Identifikasi Diabetic Retinopathy Melalui Citra Retina Menggunakan Modified K-Nearest Neighbor

(1)

IDENTIFIKASI DIABETIC RETINOPATHY MELALUI CITRA RETINA MENGGUNAKAN MODIFIED K-NEAREST NEIGHBOR

SKRIPSI

AMELIA FEBRIANI 101402009

PROGRAM STUDI S1 TEKNOLOGI INFORMASI

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

IDENTIFIKASI DIABETIC RETINOPATHY MELALUI CITRA RETINA MENGGUNAKAN MODIFIED K-NEAREST NEIGHBOR

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh ijazah Sarjana Teknologi Informasi

AMELIA FEBRIANI 101402009

PROGRAM STUDI S1 TEKNOLOGI INFORMASI

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

PERSETUJUAN

Judul : IDENTIFIKASI DIABETIC RETINOPATHY MELALUI CITRA RETINA MENGGUNAKAN MODIFIED

K-NEAREST NEIGHBOR

Kategori : SKRIPSI

Nama : AMELIA FEBRIANI

Nomor Induk Mahasiswa : 101402009

Program Studi : S1 TEKNOLOGI INFORMASI Departemen : TEKNOLOGI INFORMASI

Fakultas : ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. Erna Budhiarti Nababan, M.IT Romi Fadillah Rahmat, B.Comp.Sc., M.Sc.

NIP. - NIP. 19860303 201012 1 004

Diketahui/disetujui oleh

Program Studi S1 Teknologi Informasi Ketua,

Muhammad Anggia Muchtar, ST., MM.IT NIP. 19800110 200801 1 010


(4)

PERNYATAAN

IDENTIFIKASI DIABETIC RETINOPATHY MELALUI CITRA RETINA MENGGUNAKAN MODIFIED K-NEAREST NEIGHBOR

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing telah disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2014

Amelia Febriani 101402009


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta restu-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Informasi.

Pertama, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Romi Fadillah Rahmat, B.Comp.Sc., M.Sc selaku pembimbing pertama dan Ibu Dr. Erna Budhiarti Nababan, M.IT selaku pembimbing kedua yang telah membimbing penulis dalam penelitian serta penulisan skripsi ini. Tanpa inspirasi serta motivasi yang diberikan dari kedua pembimbing, tentunya penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Fadly Syahputra, B.Sc., M.Sc.IT sebagai dosen pembanding pertama dan Bapak Dani Gunawan, ST., MT sebagai dosen pembanding kedua yang telah memberikan masukan serta kritik yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga ditujuan kepada Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Informasi, Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, dan semua dosen serta pegawai di lingkungan program studi Teknologi Informasi, yang telah membantu serta membimbing penulis selama proses perkuliahan.

Penulis tentunya tidak lupa berterima kasih kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Jabrianul Hasibuan dan Ibu Sasmita Tanjung yang telah membesarkan penulis dengan sabar dan penuh cinta. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kakak penulis Dila Anggraini Putri dan adik penulis Feliza Tania, yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. Penulis juga berterima kasih kepada seluruh anggota keluarga penulis yang namanya tidak dapat disebutkan satu satu.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan, khususnya Noviyanti Tri M, Halimatussadiah, Ilmi Fadhillah Rizki, Sheila Khairuna, serta seluruh teman-teman angkatan 2010 dan teman-teman mahasiswa Teknologi Informasi lainnya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian.


(6)

ABSTRAK

Diabetic retinopathy merupakan komplikasi mikrovaskuler dari penyakit diabetes melitus yang menyerang pembuluh darah di retina. Karakteristik utama dari diabetic retinopathy

adalah mikroaneurisma, pendarahan retina, eksudat, dan neovaskularisasi. Salah satu cara yang digunakan untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy adalah pemeriksaan pada citra retina. Adapun pemeriksaan masih dilakukan secara manual oleh dokter mata. Pemeriksaan manual membutuhkan waktu yang lama dan kesalahan identifikasi mungkin terjadi karena beberapa karakteristik diabetic retinopathy sulit untuk dilihat secara langsung, sehingga dibutuhkan suatu metode yang dapat mempermudah dokter mata dalam mengidentifikasi

diabetic retinopathy. Metode yang diajukan pada penelitian ini adalah Modified k-Nearest Neighbor untuk identifikasi diabetic retinopathy. Sebelum tahap identifikasi dilakukan, citra retina akan mengalami pre-processing, optic disc elimination, dan feature extraction

menggunakan Gray Level Co-occurrence Matrix. Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa metode yang diajukan mampu melakukan identifikasi diabetic retinopathy dengan akurasi 86,4%, sensitifitas 91,6%, dan spesifisitas 80%.

Kata kunci: Identifikasi diabetic retinopathy, optic disc elimination, Gray Level Co-occurrence Matrix, Modified k-Nearest Neighbor.


(7)

DIABETIC RETINOPATHY IDENTIFICATION THROUGH FUNDUS IMAGE USING MODIFIED K-NEAREST NEIGHBOR

ABSTRACT

Diabetic retinopathy is a microvascular complication of diabetes mellitus which affect the blood vessels in the retina. The main characteristics of diabetic retinopathy are microaneurysms, retinal hemorrhages, exudates, and neovascularization. One way used to identify diabetic retinopathy is the examination of the fundus image. The examination is still done manually by ophthalmologist. Manual examination requires a lot of time and errors may occur during the examination because some characteristics of diabetic retinopathy are hard to be seen directly, so it is needed a method which can help opthalmologist in identifying diabetic retinopathy. The method proposed in this research for identification of diabetic retinopathy is Modified k-Nearest Neighbor. Pre-processing, optic disc elimination, and feature extraction using Gray Level Co-occurrence Matrix will be done before the identification phase. This research shows that the proposed method is able to identify diabetic retinopathy with accuracy of 86,4%, sensitivity of 91,6%, and specificity of 80%.

Keyword: diabetic retinopathy identification, optic disc elimination, Gray Level Co-occurrence Matrix, Modified k-Nearest Neighbor.


(8)

DAFTAR ISI

Hal.

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Ucapan Terima Kasih iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

BAB 1 Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 2

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Batasan Masalah 3

1.5. Manfaat Penelitian 4

1.6. Metodologi Penelitian 4

1.7. Sistematika Penulisan 5

BAB 2 Landasan Teori 6

2.1. Diabetic Retinopathy 6

2.1.1. Karakteristik diabetic retinopathy 6 2.1.2. Faktor resiko diabetic retinopathy 7


(9)

2.1.3. Gejala diabetic retinopathy 8 2.1.4. Pemeriksaan diabetic retinopathy 8 2.1.5. Pencegahan diabetic retinopathy 10 2.1.6. Pengobatan diabetic retinopathy 11

2.2. Citra 12

2.2.1. Citra biner (binary image) 12 2.2.2. Citra keabuan (grayscale image) 13

2.2.3. Citra warna (color image) 14

2.3. Pengolahan Citra 14

2.3.1. Cropping 14

2.3.2. Scaling 15

2.3.3. Grayscaling 15

2.3.4. Perbaikan citra (Image Enhancement) 16

2.3.5. Thresholding 17

2.3.6. Erosi 17

2.3.7. Inversi 18

2.3.8. Perkalian Citra 18

2.4. Gray Level Co-occurence Matrix (GLCM) 19

2.4.1. Contrast 22

2.4.2. Homogenity 23

2.4.3. Energy 23

2.4.4. Entropy 23

2.4.5. Variance 24

2.4.6. Correlation 24

2.5. Modified k-Nearest Neighbor 24


(10)

2.6. Penelitian Terdahulu 27

BAB 3 Analisis dan Perancangan 30

3.1. Arsitektur Umum 30

3.2. Dataset 31

3.3. Pre-processing 32

3.3.1. Pemotongan citra (Cropping) 32 3.3.2. Memperkecil ukuran citra (Scaling) 33 3.3.3. Pembentukan citra green channel 33

3.3.4. Peningkatan kualitas citra 34

3.4. Optic Disc Elimination 34

3.4.1. Pembentukan citra biner (Thresholding) 35 3.4.2. Penipisan piksel pada objek (Erosion) 35 3.4.3. Pembentukan citra negatif (Inversion) 37

3.4.4. Perkalian citra 38

3.5. Feature Extraction 38

3.6. Klasifikasi 41

3.7. Perancangan Sistem 42

3.7.1. Perancangan menu sistem 42

3.7.2. Perancangan antarmuka 42

BAB 4 Implementasi dan Pengujian 45

4.1. Implementasi Sistem 45

4.1.1. Spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak

yang digunakan 45


(11)

4.1.2. Implementai perancangan antarmuka 46

4.1.3. Implementasi data 47

4.2. Prosedur Operasional 48

4.3. Pengujian Sistem 52

BAB 5 Kesimpulan dan Saran 57

5.1. Kesimpulan 57

5.2. Saran 57

Daftar Pustaka 59


(12)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 2.1. Penelitian terdahulu 28

Tabel 3.1. Pembagian citra yang digunakan dalam penelitian 31

Tabel 3.2. Pembagian training dataset 31

Tabel 3.2. Pembagian testing dataset 31

Tabel 3.4. Fitur Haralick 40

Tabel 4.1. Rangkuman data citra retina 47

Tabel 4.2. Ukuran kinerja hasil pengujian (Kadah, 2012) 52

Tabel 4.3. Data hasil pengujian 54

Tabel 4.4. Ukuran kinerja hasil pengujian berdasarkan Gold Standard 56


(13)

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 2.1. Penglihatan orang normal dan penderita diabetic retinopathy

(NEI, 2012) 7

Gambar 2.2. Fundus photography 9

Gambar 2.3. Citra fluorescein angiography 10

Gambar 2.4. Citra Optical Coherence Tomography (OCT) 10

Gambar 2.5. Citra biner 13

Gambar 2.6. Citra keabuan 13

Gambar 2.7. Citra warna 14

Gambar 2.8. Arah ketetanggaan antara dua piksel 19

Gambar 2.9. Jarak antar piksel 20

Gambar 2.10. Citra grayscale dalam bentuk matriks dan matriks framework 21 Gambar 2.11. Matriks kookurensi dengan jarak 1 dan arah 0 21 Gambar 2.12. Matriks kookurensi, matriks transpose, dan matriks simetris 22 Gambar 3.1. Arsitektur umum dari metode yang diajukan 30 Gambar 3.2. Citra retina asli, citra hasil pemotongan secara horizontal,

dan citra hasil pemotongan secara vertikal 33

Gambar 3.3. Citra greenchannel 33

Gambar 3.4. Citra hasil proses contrast stretching 34

Gambar 3.5. Optic disc pada retina 34

Gambar 3.6. Area optic disc pada citra biner 35

Gambar 3.7. Citra hasil erosion 36

Gambar 3.8. Citra hasil deteksi optic disc 37


(14)

