PELAKSANAAN CONSERVATOIR BESLAG TERHADAP OBJEK SENGKETA WARIS PADA PENGADILAN AGAMA BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Putusan Nomor 1365Pdt.G2010PA.Smg)

(1)

i

TERHADAP OBJEK SENGKETA WARIS PADA

PENGADILAN AGAMA BERDASARKAN

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg)

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar sarjana ilmu hukum Universitas Negeri Semarang

Oleh Dian Norialifana

8111411288

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015


(2)

(3)

(4)

iv

dikutip maupun dirujuk telah saya nayatakan dengan benar. Apabila deikemudian hari diketahui adanya plagiasi maka saya siap mempertanggungjawabkan secara hukum.

Semarang, September 2015

Yang Menyatakan,


(5)

v bawah ini :

Nama : Dian Norialifana

NIM : 8111411288

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum, Universitas Negeri Semarang Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Negeri Semarang Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

“Pelaksanaan Conservatoir Beslag Terhadap Objek Sengketa Waris Pada Pengadilan Agama Berdasarkan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg)”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Negeri Semarang berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola, dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Semarang Pada tanggal


(6)

vi

1. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain (Q.S. Alam Nasyrah : 6-7)

2. Hidup sesukamu, namun engkau akan mati. Cintailah apa saja sesukamu, namun engkau akan berpisah dengannya. Berbuatlah sesukamu, namun semua itu ada balasannya (Nasehat Jibril kepada Rasulullah)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Bapak dan ibuku tercinta

2. Kedua adikku yang kusayangi


(7)

vii

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Conservatoir Beslag Terhadap Objek Sengketa Waris Pada Pengadilan Agama berdasarkan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg)” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Negeri Semarang.

Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Fatur Rokhman, M.Hum., selaku Rektor Universitas Negeri Semarang;

2. Bapak Drs. Sartono Sahlan, M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Bapak Drs. Suhadi, S.H., M.Si., Pembantu Dekan I, Bapak Drs. Herry Subondo, M.Hum., selaku Pembantu Dekan II, serta Bapak Ubaidillah Kamal, S.Pd., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang;

3. Bapak Baidhowi, S.Ag., M.Ag., Selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar dan tulus serta bersedia meluangkan banyak waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan saran, masukan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini;

4. Ibu Rofi Wahanisa, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Bagian Perdata Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang;


(8)

viii

6. Pejabat Pengadilan Agama Semarang, terkhusus Bapak H. Zainal Abidin, S.Ag., selaku Wakil Panitera Pengadilan Agama Semarang, Bapak Drs. Agus Yunih, S.H., M.HI., selaku Hakim Pengadilan Agama Semarang, serta Ibu Sri Hidayati, S.H., selaku Jurusita Pengadilan Agama Semarang yang telah meluangkan waktu dan membantu dalam penyusunan skripsi penulis;

7. Bapak Ratmin, selaku Pegawai Kelurahan Sumurboto, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Ibu Rukini, selaku saksi dari pihak Tergugat yang berkenan meluangkan waktu guna menjadi narasumber dalam penelitian, serta Bapak Dr. Ahmad Rajafi Sahran, M.HI., selaku Dosen tetap di IAIN Manado Sulawesi Utara yang berkenan membalas pertanyaan penulis lewat blog;

8. Bapak dan Ibu tercinta serta adik-adikku (Lalin dan Afif) yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, semangat, dan dukungan kepada penulis untuk keberhasilan menyusun skripsi ini;

9. Sahabat-sahabatku Winarsih, Falent, Afika, Syahidin, dan Bayu yang telah banyak memberi masukan dan bantuan kepada penulis mulai dari mencari judul sampai selesainya skripsi ini;

10. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.


(9)

ix

Semarang,


(10)

x

(Studi Kasus Putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg). Skripsi Bagian Perdata Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Baidhowi, S.Ag., M.Ag.

Kata Kunci: Conservatoir Beslag, Pemanfaatan barang sitaan, Hukum Islam, Maslahat.

Conservatoir Beslag merupakan tindakan persiapan yang berupa pembekuan benda-benda yang berada dalam kekuasaan Tergugat sementara waktu untuk menjamin gugatan Penggugat tidak hampa. Tujuan dari pelaksanaan sita adalah agar Tergugat tidak memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan kepada pihak ketiga, sehingga harta sengketa terjamin keutuhannya sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Faktor tersebut yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan sita yang dilakukan oleh Pengadilan Agama dengan tetap menjaga kemaslahatan sampai akhir.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana pelaksanaan Conservatoir Beslag pada putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg? (2) Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg?

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode pendekatan yuridis sosiologis, serta menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sedangkan teknik validitas data menggunakan teknik triangulasi.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah adanya peletakan sita pada objek gugatan yang dilakukan Jurusita Pengadilan Agama Semarang. Kemudian penempatan objek sitaan oleh Tergugat dengan jangka waktu sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Walaupun Pengadilan Agama Semarang tidak mengeluarkan surat ijin terkait ijin menempati objek sitaan bagi Tergugat. Kemudian terkait pelaksanaan sita dalam hukum Islam merupakan salah satu dari maslahah mursalah, yaitu maslahah al-hajjiyat, yang dibutuhkan untuk menyempurnakan dalam memelihara kebutuhan manusia berupa sebagian dari harta penggugat, karena sebagian harta yang disengketakan dikuasai Tergugat adalah hak dari Penggugat untuk kelangsungan hidupnya.

Diperoleh simpulan yang pertama bahwa pelaksnaan sita oleh Pengadilan Agama sesuai aturan namun terkait penempatan objek sitaan, Pengadilan Agama tidak mengeluarkan surat ijin khusus. Kedua, sita jaminan merupakan maslahah al-hajjiyat, dengan tahapan-tahapan pelaksanaan sita yang tetap menjaga unsur kemaslahatannya. Saran dari penulis yakni hendaknya terkait penempatan, pemanfaatan, pemakaiaan, hasil yang diperoleh dari objek sitaan harus ditegaskan dalam putusan Pengadilan Agama sehingga dapat menjamin kepastian hukumnya.


(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Batasan Masalah ... 10

1.4 Rumusan Masalah ... 10

1.5 Tujuan Penelitian ... 11

1.6 Manfaat Penelitian ... 11

1.7 Sistematika Penulisan ... 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) ... 15

2.2 Hukum Islam dan Metodologi Pengambilan Hukum ... 32


(12)

xii BAB 3 METODE PENELITIAN

2.1 Jenis Penelitian ... 64

2.2 Sifat Penelitian ... 64

2.3 Pendekatan Penelitian ... 65

2.4 Data dan Sumber Data ... 65

2.5 Teknik Pengumpulan Data ... 66

2.6 Keabsahan Data ... 67

2.7 Analisis Data ... 69

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 74

4.1.1 Deskripsi Pengadilan Agama Semarang dan Putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg ... 74

4.1.2 Pelaksanaan Conservatoir Beslag pada Putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg ... 79

4.1.2.1Peletakan Sita terhadap Objek Gugatan ... 80

4.1.2.2Penempatan Objek Sitaan oleh Tergugat ... 82

4.1.2.3Jangka Waktu Tergugat menempati Objek Sitaan ... 83

4.1.2.4Surat Ijin Menempati Objek Sitaan oleh Pengadilan Agama Semarang ... 85

4.1.3 Perspektif Hukum Islam Terhadap Conservatoir Beslag ... 87

4.2 Pembahasan ... 89

4.2.1 Pelaksanaan Conservatoir Beslag pada Putusan Pemgadilan Agama Semarang Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg ... 89


(13)

xiii

4.2.1.1Adanya Peletakan Sita terhadap Benda Milik Tergugat.... 90

4.2.1.2Penempatan Objek Sitaan oleh Tergugat ... 96

4.2.1.3Jangka Waktu Tergugat menempati Objek Sitaan ... 99

4.2.1.4Pertimbangan Hakim terkait Conservatoir Beslag ... 101

4.2.1.5Surat Ijin Menempati terhadap Objek Sitaan oleh Pengadilan Agama Semarang ... 105

4.2.2 Perspektif Hukum Islam terhadap Putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg ... 109

BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan ... 120

5.2 Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122


(14)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Penyitaan atau beslag merupakan tindakan persiapan yang berupa pembekuan benda-benda yang berada dalam kekuasaan tergugat sementarawaktu untuk menjamin agar putusan sidang pengadilan perdata dapat dilaksanakan. Penyitaan tersebut bertujuan untuk penetapan dan penjagaan barang yang disita selama berlangsungnya proses pemeriksaan sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menetapkan sah atau tidak tindakan penyitaan tersebut. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 227 jo Pasal 197 HIR dan Pasal 720 Rv membolehkan dilakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan debitur atau tergugat. Adapun tindakan penyitaan yang biasa dilakukan adalah terkait mengenai Conservatoir Beslag atas benda-benda milik tergugat yang dimintakan penggugat kepada Majelis Hakim, namun benda-benda tersebut tetap dibawah penjagaan dan pengawasan tergugat.

Berbeda dengan tindakan penyitaan dalam Hukum Perdata yang diatur dalam Pasal 197 ayat (9) HIR bahwa lingkup penjagaan dan pengawasan diserahkan kepada tergugat dan tidak boleh kepada penggugat (Harahap, 2004:310). Namun kepada tergugat berdasarkan Pasal 231 KUHPerdata melarang tergugat menjual, menghibahkan atau memindahtangankan harta kekayaan tersebut dengan akibat hukum dari segi pidana dan perdata. Sedangkan berdasarkan Hukum Pidana, tindakan penyitaan diatur dalam Pasal 44 ayat (1)


(15)

KUHAP yang menerangkan bahwa benda sitaan dirawat dan dijaga oleh pemerintah dalam hal ini pengadilan setempat yang nantinya akan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan).

