PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR.

(1)

ii

PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU

TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN

PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

PENGADILAN NEGERI DENPASAR

BELLA KHARISMA NIM. 1216051231

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

iii

PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI

PENGADILAN NEGERI DENPASAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

BELLA KHARISMA NIM. 1216051231

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

SKRIPg INI TELAH DISETUJUI

Pada Tanggalr 16 Februari 201.6

PEMBIMBING

I

Prof. Dr. I KETUT MERTHA, SH., M.Hum

NIP. 194612311976021001

PEMBIMBING

II

WAYAN SUARDAITA, SH., MH

NrP. 195701071 986021 001


(4)

Paaitia Penguii Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomm : 0268/tIN 14.4E|IV lP?2016 Tmggal 28 Mtret 20 1 6

: Prof. Dr.I KetutMertha, SH., M.Hum

Sekertaris : I Wayan Suardana SH., MH

:

1. A.A. Nprah Yusa Damradi, SH., MH

4

2. A.A. Ngurah Wirasila SH., MH


(5)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr.Wb

Puji syukur Penulis Panjatkan Kehadapan Allah S.W.T / Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugerahnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhhir skripsi yang berjudul : “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR”, tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun dengan maksud memenuhi kewajiban untuk menyelesaikan pendidikan program Sarjana (S1) serta untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karena tanpa bantuan dari pihak lain maka skripsi ini tidak akan berhasil diselesaikan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Rektor Universitas Udayana.

2. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vii

4. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana Sekaligus Dosen Pembimbing II yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran membantu memberikan semangat, bimbingan, motivasi, arahan, serta saran-saran yang sangat mendukung hingga terselesainya skripsi ini.

6. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH., MH., Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., MHum., Pembimbing Akademik yang telah banyak membantu, memberikan semangat , serta memberi arahan dalam setiap pengambilan mata kuliah serta selama Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

8. Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum., Dosen Pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktunya dengan sabar untuk memberikan bimbingan, arahan, serta saran-saran dalam penyusunan skripsi ini.

9. Bapak / Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang tidak ternilai harganya.

10.Seluruh Staf Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan dukungan hingga penyusunan skripsi ini terselesaikan dengan baik.


(7)

viii

11.Bapak H. Prim Haryadi, SH., MH., Ketua Pengadilan Negeri Denpasar yang telah mengijinkan untuk melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Denpasar serta banyak membantu memberikan data dan informasi selama penelitian.

12.Bapak I Wayan Kawisada, SH., Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancara, serta membantu memberikan informasi selama penelitian.

13.Bapak Kadek Hendra Palgudi, SH., Staf Bagian Pidana Pengadilan Negeri Denpasar yang telah bersedia meluangkan waktu banyak untuk diwawancara serta membantu memberikan data dan informasi selama penelitian.

14.Bapak I Ketut Nick Natha Wibawa, Kepala Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar yang telah mengijinkan untuk melakukan penelitian di Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar serta banyak membantu memberikan informasi selama penelitian.

15.Bapak Wayan Suarya, Petugas Ketertiban Umum Ketentraman Masyarakat (KUKM) di Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar yang telah meluangkan waktu untuk diwawancara serta banyak membantu dan memberikan informasi selama penelitian.

16.Ayah dan Ibunda tercinta, Ayub Khan dan Ni Wayan Wartini, yang telah memberikan dukungan, semangat, doa, motivasi serta selalu menyertakan nama penulis dalam setiap munajatnya.


(8)

ix

17.Kakak dan Adik Penulis, M.Rafi, Maya Lestari, Amalia Rani, dan M. Rava Khan yang sudah membantu dan memberikan dukungan serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

18.Kakak-kakak senior Fakultas Hukum Universitas Udayana, Ni Made Destriana Alviani, Bukhari Idris, M. Syamsul Islam, Akbar Nugraha, Nina Christiani, Aisyah Putri dan Belly Riawan, yang sudah banyak membantu dan memberikan masukan pada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 19.Sahabat serta teman-teman Penulis di Fakultas Hukum Universitas

Udayana, Wajihatut Dzikriyah, Made Ana Wirastuti, Dwi Nurmahayani, Nandia Amataria, Ayu Sania, Gladys Firdiana, Atta Paramyta, Pipit Paidawati, Vina Jayanti, Ary Widianti, Agus Satria Wibawa, Surya Pradnyana, Putri Beyer, IA Paramita Utari, Kevin Saputra, Bayu Putra Pemayun, Suartami Dewi, Mas Widiasih, dan Paramitha Mahardika, yang selalu memberikan semangat dan saling membantu satu sama lainnya dalam penyusunan skripsi ini.

20.Sahabat-sahabat penulis, Indah Windayani, Ika Septia, Ririn Purnami, Dian Novita, Lia Tansarini, Octa Fiantini, IGA Wulan, Adis Tanaya, Agung Wibawa, Reza Pratama, Rifky Firdaus, Ratna Fatmalasari, Sauma Mumtas Husin, Bennazir Husin, Elia Askar, Chana Al Asraff, dan Doni Andrian yang selalu memberi semangat, dukungan, motivasi, doa, serta warna tersendiri dalam hidup penulis.


(9)

x

21.Keluarga besar UMCC dan SOLIH Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan banyak pengalaman serta pelajaran berharga disetiap kegiatannya.

22.Segenap pihak yang membantu dan mendukung penulis baik secara material maupun immaterial yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga bantuan, dorongan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis memperoleh balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata penulis berharap agar bermanfaat bagi pembacanya dan kritik serta saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini, sehingga dapat memberi manfaat sebagimana yang diharapkan.

Wassalamu‟alaikum Wr.Wb

Denpasar, 16 Februari 2016


(10)

xi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan duplikasi atau plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/ dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerrima sanksi akademik dan atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian surat pernyataan keaslian ini penulis buat dengan pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 16 Februari 2016

Yang menyatakan,

(Bella Kharisma)


(11)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM. ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/ PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xi

DAFTAR ISI ... xii

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 7

1.4 Orisinalitas Penelitian... ... 8

1.5 Tujuan Penelitian... 10

a. Tujuan Umum... .. 10


(12)

xiii

1.6 Manfaat Penelitian... 10

a. Manfaat Teoritis ... ... 11

b. Manfaat Praktis... ... 11

1.7 Landasan Teoritis... ... 11

1.8 Metode Penelitian... ... . 16

A. Jenis Penelitian... ... 16

B. Jenis Pendekatan... ... 17

C. Sifat Penelitian... ... 18

D. Data... ... 18

E. Teknik Pengumpulan Data... ... 19

F. Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 20

G. Teknik Analisis Data... ... 21

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN 2.1 Tindak Pidana Pelacuran ... 22

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana... 22

2.1.2 Pengertian Pelacuran ... 25

2.1.3 Jenis-Jenis Pelacuran ... 27

2.2 Sanksi Pidana ... 30


(13)

xiv

2.2.2 Jenis-Jenis Sanksi Pidana ... . 37

2.3 Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Pelacuran Menurut Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran Di Kota Denpasar ... 46

BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR

3.1 Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Pelacuran Di Kota Denpasar

3.2 Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pelacuran

3.2.1 Pengaturan Mengenai Sanksi Pidana Berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran Di Kota Denpasar ... 59

3.2.2 Penerapan Sanksi Pidana Dalam Praktek Di Pengadilan Negeri Denpasar ... 61

BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT SERTA UPAYA YANG DILAKUKAN DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR

4.1 Faktor Penghambat Dalam Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pelacuran ... 70


(14)

xv

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan... 81 5.2 Saran... ... 82

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

DAFTAR RESPONDEN

RINGKASAN SKRIPSI


(15)

xvi

ABSTRAK

Di Bali, masalah pelacuran diatur dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 2 tahun 2000 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar. Perda tersebut merupakan suatu peraturan yang dijadikan landasan untuk memberi sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran, namun minimnya sanksi pidana yang diberikan membuat para pelaku tidak memiliki efek jera sehingga mengulangi perbuatannya kembali. Berdasarkan hal tersebut maka dibuatlah skripsi berjudul “Penerapan Sanksi Pidana Pada Pelaku Tindak Pidana Pelacuran Berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Di Pengadilan Negeri Denpasar”. Adapun permasalahan yang diangkat adalah bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar, dan bagaimana hambatan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran dan bagaimana upaya penanggulangannya.