Gambar 3.9. Citra negatif 37 Gambar 3.10. Citra negatif, citra hasil proses contrast stretching, dan citra

hasil eliminasi optic disc 38

Gambar 3.11. Citra masking 39

Gambar 3.12. Struktur menu aplikasi 42

Gambar 3.13. Rancangan tampilan awal aplikasi 43 Gambar 3.14. Rancangan tampilan utama aplikasi 44

Gambar 4.1. Tampilan awal sistem 46

Gambar 4.2. Tampilan utama sistem 47

Gambar 4.3. Tampilan saat tombol “Browse” dipilih 48 Gambar 4.4. Tampilan utama aplikasi setelah citra retina dipilih 49 Gambar 4.5. Tampilan awal aplikasi pada proses identifikasi 50 Gambar 4.6. Tampilan zoom citra green channel 50 Gambar 4.7. Tampilan zoom citra hasil contrast stretching 51 Gambar 4.8. Tampilan zoom citra hasil eliminasi optic disc 51

Gambar 4.9. Grafik hasil akurasi pengujian 53

Gambar 4.10. Grafik perbedaan desired output dan actual output 55


(15)

ABSTRAK

Diabetic retinopathy merupakan komplikasi mikrovaskuler dari penyakit diabetes melitus yang menyerang pembuluh darah di retina. Karakteristik utama dari diabetic retinopathy

adalah mikroaneurisma, pendarahan retina, eksudat, dan neovaskularisasi. Salah satu cara yang digunakan untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy adalah pemeriksaan pada citra retina. Adapun pemeriksaan masih dilakukan secara manual oleh dokter mata. Pemeriksaan manual membutuhkan waktu yang lama dan kesalahan identifikasi mungkin terjadi karena beberapa karakteristik diabetic retinopathy sulit untuk dilihat secara langsung, sehingga dibutuhkan suatu metode yang dapat mempermudah dokter mata dalam mengidentifikasi

diabetic retinopathy. Metode yang diajukan pada penelitian ini adalah Modified k-Nearest Neighbor untuk identifikasi diabetic retinopathy. Sebelum tahap identifikasi dilakukan, citra retina akan mengalami pre-processing, optic disc elimination, dan feature extraction

menggunakan Gray Level Co-occurrence Matrix. Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa metode yang diajukan mampu melakukan identifikasi diabetic retinopathy dengan akurasi 86,4%, sensitifitas 91,6%, dan spesifisitas 80%.

Kata kunci: Identifikasi diabetic retinopathy, optic disc elimination, Gray Level Co-occurrence Matrix, Modified k-Nearest Neighbor.


(16)

DIABETIC RETINOPATHY IDENTIFICATION THROUGH FUNDUS IMAGE USING MODIFIED K-NEAREST NEIGHBOR

ABSTRACT

Diabetic retinopathy is a microvascular complication of diabetes mellitus which affect the blood vessels in the retina. The main characteristics of diabetic retinopathy are microaneurysms, retinal hemorrhages, exudates, and neovascularization. One way used to identify diabetic retinopathy is the examination of the fundus image. The examination is still done manually by ophthalmologist. Manual examination requires a lot of time and errors may occur during the examination because some characteristics of diabetic retinopathy are hard to be seen directly, so it is needed a method which can help opthalmologist in identifying diabetic retinopathy. The method proposed in this research for identification of diabetic retinopathy is Modified k-Nearest Neighbor. Pre-processing, optic disc elimination, and feature extraction using Gray Level Co-occurrence Matrix will be done before the identification phase. This research shows that the proposed method is able to identify diabetic retinopathy with accuracy of 86,4%, sensitivity of 91,6%, and specificity of 80%.

Keyword: diabetic retinopathy identification, optic disc elimination, Gray Level Co-occurrence Matrix, Modified k-Nearest Neighbor.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetic retinopathy merupakan komplikasi mikrovaskular penyakit diabetes melitus yang menyerang pembuluh darah di retina yang menyebabkan penurunan fungsi penglihatan hingga kebutaan (Khan et al., 2011). Penyakit ini biasanya menyerang seseorang yang telah menderita diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 selama lebih dari 15 tahun. Diabetic retinopathy ditandai dengan munculnya titik-titik pada pembuluh darah retina (mikroaneurisma), pendarahan akibat pecahnya pembuluh darah, dan munculnya bercak kekuningan berupa lipid (eksudat) pada retina. Pada kasus yang lebih berat, terjadi pembentukan pembuluh darah baru yang abnormal (sangat tipis dan mudah pecah) pada retina yang disebut neovaskularisasi.

Salah satu cara yang digunakan dalam identifikasi diabetic retinopathy

adalah pemeriksaan pada citra retina yang didapat dari kamera fundus. Akan tetapi, pemeriksaan pada citra retina masih dilakukan secara manual oleh dokter mata (Putra et al., 2010). Pemeriksaan manual membutuhkan waktu yang lama dan keberadaan mikroaneurisma, pendarahan, eksudat, dan neovaskularisasi sulit untuk dilihat secara langsung, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan identifikasi yang berakibat pada kesalahan penanganan pada penderita diabetic retinopathy.

Penelitian yang memanfaatkan citra retina dalam mengidentifikasi diabetic retinopathy sudah dilakukan dengan membandingkan antara metode Support Vector Machine dengan k-Nearest Neighbor sebagai classifier (Setiawan, 2012). Penelitian selanjutnya menggunakan Radial Basis Function untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy. Pada penelitian ini, citra retina mengalami proses segmentasi terlebih dahulu untuk mengetahui keberadaan eksudat dan mikroaneurisma (Vajayamadheswaran et al., 2011). Identifikasi diabetic retinopathy juga pernah


(18)

dilakukan dengan menggunakan 3D-GLCM Projection dan jaringan saraf tiruan (Dillak et al., 2013).

Pada penelitian kali ini, penulis mengajukan metode Modified k-Nearest Neighbour (MkNN). MkNN merupakan pengembangan dari metode k-Nearest Neighbour (kNN). MkNN memberi label kelas pada data pengujian berdasarkan k data pelatihan yang tervalidasi dan bobot dari masing-masing data pelatihan tersebut, bukan hanya berdasarkan jarak terdekat seperti yang dilakukan pada kNN. MkNN memberikan kesempatan yang lebih besar bagi data pelatihan yang memiliki validitas yang tinggi, sehingga klasifikasi tidak terlalu terpengaruh pada data yang kurang stabil atau memiliki validitas yang rendah. Validasi dan bobot yang dimiliki oleh MkNN mampu mengatasi kelemahan dari klasifikasi berdasarkan jarak terdekat (Parvin, 2008). Terdapat dua tahap dalam MkNN. Tahap yang pertama adalah menghitung validitas dari masing-masing data pelatihan. Tahap selanjutnya adalah menghitung bobot pada k data pelatihan yang terdekat dengan data pengujian. MkNN telah digunakan untuk mendeteksi ancaman pada Collaborative Information System (Singh et al., 2014) dan pencarian citra pada Content Based Image Retrieval System (Dharani et al., 2013).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengajukan proposal penelitian dengan judul “IDENTIFIKASI DIABETIC RETINOPATHY MELALUI CITRA RETINA MENGGUNAKAN MODIFIED K-NEAREST NEIGHBOR“.

1.2. Rumusan Masalah

Diabetic retinopathy merupakan komplikasi mikrovaskular penyakit diabetes melitus yang menyerang pembuluh darah di retina. Adapun identifikasi diabetic retinopathy

masih dilakukan secara manual oleh dokter mata melalui citra retina. Pemeriksaan manual memerlukan waktu yang lama, selain itu keberadaan mikroaneurisma, pendarahan, eksudat, dan neovaskularisasi sulit untuk dilihat secara langsung. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang dapat mempermudah dokter mata dalam mengidentifikasi diabetic retinopathy melalui citra retina.


(19)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi diabetic retinopathy melalui citra retina menggunakan Modified k-Nearest Neighbor.

1.4. Batasan Masalah

Untuk menghindari penyimpangan dan perluasan yang tidak diperlukan, penulis membuat batasan:

1. Ekstensi dari citra retina yang digunakan adalah .tif.

2. Resolusi citra retina lebih besar atau sama dengan 1440 × 957. 3. Retina pada citra harus berbentuk lingkaran.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Membantu identifikasi diabetic retinopathy melalui citra retina.

2. Memberi masukan untuk penelitian lain pada bidang image processing.

1.6. Metodologi Penelitian

Tahapan-tahapan yang akan dilakukan pada pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Studi Literatur

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan bahan referensi mengenai diabetic retinopathy, image processing, dan Modified k-Nearest Neighbor dari berbagai buku, jurnal, artikel, dan beberapa sumber referensi lainnya.


(20)

b. Analisis

Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap studi literatur untuk mendapatkan pemahaman mengenai metode yang akan digunakan, yaitu Modified k-Nearest Neighbor untuk menyelesaikan masalah identifikasi diabetic retinopathy melalui citra retina.

c. Perancangan

Pada tahap ini dilakukan perancangan arsitektur, pengumpulan data, pelatihan, dan perancangan antarmuka. Proses perancangan dilakukan berdasarkan hasil analisis studi literatur yang telah didapatkan.

d. Implementasi

Pada tahap ini dilakukan implementasi dari analisis dan perancangan yang telah dilakukan ke dalam kode program.

e. Pengujian

Pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap identifikasi diabetic retinopathy

untuk memastikan hasil identifikasi sesuai dengan apa yang diharapkan. f. Dokumentasi dan Penyusunan Laporan

Pada tahap ini dilakukan dokumentasi dan penyusunan laporan hasil analisis dan implementasi Modified k-Nearest Neighbor dalam identifikasi diabetic retinopathy melalui citra retina.