Gagasan dasar tentang amanah undang-undang untuk membentuk lembaga seperti Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) adalah untuk tetap terpeliharanya benda yang disita dalam satu kesatuan unit. Kebijakan ini akan memudahkan dalam pemeliharaan dan ada pejabat tertentu yang bertanggung jawab secara fisik terhadap benda sitaan tersebut. Sehingga dengan pengelolaan dan pemeliharaan oleh Rupbasan kondisi atau keadaan benda sitaan tetap utuh dan sama seperti pada saat benda itu disita. Keutuhan benda sitaan sangat diperlukan bukan hanya untuk keperluan pembuktian pada saat proses peradilan. Sehingga para saksi tetap dengan mudah mengenali benda sitaan tersebut sama seperti pada saat dilakukan tindak pidana atau ketika benda itu disita untuk dijadikan sebagai barang bukti, melainkan juga dimaksudkan untuk melindungi hak milik tersangka dan terutama sekali hak milik pihak yang menjadi korban tindak pidana maupun pihak lain yang mungkin terkait dengan tindak pidana.

Berdasarkan Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg yang menyatakan bahwa juru sita atau penyita meninggalkan barang yang disita dalam keadaan semula ditempat dimana barang itu disita. Kemudian si tersita disuruh untuk menyimpan atau menjaganya. Sekalipun untuk membawa dan menyimpan sebagian barang di tempat penyimpanan yang dianggap patut, penjagaan dan penguasaan hak miliknya tetap ditangan si tersita. Hal tersebut sama seperti tujuan dari adanya lembaga Rupbasan yang bertanggung jawab atas benda-benda yang


(16)

disita supaya tetap utuh, tidak rusak dan sama seperti pada waktu benda tersebut disita. Adapun untuk benda yang tidak bergerak misal seperti tanah, pengadilan setempat dapat menunjuk Kepala Desa yang bersangkutan sebagai pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada orang lain.

Adapun tujuan utama dari pelaksanaan Conservatoir Beslag adalah agar tergugat tidak memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan kepada pihak ketiga. Dengan adanya perintah atas harta tergugat atau harta sengketa, secara hukum telah terjamin keutuhan keberadaan barang yang disita misalnya didalam contoh surat gugatan perkara harta bersama dalam perkara warisan pada bagian petitum biasanya di mohonkan kepada hakim agar dilakukan penyitaan terhadap barang-barang yang disengketakan (Muhammad, 2000:57). Jadi dapat disimpulkan bahwa Conservatoir Beslag harus diajukan oleh pihak penggugat selama perkara berlangsung guna menjaga keutuhan barang yang menjadi objek sengketa sehingga pada saat proses eksekusi tiba gugatan penggugat tidak hampa.

Perihal syarat-syarat untuk dapat diletakkan Conservatoir Beslag telah diatur dalam Pasal 227 HIR. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut mengandung makna bahwa untuk mengajukan Conservatoir Beslag haruslah ada dugaan yang beralasan bahwa si tergugat selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. Apabila penggugat tidak mempunyai bukti kuat bahwa kekhawatiran akan tergugat mengasingkan barang-barangnya, maka Conservatoir Belag tidak dilakukan (Mahkamah Agung, 1969-1972:130). Oleh karena itu, tergugat harus didengarkan keterangannya guna mengetahui kebenaran dugaan


(17)

tersebut. Hal ini sesuai dengan sebagaimana diharuskan dalam Pasal 227 ayat (2) HIR.

Berdasarkan hal tersebut, bagi pihak tersita sebelumnya harus dipanggil ke persidangan untuk didengar keterangannya mengenai kekhawatiran dari pihak penggugat atas dugaan pihak tergugat akan mengasingkan benda-benda yang dijadikan sebagai obyek sengketa, sebelum Conservatoir Beslag dikabulkan. Syarat tersebut ditetapkan sebagai salah satu usaha untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan hakim di dalam persidangan agar tidak dilaksanakan Conservatoir Beslag secara serampangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan sia-sia dan tidak mengenai sasaran (Nilasari, 2010:4).

Terkait mengenai dasar hukum adanya Conservatoir Beslag yaitu SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 5 Tahun 1975 disebutkan dalam angka 1 huruf (f) bahwa untuk selalu mengingat ketentuan dalam Pasal 198 HIR atau 213 RBg dan Pasal 199 HIR atau 214 RBg mengenai benda-benda tetap harus dicatat dalam register Pengadilan Negeri dan disampaikan kepada Kantor Pendaftaran Tanah atau Pejabat yang bertugas membuat akta jual-beli tanah sehingga tidak akan terjadi pemindahtanganan benda-benda yang ada di bawah penyitaan tersebut. Namun benda-benda sitaan tersebut juga tidak diperkenankan untuk diserahkan kepada pihak penggugat, karena hal tersebut dapat menimbulkan kesan seolah-olah sudah pasti perkara akan dimenangkan oleh penggugat.

Sebagaimana pada lampiran II SEMA Nomor 5 Tahun 1975 menyatakan bahwa oleh karena putusan hakim masih belum tetap kekuatannya, maka pada umumnya kepentingan pihak yang kalah (sementara) harus dititikberatkan juga


(18)

pada putusan hakim yang mengandung pengusiran sebaiknya jangan langsung dieksekusi serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) sebab seseorang yang secara paksa diusir dan disuruh untuk mengosongkan suatu rumah dengan batasan waktu yang singkat mungkin akan mendapat penderitaan yang tidak seimbang dengan penderitaan dari pihak yang menang setelah Conservatoir Beslag dinyatakan sah dan berharga oleh Pengadilan. Jadi dari keterangan tersebut menyatakan bahwa benda sitaan boleh dimanfaatkan artinya boleh digunakan si tergugat namun dengan ketentuan si tergugat tidak boleh memindahtangankan ataupun menjual kepada pihak lain sampai adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap menyatakan sah dan berharga Conservatoir Beslag atas obyek gugatan tersebut.

Hakikat pada Conservatoir Beslag ini merupakan perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan milik tergugat. Perintah perampasan itu dikeluarkan oleh Pengadilan dalam surat penetapan atas permohonan yang berkepentingan. Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran maupun kesalahan dalam pelaksanaan Conservatoir Beslag, maka acuan yang harus dipedomani oleh hakim dalam pelaksanaan sita ini adalah harus dipahami benar bahwa Conservatoir Beslag itu hanya semata-mata sebagai jaminan yang bertujuan untuk menjamin gugatan penggugat tidak illusoir (hampa). Sedangkan hak atas benda sitaan tetap dimiliki oleh tergugat dan masih dipegang oleh tergugat sampai putusannya dinyatakan in kracht dan dilaksanakan oleh pengadilan

Mengenai masalah penyitaan bagi orang yang tidak mau bayar, Ka‟ab bin


(19)

Artinya : “Sesungguhnya Nabi shallallahu „alaihi wa sallam pernah menyita harta Mu‟adz dan menjualnya untuk membayar hutangnya‟. (HR. Ad-Daar al-Quthni)

Pada dasarnya penyelesaian kasus pailitnya Mu‟adz, Rasulullah

shallallahu’alaihi wa sallam bertindak sebagai Jurusita di samping sebagai Hakim pada waktu itu. Berdasarkan hadits di atas maka jelaslah bahwa pada dasarnya penyitaan terhadap barang atau benda itu diperbolehkan, dan berdasar riwayat

beberapa Imam diantaranya Imam Syafi‟i, Malik, Abu Yusuf bahwa mereka

membatasi bolehnya menyita itu dengan “adanya tuntutan dari salah satu pihak kepada hakim untuk diadakan penyitaan”.

Oleh karena penjatuhan sita seolah-olah merupakan pernyataan kesalahan tergugat sebelum putusan dijatuhkan, dengan sendirinya tindakan penyitaan menimbulkan berbagai dampak yang harus dipikul tergugat, antara lain dari segi kejiwaan. Dengan adanya penyitaan maka tentunya telah menempatkan tergugat dalam posisi keresahan dan kehilangan harga diri. Karena di dalam proses persidangan sedang berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan belum tentu akan menghukum dan menyalahkan tergugat. Namun dengan adanya penyitaan tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap tergugat sudah mulai hilang. Itu artinya pengadilan berdampak psikologis. Dengan memperhatikan akibat-akibat negatif seperti ini, para hakim harus dituntut untuk teliti di dalam menjalankan permohonan sita. Sehingga Hakim dalam mengambil keputusan diharapkan untuk


(20)

mempertimbangkan hal-hal yang tidak merugikan kedua belah pihak serta bertindak adil.

Adapun dalam pelaksanaan putusan (eksekusi) memerlukan bantuan dari pihak yang dikalahkan, artinya pihak bersangkutan harus dengan sukarela melaksanakan putusan itu. Melaksanakan putusan berarti bersedia memenuhi kewajiban untuk berprestasi yang dibebankan oleh Hakim lewat putusannya. Terkadang pihak yang kalah tidak mau atau lalai melaksanakan putusan hakim, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu baik secara lisan maupun tulisan, supaya putusan dilaksanakan. Untuk itu ketua menyuruh memanggil pihak yang kalah serta memperingatkan supaya ia melaksanakan putusan itu selambat-lambatnya dalam tempo delapan hari (Pasal 196 HIR atau 207 RBg).

Apabila pihak tergugat tidak hadir memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah masa peringatan dilampaui tetap tidak menjalankan pemenuhan putusan yang dihukumkan kepadanya, sejak saat itu Ketua Pengadilan Negeri secara ex officio, yaitu jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain. Sehingga Ketua Pengadilan Negeri

mengeluarkan “surat penetapan” yang berisi “perintah” kepada panitera atau

jurusita untuk menjalankan eksekusi pengosongan atau pembongkaran yang dalam hal ini sesuai dengan tata cara eksekusi riil yang dirumuskan dalam Pasal 1033 Rv. Jadi apabila gugatan penggugat tentang sengketa milik atas barang tidak bergerak dikabulkan, secara otomatis conservatoir beslag yang dimohonkan agar untuk menjamin keutuhan dan keberadaan barang sehingga terpelihara selama


(21)

proses pemeriksaan berlangsung dinyatakan sah dan berharga oleh hakim dalam amar putusannya. Maka dengan demikian pada saat putusan telah berkekuatan hukum tetap, barang tersebut dapat dieksekusi riil dengan jalan mengosongkan atau membongkar bangunan yang ada di atasnya serta sekaligus menyerahkan kepada penggugat (Nilasari, 2010:7).