Metode hukum yang dipergunakan adalah metode hukum empiris, dengan menggunakan data primer dan data sekunder yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, dan pendekatan analisis konsep hukum.

Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Bagi pelaku tindak pidana pelacuran yang terjaring razia diancam hukuman dengan ketentuan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 yakni dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5000.000,-. namun dengan melihat beberapa kasus yang telah diputus, penerapan sanksi pidana hanya dikenakan sanksi denda sebesar Rp.200.000,00- Rp. 250.000,00 sehingga membuat pelaku mengulangi lagi perbuatannya dan tidak memiliki efek jera. Serta hambatan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran terdapat dua faktor penghambat yakni faktor internal (aparat penegak hukum) dan faktor eksternal (kurang efektifnya Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000) dari hal tersebut dilakukan upaya penanggulangannya baik tindakan preventif maupun tindakan represif.


(16)

xvii

ABSTRACT

In Bali, prostitution problems is arrange by arrangement of Denpasar No. 2 in 2000 about eradication of prostitution in denpasar city. The regulation itself becomes the foundation by giving a criminal sanction to the perpetrator of the crime of prostitution, however the lacking of criminal sanctions makes the perpetrator do not having a wary effect so, they could be repeating his action

again (recidive). Based on this categorization made paper entitled “The

Application Of Criminal Sanctions To Perpetrators Of Prostitution Crawl Act

According To Arrangement Of Denpasar No. 2 In 2000 In Denpasar Court”. As

for the issues raised is How to application of criminal sanction to the perpetrators of the criminal of prostitution to arrangement of denpasar no. 2 in 2000 in the practice appear in denpasar court, and How to barriers in the application of sanction for the offender of the criminal of prostitution and also how to solve it.

Legal method used is the method of empirical laws, using primary data and secondary data were analyzed descriptively qualitative. The type of approach used is a statutory approach the statue approach, the fact approach, and anatical and conseptual approach.

The results obtained in this research is For the perpetrators of crime of prostitution were exposed to raids threatened with provisions by arrangement of denpasar no. 2 in 2000 namely to imprisonment for a maximum three months or a maximum fine Rp. 5000.000, -, it can be seen that on some cases that was disconnected, the application of criminal sanctions could be fine only Rp. 200.000

– 250.000 so the offender repeats their bad acts and do not have a wary effect. On

the other hand, the obstacle when do the application of criminal sanction for perpetrators of the crime of prostitution there are two factors that barriers such as internal factors (law enforcement officers) and external factors (less effective of the Arrangement Of Denpasar No. 2 In 2000) , and then the effort to overcome both of preventive measures and repressive measures.


(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hukum adalah keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi dan merupakan suatu bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial inilah untuk mengintergrasikan kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib, agar fungsi hukum ini dapat terlaksana dengan baik maka bagi para penegak hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dengan baik.1 Tujuan dari hukum pidana itu sendiri adalah untuk memenuhi rasa keadilan.2 Hal inilah mengakibatkan bahwa tugas hukum yakni mencapai keserasian antara nilai kepentingan hukum dengan masyarakat.3 Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi karena pelanggaran maka hukum harus ditegakkan.4 Pelanggaran hukum inilah akan menimbulkan lahirnya sanksi pidana yang merupakan suatu akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan yakni perbuatan melawan hukum.5

1 R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 55.

2 Wirjono Prodjodikoro, 1991, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Eresco, Jakarta-Bandung, hlm. 16.

3 Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6.

4 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 37.


(18)

Berbicara mengenai pelanggaran hukum, di Indonesia sampai saat ini masih belum terlepas dengan segala permasalahan pelanggaran hukum salah satunya dalam hal pelacuran. Masyarakat dunia dan tidak terkecuali masyarakat di Indonesia pada dewasa ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya praktek pelacuran. Pada dasarnya masalah sosial dan moral adalah masalah terbesar dari tatanan adat serta perilaku masyarakat yang masih sangat kental dengan kebudayaan timur. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai penyakit masyarakat. Dengan kata lain penyakit masyarakat yang demikian merupakan produk sampingan, atau merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari sistem sosio kultural zaman sekarang, dan berfungsi sebagai gejala tersendiri. Kongkritnya banyak anggota masyarakat yang apatis terhadap norma-norma yang ada dan berlaku dalam kehidupan sosial, salah satunya dengan munculnya fenomena pelacuran yang semakin lama semakin menjamur. Berdasarkan pernyataan tersebut, tindak pidana pelacuran dapat mengganggu, merugikan keselamatan, ketenteraman dan kemakmuran baik jasmani dan rohani maupun sosial dari kehidupan masyarakat secara umum.

Faktanya pelacuran banyak merugikan menyangkut banyak kehidupan manusia dan merupakan suatu permasalahan hukum, yang dinilai sebagai suatu patologi sosial karena dalam pelacuran ini tindakan yang dilakukan seseorang atau kelompok bersifat melawan kaidah-kaidah kehidupan yang berlaku didalam masyarakat dan bersifat melawan norma-norma hukum serta melawan hukum.


(19)

Dunia pelacuran merupakan suatu pelanggaran atau kejahatan yang semakin hari semakin menunjukan kenaikan jumlah dalam kualitas kejahatan dan gejala ini akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi, industrialisasi dan urbanisasi. Pelacuran termasuk dalam salah satu penyakit masyarakat, karena akibat dari pelacuran banyak terjadinya kemorosotan di bidang pendidikan dan agama yang mengakibatkan kemerosotan moral, kenakalan anak-anak, dsb, sehingga norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat mengharamkan adanya tindak pidana pelacuran dalam segala bentuknya. Yang mana Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan nasional berdasaskan Pancasila, yakni sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu sudah selayaknya kalau perilaku pelacuran itu tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat Indonesia. Untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut, maka perlu memperhatikan pembangunan di bidang hukum, yang salah satunya adalah tentang pelaksanaan hukum pidana. Hukum pidana bagi suatu bangsa merupakan indikasi yang penting tentang tingkat peradaban bangsa itu, karena di dalamnya tersirat bagaimana pandangan bangsa tersebut tentang etika (tata susila), moralitas, sistem masyarakat, dan norma-norma sosial.

Perbuatan pelacuran merupakan suatu perzinahan, Perzinahan adalah setiap hubungan kelamin antara wanita dan pria di luar perkawinan yang sah. Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga


(20)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Diperjelas pula dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut huku masing-masing agama dan kepercayaan”.

Dari ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 tersebut diatas dapat dilihat bahwa perbuatan pelacuran merupakan suatu perzinahan karena dilakukan diluar dari perkawinan yang sah antara laki-laki dan wanita oleh salah satu pihaknya (pelaku), perbuatan ini dilakukan dengan maksud mendapat suatu keuntungan bagi dirinya atau orang lain atau mendapat imbalan jasa atas perbuatannya.