1.7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari skripsi ini terdiri dari lima bagian utama sebagai berikut. Bab 1: Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang dari penelitian yang dilaksanakan, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab 2: Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori yang diperlukan untuk memahami permasalahan yang dibahas pada penelitian ini. Teori-teori yang berhubungan dengan diabetic


(21)

retinopathy, citra, image processing, ekstraksi fitur, dan Modified k-Nearest Neighbor

akan dibahas pada bab ini.

Bab 3: Analisis dan Perancangan

Bab ini menjabarkan arsitektur umum, pre-processing yang dilakukan, feature extraction, serta analisis dan penerapan metode Modified k-Nearest Neighbor dalam identifikasi diabetic retinopathy melalui citra retina.

Bab 4: Implementasi dan Pengujian

Bab ini berisi pembahasan tentang implementasi dari perancangan yang telah dijabarkan pada bab 3. Selain itu, hasil yang didapatkan dari pengujian yang dilakukan terhadap implementasi yang dilakukan juga dijabarkan pada Bab ini.

Bab 5: Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi ringkasan serta kesimpulan dari rancangan yang telah dibahas pada bab 3, serta hasil penelitian yang dijabarkan pada bab 4. Bagian akhir dari bab ini memuat saran-saran yang diajukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.


(22)

BAB 2

LANDASAN TEORI

Bab ini membahas tentang teori penunjang dan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penerapan metode Modified k-Nearest Neighbor untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy.

2.1. Diabetic Retinopathy

Diabetic retinopathy merupakan salah satu komplikasi mikrovaskuler dari penyakit diabetes melitus. Penyakit ini menyerang pembuluh darah di retina yang dapat menyebabkan penurunan fungsi penglihatan hingga kebutaan pada penderita (Khan et al., 2011).

2.1.1. Karakteristik diabetic retinopathy

Karakteristik awal yang menandakan diabetic retinopathy adalah ditemukannya mikroaneurisma pada retina (Singh, 2008). Mikroaneurisma merupakan area berbentuk kantung-kantung kecil menonjol pada pembuluh darah di retina. Karena berukuran kecil, mikroaneurisma sulit untuk dilihat secara langsung. Karakteristik lain yang muncul adalah vena pada retina mulai mengalami dilatasi berkelok-kelok dan adanya infiltrasi lipid ke dalam retina yang terlihat seperti bercak kekuningan yang disebut dengan eksudat.

Pertumbuhan mikroaneurisma yang terjadi secara terus menerus menyebabkan pembuluh darah yang memberi nutrisi ke retina tersumbat. Sebagian pembuluh darah yang tersumbat pecah sehingga mengakibatkan munculnya titik atau bercak pendarahan pada retina (haemorhages). Penyumbatan dan pecahnya pembuluh darah membuat sebagian area retina kekurangan nutrisi. Area yang kekurangan nutrisi


(23)

kemudian memberikan sinyal pada tubuh untuk membuat pembuluh darah baru agar nutrisi dapat didistribusikan kembali. Pembentukan pembuluh darah baru disebut dengan neovaskularisasi. Adapun pembuluh darah baru yang terbentuk bersifat abnormal, berukukan kecil dan tipis (NEI, 2012).

Diabetic retinopathy mempengaruhi fungsi penglihatan karena pembuluh darah abnormal yang baru terbentuk rentan pecah dan dapat mengakibatkan pendarahan. Jika pendarahan terjadi pada makula, yaitu bagian mata yang mengatur ketajaman penglihatan, maka makula akan mengalami pembengkakan dan ketajaman penglihatan akan terganggu. Kondisi ini dikenal dengan istilah macular edema. Tetapi jika pendarahan terjadi pada permukaan retina, maka akan muncul bintik atau area hitam yang menghalangi penglihatan. Pendarahan pada permukaan retina yang semakin meluas menyebabkan area yang menghalangi penglihatan juga akan semakin meluas, yang lama kelamaan akan menyebabkan kebutaan. Perbedaan penglihatan orang normal dan penderita diabetic retinopathy ditunjukkan pada Gambar 2.1.

(a) (b)

Gambar 2.1. (a) penglihatan orang normal; (b) penglihatan penderita diabetic retinopathy (NEI, 2012)

2.1.2. Faktor resiko diabetic retinopathy

Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terkena diabetic retinopathy adalah sebagai berikut.

1. Lamanya seseorang menderita diabetes melitus

Semakin lama seseorang menderita diabetes melitus maka semakin besar resiko terkena diabetic retinopathy.


(24)

2. Tipe diabetes melitus

Penderita diabetes melitus tipe 2 lebih beresiko terkena diabetic retinopathy jika dibandingkan dengan penderita diabetes melitus tipe 1.

3. Hipertensi

Penderita diabetes melitus yang memiliki tekanan darah yang tinggi lebih beresiko terkena diabetic retinopathy.

4. Kehamilan

Wanita hamil yang menderita diabetes melitus memiliki resiko yang lebih besar terkena diabetic retinopathy dibandingkan wanita yang tidak hamil.

5. Usia

Penderita diabetes melitus yang berusia 13 hingga 50 tahun lebih beresiko terkena

diabeticretinopathy. 6. Kolesterol

Penderita diabetes melitus yang memiliki kolesterol tinggi lebih beresiko terkena

diabetic retinopathy.

2.1.3. Gejala diabetic retinopathy

Diabetic retinopathy tidak memiliki gejala yang signifikan hingga kerusakan terjadi pada retina. Adapun beberapa gejala yang muncul adalah sebagai berikut.

1. Penglihatan menjadi kabur.

2. Muncul objek-objek hitam yang menghalangi penglihatan. 3. Kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi penglihatan. 4. Sakit pada area mata.

2.1.4. Pemeriksaan diabetic retinopathy

Pemeriksaan diabetic retinopathy dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu visual acuity test, tonometry, dan dilated eye exam (NEI, 2006). Visual acuity test merupakan pengukuran kemampuan penglihatan standar menggunakan eye chart sedangkan

tonometry merupakan pengukuran tekanan pada bagian dalam mata. Dilated eye exam

merupakan pemeriksaan yang memberikan cairan ke mata untuk memperbesar pupil


(25)

sehingga memungkinkan dokter mata untuk melihat keadaan bagian dalam mata, termasuk retina.

Pemeriksaan lain yang dilakukan untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy

adalah menggunakan fundus photography, fluorescein angiography, dan optical coherence tomography (OCT) (Mahesh, 2013). Fundus photography memanfaatkan pantulan sinar cahaya pada gelombang tertentu yang dipancarkan ke pupil mata. Citra yang didapat dari fundus photography memberikan informasi tentang keadaan retina seperti mikroaneurisma, eksudat, pendarahan, dan pembuluh darah. Citra hasil fundus photography ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Fundus photography

Citra fluorescein angiography terbentuk dari sejumlah foton yang dipancarkan dari zat pewarna fluorescein. Sebelum angiography dilakukan, zat pewarna fluorescein disuntikkan kepada penderita terlebih dahulu. Zat pewarna

fluorescein akan beredar ke seluruh tubuh, termasuk retina. Ketika zat pewarna fluorescein berada di retina, maka proses angiography dilakukan. Citra fluorescein angiography dapat memberikan informasi tentang pembuluh darah, mikroaneurisma, makula, dan pendarahan pada retina secara lebih jelas jika dibandingkan dengan citra hasil fundus photography. Citra fluorescein angiography ditunjukkan pada Gambar 2.3.


(26)

Gambar 2.3. Citra fluorescein angiography

Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan metode yang digunakan untuk menghitung ketebalan jaringan dengan cara mengukur waktu pembiasan dari satu lapisan jaringan ke lapisan jaringan berikutnya. OCT dapat dianalogikan sebagai

ultrasonography yang menggunakan sinar cahaya, bukannya gelombang suara. Citra yang didapat dari OCT memberikan informasi mengenai saraf optik dan struktur retina. Citra OCT dapat digunakan untuk melihat lapisan retina, pembengkakan makula, kerusakan saraf optik, dan pembengkakan saraf optik. Citra OCT ditunjukkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Citra Optical Coherence Tomography (OCT)

2.1.5. Pencegahan diabetic retinopathy

Semua penderita diabetes melitus, baik tipe 1 atau tipe 2, beresiko menderita diabetic retinopathy. Semakin lama seseorang menderita diabetes melitus, maka akan semakin besar pula resiko terkena diabetic retinopathy. Diabetic retinopathy biasanya ditemui


(27)

pada seseorang yang telah menderita penyakit diabetes melitus selama lebih dari 15 tahun (Klein et al., 1984). Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terkena diabetic retinopathy bagi penderita diabetes melitus adalah dengan cara mengontrol kadar gula dalam darah, tekanan darah, dan kolesterol darah.

Deteksi dini diabetic retinopathy juga dapat dilakukan guna mencegah

diabetic retinopathy. Deteksi dini yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes melitus adalah sebagai berikut.

1. Orang dewasa dan anak-anak berumur lebih dari 10 tahun yang menderita diabetes melitus tipe 1 harus menjalani pemeriksaan mata lengkap dalam waktu lima tahun setelah didiagnosis menderita diabetes melitus.

2. Penderita diabetes melitus tipe 2 harus segera menjalani pemeriksaan mata lengkap segera setelah didiagnosis menderita diabetes melitus.

3. Pemeriksaan mata bagi penderita diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 harus dilakukan secara rutin setiap tahun.

4. Frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi bila satu atau beberapa hasil pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan frekuensi pemeriksaan dapat ditingkatkan bila pada hasil pemeriksaan ditemukan tanda-tanda diabetic retinopathy.

5. Perempuan hamil yang menderita diabetes melitus harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trisemester pertama hingga satu tahun setelah persalinan (Fong, 2003).

2.1.6. Pengobatan diabetic retinopathy

Terdapat beberapa pengobatan yang bisa dilakukan oleh penderita diabetic retinopathy. Bagi penderita dibetic retinopathy yang belum mengalami neovaskularisasi, pengobatan yang paling tepat adalah dengan mengontrol kadar gula dalam darah, tekanan darah, dan kolesterol. Sedangkan bagi penderita diabetic retinopathy yang sudah mengalami neovaskularisasi, pengobatan yang bisa dilakukan adalah menjalani bedah laser yang disebut dengan scatter laser treatment. Scatter laser treatment mampu mengurangi pembuluh darah abnormal pada permukaan retina sehingga dapat meningkatkan dan memperbaiki fungsi penglihatan. Akan tetapi

scatter laser treatment memiliki efek samping, yaitu menurunnya kemampuan melihat


(28)

warna dan kemampuan melihat di malam hari. Scatter laser treatment sebaiknya dilakukan saat pembuluh darah abnormal belum pecah. Jika pembuluh darah abnormal sudah pecah, maka dibutuhkan prosedur pembedahan yang disebut dengan vitrectomy.