Adapun dengan permasalahan mengenai hak milik yang disita, dalam menjaga kemaslahatan, hukum Islam mempunyai beberapa tujuan yang diantaranya adalah untuk melindungi dan menjaga harta benda seseorang, sehingga wajib bagi kita untuk menghormati hak milik orang lain, dengan tidak menguasai harta milik orang lain dengan mengalihkan atau menjual kepada pihak lain. Sama seperti halnya pengaturan mengenai peletakan sita atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai. Tindakan tersebut dilakukan untuk melindungi hak dari pihak suami atau isteri yang salah satunya melakukan perbuatan merugikan dan membahayakan harta bersama seperti mabuk, boros, judi, dan sebagainya (Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam).

Mengenai Conservatoir Beslag terdapat kaidah yang dijadikan sebagai landasan penyelesaian yang mana mempunyai arti bahwa menolak kemafsadatan itu lebih didahulukan daripada menarik suatu kemaslahatan. Kemafsadatan di sini berarti tidak mendayagunakan sesuatu atau meninggalkan kewajiban, sedangkan kemaslahatan berarti mendayagunakan sesuatu atau melaksanakan kewajiban. Dan apabila kemaslahatan tersebut tidak diaksanakan akan menimbulkan suatu kemafsadatan (Munir, 2009:11-12).


(22)

Berdasarkan uraian di atas bahwa pelaksanaan terhadap putusan Conservatoir Beslag pada Pengadilan Agama bertujuan untuk melindungi dan menjaga harta benda seseorang dengan tidak menguasai harta milik orang lain dengan cara mengalihkan atau menjual kepada pihak lain sehingga kemaslahatan tetap terjaga diantara para pihak. Menurut Abdul Manan (2006:94) terkadang dalam praktik pelaksanaan sita sering terjadi penyimpangan dari ketentuan yang berlaku dan penerapan sita yang rumit dan komplek, sehingga berakibat pelaksanaan sita tersebut dilaksanakan secara serampangan. Berdasarkan faktor itulah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengetahui lebih lanjut tentang sejauh mana Pengadilan Agama melaksanakan putusan Conservatoir Beslag dengan tetap menjaga kemaslahatan sehingga kemaslahatan dari pelaksanaan sita tersebut terwujud sampai akhir. Maka penulis memilih melaksanakan penelitian pada Pengadilan Agama Semarang didasarkan pada pertimbangan bahwa kasus mengenai penelitian yang sedang dilaksanakan penulis pernah terjadi dengan nomor putusan 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg. sehingga penulis mencoba untuk meneliti mengenai: Pelaksanaan Conservatoir Beslag Terhadap Objek Sengketa Waris Pada Pengadilan Agama berdasarkan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg).

1.2

Identifikasi Masalah

Penelitian ini mengangkat dan mendeskripsikan mengenai pelaksanaan Conservatoir Beslag pada Pengadilan Agama berdasar perspektif hukum Islam yang studi kasusnya di Pengadilan Agama Semarang, maka dapat diidentifikasi sebagai berikut:


(23)

1. Alasan mengajukan Conservatoir Beslag.

2. Dalam perkara apa saja dapat dilakukan Conservatoir Beslag. 3. Adakah di dalam Islam mengatur tentang perbuatan sita menyita. 4. Pelaksanaan Conservatoir Beslag pada Pengadilan Agama Semarang. 5. Hambatan-hambatan pada pelaksanaan sita menyita.

6. Pertimbangan-pertimbangan Hakim.

7. Perspektif hukum Islam terhadap putusan Conservatoir Beslag pada Pengadilan Agama Semarang.

1.3

Batasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah maka penulis akan membatasi masalah yang akan diteliti, antara lain:

1. Pelaksanaan Conservatoir Beslag pada Pengadilan Agama Semarang.

2. Perspektif hukum Islam terhadap putusan Conservatoir Beslag pada Pengadilan Agama Semarang.

1.4

Rumusan Masalah

Berdasarkan hal tersebut di atas dan dikaitkan dengan latar belakang permasalahan, maka penulis merumuskan masalah yang ada sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan Conservatoir Beslag terhadap objek sengketa waris

pada putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor

1365/Pdt.G/2010/PA.Smg?

2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap Conservatoir Beslag pada putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg?


(24)

1.5

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan Conservatoir Beslag terhadap objek sengketa waris pada putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg.

2. Untuk menjelaskan bagaimana perspektif hukum Islam terhadap Conservatoir Beslag pada putusan Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg.

1.6

Manfaat Penelitian

Manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya literatur atau bahan bacaan di Fakultas Hukum khususnya yang membahas tentang pelaksanaan Conservatoir Beslag dalam perspektif hukum Islam.

b. Hasil penelitian ini digunakan sebagai bahan kajian ilmiah secara deskriptif yang merupakan studi banding antara kenyataan dengan teori yang diperoleh di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

2. Kegunaan Praktis (Kegunaan dalam masyarakat)

Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan informasi bagi masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui tentang pelaksanaan Conservatoir Beslag pada putusan Pengadilan Agama dalam perspektif hukum Islam.


(25)

1.7

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi tiga bagian yang saling berhubungan, dengan tujuan memudahkan pemahaman tentang isi dan esensi penulisan skripsi ini serta memperoleh penyajian yang serius, terarah, dan sistematik dengan sistematika sebagai berikut:

1.7.1 Bagian Awal

Bagian awal skripsi terdiri atas sampul, lembar judul, lembar pengesahan, lembar pernyataan orisinalitas, lembar persetujuan publikasi, lembar motto dan persembahan, lembar abstrak, kata pengantar, dan daftar isi.

1.7.2 Bagian Pokok

BAB 1 : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat atau kegunaan penelitian serta sistematika penulisan.

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi kerangka pemikiran atau teori-teori yang berkaitan dengan pokok masalah yang diteliti yaitu tentang pelaksanaan Conservatoir Beslag pada putusan Pengadilan Agama Semarang Nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg dalam perspektif hukum Islam, yang mana tinjauan tersebut antara lain tentang Conservatoir Beslag, Hukum Islam dan Metodologi Pengambilan Hukum, Penerapan Hukum Waris Islam di Indonesia, serta Hukum Acara Peradilan Agama.


(26)

BAB 3 : METODE PENELITIAN

Pada bab tiga ini berisi penjelasan mengenai metodologi penelitian yang akan penulis gunakan dalam penulisan skrispsi yang memuat tentang pendekatan penelitian, sifat penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, keabsahan data, dan analisis data.

BAB 4 : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian tentang pelaksanaan putusan Conservatoir Beslag pada Pengadilan Agama Semarang yang meliputi pelaksanaan Conservatoir Beslag pada putusan Pengadilan Agama Semarang nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg dan perspektif hukum Islam terhadap putusan nomor 1365/Pdt.G/2010/PA.Smg. Adapun hasil penelitian dan pembahasan menghubungkan fakta atau data yang diperoleh dari hasil penelitian pustaka dan penelitian lapangan.

BAB 5 : PENUTUP

Bab lima ini akan memuat simpulan dari penelitian setelah dilakukan analisis terlebih dahulu, serta memuat saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya serta bagi pengembangan ilmu hukum pada khususnya.

1.7.3 Bagian Akhir


(27)

14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Conservatoir Beslag

2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Conservatoir Beslag

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah dalam Indonesia adalah beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Adapun pengertian yang terkandung didalamnya ialah tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada dalam penjagaan secara resmi berdasarkan perintah Pengadilan atau Hakim. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan sampai adanya putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sah atau tidaknya penyitaan tersebut (Harahap, 2004:282).

Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan penggugat dalam bentuk permohonan kepada Pengadilan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan, disimpan untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual, sebab dikhawatirkan ada kemungkinan bahwa pihak lawan atau tergugat selama sidang berjalan mengalihkan harta kekayaannya kepada orang lain sehingga apabila kemudian gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan, putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan sebab tergugat tidak mempunyai harta kekayaan lagi. Dengan adanya penyitaan tersebut, maka tergugat kehilangan wewenangnya untuk menguasai barangnya, sehingga tindakan-tindakan tergugat untuk


(28)

mengalihkan barang-barang yang disita adalah perbuatan pidana dan melawan hukum (Pasal 231, 232 KUHP) (Mertokusumo, 2002:83).

Menurut Abdul Manan, dapat diketahui bahwa apabila ada dugaan yang beralasan sebelum perkaranya diputus di pengadilan atau sudah diputus tetapi belum dijalankan, sedangkan tergugat berusaha menggelapkan atau membawa pergi barang-barang bergerak atau barang tetap, maka Ketua Pengadilan Agama atas permohonan yang berkepentingan dapat memerintahkan agar dilakukan penyitaan terhadap barang-barang tersebut guna memenuhi hak bagi yang mengajukan permohonan tersebut. Melihat pengertian tersebut, maka ciri-ciri Conservatoir Beslag dapat dikemukakan sebagai berikut:

(1) Conservatoir Beslag diletakkan atas harta kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam sengketa dan tuntutan ganti rugi,

(2) Objek sita itu bisa meliputi barang bergerak atau tidak bergerak, dapat juga dilaksanakan terhadap yang berwujud dan tidak berwujud atau lichammelyk en onlichammelyk,

(3) Pembatasan sita bisa hanya pada barang-barang tertentu jika gugatan didalilkan berdasarkan sengketa hak milik atas barang yang tertentu atau bisa meliputi seluruh harta kekayaan tergugat sampai mencakup jumlah seluruh tagihan apabila gugatan didasarkan atas utang piutang atau tuntutan ganti rugi,

(4) Tujuan Conservatoir Beslag dimaksudkan untuk menjamin gugatan penggugat tidak illussoir (hampa) pada saat putusan nanti memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan tetap terjamin keutuhannya sampai tiba saatnya putusan itu dieksekusi (2006:97).

