Dasar dan Sumber Hukum Acara Perdata Peradilan Agama

2.3.2 Dasar dan Sumber Hukum Acara Perdata Peradilan Agama

Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyebutkan: “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang- undang ini.” Adapun dasar Hukum Acara Perdata Peradilan Agama meliputi: a. HIR Herzien Indonesische Reglement; b. RBg Rechtsreglement Buitengewesten; c. BW Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUHPerdata; d. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009; e. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; f. UU No. 14 Tahun tentang Mahkamah Agung dan telah diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2009; g. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; h. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; i. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai; j. UU No. 30 Tahun 2004 tentang Notaris; k. Kompilasi Hukum Islam KHI l. Kompilasi Hukum Ekonomi Islam jo. Peraturan Mahkamah Agung RI Perma No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Sumber Hukum Acara Perdata Peradilan Agama: a. Hukum Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Hadits Nabi SAW; b. Rv Reglement op de Rechtsvordering; c. Yurisprudensi; d. Adat kebiasaan yang dianut oleh para Hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata. Misalnya mengajukan kesimpulan oleh para pihak “justiciable” setelah pemeriksaan pembuktian dinyatakan cukup danatau selesai oleh Ketua Majelis yang menyidangkan perkara; e. Perjanjian Internasional; f. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan Ilmu Hukum digunakan sebagai tempat Hakim menggali Hukum Acara Perdata; g. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA merupakan sumber tempat Hakim menggali Hukum Acara Perdata maupun Hukum Perdata Materiil.

2.3.3 Kompetensi Peradilan Agama