Vitrectomy berkerja dengan cara mengganti cairan vitreous mata dengan cairan yang disebut dengan salt solution (NEI, 2012).

2.2. Citra

Citra didefenisikan sebagai fungsi dua dimensi f(x,y), dimana x dan y merupakan koordinat spasial dan luasan dari f untuk tiap pasang koordinat (x, y) disebut intensitas atau level keabuan citra pada titik tertentu. Jika x, y, dan nilai intensitas f bersifat terbatas (finite), maka citra disebut dengan citra digital (Gonzales et al., 2002). Citra digital dapat juga dikatakan sebagai sebuah matriks dimana indeks baris dan kolomnya menyatakan suatu titik pada citra dan elemen matriksnya yang disebut sebagai elemen gambar atau piksel menyatakan tingkat keabuan pada titik tersebut. Citra digital dapat diklasifikasi menjadi citra biner, citra keabuan, dan citra warna.

2.2.1. Citra biner (binary image)

Citra biner merupakan jenis citra yang paling sederhana karena hanya memiliki dua nilai, yaitu hitam atau putih. Citra biner merupakan citra 1 bit karena hanya memerlukan 1 bit untuk merepresentasikan tiap piksel. Jenis citra ini banyak ditemukan pada citra dimana informasi yang diperlukan hanya bentuk secara umum atau outline, misalnya pada Optical Character Recognition (OCR).

Citra biner dibentuk dari citra keabuan melalui operasi thresholding, dimana tiap piksel yang nilainya lebih besar dari threshold akan diubah menjadi putih (1) dan piksel yang nilainya lebih kecil dari threshold akan diubah menjadi hitam (0). Contoh citra biner ditunjukkan pada Gambar 2.5.


(29)

Gambar 2.5. Citra biner

2.2.2. Citra keabuan (grayscale image)

Citra keabuan menggunakan warna hitam sebagai warna minimum, warna putih sebagai warna maksimum dan warna diantara hitam dan putih, yaitu abu-abu. Abu-abu merupakan warna dimana komponen merah, hijau, dan biru mempunyai intensitas yang sama. Contoh citra keabuan ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Jumlah bit yang diperlukan untuk tiap piksel menentukan jumlah tingkat keabuan yang tersedia. Misalnya untuk citra keabuan 8 bit, tingkat keabuan yang tersedia adalah 28 atau 256.

Gambar 2.6. Citra keabuan


(30)

2.2.3. Citra warna (color image)

Citra warna memiliki piksel dimana warna yang dimiliki oleh tiap piksel tersebut merupakan kombinasi dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru. Tiap warna dasar menggunakan 8 bit penyimpanan, sehingga tingkatan warna yang tersedia adalah 256. Jadi untuk tiga warna dasar pada setiap piksel memiliki kombinasi warna sebanyak 224 atau sekitar 16777216 warna. Contoh citra warna ditunjukkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Citra warna

2.3. Pengolahan Citra

Pengolahan citra adalah metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi citra digital sehingga menghasil citra baru (Gonzales at al., 2002). Tujuan utama dari pengolahan citra adalah bagaimana mengolah dan menganalisis citra sebaik mungkin sehingga dapat memberikan informasi baru yang lebih bermanfaat. Beberapa teknik pengolahan citra yang digunakan adalah sebagai berikut.

2.3.1. Cropping

Cropping berfungsi untuk menghasil bagian spesifik dari sebuah citra dengan cara memotong area yang tidak diinginkan atau area berisi informasi yang tidak diperlukan. Cropping dapat digunakan untuk menambah fokus pada objek, membuang bagian citra yang tidak diperlukan, memperbesar area tertentu pada citra, mengubah


(31)

orientasi citra, dan mengubah aspect ratio dari sebuah citra. Cropping menghasilkan citra baru yang merupakan bagian dari citra asli dengan ukuran yang lebih kecil. Jika citra cropping digunakan untuk proses lain, waktu pemrosesan akan lebih cepat karena bagian yang diproses hanya bagian yang diperlukan saja.

2.3.2. Scaling

Scaling merupakan salah satu operasi yang paling banyak digunakan dalam pengolahan citra. Scaling digunakan untuk mengubah resolusi dari sebuah citra, baik itu memperkecil atau memperbesar resolusi citra (Pratt, 2007). Scaling juga dapat digunakan untuk menormalisasi ukuran semua citra sehingga memiliki ukuran yang sama.

2.3.3. Grayscaling

Grayscaling merupakan proses mengubah citra warna (RGB) menjadi citra keabuan.

Grayscaling digunakan untuk menyederhanakan model citra RGB yang memiliki 3 layer matriks, yaitu layer matriks red, green, dan blue menjadi 1 layer matriks keabuan. Grayscaling dilakukan dengan cara mengalikan masing-masing nilai red,

green, dan blue dengan konstanta yang jumlahnya 1, seperti ditunjukkan pada persamaan 2.1.

(2.1)

Dimana : = piksel citra hasil grayscaling

= konstanta yang hasil penjumlahannya 1 = nilai red dari sebuah piksel

= nilai green dari sebuah piksel = nilai blue dari sebuah piksel

Green channel merupakan salah satu jenis grayscaling yang mengganti nilai setiap piksel pada citra hanya dengan nilai green dari piksel citra tersebut, seperti ditunjukkan pada persamaan 2.2.


(32)

(2.2)

Grayscaling pada citra retina menggunakan green channel dikarenakan citra

green channel memiliki contrast yang lebih baik sehingga mampu membedakan antara fitur (pembuluh darah, eksudat, mikroneurisma) dengan permukaan retina secara lebih jelas (Putra, 2010).

2.3.4. Perbaikan citra (Image enhancement)

Perbaikan citra merupakan proses yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas citra dengan cara memanipulasi parameter pada citra sehingga ciri pada citra dapat lebih ditonjolkan. Perbaikan citra memungkinkan informasi yang ingin ditampilkan atau diambil dari sebuah citra menjadi lebih baik dan jelas. Perbaikan citra yang dilakukan adalah perbaikan kontras dengan menggunakan metode contrast stretching. Contrast Stretching mampu mengatasi kekurangan cahaya atau kelebihan cahaya pada citra dengan memperluas sebaran nilai keabuan piksel (Gonzales at al., 2002). Contrast stretching merupakan metode perbaikan citra yang bersifat point processing, yaitu pemrosesan hanya bergantung pada nilai intensitas keabuan masing-masing piksel, tidak tergantung dari piksel lain yang ada disekitarnya. Contrast stretching dilakukan dengan persamaan 2.3.

(2.3)

Dimana : = piksel citra hasil perbaikan = piksel citra asal

= nilai minimum dari piksel citra input = nilai maksimum dari piksel citra input = nilai grayscale maksimum


(33)

2.3.5. Thresholding

Salah satu teknik yang digunakan untuk mengubah citra keabuan menjadi citra biner adalah thresholding. Thresholding sering disebut dengan proses binerisasi.

Thresholding dapat digunakan dalam proses segmentasi citra untuk mengidentifikasi dan memisahkan objek yang diinginkan dari background berdasarkan distribusi tingkat keabuan atau tekstur citra (Liao, 2001).

Proses thresholding menggunakan nilai batas (threshold) untuk mengubah nilai piksel pada citra keabuan menjadi hitam atau putih. Jika nilai piksel pada citra keabuan lebih besar dari threshold, maka nilai piksel akan diganti dengan 1 (putih), sebaliknya jika nilai piksel citra keabuan lebih kecil dari threshold maka nilai piksel akan diganti dengan 0 (hitam). Proses thresholding dilakukan dengan persamaan 2.4.

(2.4)

Dimana : = piksel citra hasil binerisasi = piksel citra asal

T = nilai threshold

2.3.6. Erosi

Erosi merupakan salah satu operasi morfologi citra. Operasi morfologi citra merupakan teknik pengolahan citra yang didasari pada bentuk atau morfologi fitur dalam sebuah citra. Operasi morfologi diterapkan pada citra biner karena berorientasi pada bentuk objek.

Erosi digunakan untuk menghapus titik-titik objek menjadi bagian dari

background berdasarkan structure element yang digunakan. Selain dapat menghapus titik-titik objek kecil, erosi juga dapat memperkecil ukuran objek berukuran besar dengan cara menghapus piksel pada tepi objek tersebut (Phillips, 2000). Structure element merupakan matriks berukuran m × n yang memiliki titik pusat. Erosi dilakukan dengan persamaan 2.5.


(34)

(2.5) Dimana : = citra hasil erosi

= citra asal

= structure element

= himpunan titik

= structure element yang ditranslasi oleh

Proses erosi dilakukan dengan cara membandingkan setiap piksel pada citra asal dengan titik pusat structure element. Structure element digeser dari piksel awal sampai piksel akhir citra asal. Jika ada bagian structure element yang berada diluar citra asal, maka piksel citra asal yang berada di titik poros structure element akan dihapus (dijadikan background).

2.3.7. Inversi

Inversi merupakan proses negatif pada citra, dimana setiap nilai piksel pada citra dibalik dengan acuan threshold yang diberikan. Inversi sering digunakan untuk memperjelas warna putih atau abu-abu pada bagian gelap di sebuah citra (Jain, 1989). Untuk citra 8 bit atau citra dengan derajat keabuan 256, proses inversi dilakukan dengan persamaan 2.6.

(2.6)

Dimana : = piksel setelah inversi = piksel citra asal

2.3.8. Perkalian citra

Perkalian citra merupakan operasi pada piksel yang digunakan untuk mengatur tingkat kontras pada citra (Solomon, 2011). Perkalian citra juga dapat digunakan untuk menghilangkan bagian tertentu pada citra dengan cara mengalikan citra dengan citra

mask yang merupakan citra biner. Perkalian citra dilakukan dengan persamaan 2.7.