Conservatoir Beslag adalah sita yang dapat dilakukan oleh Pengadilan atas permohonan penggugat untuk mengamankan barang yang sedang disengketakan agar tidak dirusak, dihilangkan atau dipindah tangankan sebelum perkara berakhir (Muhammad, 2000:57). Sebagai dasar hukum mengenai Conservatoir Beslag terdapat dalam HIR Pasal 227 ayat (1) Jo RBg Pasal 261 ayat (1) yang berbunyi:


(29)

“Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang

berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau putusan yang mengalahkan belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tetap maupun yang tidak tetap dengan maksud akan menjatuhkan barang itu dari penagih utang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua Pengadilan dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan Pengadilan Negeri yang pertama sesudah itu

untuk memajukan dan menguatkan gugatannya”.

2.1.2 Tujuan dan Manfaat Conservatoir Beslag

Tujuan utama Conservatoir Beslag adalah agar tergugat tidak memindahkan atau membebankan harta kekayaan kepada pihak ke tiga. Inilah yang menjadi salah satu tujuan Conservatoir Beslag yaitu untuk menjaga keutuhan keberadaan harta atau harta kekayaan tergugat selama proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya perintah penyitaan atas harta tergugat atas harta sengketa, secara hukum telah terjamin keutuhan keberadaan barang yang disita misalnya didalam contoh surat gugatan perkara harta bersama dalam perkara warisan pada bagian petitum biasanya di mohonkan kepada hakim agar dilakukan sita terhadap barang-barang yang disengketakan (Muhammad, 2000:57).

Berdasarkan hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa Conservatoir Beslag harus diajukan oleh pihak penggugat selama perkara berlangsung guna menjaga keutuhan barang barang yang menjadi objek sengketa. Conservatoir Beslag merupakan upaya hukum agar tercipta keutuhan dan keberadaan harta yang disita sampai keputusan dapat di eksekusi, hal ini menjaga agar gugatan pada saat


(30)

proses eksekusi tiba terjadi tidak hampa sehingga dengan telah diletakkannya sita pada harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dan pelaksanaan penyitaan telah didaftarkan dan diumumkan kepada masyarakat, maka terhitung sejak tanggal pendaftaran dan pengumuman sita, (sesuai dengan Pasal 213 Rbg, telah digariskan akibat hukumnya seperti yang diatur dalam Pasal 215 Rbg) yaitu :

1. Demi hukum melarang tergugat untuk menjual, memindahkan barang sitaan kepada siapa pun.

2. Pelanggaran atas itu, menimbulkan dua sisi akibat hukum : a. Akibat hukum dari segi perdata.

Apabila barang menjadi objek sengketa dilakukan tindakan jual beli atau penindasan hak atau barang tersebut maka tindakan atau perbuatan tersebut batal demi hukum. Akibat dari batalnya demi perbuatan tindakan tersebut, secara hukum, status barang tersebut kembali menjadi dalam keadaan semula sebagai barang sitaan, sehingga tindakan atau perbuatan pemindahan hak atas barang dianggap tidak pernah terjadi. Ini diatur dalam Pasal 215 Rbg.

b. Akibat hukum dari segi pidana.

Akibat dalam hukum pidana, apabila pihak tergugat/yang kena sita melakukan penjualan atau pemindahan hak dan barang-barang menjadi sengketa, diancam sesuai Pasal 231 KUHP, tindakan pidana yang diancam dengan Pasal 231 KUHP ini adalah berupa tindak


(31)

kejahatan yang dengan sengaja melepas barang yang telah dijatuhi sita menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun.

Tujuan dan manfaat Conservatoir Beslag yang diuraikan di atas jangan sampai disalahgunakan di dalam pelaksanaannya terhadap penyitaan barang karena pembatasan dan yang dilarang disita. Adapun maksud dari pembatasan Conservatoir Beslag adalah untuk mencukupi kepentingan jumlah tagihan hutang atau tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya.

Pelaksanaan penyitaan terdapat dalam Pasal 197 ayat (8) HIR secara tidak langsung telah memberikan klasifikasi dan pembatasan dapat dirinci sebagai berikut:

a. Dahulukan penyitaan terhadap barang yang bergerak b. Penyitaan tidak boleh melampaui jumlah tagihan

Juga dalam ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR dan Pasal 221 RBg, yang mengatur barang yang dilarang untuk disita yaitu:

a. Hewan

b. Perkakas yang sifatnya sungguh-sungguh berfungsi sebagai alat yang dipergunakan tergugat untuk menjalankan mata pencaharian.

Melihat dalam hal ini pendapat Subekti, bahwa Pasal tersebut digunakan untuk melindungi masyarakat kecil, antara lain petani yang disebabkan negara Indonesia adalah negara yang bersifat agraris, untuk melindungi petani kecil


(32)

tersebut agar tidak mata mata pencahariannya. Maksud dari pendapat tersebut ialah hewan dan perkakas lain yang sungguh-sungguh berguna bagi yang bersangkutan untuk menjalankan mata pencahariannya sendiri.

Jadi jelaslah maksud dan larangan menyita barang-barang tertentu yang telah disebutkan pasal tersebut adalah memberikan perlindungan kepada seseorang tergugat dari kemusnahan total. Artinya jangan sampai kegiatan untuk melangsungkan pemenuhan kebutuhan nafkah sehari-hari tidak dapat dilakukannya.

2.1.3 Penjagaan obyek Conservatoir Beslag

Tidak terdapat perbedaan pokok mengenai tata cara pelaksanaan sita atas barang bergerak dan barang tidak bergerak. Dengan demikian, tidak berbeda dengan tata cara pelaksanaan sita revindikasi, sebab uraian yang dikemukakan berlaku juga dalam hal tersebut. Penjelasan tambahan yang dikemukakan dalam sita barang tidak bergerak, terutama mengenai penjagaan dan penguasaan benda sitaan yang merupakan prinsip yang tidak boleh dilanggar. Selain dari ketentuan yang berlaku terhadap sita pada umumnya, terdapat ketentuan yang bersifat khusus terhadap Conservatoir Beslag barang tidak bergerak (Harahap, 2004:345).

Ketentuan khusus tersebut antara lain pengaturan mengenai penjagaan barang Conservatoir Beslag yang diatur secara tegas dalam Pasal 508 Rv dan secara implisit pada Pasal 197 ayat (9) HIR, bahwa dalam hal penjagaan sita atas barang tidak bergerak adalah si tersita dan sifatnya demi hukum. Kemudian mengenai pemakaian benda sitaan oleh si tersita diatur dalam Pasal 508 Rv namun dengan syarat pemakaian tidak boleh berakibat pada turunnya harga barang sitaan


(33)

dan bila harga turun, tergugat diancam membayar ganti rugi dan bunga. Mengenai hasil yang tumbuh setelah penyitaan, pengadilan harus mempertimbangkan dan menegaskan dalam penetapan sita, namun sepanjang hal tersebut tidak ditegaskan dalam penetapan, tergugat dianggap berhak memakai dan menikmati hasil tersebut.

Mengenai penjagaan benda sitaan berpedoman kepada Pasal 197 ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBg. Dalam ketentuan tersebut, ditegakkan prinsip penjagaan benda sitaan tetap berada di tangan tergugat atau tersita. Prinsip ini ditegaskan juga dalam SEMA Nomor 5 Tahun 1975, yang melarang penyerahan benda yang disita kepada penggugat atau pemohon sita. Pada huruf (g) SEMA tersebut ditegaskan bahwa:

1. Agar barang-barang yang disita tidak diserahkan kepada penggugat atau pemohon sita,

2. Tindakan hakim yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah penggugat sudah pasti akan dimenangkan dan seseolah-olah-seolah-olah pula putusannya uitvoerbaar bij voorraad (serta merta).

Bagian akhir SEMA menekankan peringatan kepada para hakim dan jurusita agar tidak melanggar prinsip tersebut.

Terkait mengenai tata cara pelaksanaan Conservatoir Beslag dijelaskan dalam Pasal 227 ayat (3) HIR. Tata cara tersebut tunduk pada ketentuan yang digariskan Pasal 197, 198, dan 199 HIR. Bertitik tolak dari Pasal 226 ayat (3) HIR, tata cara dan syarat pelaksanaan sita jaminan sama dengan sita revindikasi, tunduk kepada ketentuan Pasal 197 HIR sepanjang objek sita itu berupa barang bergerak. Akan tetapi, apabila objeknya barang tidak bergerak harus ditaati


(34)

ketentuan Pasal 198 HIR, yaitu mendaftarkan dan mengumumkan berita acara penyitaan di kantor pendaftaran yang berwenang untuk itu.

Conservatoir Beslag tidak hanya diterapkan dalam HIR maupun RBg, Mahkamah Agung sebagai lembaga Peradilan tertinggi Negara juga mengeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 5 Tahun 1975 Perihal Conservatoir Beslag namun SEMA tersebut hanya sebagai peringatan bagi para Hakim Pengadilan Negeri dalam memutus dan bagi para jurusita dapat melaksanakan Conservatoir Beslag. Selain terdapat dalam HIR dan RBg serta SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) sebagai dasar Conservatoir Beslag, dapat dilihat dalam kaidah-kaidah hukum Islam sebagai dasar hukum Conservatoir Beslag yang diambil dari kaidah hukum Islam yang disebut dengan maslahah mursalah (Munir, 2009:19).

Sebagaimana kebolehan meletakkan sita atas harta kekayaan tergugat dalam sengketa hak milik atas benda tidak bergerak adalah hanya terbatas atas obyek barang yang diperkirakan dan tidak boleh melebihi obyek tersebut. Pelanggaran atas prinsip itu, dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dan sekaligus merupakan pelanggaran atas tata tertib beracara, sehingga penyitaan tersebut dikategorikan sebagai undue process atau tidak sesuai dengan hukum acara (Harahap, 2004:341).