Pelacuran disini tidak dijadikan suatu perbuatan pidana dalam arti, bahwa perbuatan pelacurnya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana.6 Bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) tidak ada satupun pasal yang mengatur secara khusus atau tegas yang melarang praktek-praktek pelacuran. Ketidak tegasan pemerintah dapat dilihat pada Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal 506 KUHP. Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal, artinya larangan hanya diberikan untuk muchikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya secara khusus. Adapun ukurannya, perbuatan melawan hukum yang mana yang ditentukan sebagai perbuatan pidana, hal itu adalah termasuk kebijaksanaan pemerintah, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perbuatan pelacuran ini sendiri sangat menimbulkan kerugian yang sangat besar dalam masyarakat maka dari hal ini lah perlunya suatu sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran. Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-peraturan dalam


(21)

industri seks di Indonesia, karena larangan pemberian layanan seksusal khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan, dengan reaksi, aksi dan tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang adanya tindak pidana pelacuran tersebut.

Bali memang kota yang tidak sebesar Jakarta, Bandung, Surabaya ataupun Yogyakarta, namun statusnya sebagai kota pariwisata menjadikan Bali mendapat suatu permasalahan sosial seperti pelacuran sebagai suatu masalah yang semakin kompleks. Di Bali masalah pelacuran sangat bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesopanan, maupun norma kesusilaan. Perkembangan industri pariwisata yang sangat pesat merupakan salah satu faktor penyebab adanya pelaku tindak pidana pelacuran, selain itu pula adanya beberapa oknum pemerintah yang memanfaatkan keadaan dengan mencari keuntungan yang lebih berusaha untuk memfasilitasi suburnya praktek pelacuran baik yang secara terselubung maupun yang terang-terangan yang membuat prakter pelacuran itu sendiri berkembang semakin pesat. Daerah Bali khususnya kota Denpasar telah melakukan berbagai upaya penanggulangan pelacuran dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 (selanjutanya disebut Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar) sebagai dasar hukum untuk menanggulangi pelacuran diwilayah kota Denpasar. Dalam


(22)

pelaksanaanya, penanggulangan pelacuran lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan menangkap perempuan pelacur yang ditangkap oleh aparat penegak hukum.

Mengenai penanggulangan ini sendiri terhadap pelacur selaku pihak yang disewa dikenakan sanksi sesuai dengan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar. Seperti yang kita ketahui sekarang ini praktek pelacuran telah terang-terangan beroprasi ditengah masyarakat, bahkan dalam menjalankan bisnisnya para pelaku tindak pidana pelacuran seolah-olah tidak takut terhadap adanya penindakan dari aparat penegak hukum, maupun reaksi keras dari masyarakat yang menolak adanya praktek pelacuran tersebut. Bahkan sanksi pidana yang diberikan juga tidak membuat efek jera pada para pelaku untuk terus mengulangi kembali perbuatannya, dalam Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar masih banyak ditemukan permasalahan dalam memberikan sanksi pidana sehingga membuat tidak jeranya dan membuat para residivis mengulangi perbuatan yang sama kembali.

Diperlukan suatu keseriusan para penegak hukum dalam menanggulangi, menertibkan serta memberikan sanksi pidana pada para pelaku tindak pidana pelacuran karena penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pelacuran di Kota Denpasar hanya dimungkinkan dengan menggunakan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar sebagai suatu dasar hukum untuk menjerat para pelaku.


(23)

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka kiranya layak untuk diangkat dalam karangan ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN BERDASARKAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000 DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR”.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar ?

2. Bagaimana hambatan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran dan bagaimana upaya penanggulangannya?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting. Untuk mecegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka perlu diberikan penegasan dan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah akan diurai nanti. Permasalahan yang dikaji diberikan batasan yang bermaksud menghindari kekaburan dalam mendeskripsikannya. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pencarian, penyusunan data dan akan dijabarkan secara deskriptif dalam bentuk penulisan ilmiah. Ruang lingkup yang akan dibahas


(24)

adalah penerapan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar dan hal- hal apa saja yang menjadi hambatan bagi penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan data yang didapat oleh penulis, penulis menemukan adanya penelitian sejenis dengan penelitian yang penulis lakukan. Indikator pembeda penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan dengan penelitian penulis disajikan dengan tabel dibawah ini :

Tabel 1 : Daftar Penelitian Sejenis

No. Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah 1. Kajian Hukum Pidana

Tentang Pelacuran Terselubung (Criminal

Law Analysis About

Undercover

Prostitution)

R.P.

MOHAMMAD FARID

JAUHARI, Fakultas Hukum Universitas Jember, Tahun 2008.

1. Apakah pihak-pihak yang terlibat dalam kasus pelacuran bisa dijerat hukum pidana indonesia ?

2. Apa yang menjadi kendala yuridis dalam penegakan hukum pidana terhadap pelacuran


(25)

2. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pelacuran Berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Dan Peraturan Daerah Kota Tegal Nomor 4 Tahun 2006

RACHMAT PRASETIYO, Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, Tahun 2010

1. Bagaimana tindak pidana pelacuran yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Peraturan Daerah Kota Tegal Nomor 4 Tahun 2006?

2. Bagaimana bentuk pertanggungajawaban pelaku pelacuran menurut Peraturan Daerah Kota Tegal Nomor 4 Tahun 2006?

Berdasarkan tabel diatas tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis menyusun skripsi berjudul “Penerapan Sanksi Pidana Pada Pelaku


(26)

Tindak Pidana Pelacuran Berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Di Pengadilan Negeri Denpasar”.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan suatu hasil. Demikian pula halnya dengan setiap penulisan karya ilmiah haruslah menunjukan suatu tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

a. Tujuan umum

Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu untuk memperoleh pemahaman mengenai penerapan sanksi pidana pada pelaku tindak pidana pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 di Pengadilan Negeri Denpasar.

b. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran berdasarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar.

2. Untuk mengetahui hambatan dalam penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran dan upaya penanggulangannya.

1.6 Manfaat Penulisan

Dalam penelitian ini adapun yang menjadi manfaatnya adalah manfaat secara Teoritis dan Praktis, yaitu sebagai berikut :


(27)

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk menegakkan dan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan hukum pidana berkaitan dengan Tindak Pidana Pelacuran.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk mendalami dan mempraktekkan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Dapat memberikan informsi dan pengetahuan kepada masyarakat tentang penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah, untuk memperbaharui Peraturan Perundang-undangan yang lebih tegas lagi dan menjerat bagi pelaku tindak pidana.

1.7 Landasan Teoritis

Perundang-undangan mengenai sanksi pidana dapat dilihat dari Pasal 10 KUHP yang menyebutkan bahwa “Pidana Pokok terdiri atas :

1. Pidana Mati, 2. Pidana Penjara,

3. Pidana Kurungan, Dan 4. Pidana Denda7

Tindak pidana pelacuran merupakan suatu tindak pidana ringan yang mana perbuatan tersebut banyak meresahkan masyarakat, sehingga aparat penegak hukum berusaha untuk membrantasnya. Mengenai acara pemeriksaan tindak

7 P.A.F Lamintang dan Theo Lumintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 35.


(28)

pidana ringan ini sendiri diatur dalam Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), menyebutkan bahwa :

(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini.

(2) Dalam perkara sebagaimana ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa ke sidang pengadilan.