(35)

(2.7)

Dimana : = piksel citra hasil perkalian = piksel citra asal

= piksel citra mask

2.4. Gray Level Co-occurence Matrix (GLCM)

Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) merupakan metode analisis tekstur yang diperkenalkan oleh Haralick pada tahun 1973. Metode ini biasanya digunakan dalam pengenalan tekstur, segmentasi citra, analisis warna pada citra, klasifikasi citra, dan pengenalan objek (Rao et al., 2013). GLCM merupakan ciri statistik orde dua yang merepresentasikan hubungan ketetanggaan antar dua piksel dalam sebuah citra

grayscale di berbagai arah dan jarak tertentu, dimana arah dinyatakan dalam sudut, misalnya 0, 45, 90, 135, dan seterusnya, sedangkan jarak dinyatakan dalam jumlah piksel, misalnya 1, 2, 3, dan seterusnya.

Komponen utama dalam GLCM adalah arah dan jarak antara dua piksel. Arah ketetanggaan yang mungkin antara dua buah piksel adalah 0, 45, 90, 135, 180, 225, 270, dan 315 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Arah ketetanggaan antara dua piksel


(36)

8 arah ketetanggaan antara dua piksel dapat direduksi menjadi 4 arah, yaitu 0, 45, 90, dan 135. Arah 0, 45, 90, dan 135 merupakan transpose dari arah 180, 225, 270, dan 315 (Fegurson, 2007). Misalkan untuk matriks framework pada arah 0, tambahkan matriks framework 0 dengan matrik transponse-nya untuk mendapatkan matriks framework pada arah 0 dan 180.

Komponen penting lainnya adalah jarak antara piksel referensi dengan piksel tetangga. Jarak antar piksel ditunjukkan pada Gambar 2.9 dimana r menunjukkan piksel referensi dan n menunjukkan piksel tetangga. Pemilihan jarak antar piksel harus diperhatikan. Semakin besar jarak yang digunakan, semakin sedikit nilai kookurensi yang didapat (Fegurson, 2007).

Gambar 2.9. Jarak antar piksel

Langkah awal untuk membuat GLCM adalah membuat matriks framework. Matriks framework merupakan matriks yang menunjukkan hubungan ketetanggaan antara piksel referensi dengan piksel tetangga untuk arah dan jarak tertentu. Matriks

framework berukuran G × G, dimana G menyatakan banyaknya tingkat keabuan yang dimiliki oleh sebuah citra grayscale. Matriks framework dari sebuah citra grayscale

ditunjukkan pada Gambar 2.10.


(37)

1 0 2 2

3 2 0 0

1 2 1 1

(0, 0) (0, 1) (0, 2) (0, 3) (1, 0) (1, 1) (1, 2) (1, 3) (2, 0) (2, 1) (2, 2) (2, 3) (3, 0) (3, 1) (3, 2) (3, 3)

(a) (b)

Gambar 2.10. (a) Citra grayscale dalam bentuk matriks; (b) Matriks framework

Pada Gambar 2.10, citra grayscale (yang ditunjukkan dalam bentuk matriks) memiliki 4 tingkat keabuan, yaitu 0, 1, 2, dan 3, sehingga matriks framework yang terbentuk berukuran 4 × 4. Baris pada matriks framework menunjukkan piksel referensi, sedangkan kolom pada matriks framework menunjukkan piksel tetangga. Kolom pertama pada baris pertama yang memiliki nilai (0, 0) menunjukkan seberapa banyak piksel 0 yang bertetangga dengan piksel 0 pada jarak dan arah tertentu, kolom kedua pada baris pertama yang memiliki nilai (0, 1) menunjukkan seberapa banyak piksel 0 yang bertetangga dengan piksel 1 pada jarak dan arah tertentu, dan seterusnya.

Setelah matriks framework dibuat, tentukan arah dan jarak yang diinginkan, kemudian hitung nilai kookurensi dari tiap piksel referensi dengan piksel tetangganya berdasarkan arah dan jarak tersebut. Selanjutnya isikan nilai kookurensi pada matriks

framework. Matriks framework yang telah diisi dengan nilai kookurensi selanjutnya akan disebut dengan matriks kookurensi. Contoh matriks kookurensi berdasarkan citra

grayscale (dalam bentuk matriks) pada Gambar 2.10 ditunjukkan pada Gambar 2.11 dimana arah yang digunakan adalah 0 dan jarak yang digunakan adalah 1.

1 0 1 0

1 1 1 0

1 1 1 0

0 0 1 0

Gambar 2.11. Matriks kookurensi dengan jarak 1 dan arah 0

Matriks kookurensi yang didapat selanjutnya ditambahkan dengan matriks

transpose-nya agar menjadi simetris. Pembentukan matriks simetris ditunjukkan pada Gambar 2.12.


(38)

1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0

+

1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0

=

2 1 2 0 1 2 2 0 2 2 2 1 0 0 1 0

(a) (b) (c)

Gambar 2.12. (a) Matriks kookurensi; (b) Matriks transpose; (c) Matriks simetris

Setelah matriks kookurensi menjadi simetris, selanjutnya matriks akan dinormalisasi ke bentuk probabilitas dengan cara membagi masing-masing nilai kookurensi dengan jumlah semua nilai kookurensi yang ada pada matriks, sehingga hasil penjumlahan semua nilai pada matriks adalah 1. Normalisasi matriks ditunjukkan pada Gambar 2.13.

0,111 0,056 0,111 0 0,056 0,111 0,111 0 0,111 0,111 0,111 0,056

0 0 0,056 0

Gambar 2.13. Normalisasi matriks

Langkah selanjutnya setelah proses normalisasi dilakukan adalah menghitung ciri atau fitur statistik GLCM. Beberapa ciri atau fitur statistik yang diusulkan oleh Haralick adalah sebagai berikut.

2.4.1. Contrast

Contrast digunakan untuk mengukur variasi pasangan tingkat keabuan dalam sebuah citra. Contrast dihitung dengan menggunakan persamaan 2.8.


(39)

(2.8)

Dimana merupakan matriks yang telah dinormalisasi.

2.4.2. Homogenity

Homogenity atau Inverse Different Moment (IDM) digunakan untuk mengukur homogenitas citra dengan level keabuan sejenis. Homogenity dihitung dengan menggunakan persamaan 2.9.

(2.9) 2.4.3. Energy

Energy atau Angular Second Moment (ASM) digunakan untuk mengukur homogenitas sebuah citra. Energy dihitung dengan menggunakan persamaan 2.10.

(2.10) 2.4.4. Entropy

Entropy digunakan untuk menghitung level ketidakteraturan citra. Entropy dihitung dengan menggunakan persamaan 2.11.

(2.11)


(40)

2.4.5. Variance

Variance digunakan untuk mengukur persebaran diantara mean kombinasi antara piksel referensi dengan piksel tetangga. Variance dihitung dengan menggunakan persamaan 2.12. (2.12) 2.4.6. Correlation

Correlation digunakan untuk menghitung keterkaitan piksel yang memiliki level keabuan i dengan piksel yang memiliki level keabuan j. Correlation dihitung dengan menggunakan persamaan 2.13.

(2.13)

dimana dan ditunjukkan pada persamaan 2.14 dan persamaan 2.15.

(2.14) (2.15)

2.5. Modified k-Nearest Neighbor

Modified k-Nearest Neighbor (MkNN) merupakan pengembangan dari metode k-Nearest Neighbor (kNN). Jika kNN mengklasifikasikan data pengujian berdasarkan skor tertinggi dari beberapa kelas pada k data pelatihan dengan jarak terdekat, maka


(41)

MkNN mengklasifikasikan data pengujian berdasarkan bobot tertinggi dari beberapa kelas pada k data pelatihan tervalidasi dengan jarak terdekat (Parvin, 2008).

Dengan adanya validasi pada data pelatihan, MkNN mampu mengklasifikasikan data pengujian dengan lebih baik. Validitas memberikan informasi lebih banyak tentang keadaan data pelatihan pada ruang fitur, bukan hanya label kelas dari masing-masing data pelatihan saja. MkNN memberikan kesempatan yang lebih besar kepada data pelatihan yang memiliki validitas yang lebih tinggi dan memiliki jarak yang dekat dengan data pengujian, sehingga pemberian label atau kelas pada data pengujian tidak terlalu terpengaruh terhadap data yang tidak begitu stabil (Parvin, 2008).

MkNN terdiri dari dua tahapan. Tahapan pertama adalah menghitung validitas data pelatihan. Tahapan selanjutnya adalah mengklasifikasikan data pengujian dengan menggunakan gabungan dari weighted kNN dan validitas dari data pelatihan yang telah didapat sebelumnya.

Validitas data dari tiap data pelatihan tergantung dari data pelatihan lain yang menjadi tetangganya. Tahapan yang dilakukan untuk melakukan validasi data pelatihan adalah sebagai berikut.

1. Tentukan nilai H, dimana H merupakan banyaknya data pelatihan y yang bertetangga dengan data pelatihan x. Nilai H adalah 10% dari jumlah data pelatihan (Parvin, 2008).

2. Hitung jarak antara data pelatihan x dengan semua data pelatihan lainnya (y) menggunakan Euclidean distance yang ditunjukkan pada persamaan 2.16.

(2.16)

Dimana : = jarak dari data x ke data y

= elemen ke-i dari data x = elemen ke-i dari data y

n = jumlah elemen dari data x dan data y


(42)

3. Ambil H buah data pelatihan y yang memiliki jarak terdekat dengan data pelatihan x.

4. Hitung validasi data pelatihan x menggunakan persamaan 2.17.

(2.17)

Dimana : = validitas data ke-x

= jumlah data tetangga

= kelas dari data pelatihan ke-x

= kelas dari data pelatihan ke-y

= fungsi similaritas data

Fungsi similaritas ditunjukkan pada persamaan 2.18.

(2.18)

Setelah validasi semua data pelatihan didapatkan, klasifikasi dari data pengujian bisa dilakukan. Adapun langkah untuk mengklasifikasi data pengujian adalah sebagai berikut.

1. Tentukan nilai dari k, dimana k adalah jumlah data pelatihan dengan jarak terdekat yang digunakan sebagai pembanding dalam mengklasifikasikan data pengujian.

2. Hitung jarak antara data pengujian dengan semua data pelatihan menggunakan rumus Euclidean distance pada persamaan 2.9.

