesat merupakan salah satu faktor penyebab
adanya pelaku tindak pidana pelacuran, selain itu pula adanya beberapa oknum pemerintah yang memanfaatkan keadaan dengan mencari keuntungan yang lebih
berusaha untuk memfasilitasi suburnya praktek pelacuran baik yang secara terselubung maupun yang terang-terangan yang membuat prakter pelacuran itu
sendiri berkembang semakin pesat. Daerah Bali khususnya kota Denpasar telah melakukan berbagai upaya penanggulangan pelacuran dengan mengeluarkan
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah
Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 selanjutanya disebut Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar sebagai dasar
hukum untuk menanggulangi pelacuran diwilayah kota Denpasar. Dalam
pelaksanaanya, penanggulangan pelacuran lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan menangkap perempuan pelacur yang ditangkap oleh aparat
penegak hukum. Mengenai penanggulangan ini sendiri terhadap pelacur selaku pihak yang
disewa dikenakan sanksi sesuai dengan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar. Seperti yang kita ketahui
sekarang ini praktek pelacuran telah terang-terangan beroprasi ditengah masyarakat, bahkan dalam menjalankan bisnisnya para pelaku tindak pidana
pelacuran seolah-olah tidak takut terhadap adanya penindakan dari aparat penegak hukum, maupun reaksi keras dari masyarakat yang menolak adanya praktek
pelacuran tersebut. Bahkan sanksi pidana yang diberikan juga tidak membuat efek jera pada para pelaku untuk terus mengulangi kembali perbuatannya, dalam Perda
Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar masih banyak ditemukan permasalahan dalam memberikan sanksi
pidana sehingga membuat tidak jeranya dan membuat para residivis mengulangi perbuatan yang sama kembali.
Diperlukan suatu keseriusan para penegak hukum dalam menanggulangi, menertibkan serta memberikan sanksi pidana pada para pelaku tindak pidana
pelacuran karena penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pelacuran di Kota Denpasar hanya dimungkinkan dengan menggunakan Perda Kota Denpasar
No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar sebagai suatu dasar hukum untuk menjerat para pelaku.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka kiranya layak untuk diangkat dalam karangan ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul
“PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2
TAHUN 2000 DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR ”.