(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.

Pekerja seks komersial merupakan profesi dengan menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan, biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Pengertian pelacuran itu sendiri dapat dilihat dari Pasal 1 huruf e Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Permberantasan Pelacuran Kota Denpasar menyatakan bahwa “Pelacur adalah seorang laki-laki maupun perempuan yang melakukan hubungan kelamin dan atau seksual tanpa ikatan perkawinan yang sah dengan maksud mendapat imbalan jasa baik finansial maupun material bagi dirinya sendiri atau pihak lain”.

Berkaitan dengan tindak pidana pelacuran dalam hal prostitusi merupakan suatu bentuk penyimpangan seksual dengan pola-pola organisasi inpuls/ dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintergrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang disertai eksploitas dan komersialisasi seks yang impersional tanpa afeksi sifatnya.8

8 Kartini Kartono, 1997, Pathologi Sosial jilid I, Cv Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat Kartini Kartono I), hlm. 207.


(29)

Selain itu pula tindak pidana pelacuran memiliki dampak yang ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang tidak baik (negatif) :

a. Dampak sosiologis, pelacuran merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada didalam masyarakat.

b. Dampak pendidikan, pelacuran merupakan kegiatan yangdemoralisasi

c. Dampak kewanitaan, pelacuran merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita.

d. Dampak ekonomi, pelacuran dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja.

e. Aspek kesehatan, pelacuran merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya.

f. Dampak keamanan dan ketertiban masyarkat, pelacuran dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan kriminal.

Khususnya di Kota Denpasar dalam pemberantasan tindak pidana pelacuran menggunakan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhi hukuman terhadap terdakwa yang telah melanggar aturan. Dimana hakim berusaha untuk memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan agar terdakwa jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya sebagai pekerja seks komersial.

Jika dilihat dari asas hukum, dalam mengambil keputusannya hakim menggunakan asas legalitas yakni asas yang menentukan perbuatan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan


(30)

terlebih dahulu dalam perundang-undangan yang mengaturnya biasa disebut “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege” (tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).9 Serta dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pelacuran, hakim memiliki pertimbangan berdasarkan alasan yuridis yakni berpedoman pada Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar

Kaitannya dengan keefektifan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”, sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-gunaan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektifitas hukum berarti keberhasilan, kemajemukan hukum atau Undang-Undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.10 Secara terminologi pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing. Soerjono Soekanto berbicara mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak

9. Moeljatno, Op.cit, hlm. 23.

10 Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ke 30, hlm. 11.


(31)

hukumnya.11 Efektivitas hukum dilain pihak juga dipandang sebagai tercapainya tujuan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatutan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.12

Efektifitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik penegak hukum, substansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sistem hukum terdapat tiga unsur yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.13

Struktur hukum merupakan suatu wadah, kerangka maupun bentuk sistem hukum, yakni susunan dari pada unsur-unsur sistem hukum yang bersangkutan. Substansi hukum mencakup norma-norma atau kaidah-kaidah mengenai patokan perilaku yang pantas dan prosesnya. Budaya hukum mencakup segala macam gagasan, sikap, kepercayaan, harapan maupun pendapat-pendapat (pandangan-pandangan) mengenai hukum.14

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, antara lain :

11 Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hlm. 62.

12Ibid, hlm. 20.

13 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta, hlm. 225.

14 Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hlm. 41.


(32)

1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam tulisan ini akan dibatasi Undang-Unsang saja;

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.15

Substansi hukum itu adalah Peraturan Perundang-Undangan, Struktur Hukum itu sering disebut penegak hukum, budaya hukum itu sangat luas, dapat dipahami budaya hukum itu adalah kepatuhan masyarakat.

Kebudayaan (Culture) berarti keseluruhan dan hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan, pengertian ini pertama kali dikemukakan oleh E.B Tylor dalam bukunya Primitive Culture di New York.

Jadi dari pengertian itu, kebudayaan lebih dari kesenian, melainkan ada kepandaian, hukum, moral, dan termasuk kepercayaan, itu menunjukan budaya bukan seni.

1.8 Metode Penelitian A. Jenis Penelitian

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah pendekatan yuridis empiris yaitu dengan mengkaji permasalahan berdasarkan peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku dan mengkaitkan dengan

15 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, ((selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), hlm. 5.


(33)

pelaksanaannya dilapangan. Penelitian ini direalisasikan terhadap efektivitas hukum atau peraturan yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum.16 Dengan demikian tidak hanya sebatas mempelajari pasal-pasal perundangan dan pendapat para ahli untuk kemudian diuraikan, tetapi juga menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif tersebut dalam rangka mengolah dan menganalisis data-data dari lapangan yang disajikan sebagai pembahasan.

B. Jenis Pendekatan

Pembahasan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekan perundang-undangan (the statue approach), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 2 tahun 2000, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas, pendekatan fakta (the fact approach), dalam hal ini penulis juga melihat fakta-fakta yang ada dilapangan Pengadilan Negeri Denpasar serta Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar berkaitan dengan penerapan sanksi pidana tindak pidana pelacuran, dan pendekatan analisis (analitycal and

conseptual approach) yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum, seperti

sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya.


(34)

C. Sifat penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin mengenai penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran menurut Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Perda No. 2 Tahun 2000 dan yang menjadi hambatan dalam upaya menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelacuran. Selain itu, bersifat kualitatif karena memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku. Sehingga dapat diperoleh data kualitatif yang merupakan sumber dari deskripsi yang luas, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.

D. Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan data yaitu : a. Data Primer

Data primer yaitu suatu data yang diperoleh langsung bersumber dari lapangan, dengan menggunakan teknik wawancara terbuka kepada para informan dan responden. Dalam hal ini penelitian akan dilakukan di wilayah Pengadilan Negeri Denpasar serta Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar.


(35)

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data-data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu penelaahan terhadap Peraturan Perundang-Undangan terkait, serta buku-buku litrature sebagai bahan bacaan. Studi kepustakaan ini menelaah bahan-bahan hukum yang pokok yaitu undang-undang dalam arti materil dan formil, hukum kebiasaan dan hukum adat yang tercatat, yurisprudensi, traktat dan doktrin. Dalam hal ini Peraturan Perundang-Undangan yakni Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, sebagaimana telah diubah dengan Perda Kota Denpasar No. 2 tahun 2000.

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji menyatakan bahwa dalam suatu penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat), bahan hukum sekunder (yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer), dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).17

E. Teknik Pengumpulan Data

Adapun cara yang digunakan dalam hal tehnik pengumpulan data untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini dengan cara :

a. Teknik studi kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca, mencatat, dan menelaah, mengkaji dan menganalisa dari peraturan

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, hlm. 39.


(36)

perundang-undangan, hasil penelitian hukum, dan buku-buku yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang ada. Keseluruhan data kepustakaan tersebut dibuat dalam bentuk card system.

b. Teknik Wawancara, merupakan proses interaksi dan komunikasi serta cara memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada narasumber yang akan diwawancarai. Tehnik yang dilakukan bukan hanya bertanya pada seorang melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang secara terbuka untuk memeperoleh informasi yang relevan dengan masalah penelitian. c. Teknik Observasi yakni suatu pengamatan yang dilakukan untuk tujuan

penelitian yang dilakukan serta dilakukan secara sistematis melalui perencanaan yang matang. Pengamatan dimungkinkan berfokus pada fenomena sosial ataupun perilaku-perilaku sosial. Pengamatan merupakan salah satu metode pengumpulan data pada penelitian hukum empiris/ sosiologis.18 Pengamatan ini dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar dengan melihat atau mengamati sidang tindak pidana pelacuran secara langsung.

F. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini, teknik penentuan sampel yang dipergunakan adalah teknik non-probability sampling. Teknik ini digunakan agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian, dimana semua populasi mempunya kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk ditetapkan menjadi


(37)

sampel. Teknik pengumpulan sampel dengan teknik non- probabilitas yang digunakan menekankan pada bentuk Purposive Sampling yaitu penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kreteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.

Sampel yang dipergunakan peneliti dalam penelitian skripsi ini diambil dari Pengadilan Negeri Denpasar serta Dinas Trantib dan Satpol PP Pemerintah Kota Denpasar yang dapat mewakili keadaan yang sebenarnya.

G. Teknik Analisis Data

Setelah keseluruhan data yang diperoleh dikumpulkan secara lengkap baik melalui studi kepustakaan, wawancara, ataupun dengan observasi kemudian ditelaah dan dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif yang menggambarkan secara menyeluruh serta mendetail aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah dan kemudian dianalisa untuk mendapatkan kebenaran, dengan teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan skripsi ini.


(38)

22

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PELACURAN

2.1 Tindak Pidana Pelacuran 2.1.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah yang dipakai dalam hukum pidana yaitu “Tindak Pidana”. Istilah ini, tumbuh dari pihak Kementrian Kehakiman, dan sering dipakai dalam Perundang-Undangan.19 Istilah “tindak pidana” dalam bahasa Belanda disebut “Strafbaar feit”, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa Asing yaitu “Delict”.20

Kata “Delict” diartikan dalam bahasa Jerman, sedangkan kata “Delik” berasal dari bahasa Latin yakni “Delictum”, dalam bahasa Prancis disebut “Delit”, dan

dalam Bahasa Belanda disebut “Delict”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

arti delik diberi batasan yakni “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang, Tindak Pidana”.21

19 Moeljatno, Op.cit, hlm. 54.

20 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm. 50.

21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.


(39)

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subject” tindak pidana. Menurut Moeljatno, pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.22

Dalam pandangan KUHP yang dapat menjadi subject tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subuject tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman / pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.23

Berbicara mengenai subject tindak pdana, selanjutnya diarahkan pada wujud perbuatan sebagai unsur dari tindak pidana. Wujud perbuatan ini pertama-tama harus dilihat pada perumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Perumusan ini dalam bahasa Belanda disebut “delicts om

schrijving”.

Menurut doktrin, unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, terhadap unsur-unsur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Unsur Subjektif, adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”

(An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non

facit reum nisi sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan

yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/ opzet/ dolus) dan kealpaan

22 Moeljatno, Op.cit, hlm. 55. 23 Wirjono Prodjodikoro, Loc.cit.


(40)

(negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 bentuk yakni :

a) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);

b) Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn); c) Kesengajaan dengan keinsyafan akan kemungkinan (dolus evantualis). Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Kealpaan terdiri atas dua bentuk, yakni :

a) Tak berhati-hati;

b) Dapat menduga akibat perbuatan itu.24

2. Unsur Objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang teridir atas : a) Perbuatan Manusia

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu

perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.

b) Akibat (result) Perbuatan Manusia, akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak miliki, kehormatan, dll.

c) Keadaan-keadaan (circumstances), pada umumnya keadaan tersebut dibedakan antara lain :

1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; 2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

d) Sifat dapat di hukum dan sifat melawan hukum.

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.25

Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari Pengadilan.

Dalam ilmu hukum pidana dikenal delik formil dan delik materil. Yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang, disini rumusan dari perbuatan jelas. adapun delik materiil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan

24 Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9. 25Ibid, hlm.10


(41)

pidana oleh Undang-Undang, dengan kata lain hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan.

2.1.2 Pengertian Pelacuran

Pelacuran berasal dari bahasa latin yakni “pro stituere atau pro stauree” yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan pencabulan. Menurut Perkins dan Bennet mendefinisikan pelacuran sebagi transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak dalam jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode beraneka ragam.26 Senada dengan hal tersebut, Supratiknya menyatakan bahwa pelacuran adalah memberikan layanan hubungan seksual dengan imbalan.27

Selain definisi diatas, Kartini Kartono menjabarkan definisi pelacuran sebagai berikut :

a. Pelacuran adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/ dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (prosmiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

26 Koentjoro, 2004, On The Spot: Tutur Dari Sarang Pelacur, Tinta, Yogyakarta, hlm. 30. 27 A Supratiknya, 1995, Komunikasi Antar Pribadi Tinjauan Psikologis, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 97.


(42)

c. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang merahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.28

Pelaku pelacuran disebut dengan “prostitue” atau yang lebih dikenal dengan sebutan pelacur. Pelacur dapat berasal dari kalangan wanita yang dikenal dengan Wanita Tuna Susila (WTS).29 Menurut Kartini Kartono ciri-ciri Pelacuran yakni :

a. Wanita, lawan pelacur adalah gigolo (pelacur pria).

b. Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif menarik,baik wajah maupun tubuhnya. c. Masih muda-muda 75% dari jumlah pelacur dikota-kota ada 30 tahun, yang

terbanyak adalah 17-25 tahun. Pelacuran kelas rendah dan menengah acap kali mempekerjakan gadis-gadis pra-puber berusia 11-15 tahun yang ditawarkan sebagai barang baru.

d. Pakaian sangat mencolok, beraneka warna, sering aneh/eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria. Mereka itu sangat memperhatikan penampilan lahiriyah, yaitu : wajah, rambut, pakaian, alat kosmetik, dan parfum yang merangsang.

e. Berfat sangat mobile, kerap berpindah dari tempat/kota yang satu ketempat/ kota lainnya.

f. Pelacur-pelacur kelas rendah dan menengah kebanyakan berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah, sedangkan pelacur-pelacur kelas tinggi

(high class prostitutes) pada umumnya berpendidikan sekolah lanjutan

pertama dan atas, atau lepasan akademi dan perguruan tinggi, yang beroprasi secara amatir atau secara professional.

g. 60-80% dari jumlah pelacur ini memiliki intelek yang normal. Kurang dari 5% adalah mereka yang lemah ingatan (feble minded). Selebihnya adalah mereka yang ada pada garis-batas, yang tidak menentu atau tidak jelas derajatnya intelegensinya.30

Ketentuan Pasal 1 huruf e Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar menyebutkan :

“Pelacur adalah seorang baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan hubungan kelamin dan atau seksual tanpa ikatan perkawinan yang sah dengan

28 Kartini Kartono, 2007, Psikologi Wanita Jilid 2 Mengenal Wanita Sebagai Ibu Dan Nenek, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Kartini Kartono II), hlm. 216.

29 Koentjoro, Op.cit, hlm. 27.

30 Kartini Kartono, 2005, Psikologi Wanita Jilid I Mengenai Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Kartini Kartono III), hlm. 239.


(43)

maksud mendapat imbalan jasa baik finansial maupun material bagi dirinya sendiri dan atau pihak lain”.

Dari pengertian pelacuran tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pelacuran merupakan sebuah usaha memperjual-belikan kegiatan seks diluar nikah dengan imbalan materi serta pelacur diartikan sebagai perempuan atau laki-laki yang melakukan kegiatan seks diluar nikah dengan mengaharapkan suatu imbalan materi.