3. Ambil k buah data pelatihan yang memiliki jarak terdekat.

4. Hitung bobot dari masing-masing k data pelatihan dengan persamaan 2.19.

(2.19)


(43)

Dimana: = bobot dari data pelatihan ke-x

= validitas dati data pelatihan ke-x

= jarak dari data pengujian ke data pelatihan x

5. Jumlahkan bobot data pelatihan yang memiliki kelas yang sama. Kelas dengan bobot tertinggi merupakan kelas dari data pengujian.

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang identifikasi diabetic retinopathy telah dilakukan dengan menggunakan beberapa metode. Pada tahun 2012, Setiawan membandingkan kinerja

Support Vector Machine (SVM) dengan k-Nearest Neighbor (KNN) untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy. SVM merupakan metode yang mencari

hyperplane terbaik yang berfungsi sebagai pemisah dua buah class pada ruang input dengan cara mengukur margin dari hyperplane tersebut, sedangkan KNN merupakan metode yang mengklasifikasikan data berdasarkan data pelatihan dengan jarak yang paling dekat. Metode ektraksi fitur yang digunakan adalah Two Dimensional Linear Discriminant Analysis (2DLDA). Akurasi yang didapat pada penelitian ini adalah 84% dengan menggunakan SVM dan 80% dengan menggunakan KNN.

Dillak et al. pada tahun 2013 menggunakan jaringan saraf tiruan dalam mengidentifikasi diabetic retinopathy. Metode ekstraksi fitur yang digunakan adalah 3D-GLCM. Eliminasi optic disc dilakukan pada citra retina untuk meningkatkan hasil akurasi. Adapun akurasi yang didapat pada penelitian ini adalah 95%.

Selanjutnya pada tahun 2011, Vajayamadheswaran et al. menggunakan metode Radial Basis Function (RBF) untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy. Identifikasi dilakukan berdasarkan keberadaan eksudat dalam citra retina. Contextual Clustering digunakan untuk ektraksi fitur pada citra, yang kemudian hasilnya akan dijadikan input pada jaringan RBF. RBF merupakan model jaringan saraf tiruan yang mentransformasi input secara nonlinear dengan menggunakan fungsi aktivasi Gaussian pada hidden layer dan kemudian dilanjutkan dengan proses linear pada

output layer. Akurasi yang didapat pada penelitian ini adalah 96%. Rangkuman dari penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 2.1.


(44)

Tabel 2.1. Penelitian terdahulu

No. Peneliti Tahun Metode yang digunakan Akurasi 1. Setiawan 2012 Support Vector Machine

K-Nearet Neighbor

84% 80%

2. Dillak et al. 2013 Neural Network 95%

3. Vajayamadheswaran et al. 2011 Radial Basis Function 96%

Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah gabungan metode yang digunakan untuk identifikasi diabetic retinopathy, yaitu Gray Leve Cooccurrence Matrix (GLCM) sebagai metode ektraksi fitur dan Modified k-Nearest Neighbor (MkNN) sebagai metode klasifikasi. Pada proses ekstraksi fitur, terdapat 6 fitur yang diambil dari masing-masing citra dengan jarak 1 dan arah 0, 45, 90, dan 135 sehingga menghasilkan 24 fitur yang selanjutnya digunakan dalam proses klasifikasi.


(45)

BAB 3

ANALISIS DAN PERANCANGAN

Bab ini membahas tentang implementasi metode Modified k-Nearest Neighbor dalam identifikasi diabetic retinopathy. Bab ini juga membahas tentang data yang digunakan,

pre-processing, optic disc elimination, dan feature extraction yang dilakukan terhadap setiap data.

3.1. Arsitektur Umum

Metode yang diajukan untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy pada penelitian ini terdiri dari beberapa langkah. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut: pengumpulan citra retina normal dan citra retina terdeteksi diabetic retinopathy yang akan digunakan sebagai data pelatihan dan data pengujian; pemotongan citra retina (cropping) untuk mengurangi background hitam pada citra; memperkecil ukuran citra (scaling); pembentukan citra green channel; peningkatan kualitas citra menggunakan contrast stretching; pembentukan citra biner; penipisan piksel pada objek (erosion); pembentukan citra negatif (inversion); perkalian citra; menghitung 6 fitur Haralick pada matriks kookurensi yang telah dibuat; dan klasifikasi menggunakan Modified k-Nearest Neighbor. Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan maka akan didapat hasil identifikasi diabetic retinopathy. Setiap tahapan yang dilakukan akan dijelaskan secara lebih terperinci pada bagian-bagian selanjutnya. Adapun arsitektur umum yang menggambarkan metode pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.1.


(46)

Gambar 3.1. Arsitektur umum dari metode yang diajukan


(47)

3.2. Dataset

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra retina yang diperoleh dari basis data MESSIDOR (Methods for Evaluating Segmentation and Indexing techniques Dedicated to Retinal Ophthalmology). Data citra retina dikumpulkan dari Service Ophtalmologie Lariboisière sejak Oktober 2005 hingga Mei 2006. Seluruh data berjumlah 225 citra, dimana pembagian data ditunjukkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Pembagian citra yang digunakan dalam penelitian No. Klasifikasi Diabetic Retinopathy Jumlah Data

1. Normal 99

2. Diabetic retinopathy 126

Citra yang telah dikumpulkan kemudian dibagi menjadi dua dataset, yakni:

training dataset atau dataset pelatihan yang akan digunakan sebagai pembanding dalam klasifikasi dan testing dataset atau dataset pengujian yang digunakan untuk mengetahui akurasi dari proses klasifikasi. Dataset pelatihan berjumlah 90% dari data keseluruhan dan dataset pengujian berjumlah 10% dari data keseluruhan. Pembagian seluruh citra menjadi dataset pelatihan dan dataset pengujian dilakukan secara acak. Detail pembagian dataset dapat dilihat pada Tabel 3.2 dan 3.3.

Tabel 3.2. Pembagian training dataset

No. Klasifikasi Diabetic Retinopathy Jumlah Data

1. Normal 89

2. Diabetic retinopathy 114

Tabel 3.3. Pembagian testing dataset

No. Klasifikasi Diabetic Retinopathy Jumlah Data

1. Normal 10

2. Diabetic retinopathy 12


(48)

3.3. Pre-processing

Sebelum data digunakan, terlebih dahulu data harus melalui beberapa proses agar dapat digunakan dalam tahap selanjutnya, yaitu optic disc elimination. Adapun proses tersebut terdiri dari proses pemotongan citra, memperkecil ukuran citra, pembentukan citra green channel dan peningkatan kualitas citra.

3.3.1. Pemotongan citra (cropping)

Tahap pemotongan citra dilakukan untuk mengurangi background hitam pada citra retina yang tidak memiliki informasi khusus sehingga dapat mempercepat waktu pemrosesan. Pemotongan citra dilakukan secara dua tahap, yaitu pemotongan secara horizontal dan pemotongan secara vertikal.

Pemotongan citra secara horizontal dimulai dengan menghitung jumlah piksel berwarna hitam pada setiap kolom yang dimiliki oleh citra. Dalam sistem yang dibangun, piksel hitam diasumsikan sebagai piksel yang memiliki nilai 0, 1, 2, 3, 4, atau 5 pada RGB-nya. Untuk menentukan bagian awal pemotongan, periksa kolom dimulai dari bagian kiri citra. Kolom pertama yang memiliki piksel hitam kurang dari 90% akan dijadikan bagian awal pemotongan. Untuk menentukan bagian akhir pemotongan, periksa kolom dimulai dari bagian kanan citra. Kolom pertama yang memiliki piksel hitam kurang dari 90% akan dijadikan bagian akhir pemotongan.

Proses pemotongan citra secara vertikal dimulai dengan menghitung piksel berwarna hitam pada setiap baris yang dimiliki oleh citra. Untuk menentukan bagian awal pemotongan, periksa baris dimulai dari bagian atas citra. Baris pertama yang memiliki piksel hitam kurang dari 90% akan dijadikan bagian awal pemotongan. Untuk menentukan bagian akhir pemotongan, periksa baris dimulai dari bagian bawah citra. Baris pertama yang memiliki piksel hitam kurang dari 90% akan dijadikan bagian akhir pemotongan.

Citra retina asli dan citra retina hasil cropping secara horizontal dan vertikal ditunjukkan pada Gambar 3.2.


(49)

(a) (b) (c)

Gambar 3.2. (a) citra retina asli; (b) citra hasil pemotongan secara horizontal; (c) citra hasil pemotongan secara vertikal

3.3.2. Memperkecil ukuran citra (Scaling)

Citra hasil cropping memiliki resolusi yang berbeda-beda sehingga harus dinormalisasi ke ukuran yang sama. Normalisasi dilakukan dengan cara memperkecil resolusi citra hasil cropping ke ukuran 800 × 800 piksel.

3.3.3. Pembentukan citra green channel

Citra retina yang merupakan citra RGB yang ukurannya telah dinormalisasi akan diubah menjadi citra green channel. Citra green channel merupakan citra keabuan dimana nilai keabuannya diperoleh dari nilai hijau (green) dari masing-masing piksel pada citra. Citra green channel ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Citra green channel


(50)

3.3.4. Peningkatan kualitas citra

Setelah citra green channel dihasilkan, proses selanjutnya adalah meningkatkan kualitas citra menggunakan constrast stretching. Contrast Stretching digunakan untuk memperbaiki kontras citra sehingga fitur-fitur pada citra retina dapat dilihat secara lebih jelas. Citra hasil proses contrast stretching ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Citra hasil proses contrast stretching

3.4. Optic Disc Elimination

Citra hasil pre-processing selanjutnya akan mengalami proses eliminasi optic disc. Optic disc merupakan pusat pertemuan seluruh syaraf optik pada mata yang tidak mengandung sel reseptor sehingga dikenal sebagai bintik buta (blind spot) (Saladin, 2006). Optic disc pada citra retina ditunjukkan pada Gambar 3.5 pada bagian yang dilingkari.

Gambar 3.5. Optic disc pada retina


(51)

Optic disc harus dieliminasi karena tidak mengandung ciri atau keunikan tertentu. Selain itu, optic disc juga memiliki karakteristik yang hampir sama dengan eksudat, salah satu gejala diabetic retinopathy (Sopharak et al., 2010). Jika optic disc

tidak dieliminasi, maka optic disc akan dianggap sebagai eksudat sehingga mempengaruhi proses klasifikasi (Ulinuha, 2009). Adapun proses untuk mengeliminasi optic disc terdiri dari proses pembentukan citra biner (thresholding),

penipisan piksel pada objek (erosion), pembentukan citra negatif (inversion), dan perkalian citra.