2.1.4 Syarat Conservatoir Beslag

Penyitaan tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak


(35)

dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan. Syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim. Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari penggugat yang mengajukan permohonan sita.

a. Sita Berdasarkan Permohonan.

1.) Permohonan diajukan dalam surat gugatan.

Biasanya dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama didalam surat gugatan. Bentuk dan tata cara pengguna permohonan Conservatoir Beslag yang seperti ini lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan pokok.

2.) Permohonan terpisah dari pokok perkara.

Ada kalanya permohonan sita diajukan terpisah dari pokok perkara, pada bentuk permohonan ini penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri yang terpisah dari gugatan pokok perkara.

Disamping gugatan perkara, penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan. Namun didalam prakteknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada hakikatnya,


(36)

kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan.

3.) Atau selama putusan belum dapat dieksekusi.

Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg juga memuat ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dapat dieksekusi (dilaksanakan)”. Dari kalimat selama

putusan belum dapat dilaksanakan mengandung arti yuridis selama putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Harahap, 1990:27). Jadi permohonan sita dapat dimohonkan ke pengadilan apabila putusan belum dapat dieksekusi, karena putusan tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap yang dapat dibanding maupun dikasasi.

b. Memenuhi tenggang waktu sita

Tenggang waktu pengajuan sita adalah sampai batas waktu kapan permohonan sita dapat diajukan dan kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan yang dibenarkan oleh hukum (Harahap, 1990:25). Penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Memperhatikan kekuatan tersebut selain menentukan tenggang waktu pengajuan sita, namun sekaligus juga mengandung permasalahan tentang instansi tempat pengajuan sita.

c. Permohonan sita harus berdasarkan alasan

Permohonan sita yang telah dimohonkan tadi selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan


(37)

sita apabila tidak dibarengi dengan suatu alasan sita yang kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat sita atau penyitaan, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta menimbang alasan sita tersebut dengan teliti. Jangan sampai permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan tersebut dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.

Secara tegas undang-undang memberi hak dan kewenangan kepada hakim untuk menyita harta kekayaan atau harta terperkara milik tergugat sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo. Pasal 206 Rbg, namun hakim harus teliti dan cermat didalam pengabulan terhadap permohonan sita. Ini karena sita sangat eksepsional sekali sifatnya.

Sebelum permohonan sita dikabulkan hakim, hakim berhak dan berwewenang memeriksa fakta-fakta tentang adanya dugaan atau persangkaan berupa petunjuk-petunjuk penggelapan yang hendak dilakukan tergugat atas barang-barang yang menjadi objek sengketa tersebut. Apabila alasan sita memang telah sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan telah memenuhi unsur persangkaan hakim bahwa perlu dilakukan sita, maka permohonan sita dapat dikabulkan. Sebaliknya apabila alasan permohonan sita tidak sesuai dengan fakta-fakta, aturan-aturan, dan unsur-unsur penilaian persangkaan hakim, maka sewajarnya permohonan sita ditolak.

Hal ini ditujukan untuk melindungi hak dari tergugat juga. Walaupun

esensi atau alasan utama sita terletak pada “tergugat akan menggelapkan barang yang menjadi objek perkara”, namun perlu diperhatikan pula unsur sita jaminan


(38)

jangan sampai terlalu merugikan pihak tergugat. 2.1.5 Pelaksanaan Conservatoir Beslag

Suatu penyitaan harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 197, 198, dan 199 HIR dan jika mengabaikan persyaratan tersebut maka tindakan penyitaan itu batal menurut hukum. Perintah penyitaan harus dilakukan dengan penetapan hakim, baik sebelum maupun selama pemeriksaan perkara masih berlangsung dan sewaktu-waktu dapat dicabut kembali apabila terdapat kesalahan dalam pelaksanaannya dan ditetapkan hakim dalam putusannya. Dalam surat pemberitahuan Ketua Mahkamah Agung tanggal 7 November 1954 ditegaskan bahwa penyitaan pendahuluan menurut undang-undang hanya dapat diperintahkan, apabila benar barang-barang milik tergugat akan dihamburkan.

Perihal pelaksanaan Conservatoir Beslag ditentukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1975 bahwa:

1. Agar para Hakim berhati-hati sekali dalam menerapkan atau menggunakan lembaga sita jaminan (Conservatoir Beslag) dan sekali-kali jangan mengabaikan syarat-syarat yang diberikan oleh Undang-undang (Pasal 227 HIR atau 261 RBg);

2. Agar diingat adanya perbedaan syarat dan sifat antara Conservatoir Beslag dan Revindicatoir Beslag seperti ditentukan dalam peraturan-peraturan yang bersangkutan;

3. Agar dalam surat permohonan Conservatoir Beslag serta surat ketetapan yang mengabulkannya disebut alasan-alasan apa yang menyebabkan Conservatoir Beslag yang dimohon dan dikabulkan itu, yang berarti bahwa sebelum dikeluarkan surat ketetapan yang mengabulkan permohonan Conservatoir Beslag diadakan penelitian lebih dahulu tentang ada tidaknya alasan yang dikemukakan oleh pemohon.

4. Agar benda-benda yang disita nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), jadi seimbang dengan yang digugat;

5. Agar lebih dulu dilakukan penyitaan atas benda-benda bergerak dan baru diteruskan ke benda-benda tetap jika menurut perkiraan nilai


(39)

benda-benda bergerak tu tidak akan mencukupi;

6. Agar selalu diingat pula akan ketentuan dalam Pasal 198 HIR atau 213 RBg dan Pasal 199 HIR atau 214 RBg mengenai benda-benda tetap yang harus dicatat dalam register yang telah disediakan untuk itu di Pengadilan Negeri dan bahwa tembusan berita acara harus disampaikan kepada Kantor Pendaftaran Tanah atau Pejabat yang bertugas membuat akta jual-beli tanah sehingga tidak akan terjadi pemindahtanganan benda-benda yang ada dibawah penyitaan itu; 7. Agar benda-benda yang disita tidak diserahkan kepada pihak

pemohon, karena hal itu menimbulkan kesan seolah-olah putusannya nanti akan serta merta.

Menurut M. Yahya Harahap (2005), uraian pokok tata cara pelaksanaan Consevatoir Beslag , termasuk pejabat yang menurut hukum melaksanakan di lapangan, yang terdiri dari:

1. Dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan

Dituangkan dalam bentuk surat penetapan yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Majelis Hakim yang bersangkutan. Surat penetapan itu berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk melaksanakan Conservatoir Beslag terhadap harta kekayaan tergugat.

2. Panitera atau juru sita melaksanakan penyitaan

Pejabat yang berfungsi melaksanakan Conservatoir Beslag adalah panitera Pengadilan Negeri. Tetapi hal tersebut tidak mutlak melainkan dapat didelegasikan kepada pejabat lain di lingkungan Pengadilan Negeri.

3. Memberitahu penyitaan kepada tergugat

Pemberitahuan itu berisi hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam serta tempat penyitaan agar tergugat menghadiri penyitaan. Namun kehadiran tergugat tidak menjadi syarat keabsahan pelaksanaan sita.


(40)

4. Juru sita dibantu dua orang saksi

Hal itu diatur dalam Pasal 197 ayat (6) HIR, pada waktu juru sita melaksanakan penyitaan:

1) Dibantu dua orang saksi, dengan menyebut nama, pekerjaan, dan tempat tinggalnya dalam berita acara sita,

2) Saksi harus penduduk Indonesia, paling tidak berumur 21 tahun, dan orang yang dapat dipercaya.

Mengenai kehadiran kepala desa, bukan syarat, tetapi sebaiknya dia diberitahukan dan diundang untuk menghadirinya. Akan tetapi, kalau kepala desa dijadikan saksi dia harus hadir:

a. Dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai saksi,

b. Bukan dalam kedudukan dan kapasitanya sebagai kepala desa. 5. Pelaksanaan sita dilakukan di tempat barang terletak

Ketentuan ini bertitik tolak pada Pasal 197 ayat (9) HIR, yang menjelaskan barang yang disita ditinggalkan ditempat orang yang disita barangnya, oleh karena itu penyitaan tidak dapat dijalankan di luar tempat benda itu berada. Penyitaan yang dilakukan dari belakang meja, tidak sah. Jurusita dan saksi harus melihat dan mengamati sendiri objek barang sitaan. Bahkan kalau yang hendak disita benda tidak bergerak seperti tanah, juru sita dan saksi harus mengukur dan mencocokkan luas dan batas-batasnya sesuai yang disebut dalam permohonan sita.

6. Membuat Berita Acara Sita


(41)

acara sita sebagai syarat sahnya penyitaan. Berita acara merupakan akta otentik yang berfungsi sebagai bukti keabsahan pelaksanaan sita. Oleh karena itu, sita yang tidak dituangkan dalam berita acara dianggap cacat dan tidak sah.

Unsur-unsur materi yang harus disebut dalam Berita Acara Penyitaan adalah sebagai berikut:

1) Menyebutkan nomor, tanggal, dan tahun surat penetapan perintah sita, sebagai dasar pelaksanaan sita,

2) Menyebut jam, tanggal, hari, bulan, dan tahun pelaksanaan penyitaan, 3) Mencantumkan nama, pekerjaan, dan tempat tinggal saksi-saksi,

4) Menyebut secara jelas dan rinci mengenai jenis serta jumlah benda yang disita,

5) Jika si tersita hadir, dibuat penjelasan bahwa berita acara dibuat di hadapan tersita, sedang apabila tersita tidak hadir dicatat juga dalam berita acara,

6) Jurusita meninggalkan objek sitaan kepada pihak Tersita, 7) Berita acara ditandatangani juru sita dan kedua orang saksi. 7. Meletakkan benda sitaan di tempat semula

Meletakkan atau menempatkan benda di tempat benda sitaan berada, merupakan salah satu prinsip yang harus ditegakkan. Tentang hal tersebut telah dibicarakan pada uraian itu, telah dijelaskan bahwa penempatan benda sitaan pada tempat semula, merupakan prrinsip yang meliputi beberapa aspek hukum yang mesti ditegakkan pengadilan dalam melaksanakan sita:


(42)

a) Penjagaan sita atas benda bergerak atau tidak bergerak harus diserahkan kepada tersita:

a. Secara hukum, dalam Pasal 197 ayat (9) HIR menegaskan, selain meninggalkan benda yang disita tetap diletakkan pada tempat semula, penjagaan penguasaan sepenuhnya diserahkan kepada tersita,

b. Dilarang mengalihkan maupun menyerahkan penjagaan dan penguasaan kepada penggugat atau pihak ketiga maupun kepala desa.

b) Tersita berhak penuh memakai, menikmati, atau mengoperasikan kegiatan usaha yang melekat pada benda sita, kecuali apabila pemakaian itu berakibat benda sitaan menjadi habis dalam pemakaian.