2.1.3 Jenis- Jenis Pelacuran

Kenyataan membuktikan, perbuatan pelacuran semakin marak terjadi tanpa mengenal tempat maupun mengenal waktu. Ironisnya, dalam dunia pelacuran seorang wanita masuk ke dalam pelacuran hanya karena kebodohan, kemiskinan, penipuan, keterbatasan pemdidikan, frustasi, dll sehingga wanita yang menjadi pelacur selalu dipersalahkan dan selalu dianggap rendah oleh masyarakat sekitarnya. Maka dari hal ini lah kita perlu mengetahui baik jenis tempat prostitusi maupun jenis pelacuran agar dapat terhindar dari perbuatan tercela tersebut. Jenis-jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yakni :

a. Prostitusi yang terdaftar, pelakunya diawasi oleh bagian Vie Control dari Kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum.

b. Prostitusi yang tidak terdaftar, termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya pun tidak tertentu. Bisa disembarang tempat, baik mencari “mangsa” sendiri, maupun melalui calo-calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib, sehingga kesehatannya sangat


(44)

diragukan, karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter.31

Menurut jumlahnya, prostitusi dibagi dalam :

a. Prostitusi yang beroperasi secara individual, merupakan “single operator”. b. Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan “sindikat” yang teratur

rapi. Jadi, mereka itu tidak bekerja sendirian, akan tetapi diatur melalui sistem kerja.32

Sedang menurut tempat penggolongan atau lokasinya, prostitusi dapat dibagi menjadi :

a. Segregasi atau lokalisasi, yang terisolir atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Kompleks ini dikenal sebagai daerah „lampu merah” atau petak -petak daerah tertutup.

b. Rumah-rumah panggilan

c. Dibalik front organisasi atau dibalik bussiness-bussiness terhormat (apotik, salom kecantikan, rumah makan, tempat mandi uap dan pijat, anak wayang, sirkus, dll).33

Praktek pelacuran tumbuh dengan pesatnya dikota-kota yang tengah berkembang, karena semakin besar kebutuhan kaum pria akan pemuasan dorongan seksual maka akan semakin pesat pula pertumbuhan pelacur

31 Kartini Kartono I, op.cit, hlm. 240. 32Ibid, hlm. 242.


(45)

pusat kota. Reekless selanjutnya membeda-bedakan pelacur atas delapan jenis, sebagai berikut:

a. Profesional Prostitue, ialah mereka yang melakukan pelacuran sebagai

sumber kehidupan dengan tiada memiliki pekerjaan lain hububgan seksual dilakukan sebagai kebiasaan untuk menghasilkan uang atau semata-mata untuk memperoleh keuntungan belaka.

b. Occassional Prostitue, mereka yang mempunyai pekerjaan-pekerjaan

tertentu, tetapi sewaktu-waktu menggunakan kesempatan untuk pelacuran.

c. One Man Prostitue, ialah mereka yang menjual dirinya pada suatu orang

tertentu dan bersikap sebagai piaraan untuk memperolah imbalan keuntungan dan uang.

d. Promiscuos Adulteress, ialah mereka yang mempunyai suami tetapi

melakukan hubungan dengan orang lain.

e. Adulteress One Man, perzinahan dengan seseorang, walaupun memiliki

suami, tetapi mengadakan hubungan rahasia dan tidak semata-mata untuk kebutuhan uang dan keuntungan.

f. Promiscuous Unaltcahed, ialah mereka yang belum kawin, atau mereka yang

telah menjadi janda, atau mereka yang terpisah dengan suaminya, atau mereka yang telah cerai, melakukan hubungan seksual dengan beberapa orang tanpa memungut keuntungan.

g. Unconvesional, ialah perempuan yang memasuki sesuatu rumah tangga

secara tidak resmi dan berlaku bagaikan suami istri, atau mereka yang melakukan hubungan seksual sebelum perkawinan yang sah.

h. Doubtful, perempuan yang diragukan apakah melacur atau melakukan

perzinahan.34

Jika dihubungkan dengan kegiatan para pelacur atau kegiatan mereka yang mendalangi pelacur, Rekless mengemukakan pula empat jenis pelacur, sebagai berikut :

a. Brothel Prostitue, operasi mereka dilakukan disuatu tempat dalam rumah,

yang diorganisir dan menantikan langganan pria berkunjung ketempat itu.

b. Call Girl Prostitue, tempat operasi mereka ialah di hotel-hotel atau apartmen

kediaman langganan. Ia dipanggil melalui telpon atau perantara-perantara.

c. Street Or Public Prostitue, type ini beroperasi dijalan-jalan atau

tempat-tempat umum dan membawa langganannya ketempat-tempat-tempat-tempat tertentu.

34 G.W Bawengan, 1977, Masalah Kejahatan Dengan Sebab Akibat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 55.


(46)

Biasanya mereka lebih bebas karena tidak terorganisir, atau hanya sekedar ditemani oleh mereka yang menjadi pengawalnya.

d. Unorganized Profesional Prostitue, tempat operasi mereka ialah apartment

atau flat yang didiaminya sendiri. Type ini digolongkan sebagai tingkat atas dan biasanya mengadakan operasi seorang diri. Penghubung-penghubung yang digunakan misalnya sopir-sopir taxi atau orang-orang terpilih yang tahu seluk-beluk untuk memperoleh langganan.35

Adanya pelacuran akan menimbulkan dampak yang buruk bagi kehidupan manusia, bahwa pelacuran merupakan pukulan terhadap rumah tangga dan keluarga, melemahkan kepribadian, serta pelacuran juga dapat menggangu kesehatan umum, menyebabkan penyebaran penyakit, dapat meracuni generasi muda dan mendorong kearah kriminalitas seksual bagi remaja maupun masyarakat.

2.2 Sanksi Pidana

2.2.1 Pengertian Sanksi Pidana

Pemidanaan dan penindakan merupakan sanksi dalam hukum pidana.36 Bagian terpenting dari suatu KUHP adalah stelsel pidananya karena KUHP tanpa stelsel pidana tidak akan ada artinya. Pidana merupakan bagian mutlak dari hukum pidana, karena pada dasarnya hukum pidana memuat dua hal, yakni syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidanya itu sendiri.37 Pada hakikatnya pemidanaan merupakan suatu kesengajaan untuk memberikan semacam penderitaan kepada seorang pelaku dari suatu tindak pidana, sedangkan

35Ibid, hlm 56.

36 Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 185. 37 Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 20.


(47)

suatu penindakan menurut hukum pidana, unsur kesengajaan untuk memberikan semacam penderitaam seperti tidak ada sama sekali.38

Sanksi tidak lain merupakan reaksi, akibat dan konsekuensi pelanggaran kaedah sosial. Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku.39 Sifat hakikat sanksi secara konvensional dapat diadakan perbedaan antara sanksi positif yang merupakan imbalan dengan sanksi negatif yang berupa hukuman. Kalangan hukum lazimnya beranggapan bahwa hukuman merupakan penderitaan, sedangkan imbalan merupakan suatu kenikmatan, sehingga akibat-akibatnya pada perilaku serta merta akan mengikutinya.40

Sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreiging) dan mempunyai tugas agar norma yang telah ditetapkan dalam hukum dan Undang-Undang untuk ditaati sebagai akibat hukum atas pelanggaran norma. Sanksi juga diartikan sebagai akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain yang dilakukan oleh manusia atau organisasi sosial. Sanksi hukum yang berupa pidana yang diancamkan kepada pembuat delik merupakan ciri perbedaan hukum pidana dengan jenis hukum yang lain. Pada dasarnya hukum pidana mempunyai sanksi yang negatif, sehingga dengan sistem sanksi yang negatif tersebut tumbuh

38 P.A.F Lamintang dan Theo Lumintang, Op.cit, hlm. 194.

39 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, hlm. 29.