3.4.1. Pembentukan citra biner (Thresholding)

Langkah awal dalam mengeliminasi optic disc adalah mencari letak atau area optic disc pada citra retina terlebih dahulu. Optic disc memiliki warna yang lebih terang jika dibandingkan dengan warna bagian lain pada citra, sehingga digunakan proses

thresholding untuk mendapatkan letak atau area optic disc. Proses thresholding

menghasilkan citra biner yang memberikan informasi tentang letak atau area optic disc seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.6. Threshold yang digunakan dalam proses thresholding adalah 165.

Gambar 3.6. Area optic disc pada citra biner

3.4.2. Penipisan piksel pada objek (Erosion)

Bentuk dari optic disc adalah lingkaran namun area optic disc yang dihasilkan pada citra biner tidak berbentuk lingkaran. Oleh karena itu area optic disc biner harus diganti dengan lingkaran.


(52)

Langkah pertama dalam mengganti area optic disc dengan lingkaran adalah dengan mencari titik tengah dari area optic disc tersebut. Akan tetapi untuk citra retina yang didiagnosis menderita diabetic retinopathy, proses thresholding juga menghasilkan objek kecil lain di luar area optic disc. Adapun objek lain diluar area

optic disc tersebut adalah eksudat yang memiliki warna yang hampir sama dengan

optic disc. Objek lain diluar area optic disc harus dihilangkan agar titik tengah dari area optic disc bisa didapatkan.

Proses yang digunakan untuk menghilangkan objek lain diluar area optic disc

adalah penipisan piksel (erosion). Proses penipisan piksel menyebabkan area optic disc menjadi lebih kecil dan objek lain diluar area optic disc hilang. Citra setelah proses penipisan piksel (erosion) dilakukan ditunjukkan pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7. Citra hasil erosion

Setelah objek lain diluar area optic disc dihilangkan, pencarian titik tengah area optic disc dapat dilakukan. Proses pencarian titik tengah area optic disc adalah sebagai berikut.

1. Untuk koordinat X, periksa citra secara baris per baris. Tentukan baris pertama yang memiliki piksel putih dan baris terakhir yang memiliki piksel putih. Tambahkan indeks baris pertama dengan indeks baris terakhir, kemudian hasil penambahan tersebut dibagi 2.

2. Untuk koordinat Y, periksa citra secara kolom per kolom. Tentukan kolom pertama yang memiliki piksel putih dan kolom terakhir yang memiliki piksel putih. Tambahkan indeks kolom pertama dan indeks kolom terakhir, kemudian hasil penambahan dibagi 2.


(53)

Langkah selanjutnya setelah titik tengah area optic disc didapat adalah membuat lingkaran yang berpusat pada titik tengah area optic disc. Citra hasil deteksi

optic disc yang merupakan penggantian area optic disc dengan lingkaran ditunjukkan pada gambar 3.8.

Gambar 3.8. Citra hasil deteksi optic disc

3.4.3. Pembentukan citra negatif (Inversion)

Citra lingkaran yang telah dihasilkan pada proses sebelumnya akan mengalami proses negatif (inversion), dimana piksel putih akan diubah menjadi piksel hitam dan piksel hitam akan diubah menjadi piksel putih. Citra hasil proses negatif ditunjukkan pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9. Citra negatif


(54)

3.4.4. Perkalian citra

Perkalian citra antara citra negatif dengan citra hasil proses contrast stretching

menghasilkan citra yang optic disc-nyatelah dieliminasi. Adapun citra hasil eliminasi

optic disc ditunjukkan pada Gambar 3.10.

(a) (b) (c)

Gambar 3.10. (a) citra negatif; (b) citra hasil proses contrast stretching; (c) citra hasil eliminasi optic disc

3.5. Feature Extraction

Setelah citra hasil eliminasi optic disc didapat, tahap selanjutnya adalah feature extraction menggunakan Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM). Bagian citra yang digunakan dalam perhitungan matriks kookurensi hanya bagian retina.

Background dan bagian optic disc yang telah dieliminasi tidak diikutkan dalam perhitungan. Untuk mengambil bagian retina pada citra, digunakanlah konsep

masking. Masking merupakan citra biner yang digunakan untuk mengambil bagian tertentu dalam sebuah citra tergantung dari nilai piksel yang dimiliki oleh citra biner tersebut. Masking harus memiliki dimensi yang sama dengan citra yang ingin diambil sub citranya. Masking yang digunakan dalam perhitungan matriks kookurensi ditunjukkan pada gambar 3.11.


(55)

Gambar 3.11. Citra masking

Gambar 3.11 merupakan citra masking yang digunakan hanya untuk memisahkan bagian retina dengan background. Untuk memisahkan bagian retina dengan optic disc yang telah dieliminasi, digunakan citra masking lain yaitu citra negatif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.9. Jadi untuk menghitung matriks kookurensi pada citra digunakan 2 buah citra masking.

Perhitungan matriks kookurensi dilakukan dengan cara memeriksa nilai piksel referensi dengan piksel tetangga di citra retina pada kedua citra masking. Jika nilai piksel referensi dan piksel tetangga pada kedua citra masking adalah 255 atau putih, maka piksel referensi dan piksel tetangga pada citra retina dapat diperhitungkan dalam perhitungan matriks kookurensi. Sebaliknya jika kedua nilai atau salah satu nilai pada piksel referensi dan piksel tetangga pada cita masking adalah 0 atau hitam, maka piksel referensi dan piksel tetangga pada citra retina tidak dapat diperhitungkan dalam perhitungan matriks kookurensi.

Adapun langkah-langkah feature extraction menggunakan GLCM adalah sebagai berikut.

1. Menentukan nilai gray level untuk membentuk matriks framework. Gray level

yang digunakan adalah 256.

2. Menentukan arah dan jarak antar piksel referensi dengan piksel tetangga. Jarak yang digunakan adalah 1 dan arah yang digunakan adalah 0, 45, 90, dan 135. 3. Menghitung nilai kookurensi berdasarkan arah dan jarak yang sudah ditentukan.

Nilai kookurensi dihitung menggunakan konsep masking.

4. Menambahkan matriks kookurensi dengan matriks transpose-nya agar matriks kookurensi menjadi simetris.


(56)

5. Menormalisasi matriks kookurensi yang sudah berada dalam bentuk simetris dengan cara membagi nilai kookurensi dengan jumlah semua nilai kookurensi yang ada, sehingga hasil penjumlahan semua nilai kookurensi adalah 1.

6. Menghitung fitur statistik. Fitur statistik yang digunakan berjumlah 6, yaitu

contrast, homogenity, energy, entropy, variance, dan correlation.

6 fitur dihitung untuk masing-masing matriks kookurensi yang sudah dinormalisasi. Karena matriks kookurensi dihitung pada 4 arah dan 1 jarak, maka akan terdapat 24 fitur. Contoh fitur dari citra retina pada Gambar 3.10 ditunjukkan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Fitur Haralick

No. Fitur Arah Nilai Fitur

1. Contrast 0 29.32868

2. Contrast 45 41.13115

3. Contrast 90 24.163

4. Contrast 135 40.55288

5. Homogenity 0 0.2653

6. Homogenity 45 0.23661

7. Homogenity 90 0.27655

8. Homogenity 135 0.23694

9. Energy 0 0.00268

10. Energy 45 0.00236

11. Energy 90 0.00281

12. Energy 135 0.00237

13. Entropy 0 6.44244

14. Entropy 45 6.58184

15. Entropy 90 6.37543

16. Entropy 135 6.58285

17. Variance 0 340.12751

18. Variance 45 326.57561

19. Variance 90 342.09923


(57)

Tabel 3.4. Fitur Haralick (lanjutan)

No. Fitur Arah Nilai Fitur

20. Variance 135 326.96121

21. Correlation 0 0.95689

22. Correlation 45 0.93703

23. Correlation 90 0.96468

24. Correlation 135 0.93799

3.6. Klasifikasi

24 fitur yang didapat dari feature extraction menggunakan GLCM selanjutnya akan digunakan dalam proses klasifikasi menggunakan Modified k-Nearest Neighbor

(MkNN). Proses klasifikasi pada MkNN dilakukan dengan cara membandingkan data pengujian dengan data pelatihan. Sebelum proses klasifikasi dilakukan, semua data pelatihan harus divalidasi terlebih dahulu. Proses validasi data pelatihan pada MkNN adalah sebagai berikut.

1. Menentukan nilai H sebesar 10% dari jumlah data pelatihan, yaitu 20. 2. Masukkan data pelatihan pertama.

3. Menghitung jarak antara data pelatihan pertama dengan data pelatihan lainnya menggunakan persamaan 2.16.

4. Mengambil H buah data pelatihan yang memiliki jarak terdekat dengan data pelatihan pertama.

5. Menghitung validasi data pelatihan pertamamenggunakan persamaan 2.17. 6. Ulangi langkah 2 hingga 5 untuk data pelatihan selanjutnya.

Setelah semua data pelatihan divalidasi, proses klasifikasi data pengujian dapat dilakukan. Proses untuk mengklasifikasi data pengujian adalah sebagai berikut.

1. Menentukan nilai k.

2. Masukkan data pengujian pertama.

3. Menghitung jarak antara data pengujian pertama dengan semua data pelatihan menggunakan persamaan 2.16.

4. Mengambil k buah data pelatihan yang memiliki jarak terdekat.

5. Menghitung bobot dari masing-masing k data pelatihan dengan persamaan 2.19.


(58)

6. Menjumlahkan bobot data pelatihan yang memiliki kelas yang sama.

7. Memberi label kelas pada data pengujian dengan label kelas yang memiliki bobot terbesar.

8. Ulangi langkah 2 hingga 7 untuk semua data pengujian.

3.7. Perancangan Sistem

Pada perancangan sistem akan dilakukan

3.7.1. Perancangan menu sistem

Struktur menu dalam sistem ditunjukkan pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12. Struktur Menu Aplikasi

3.7.2. Perancangan antarmuka

Perancangan antarmuka merupakan gambaran umum tentang tampilan yang terdapat pada sistem.