8. Menyatakan sah dan berharga atas sita tersebut

Pasal 226 ayat (7) HIR memerintahkan hakim untuk menyatakan sah dan berharga atas sita tersebut apabila gugatan dikabulkan.


(43)

Bagan Pelaksanaan Conservatoir Beslag Penyitaan dibantu oleh 2 orang saksi (Pasal 197 ayat 6 Pemberitah uan tentang penyitaan kepada Tergugat (Pasal 197 ayat 5 HIR) Harta benda tetap berada dan

dijaga oleh si Tergugat/Tersita (Pasal 197 ayat 9 HIR)

Surat berita acara penyitaan khususnya benda tetap untuk dicatatkan di Register Perkara Pengadilan dan didaftarkan di instansi-instansi pertanahan daerah setempat (Pasal 198 ayat 1 dan 2 HIR)

Menyatakan sah dan berharga atas sita tersebut apabila gugatan dikabulkan (Pasal 226 ayat 7

HIR) Kepada pihak Tersita

dilarang untuk membebani, memindahtangankan, atau

menyewakan benda tersebut kepada orang lain

(Pasal 199 ayat 1 HIR) Adanya surat penetapan dari Majelis Hakim

Panitera/jurusita melaksanakan

penyitaan terhadap harta benda milik Tergugat (Pasal 197 ayat 2 HIR)

Membuat Berita Acara Sita (Pasal 197 ayat 5 dan 6 HIR)


(44)

2.2

Hukum Islam dan Metode

Maslahat Mursalah

2.2.1 Pengertian Hukum Islam

Menurut T.M, Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam khazanah ilmu hukum Islam di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hukum disandarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam.

Adapun hukum Islam biasanya disebut dengan istilah-istilah yang masing-masing menggambarkan sisi atau karakterisik tertentu hukum tersebut. Istilah tersebut adalah Syariah dan fiqih. Pengertian Syariah secara terminologi adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan makhluk lainnya di alam lingkungan hidupnya. Sedangkan Fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma dasar dan ketentuan yang terdapat dalam AL Quran dan sunnah Nabi Muhammad yang direkam di dalam kitab-kitab Hadits (Ali, 2008:4).

2.2.2 Tujuan Hukum Islam

Tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan atau menciptakan kemaslahatan hidup bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini. Secara umum


(45)

ada tiga tujuan hukum Islam, antara lain mendidik setiap individu agar mampu menjadi sumber atau membawa kebaikan bagi masyarakat dan tidak menjadi sumber atau yang membawa malapetaka bagi orang lain. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ankabut ayat 45:

Artinya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya

mengingat Allah lebih besar”.

Selanjutnya, tujuan hukum Islam adalah mewujudkan atau menciptakan kemaslahatan yang hakiki bagi seluruh umat manusia. Kemaslahatan yang hakiki adalah kemaslahatan sejati, bukan kemaslahatan yang semu atau kemaslahatan bagi sekelompok orang saja. Kemaslahatan hakiki sebagai tujuan hukum Islam, meliputi lima hal, yakni:

1. Memelihara agama adalah memelihara pelaksanaan agama, yakni menjalankan agama sesuai dengan komponen akidah, akhlak dan juga syariah. Oleh karena itu maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinan agamanya;

2. Memelihara jiwa adalah memelihara diri dalam beribadah dan berinteraksi bersama dengan masyarakat, dan memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Sebagai contoh adanya larangan membunuh


(46)

(QS. Al-Isra‟: 33) sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya;

3. Memelihara akal adalah menjaga akal pikiran agar selalu dapat berpikir secara sehat dan senantiasa berbuat baik dan benar. Contohnya dalam Islam melarang orang meminum setiap minuman yang memabukkan yang disebut khamar (QS Al-Maidah: 90) dan menghukum setiap perbuatan yang dapat merusak akal manusia;

4. Memelihara keturunan adalah memelihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan, maksudnya supaya pemeliharaan dan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya. Contohnya adalah larangan berzina (QS Al-Isra‟: 32);

5. Memelihara harta adalah melindungi hak manusia untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal dan sah serta melindungi kepentingan harta seseorang, masyarakat dan negara, misalnya dari penipuan (QS An-Nisa‟: 29), perampasan, pengaturan peralihan harta seseorang setelah ia meninggal dunia (QS 4:7,11,12,176 dll) (Ali Daud, 2008:63-65).

2.2.3 Sumber-sumber Hukum Islam

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976:974) yang dimaksud sumber adalah asal sesuatu. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Allah telah menentukan sendiri sumber hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap Muslim.


(47)

Sebagaimana tertulis dalam kepustakaan hukum Islam di Indonesia, sumber hukum Islam terkadang disebut sebagai dalil hukum Islam atau asas hukum Islam atau dasar hukum Islam. Allah telah menentukan sumber hukum Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Sumber hukum Islam tersebut adalah Al Quran, Al Hadits, dan Ar-ra’yu (penalaran) yang mana Ar-ra’yu terbagi atas

Ijma’ dan Qiyas (Ali, 2008:24). Berikut adalah penjelasan mengenai sumber-sumber hukum Islam:

1. Al Quran

Al Quran merupakan sumber utama hukum Islam. Menurut bahasa, Al Quran berarti bacaan. Dan menurut istilah, Al Quran merupakan himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat (Mustofa dan Wahid, 2009:9).

Perbandingan hukum yang ada di dalam Al Quran dengan hukum yang dibuat oleh manusia dalam segala seginya maka ditemukan bahwa hukum Al Quran lebih mencakup dan lebih sempurna serta serasi bagi keseluruhan aspek kemanusiaan dan kehidupannya. Sebagai contoh dapat diungkapkan bahwa dalam ajaran Islam ditemukan pembagian kategori hukum itu kedalam lima bagian, yaitu wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah yang sesuai dengan tindakan manusia di dalam hidup bermasyarakat. Islam mendahulukan kewajiban daripada hak. Sebab, apabila kewajiban telah dibayarkan berarti hak orang telah diberikan. Dengan demikian, tidak akan menuntut haknya lagi (Ali, 2006: 31-32).


(48)

2. As-Sunah atau Al Hadits

As-Sunnah atau Al-Hadits adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al Quran yang berupa perkataan, perbuatan, dan sikap diam Rasulullah SAW yang tercatat sekarang didalam kitab-kitab hadits. Adapun dasar hukum adanya Hadits menurut Mohammad Daud Ali (2008:103) adalah:

1) Syahadatain, yaitu ikrar keyakinan yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan lain yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya.

2) Al Quran, yakni dalam surat Al-Nisa‟ (4) ayat 59, QS Al-Imran (3) ayat 132, QS Al-Nisa‟ (4) ayat 80, dan QS Al-Hasyr (59) ayat 7.

3) Sunnah Nabi yang menyatakan bahwa “apa yang diharamkan Rasulullah,

sama dengan apa yang diharamkan Allah” (HR. Ahmad dan Hakim).

As-Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Sedangkan dalam terminologi Islam, berarti perbuatan, perkataan, dan keizinan Nabi Muhammad SAW. Pengertian As-Sunnah tersebut sama dengan pengertian Al-Hadits. Al-Hadits menurut bahasa adalah khabar atau berita. Menurut istilah, Al-Hadits adalah segala berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW meliputi, sabda, perbuatan beliau, dan perbuatan para sahabat yang beliau diamkan dalam arti membenarkannya (taqrir) (Zainuddin,2008:45).

3. Ijma‟

Ijma‟ merupakan sumber hukum Islam yang ketiga. Menurut Abdul Wahhab Khallaf dalam Zainuddin Ali (2008:39-40), ijma‟ adalah kebulatan


(49)

pendapat fuqaha mujtahidin di antara umat Islam pada suatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa Nabi Muhammad SAW.

Menurut bahasa, Ijma‟ artinya kesepakatan. Sedangkan menurut istilah, Ijma‟ berarti kebulatan pendapat para mujtahidin pada suatu masa

dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ditemukan dalilnya secara tegas dalam Al Quran atau Hadits.Sudah merupakan sunatullah dalam perkembangan zaman senantiasa ditemui masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia yang perlu diketahui kedudukan hukumnya. Apabila para ulama majtahidin sepakat dalam menetapkan hukumnya, berarti lahirlah ijma‟ atau kesepakatan para ulama (Mustofa dan Wahid, 2009:14).

Meskipun ijma‟ menangani masalah-masalah yang tidak ada dalil hukumnya secara tegas dan jelas dari Al Quran dan Hadits, namun prosesnya tidak boleh lepas dari landasan Al Quran dan Hadits, namun prosesnya tidak boleh lepas dari landasan Al Quran dan Hadits, yaitu berpegangan kepada

kaidah dasar agama. Tidak diperbolehkan ada ijma‟ yang bertentangan

dengan Al Quran dan Hadits yang merupakan sumber kaidah dasar agama.

Apabila terdapat ijma‟ yang bertentangan dengan Al Quran dan Hadits, maka ijma‟ tersebut otomatis dibatalkan.