40 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, CV Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto IV), hlm. 82.


(48)

pandangan bahwa pidana hendaknya diterapkan jika upaya lain sudah tidak memadai lagi.

Pada hakikatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaidah dalam keadaan semula. Menurut Kanter dan Sianturi, tugas sanksi adalah :

a. Merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang;

b. Merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum.41

Sanksi pidana adalah salah satu sarana paling efektif yang digunakan untuk menanggulangi kejahatan, namun pidana bukan sarana satu-satunya sehingga apabila perlu digunakan kombinasi dengan upaya sosial lainnya, oleh karena itu perlu dikembangkan prinsip pidana “ultimium remedium” tidak menonjolkan sikap “premium remedium”.42

Dalam konteks hukum pidana, “ultimum remedium” merupakan asas hukum yang menempatkan hukum pidana sebagai alat terakhir dalam penegakan hukum, sedangkan “premium remedium” merupakan teori hukum pidana modern yang menyatakan bahwa hukum pidana sebagai alat utama dalam penegakan hukum. Namun, dalam perkembangannya penerapan dari “ultimum remedium” sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala-kendala, dan faktor-faktor

41 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 30.

42 H. Hambali Thalib, 2009, Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan Diluar Kodifikasi Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 12.


(49)

lain salah satunya adalah karena hukum pidana memiliki Undang-Undang (Peraturan) yang mengatur setiap tindak kejahatan dan pelanggaran yang tentunya didalam penerapan sanksi hukum pidana tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.

Efektifnya sanksi juga tergantung pada karakteristik dan kepribadian orang-orang yang terkena sanksi. Hal ini antara lain menyangkut jumlah orang-orang yang terkena dan sejauh mana sanksi tersebut mempengaruhi tingkah laku orang-orang yang terkena sanksi tersebut. Faktor keinginan masyarakat juga perlu diperhitungkan, artinya sampai sejauh manakah masyarakat menginginkan bahwa perilaku tertentu dilarang atau dikendalikan secara ketat. Hal ini bersesuaian dengan konsep bekerjanya hukum menurut Lawrebce Friedman, khususnya tentang komponen kultural yang mencakup keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum termasuk sanksi hukum sebagai bagian komponen susbstansi hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya masyarakat umum.43

Perlu diketahui lebih dahulu bahwa ada kalanya sanksi pidana itu bersifat positif yaitu penetapan pemberian premi (ganjaran) kepada pelopor kjahatan.44 H.L. Packer sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction” yakni :

43Ibid, hlm 110.

44 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990,Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 69.


(50)

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, karena kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana (The criminal sanction is indispensable, we could not, now or in the foreseeable future, get along without it);

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman- ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and

immediate harms and treats of harm);

3. Sanksi pidana suatu ketika merupaan “penjamin yang utama atau terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi. Ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is

guarantor. Used indiscriminately and coercively, it is threatener).45

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan sanksi dalam hal ini adalah sanksi hukum dalam arti sanksi yang unsur-unsurnya dapat dirumuskan sebagai reaksi terhadap akibat atau konsekuensi terhadap pelanggaran atau penyimpangan kaidah sosial, baik kaidah hukum maupun kaidah sosial non hukum, dan merupakan kekuasaan atau alat kekuasaan untuk memaksakan ditaatinya kaidah sosial tertentu / peraturan.46

Menurut Barda Nawawi Arief dalam konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut R-KUHP) sendiri mengenai sanksi pidana dirumuskan berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskannya hal ini bertolak dari pokok pemikiran bahwa :

a. Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

45 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 155-156.


(51)

b. Tujuan pidana merupakan bagian integral (sub sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) disamping sub sistem lainnya, yaitu sub sisetem “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”.

c. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/ kontrol/ pengarah dan sekaligus memberikan dasar/ landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan.

d. Dilihat secara fungsional/ operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi”, dan tahap “eksekusi”. Oleh karena itu, agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara tiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.47

Sehingga dilihat dari titik tolak perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan, Barda Nawawi Arief mengemukakan makna dari hakikat pembaharuan hukum pidana yang dapat dilihat dari sudut pendekatan kebijakan yakni :

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/ menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum

(legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.48

Lebih konkret lagi Sahetapy mengemukakan mengenai pembaharuan hukum pidana khususnya mengenai pemidanaan sebagai berikut :

“Pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan. Pembebasan disini harus dilihat bukan dalam pengertian fisik. Sebab secara fisik yang bersangkutan sama sekali tidak mengalami, kecuali geraknya dibatasi karena ia berada dalam Lembaga Pemasyarakatan. Namun, dalam keterbatasan ruang

47 Barda Nawawi Arief, 2011, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 275-276.

48 Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teorrtis Dan Praktik, Penerbit PT Alumni, Bandung, hlm. 399.


(52)

geraknya, ia dibebaskan secara mental dan spiritual. Dengan demikian, ia seolah-olah mengalami suatu kelahiran kembali secara mental dan spiritual. Ini berarti, ia bukan saja melepaskan pula cara-cara dan gaya hidupnya yang lama, melainkan ia melepaskan cara berpikir dan kebiasaan yang lama. Dalam memikirkan tujuan membebaskan dari pidana, sahetapy berpangkal tolak dari pancasila yang mengambil peranan sentral lagi menentukan”.49

Ketentuan tersebut diatas, dalam konsep R-KUHP Tahun 2015, tujuan pemidanaan diatur dalam ketentuan Pasal 54 yakni :

(1) Pemidanaa bertujuan :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

2. Memasyarakatakan terpidana dengan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan; 4. Membebaskan rasa bersalah pda terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Mengenai pedoman pemidanaan diatur dalam ketentuan Pasal 55 R-KUHP Tahun 2015 yakni :

(1) Dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan : 1. Kesalahan pembuat tindak pidana;

2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; 3. Sikap batin pembuat tindak pidana;

4. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;

5. Cara melakukan tindak pidana;

6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

7. Riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;

8. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; 9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; 10.Pemaafan dari korban dan/ atau keluarganya;

11.Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan


(53)

untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Konsep mengenai sanksi pidana dalam KUHP baik pemidanaan dan tindakan berbeda dengan yang ada dalam R-KUHP, konsep dalam R-KUHP lebih menjelaskan secara rinci mengenai sanksi pemidanaan dan tindakan, maka dengan adanya konsep yang telah dirumuskan diatas tujuan dan pedoman pemidanaan yakni untuk perlindungan masyarakat dan perlindungan/ pembinaan individu. Dalam konsep R-KUHP pengimplementasian tujuan pemidanaan kedalam syarat pemidanaan dilakukan karena dalam memberikan pemaafaan/ pengampunan, hakim juga harus mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan. Jadi syarat pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana” (asas legalitas) dan “kesalahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”.

2.2.2 Jenis-Jenis Sanksi Pidana

KUHP telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam Pasal 10, diatur dua pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP sebagai berikut :

A. Jenis Pidana Pokok meliputi 1. Pidana Mati;

2. Pidana Penjara; 3. Pidana Kurungan; 4. Pidana Denda; 5. Pidana Tutupan.

B. Jenis Pidana Tambhan meliputi

1. Pencabutan beberapa Hak-Hak Tertentu; 2. Perampasan Barang-Barang Tertentu;


(1)

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau

pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.