1. Rancangan Tampilan Awal

Pada tampilan awal aplikasi, terdapat logo pada bagian kiri dan nama sistem pada bagian kanan. Di bawah bagian nama sistem, terdapat tombol “Start” untuk memulai sistem. Rancangan tampilan awal ditunjukkan pada Gambar 3.13.


(59)

Gambar 3.13. Rancangan tampilan awal aplikasi

Keterangan:

a. Tombol “Start” memungkinkan user untuk masuk ke halaman utama aplikasi.

2. Rancangan Tampilan Utama

Pada tampilan utama aplikasi, terdapat beberapa fasilitas seperti pemilihan citra retina, pemrosesan citra retina, dan hasil klasifikasi citra retina. Rancangan tampilan utama ditunjukkan pada Gambar 3.14.


(60)

Gambar 3.14. Rancangan tampilan utama aplikasi

Keterangan:

a. Tombol “Browse” memungkinkan user untuk memilih citra retina pada tempat penyimpanan citra. Setelah citra dipilih, maka citra akan ditampilkan pada bagian “Input image”.

b. Tombol “Process” memungkinkan user untuk melakukan proses identifikasi

diabetic retinopathy. Setelah proses identifikasi selesai, citra hasil pre-processing, yaitu proses grayscaling, enhancement, dan optic disc elimination akan ditampilkan pada bagian “Pre-processing”, fitur yang diambil dari citra juga akan ditampilkan pada bagian “Feature Extraction”, dan hasil identifikasi akan ditampilkan pada bagian “Result”.

c. Tombol “Reset” memungkinkan user untuk menghapus citra input beserta seluruh hasil pemrosesan.

d. Citra hasil proses grayscaling, enhancement, dan optic disc elimination

memberikan fasilitas zoom kepada user untuk melihat citra dalam ukuran yang lebih besar.


(61)

BAB 4

IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN

Bab ini membahas hasil yang didapatkan dari implementasi metode Modified k-Nearest Neighbor (MkNN) untuk melakukan mengidentifikasi diabetic retinopathy

melalui citra retina dan pengujian sistem sesuai dengan analisis dan perancangan yang telah dibahas pada Bab 3.

4.1. Implementasi Sistem

Pada tahap ini, metode Modified k-Nearest Neighbor (MkNN) akan diimplementasikan ke dalam sistem menggunakan bahasa pemrograman Java sesuai dengan perancangan yang telah dilakukan.

4.1.1. Spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan

Spesifikasi perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan untuk membangun sistem adalah sebagai berikut:

1. Prosesor IntelCore i3-350M CPU 2.26 GHz. 2. Kapasitas harddisk 320 GB.

3. Memori 3.00 GB RAM DDR3.

4. Sistem operasi yang digunakan adalah Microsoft Windows 7 Ultimate. 5. Eclipse 1.5.2 Indigo .


(62)

4.1.2. Implementasi perancangan antarmuka

Implementasi perancangan antarmuka berdasarkan rancangan yang telah dilakukan pada Bab 3 adalah sebagai berikut.

1. Tampilan awal sistem

Tampilan awal sistem merupakan tampilan yang pertama kali muncul ketika sistem dijalankan. Tampilan awal sistem dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Tampilan awal sistem

2. Tampilan utama sistem

Tampilan utama sistem merupakan tampilan untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy sesuai dengan citra retina yang diinputkan menggunakan Modified k-Nearest Neighbor (MkNN). Tampilan utama sistem dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(1)

Dari 22 data pengujian, kesalahan terdapat pada data ke-3, 9, dan 14 seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.10. Desired output dari data ke-3 adalah normal, tetapi actual output yang dihasilkan sistem adalah diabetic retinopathy. Hal yang sama terjadi pada data ke-9. Pada data ke-14, desired output adalah diabetic retinopathy, tetapi actual output dari sistem adalah normal. Kemungkinan yang menyebabkan kesalahan identifikasi, baik pada citra diabetic retinopathy maupun citra normal, adalah adanya kemiripan fitur pada beberapa citra diakibatkan pemilihan region of interest yang terlalu luas pada citra retina. Adapun ukuran kinerja hasil pengujian berdasarkan Gold Standard untuk identifikasi diabetic retinopathy dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Ukuran kinerja hasil pengujian berdasarkan Gold Standard

No. Index Jumlah Persentase

1 True Positive (TP) 11

2 True Negative (TN) 8

3 False Positive (FP) 2

4 False Negative (FN) 1

5 Sensitivity (TP rate) 91,6%

6 Specificity (TN rate) 80%

7 Positive Predictive Value (PPV) 84,6% 8 Negative Predictive Value (NPV) 88,9%

9 Overall accuracy 86,4%

10 FN rate 8,4%

11 FP rate 20%

12 Positive likelihoood ratio 4,58

13 Negative likelihoood ratio 0,105


(2)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini membahas tentang kesimpulan dari metode yang diajukan untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy pada bagian 5.1, serta pada bagian 5.2. akan dibahas saran-saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pengujian sistem identifikasi diabetic retinopathy menggunakan Modified k-Nearest Neighbor adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan metode Modified k-Nearest Neighbor dapat mengidentifikasi diabetic retinopathy melalui citra retina dengan akurasi 86,4%, sensitivity 91,6%, dan specificity 80%.

2. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, nilai parameter k yang kecil menyebabkan akurasi yang rendah dikarenakan jumlah nilai ketetanggaan dari data pengujian sedikit sehingga tidak dapat menggambarkan keadaan kelas yang ada. Nilai k yang besar juga menyebabkan akurasi menjadi rendah karena variasi ketetanggaan terlalu banyak yang menyebabkan identifikasi menjadi semakin sulit. Adapun nilai parameter k = 5 merupakan parameter terbaik untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy menggunakan Modified k-Nearest Neighbor.


(3)

1. Perkecil region of interest (ROI) citra retina sebelum proses ektraksi fitur untuk mendapatkan fitur yang lebih unik. Adapun proses untuk memperkecil ROI dilakukan menggunakan segmentasi fitur.

2. Bandingkan metode ekstraksi fitur Gray Level Coocurence Matriks dan metode klasifikasi Modified k-Nearest Neighbor dengan metode lain pada data penelitian yang sama untuk mendapatkan tingkat akurasi identifikasi diabetic retinopathy yang lebih baik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Dharani, T. & Aroquiaraj, I.L. 2013. Content based image retrieval system using feature classification with modified knn algorithm. (Online) http://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/1307/1307.4717.pdf (9 Agustus 2014).

Dillak, R.Y. & Bintiri, M.G. 2013. Klasifikasi citra diabetic retinopathy menggunakan 3D-GLCM projection. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI): 46-51.

Fegurson, J.R. 2007. Using the Gray-level co-occurrence matrix to segment and classify radar imagery. Tesis. University of Nevada.

Fong, D.S., Aiello, L., Gardner, T.W., King, G.L., Blankenship, G., Cavallerano, J.D., Ferris, F.L. & Klein, R. 2003. Diabetic retinopathy. Diabetes Care 26: 99-102. Gonzales, R.C. & Woods, R.E. 2002. Digital Image Processing. New Jersey:

Prentice-Hall Inc.

Haralick, R.M., Shanmugam, K. & Dinstein, I. 1973. Textural features for image classification. IEEE Trans on Systems, Man and Cybernetics 3:610 – 621. Jain, A.K. 1989. Fundamentals of Digital Image Processing. New Jersey: Prentice

Hall.

Khan, S., Wong, S., Deane, J. & Lawrence, I. 2011. Fundamentals in diabetes part 2: diabetic retinopathy. Journal of Diabetes Nursing 15(8): 298-307.

Klein, R., Klein, B.E. & Moss, S.E. 1984. The Wisconsin epidemiologic study of diabetic retinopathy II: Prevalence and risk of diabetic retinopathy when age at diagnosis is less than 30 years. Arch Ophthalmol 102 (4): 520-526.

Liao, P.S., Chen, T.S. & Chung, P.C. 2001. A fast algorithm for multilevel thresholding. Journal of Information Science and Engineering 17: 713-727.


(5)

Mahesh, K. 2013. Fundus image acquisition techniques with database in diabetic retinopathy. International Journal of Engineering Research and Applications 3: 1350-1362.

National Eye Institute (NEI): Facts about diabetic retinopathy. 2008. http://nei.nih.gov/, 30 Juni 2008 (diakses 22 Juni 2014).

Parvin, H., Alizadeh, H. & Bidgoli, B.M. 2008. Mknn: modified k-nearest neighbor. Proceedings of the World Congress on Engineering and Computer Science. Phillips, D. 2000. Image Processing in C Second Edition. Kansas: R&D Publications. Pratt, W.K. 2007. Digital Image Processing. New York: Wiley.

Putra, D. & Wiskara. 2010. Sistem identifikasi mikroneurisma pada citra retina digital. Teknologi Elektro 9(2): 159-164.

Rao, C.N., Sastry, S.S., Mallika, K., Tiong, H.S. & Mahalakshmi, K.B. 2013. Co-occurrence matrix and its statistical features as an approach for identification of phase transitions of mesogens. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology 2: 4531-4538.

Saladin, K.S., 2003. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function 3rd Edition. New York: McGraw-Hill.

Setiawan, W. 2012. Sistem deteksi retinopati diabetika menggunakan support vector machine. Tesis. Universitas Diponegoro.

Singh, A. & Patel S.S. 2014. Applying modified k-nearest neighbor to detect insider threat in collaborative information system. International Journal of Innovative Research in Science Engineering and Technology 3: 14146-14151.

Singh, R., Ramasamy, K., Abraham, C., Gupta, V. & Gupta, A. 2008. Diabetic retinopathy: an update. Indian Journal of Ophthalmology 56: 179-188.

Solomon, C. & Breckon, T. 2011. Fundamental of Digital Image Processing. West Sussex: Wiley.


(6)

Sopharak, A., Dailey, M.N., Uyyanonvara, B., Barman, S., Williamson, T., New, K.T. & Moe, Y.A. 2010. Machine learning approach to automatic exudate detection in retinal images from diabetic patients. Journal of Modern Optic 2: 124-135. Ulinuha, M.A. 2009. Segmentasi optic disc pada penderita diabetic retinopathy

menggunakan gvf snake. Tesis. Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.

Vijayamadheswaran, R., Arthanari, M. & Sivakumar, M. 2011. Detection of diabetic retinopathy using radial basis function. International Journal of Innovative Technology & Creative Engineering 1: 40-47.