Contoh Ijma‟ adalah sebagai berikut:

1. Penetapan awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan Ru‟yatul Hilal. Dasar hukumnya yaitu:

- QS. Al-Baqarah ayat 182 - Sabda Rasulullah SAW:


(50)

“Janganlah kalian berpuasa samapai kalian melihat hilal, dan jangan

berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan

maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga puluh”. (HR. Muslim)

- “Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika

kalian melihat bulan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Nenek asli mendapatkan bagian 1/6 ketika pewaris tidak lagi mempunyai ibu. Dasar hukumnya yaitu:

“Sesungguhnya Nabi SAW memberikan kepada nenek 1/6 apabila

tidak ada ibu”. (HR. Abu Dawud)

Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seseorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab:

“Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Quran, maka pulanglah dulu dan tunggulah hingga aku menenyakannya kepada para sahabat

Rasulullah SAW”.

Kemudian al-Mughirah bin Syu‟bah mengatakan kepada Abu Bakar,

“Suatu ketika aku pernah menjumpai Rasulullah SAW memberikan hak seorang nenek 1/6”.

Mendengar pernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya 1/6.

4. Qiyas

Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang keempat. Secara etimologi, pengertian Qiyas adalah mengukur dan menyamakan. Sedangkan Qiyas secara terminologi artinya menyamakan masalah baru yang tidak terdapat ketentuan hukumnya di Al Quran atau Sunnah Nabi Muhammad dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya di dalam Al Quran atau


(51)

Sunnah berdasarkanatas adanya persamaan illat hukum (Mustofa dan Wahid, 2009:14)

Macam-macam Qiyas adalah sebagai berikut: 1. Qiyas Illat

Adalah mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan illatnya. Qiyas ini dibagi menjadi dua macam:

a. Qiyas Aulawy, contohnya menqiyaskan orang yang memukul orang tuanya dengan orang yang membentak orang tuanya. Kedua perbuatan itu sama-sama terlarang.

b. Qiyas Musaqi, contohnya menqiyaskan narkoba dengan khamar, keduanya sama-sama haram untuk dikonsumsi.

2. Qiyas Dalalah

Adalah qiyas yang illatnya tidak disebutkan, yang disebutkan hanyalah hal-hal yang menunjukkan adanya illat tersebut. Contohnya, menqiyaskan wajib zakat harta anak-anak dengan wajib zakat orang dewasa. Dalil illatnya adalah dapat bertambahnya harta tersebut.

3. Qiyas Syibih

Adalah qiyas ketika cabang bisa diqiyaskan dengan dua pokok yang banyak persamaannya. Contohnya, seorang budak yang dirusak atau dibuat cacat oleh orang lain yang bukan pemiliknya dapat diqiyaskan kepada dua hal, yakni: pertama kepada orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam, kedua diqiyaskan kepada harta benda karena sama-sama dapat diperjualbelikan, dihadiahkan, diwariskan. Mengenai perkara ini lebih dekat


(52)

jika diqiyaskan dengan harta benda, sehingga budak yang dirusak itu dapat diganti nilainya.

Terdapat empat faktor proses dalam Qiyas yang harus dipenuhi, yakni asalnya, cabangnya, hukumnya, dan sifatnya. Contohnya misal tentang haramnya khamar (arak). Khamar itu disebut asalnya. Sifatnya memabukkan dan dipandang sebagai sebabnya, maka setiap minuman lain yang sifatnya memabukkan dipandang sebagai cabangnya, dan dinyatakan hukumnya sebagai haram. Dari kriteria tersebut, dapat dikembangkan kepada minuman atau makanan lain. Apabila terdapat kesamaan maka dihukumi sebagaimana khamar, misalnya narkotika (Mustofa dan Wahid, 2009:15).

2.2.4 Metode Maslahat Mursalah

Maslahat mursalah merupakan salah satu dalil hukum Islam yang masih diperselisihkan oleh para ulama fikih. Maslahat mursalah ini adalah dalil untuk menetapkan suatu masalah baru yang secara eksplisit belum disebutkan di dalam sumber utama, Al-Quran dan as-Sunnah, baik diterima maupun ditolak. Pencetus pertama maslahah mursalah sebagai dalil hukum ini dinisbatkan kepada Imam Malik pada tahun 97 H, tokoh dan sekaligus pendiri mazhab Maliki. Maslahat mursalah sebagai opsi dalil hukum ini bermula dari wafatnya Nabi Muhammad SAW. Bersamaan dengan wafatnya Nabi tersebut, wahyu Al-Quran telah berhenti turun, dan sabda-sabda Nabi telah berhenti pula. Sementara itu, permasalahan terus berkembang bersamaan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dari sinilah muncul gagasan maslahah mursalah sebagai opsi dalil hukum Islam (Rosyadi, 2013: 79).


(53)

Menurut Abdul Wahhab Khallaf sebagaimana dikutip dalam Zainuddin Ali (2006:41), menyatakan bahwa maslahat mursalah adalah memperhatikan kepentingan masyarakat dan/atau memelihara tujuan hukum Islam, mengambil kebaikan dan menolak kerusakan dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, maslahat mursalah adalah penetapan ketentuan hukum berdasarkan kemaslahatan

(kebaikan, kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara‟, baik ketentuan

umum maupun ketentuan khusus. Dengan demikian, maslahat mursalah tidak akan dapat diartikan mengubah ketentuan hukum Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Sebab, maslahat mursalah hanya tertuju kepada hal-hal yang tidak mempunyai ketentuan hukum, baik di dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi Muhammad.

Penggunaan maslahah mursalah adalah ijtihad yang paling subur untuk menetapkan hukum yang tak ada nashnya dan jumhur ulama menganggap maslahah mursalah sebagai hujjah syari’at karena:

1. Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia terhadap kemaslahatannya, jika hukum tidak menampung untuk kemaslahatn manusia yang dapat

diterima, berarti kurang sempurnalah syari‟at.

2. Para sahabat dan tabi‟in telah menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan, seperti abu bakar menyuruh mengumpulkan musyaf Al Quran demi kemaslahatn umum.

Diantara ulama yang banyak menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik, dengan alasan bahwa Allah mengutus Rasul-Nya untuk kemaslahatan


(54)

manusia, maka kemaslahatan ini jelas dikehendaki syara‟, sebagaimana firman

Allah:

Artinya: “tidaklah semata-mata aku mengutusmu (Muhammad), kecuali untuk kebaikan seluruh alam”. (Q.S. Al-Anbiya: 107).

Imam Malik memandang bahwa maslahat mursalah selain untuk masalah Daruriyah juga untuk masalah Hajjiyah, sementara Imam al-Ghazali memandang bahwa maslahat mursalah hanya untuk masalah daruriyah dan hajjiyah yang setingkat dengan daruriyah.

Sebagai contoh, Imam Malik membolehkan menyita kekayaan konglomerat dengan pertimbangan maslahat, sedang contoh maslahat yang dibenarkan oleh Imam al Ghazali, misal apabila harta benda milik orang telah bercampur-baur dengan harta hasil korupsi, kolusi, manipulasi, penjarahan dan sebagainya, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan harta yang murni halal, maka berdasarkan maslahat, boleh atau halal bagi penduduk membeli barang sesuai dengan kebutuhannya melalui transaksi yang halal/benar, sebab jika hal itu tidak dibenarkan, maka sistem perekonomian dan kegiatan keagamaan akan macet dan terhenti dalam kehidupan masyarakat (Herawati, 49).

Sedangkan menurut Imam Ahmad, bahwa maslahah mursalah adalah suatu

jalan menetapkan hukum yang tidak ada nash dan ijma‟. Disamping orang yang


(55)

dijadikan dasar hukum, seperti Imam Syafi‟i dengan alasan bahwa maslahah mursalah disamakan dengan istihsan, selain itu alasannya adalah:

1. Syari‟at Islam mempunyai tujuan menjaga kemaslahatan manusia dalam keadaan terlantar tanpa petunjuk-petunjuk itu harus berdasarkan kepada ibarat nash, kalau kemaslahatan yang tidak berpedoman kepada i’tibar nash bukanlah kemaslahatan yang baik.

2. Kalau menetapkan hukum berdasarkan kepada maslahah mursalah yang

terlepas dari syara‟ tentu akan dipengaruhi oleh hawa nafsu, sedangkan hawa

nafsu tak akan mampu memandang kemaslahatan yang hakiki.

3. Pembinaan hukum yang didasarkan kepada maslahah mursalah berarti membuka pintu bagi keinginan dan hawa nafsu yang mungkin tidak akan dapat terkendali.

Menurut Husein Hamid Hasan dalam Abdul Halim Mahmudi (2009:34), ia menyamakan maslahat mursalah ini dengan Qiyas Imam Syafi‟i, ia menyatakan bahwa sesungguhnya maslahat mursalah masuk ke dalam pengertian Qiyas

menurut pandangan Imam Syafi‟i. Alasannya adalah ia memasukkan maslahat mursalah ke dalam Qiyas, sebab keduanya memiliki persamaan unsur-unsur. Menurutnya, syarat Qiyas ada tiga, yakni (1) adanya peristiwa yang tidak ada nash

hukumnya yang jelas; (2) adanya hukum yang dinashkan oleh syar‟i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian ma‟nawi; (3)

peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang mansus secara implisit. Ketiga syarat Qiyas ini menurutnya sejalan dengan maslahat mursalah yaitu: (1) peristiwa yang ingin diketahui hukumnya melalui


(56)

maslahat adalah peristiwa yang tidak ada nashnya yang jelas, seperti jaminan atau ganti rugi para pekerja apabila merusak barang yang dikerjakannya; (2) ada hukum-hukum syari‟at yang dinashkan oleh syari‟ atas suatu peristiwa yang maknanya dapat ditemukan oleh para mujtahid; (3) peristiwa yang tidak ada nash tersebut memiliki makna yang sama dengan makna yang terkandung di dalam peristiwa yang ada nashnya.

Sebagaimana dalam menggunakan maslahat mursalah sebagai hujjah

syari’ah, para ulama bersikap sangat berhati-hati, sebab ditakutkan akan tergelincir kepada pembentukan syari‟at baru berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal itu, seperti yang ditulis oleh Abdul Wahab Khallaf, dalam bukunya ushul al-fiqh, ulama menyusun syarat-syarat kebolehan memakai maslahat mursalah (Mahmudi, 2009:77).