Kata “pekerjaannya” juga pada teks lain dipakai “pencariannya”, dimaksudkan bahwa yang bersangkutan menerima bayaran. Kata “sengaja”

ditunjukan pada mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, kata

“kebiasaan” berarti telah berulang-ulang.59

Artinya unsur-unsur seseorang (muchikari/ germo) yang menyediakan tempat/ rumah/ kamarnya untuk melakukan perbuatan melacur (bersetubuh atau melepaskan nafsu nya) kepada perempuan dan laki-laki maka perbuatan tersebut dapat ditindak lanjutin dengan delik pidana yang terdapat pada ketentuan Pasal 296 KUHP ini.

Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa :

“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa,

diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

Undang-undang sendiri tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan perdagangan wanita dan/ laki-laki, berkenaan dengan kenyataan tersebut terdapatlah didalam doktrin mengenai berbagai pendapat yang pada dasarnya ingin mengatakan bahwa harus dimasukan dalam pengertian perdagangan wanita dan/ laki-laki yakni setiap perbuatan yang secara langsung bertujuan untuk membuat seorang wanita menjadi tergantung pada orang lain,

59 Leden Marpaung, 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 115.


(2)

yang memang mempunyai keinginan untuk menguasai wanita tersebut untuk dipekerjakan ditempat-tempat pelacuran.60

Artinya, mengingat wanita dan laki-laki belum dewasa oleh Undang-Undang pidana ingin dilindungi dari bahaya maka ketentuan pidana ini harus secara tegas ditindak lanjuti.

Pasal 506 KUHP menyatakan bahwa :

“Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan mata pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Artinya barang siapa sebagai germo/ muchikari mengambil keuntungan dari perbuatan melanggar kesusilaan oleh seorang wanita, dipidana kurungan selama-lamanya satu tahun.61 Tindak pidana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur Pasal 506 KUHP hanya terdiri atas unsur-unsur objektif, masing-masing yakni :

1. Barang siapa;

2. Sebagai seorang germo;

3. Mengambil keuntungan dari perbuatan melanggar kesusilaan oleh seorang wanita.62

“Adanya germo atau muchikari ini merupakan salah satu faktor yang terpenting, yang memungkinkan terjadinya perbuatan-perbuatan melanggar

60 P.A.F Lamintang Dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 206.

61ibid, hlm 335.


(3)

kesusilaan secara luas, tidak dapat disangkal lagi kebenarannya merupakan penyebab dari mewabahnya penyakit kotor dikalangan masyarakat luas, yang pada giliran selanjutnya dapat menyebabkan keturunan dari mereka yang terkena penyakit kotor itu mengalami suatu retardasi mental, bahkan juga terkena penyakit jiwa”.63

Maka dari hal inilah unsur-unsur seorang yang melakukan perbuatan menjalankan bisnis praktek pelacuran (muchikari/ germo) secara jelas dan tegas sudah seharusnya dapat ditindak lanjuti dengan delik pidana dengan ketentuan Pasal 506 KUHP ini.

Melihat ketentuan ketiga pasal tersebut diatas, pasal-pasal tersebut hanya mengatakan bahwa pasal itu hanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan rumah bordil/ tempat-tempat pelacuran dan bagi orang yang menarik keuntungan dari perbuatan pelacuran tersebut, dibuktikan dengan perbuatan itu

menjadi “pencarian” (dengan pembayaran) atau “kebiasaannya” (lebih dari satu

kali) serta “meranik keuntungan”.64

Dari ketentuan tersebut diatas, didalam KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia tempat untuk pelacuran serta bagi muchikari atau germo nya saja, bahkan dalam R-KUHP terakhir Tahun 2015 juga belum mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran. Pada R-KUHP Tahun 2015 mengenai tindak pidana kesusilaan diatur dalam BAB XVI, ketentuan yang terdapat dalam R-KUHP tersebut sama halnya yang diatur dalam KUHP hanya saja yang membedakan mengenai sanksi pidana baik bagi muchikari atau germo

63Ibid, hlm. 340

64 R. Soesilo, 1990, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


(4)

maupun bagi penyedia tempat untuk pelacuran lebih berat ancaman penjatuhan pidana penjara maupun ancaman pidana denda nya .

Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar peraturan-peraturan dalam industri seks di Indonesia. Larangan pemberian layanan seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah, baik pada tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dan tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang tindak pidana pelacuran tersebut.

Di Bali khususnya kota Denpasar Peraturan Daerah terkait untuk menjerat para pelaku pelacuran dapat kita lihat dari Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar. Ketentuan yang digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana pelacuran dilihat pada Pasal 6 Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar menyatakan bahwa :

“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dalam Pasal-Pasal dari Bab II sampai dengan Bab III dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah)”. Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelaku tindak pidana pelacuran yakni pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah), namun ironisnya para pelaku tindak pidana pelacuran tersebut tetap saja menjalankan profesinya tanpa adanya efek jera, padahal secara jelas


(5)

diketahui bahwa pelaku tersebut telah melakukan unsur-unsur yang masuk dalam ketentuan Perda tersebut.

Pengaturan mengenai Pelacuran di Kota Denpasar menurut Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 Tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar terdiri dari 6 (enam) bab yaitu mengatur hal-hal sebagai berikut :

1) Bab I, mengenai Ketentuan Umum yang diatur pada Pasal 1 yaitu mengenai pengertian tentang pelacur, tuna susila, tempat perbuatan tuna susila atau pelacuran, germo atau muchikari;

2) Bab II, mengenai Larangan, Larangan yang dimaksud adalah larangan terhadap perbuatan tuna susila atau pelacuran dalam Daerah Kota Denpasar, termasuk juga peranan Desa Adat/ Banjar Adat yang diwajibkan ikut berpartisipasi aktif dalam upaya pemberantasan usaha pelacuran dan atau tuna susila dalam wilayahnya masing-masing. Larangan ini diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 4;

3) Bab III, mengenai Pengawasan, diatur dalam Pasal 5 yaitu pengawasan terhadap Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk;

4) Bab IV, mengenai ketentuan Pidana, diatur dalam Pasal 6 yaitu Setiap orang yang melanggar Peraturan Daerah ini dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah);

5) Bab V, mengenai ketentuan Penyidik, diatur dalam Pasal 7 yaitu selain Pejabat Penyidik Umum dapat juga dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai


(6)

Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Daerah bersangkutan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku;

6) Bab VI, mengenai ketentua Penutup, diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9.

Tindak pidana pelacuran merupakan suatu tindak pidana ringan, ketentuan mengenai tindak pidana ringan diatur dalam Pasal 205 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa :

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah ,

perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini”.

Dilihat dari rumusan pasal tersebut diatas maka tindak pidana pelacuran

merupakan suatu tindak pidana ringan dengan istilah “tipiring” yakni tindak

pidana yang bersifat ringan atau tidak berbahaya yang hakikat pengadaan acara pemeriksaan nya dengan prosedur yang lebih sederhana.


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK YANG MASIH DI BAWAH UMUR Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Yang Masih Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

0 5 19

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK YANG MASIH DI BAWAH UMUR Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Yang Masih Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

0 6 12

SKRIPSI PENERAPAN SANKSI PIDANA MINIMUM KHUSUS PADA PELAKU Penerapan sanksi Pidana Minimum Khusus Pada Pelaku Tindak Pidana Korupsi.

0 6 13

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA.

0 3 77

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA.

0 0 57

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU GRATIFIKASI (STUDI KASUS PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR).

1 4 13

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA

0 1 34

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA

0 0 34

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

0 0 135