Syarat-syaratnya tersebut ada tiga macam, yakni:

1) Maslahat harus benar-benar nyata dan bukan maslahat yang mengada-ngada. Selain itu maslahat yang dihasilkan harus sesuai dengan rasio sehingga memudahkan seseorang menerimanya. Dengan kata lain pengambilan maslahat tersebut bertujuan untuk mengambil manfaat (jalbu manfaah) dan mencegah madharat (daf’u madharrah). Jangan sampai maslahat tersebut hanya memperhatikan jalbu manfa’ah saja tanpa diimbangi dengan aspek madharatnya. Misalnya menyerahkan hak talak kepada hakim yang seharusnya hak suami.

2) Maslahat itu diciptakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan perseorangan. Dalam arti kata, maslahat yang dijadikan penyebab ketetapan


(57)

hukum haruslah mengedepankan aspek sosial dan kepentingan orang banyak

bukanlah kepentingan segelintir orang. Sebab hukum syari‟ah itu diletakkan

untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi. Misalnya untuk kepentingan keluarga, pemimpin, saudara dan lain-lain.

3) Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan

dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash dan ijma‟. Wahbah

Zuhaili menambahkan juga agar maslahat tersebut sesuai dengan maqashid

syari’ah dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qath’i. Maka menyamakan ratakan bagian anak laki-laki dan perempuan dalam warisan

adalah bentuk maslahah yang bertentangan dengan syari‟ah dan tidaklah sah

pengamalannya.

Adapun sebagai contoh adalah pembatasan umur calon mempelai laki-laki dan perempuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu perkawinan hanya diizinkan jika para pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Analisis contoh tersebut, hukum Islam tidak secara jelas menentukan batas umur. Oleh karena itu, perkawinan anak-anak di bawah umur jika dilakukan oleh wali masing-masing dipandang sah. Namun, jika dikaji secara saksama ajaran Islam mengenai tujuan hukum perkawinan yang antara lain disebutkan di dalam Al Quran Surah Ar-Rum ayat 21 bahwa perkawinan bertujuan untuk mencari ketenangan hidup hingga dapat ditimbulkan rasa saling mencintai dan kasih sayang, maka perkawinan anak-anak di bawah umur tidak akan mencerminkan


(58)

tujuan hukum perkawinan dimaksud. Oleh sebab itu pemerintah (ulil amri) diberikan kekuasaan untuk membuat ketentuan mengenai batas umur kepada calon-calon mempelai sebagaimana yang telah disebutkan Mohammad Hashim Kamali dalam Zainuddin Ali (2006:41).

2.3

Hukum Acara Peradilan Agama

2.3.1 Pengertian Peradilan dalam Islam

Islam mempunyai beberapa pokok dan kaidah sebagai landasannya. Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini antara lain meliputi kekuasaan sabagai amanah, musyawarah, prinsip keadilan sosial, prinsip persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, prinsip peradilan, prinsip perdamaian dan keselamatan, prinsip kesejahteraan, dan prinsip ketaatan rakyat (Azhari, 1987:79).

Pengertian peradilan dalam Kamus Hukum adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki banyak arti, yaitu dewan atau majelis yang mengadili perkara, mahkamah, proses mengadili, keputusan hakim yang mengadili perkara, dan mahkamah perkara (Depdikbud, 1993:7). Peradilan terkadang diartikan sama dengan pengadilan dan terkadang dikemukakan pengertian yang berbeda. Sedangkan menurut istilah, peradilan adalah daya upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan (Nuh, 1995:15).


(59)

Secara etimologi, peradilan dalam Islam terambil dari kata qadla yang artinya menetapkan sesuatu dan menghukuminya. Adapun qadla menurut istilah adalah memutus perselisihan yang terjadi pada dua orang atau lebih yang berselisih dengan hukum Allah SWT (al-Syarbini, 1998:602). Orang yang menjalankan peradilan disebut dengan qadli atau disebut hakim. Disebut qadli

karena terambil dawi wazan isim fa‟ilnya lafadz qadla yang berarti orang yang menetapkan hukum. sedangkan disebut hakim karena qadli adalah orang yang menjalankan hukum Allah terhadap orang yang berperkara.

Bidang peradilan merupakan hal penting yang menjadi perhatian bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Karena pada umumnya kewajiban yang bersifat sosial itu bertujuan untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial dan melindungi kewajiban personal dari setiap individu. Sedangkan penetapan hukum dalam peradilan sebagai fardlu kifayah adalah berdasarkan pada ijma‟ ulama. Masuk dalam kategori fardlu kifayah karena termasuk kedalam upaya memerintahkan pada kebaikan dan mencegah pada perbuatan munkar (amar

ma’ruf nahi munkar).

Peradilan tidak hanya berarti menetapkan hukum antara manusia dengan lainnya, tetapi juga berarti menetapkan sesuatu dengan hukum syara‟. Artinya, peradilan ini tidak hanya menyangkut perkara perselisihan yang bersifat perdata saja, tetapi juga menyangkut hal-hal seperti pernikahan, pembunuhan, harta benda dan lain sebagainya.


(1)

terjaga sepanjang objek yang disita tersebut tidak dirusak, dijual, atau dipindahtangankan ke pihak ketiga.

5.2

Saran

Setelah selesainya pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis ingin menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Hendaknya dalam pelaksanaan Conservatoir Beslag, Pengadilan Agama

mengeluarkan surat ijin yang mengijinkan pihak Tergugat untuk meninggali, menempati, memanfaatkan, dan apabila rusak atau dirusak adalah tanggungjawab si pemakai yakni si Tergugat, walaupun hal tersebut secara implisit ada di dalam Pasal 197 ayat (9) HIR. Selain itu, dianjurkan pula dalam setiap putusan yang terdapat permohonan Conservatoir Beslag,

Majelis Hakim menegaskan didalam putusan tersebut terkait penempatan, pemanfaatan, dan pemakaian objek sitaan oleh Tergugat. Jadi menurut penulis walaupun dalam peraturan mengenai hal tersebut sudah diatur dalam perundang-undangan dan bentuk daripada peraturan tersebut yakni adanya Berita Acara Penyitaan yang dibuat oleh Jurusita yang salah satu isinya menerangkan tentang meninggalkan objek sitaan tersebut kepada Tergugat namun dari segi kepastian hukum masih kurang.

2. Pelaksanaan Conservatoir Beslag berdasarkan hukum Islam sangat

dianjurkan, karena walaupun pada putusan akhir pihak Tergugat mengalami kekalahan, Pengadilan Agama tetap menjaga kemaslahatan bagi para pihak dari awal sampai akhir perkara selesai. Sehingga dalam penyitaan tersebut tidak ada yang merasa dirugikan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Agafi Mukri dan R. Rambe. 2001. Implementasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Perca.

Al-Faruq, Asadulloh. 2009. Hukum Acara Peradilan Islam. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia.

Ali, M. Daud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Amiruddin dan Z. Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ashshofa, Burhan. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Ditjen Badilag, RI. MA. 2010. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Jakarta: DIPA.

Harahap, M. Yahya. 2004. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Khallaf, A. Wahhab. 2002. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Manan, Abdul. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana.

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muhammad, Abdulkadir. 2000. Hukum Acara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Mustofa dan A. Wahid. 2009. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika.

Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Syahrani, Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.


(3)

Sudarsono. 2001. Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

RI, Departemen. Agama. 2002. Islam untuk Disiplin llmu Hukum. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.

Undang-undang:

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR/RIB) dan Penjelasannya

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 1975 tentang Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Jakarta: Pradnya Paramita. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Skripsi dan Tesis:

Herawati, Andi. Maslahat Menurut Imam Malik dan Imam al-Ghazali (Studi Perbandingan).

Tersedia online di:

http://jurnaldiktum.blogspot.com/2015/01/v-behaviorurldefaultvmlo_97.html [diakses pada 21/05/15]

Mahmudi, A. Halim. 2009. Konsep Maslahah Mursalah Pada Kasus Presiden Wanita Menurut Imam Malik dan Imam Najmuddin Al-Thufi. Skripsi

Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Tersedia online di:

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/11307

Munir, M. Misbahul. 2009. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) Di Pengadilan Agama Sleman. Skripsi

Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tersedia online di:


(4)

http://digilib.uin-suka.ac.id/2738/1/BAB%20I,V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf Nilasari, Ayunning Tyas. 2010. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Dapat

Diterimanya Conservatoir Beslag Sebagai Pelaksanaan Eksekusi Riil Atas Sengketa Tanah. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tersedia online di:

http://eprints.ums.ac.id/9424/

Rosyadi, Imron. 2013. Pemikiran Asy-Syatibi Tentang Maslahah Mursalah. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Profetika, Jurnal Studi Islam. Tersedia online di:

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/3871

Prabandari, Evi Widyagung. 2009. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Atas Masalah Harta yang Dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian (Studi di Pengadilan Agama Semarang). Thesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.

Tersedia online di:

http://eprints.undip.ac.id/17286/

Darsanto, Sony. 2009. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) Terhadap tanah sebagai Obyek Jual Beli Akta PPAT (Studi Kasus Putusan No. 54/Pdt/G/1999/PN.Pt di Pengadilan Negeri Pati). Thesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.

Tersedia online di:

http://eprints.undip.ac.id/18263/

Website:

http://bunga9hati.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html (diakses pada tanggal 25 Maret 2015 pukul 10.24)

http://statushukum.com/tujuan-hukum-islam.html (diakses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 15.45)


(5)

LAMPIRAN

Gambar 1. Tanah dan Bangunan di Jalan Setiabudi No. 120 Kel. Sumurboto, Kec. Banyumanik, Kota Semarang.


(6)

Gambar 2. Bersama dengan Bapak Ratmin, Pegawai Kelurahan Sumurboto, menunjukkan objek sengketa.

Gambar 3. Bersama Ibu Rukini binti Sudarno, salah satu saksi dari pihak Tergugat (RM. Herry Sunotho).