Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah Di Pengadilan Agama Cikarang

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat memperoleh Gelar Sarjana Syariah ( S.Sy)

Oleh:

RA DIDIN DLIYAUDDIN NIM : 109044200003

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah ( S. Sy)

Oleh:

RA DIDIN DLIYAUDDIN

NIM : 109044200003

Dibawah Bimbingan

Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi

NIP. 194008051962021001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah.


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatulah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

Jakarta, 16 April 2014


(5)

RA DIDIN DLIYAUDDIN. 109044200003. Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang. Administrasi Keperdataan Islam. Ahwal as-Syakhsiyyah. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014. x+ 84+ 16.

Dalam KHI Pasal 105 yang berbunyi : dalam hal terjadinya perceraian : a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah ibunya, b) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, c) biaya pemeliharaan di tangung oleh ayahnya. Namun, dalam realitanya terdapat putusan mengenai hak asuh anak seringkali pihak yang berhak tidak mendapatkan haknya

Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian hadhanah menurut fiqih dan undang-undang, kemudian pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di wilayah hukum Pengadilan Agama Cikarang, selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan putusan hadhanah.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan jenis penelitian kualitatif atau penelitian lapangan. Sumber data untuk mendeskripsikan masalah utama adalah sumber data primer (penelitian lapangan) dan sumber data sekunder (studi kepustakaan).Teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui Pendekatan kualitatif.

Hadhanah adalah membekali anak secara material maupun secara spiritual, mental meupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa, Pengadilan Agama Cikarang dalam perkara hadhanah, hanya sebatas pengawasan dengan jangka waktu sampai diucapkannya amar putusan. Apabila selang beberapa waktu baru diketahui bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melakukan kewajiban sebagaimana yang diputuskan oleh Majelis Hakim, maka para pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama Cikarang.

Kata kunci : Perceraian, Hadhanah, Putusan, Eksekusi, Pelaksanaan. Pembimbing : Prof.Dr. H. Ahmad Sutarmadi


(6)

vi

Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang baik bagi kita semua.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul PELAKSANAAN EKSEKUSI SENGKETA HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA CIKARANG” tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil.

Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta do’a. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

4. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA., selaku pembimbing akademik penulis

selama kuliah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat serta menjadi keberkahan bagi penulis.

6. Ketua, Hakim, Panitera, Pegawai serta Staf Pengadilan Agama Cikarang, terima kasih atas pelayanan dan bantuannya dalam memberikan data-data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ketua dan seluruh Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

8. Ayahanda tercinta Drs. KH. Rd. Hidayatullah, MM.Pd., dan Ibunda tercinta Teti Latifah, S.Pd.i., terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik moril maupun materil, sujud abdiku atas doa dan pengorbanannya selama ini

“Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira”.

Kepada kakakku Rd. Ahmad Imaduddin SE.Sy, adik-adikku Rd. Ahmad Adi Hidayat dan almarhumah Nurul Hidayati, kalian adalah motivasi dan inspirasi bagi kelanjutan studi penulis hingga saat ini.

9. Keluarga besar KH. RD. Muhammad Islam Sugiri dan keluarga besar H. Edi Soemantri yang selalu memberikan nasihat dan pedoman hidup kepada penulis. 10.Teman-teman seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam dan Peradilan Agama

angkatan 2009 terimakasih atas kebersamaannya, selama empat tahun kita saling mengenal dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan.

11.Para sahabat karibku yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebaikan, dukungan dan semangat kalian, semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita tidak bersama lagi.


(8)

viii

penulisan skripsi ini. Semoga segala kebaikan akan diganjar dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT.

Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah SWT semoga kebaikan yang telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah SWT.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah SWT, dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan pada masa-masa berikutnya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan pesat pada era globalisasi ini.

Jakarta, Mei 2014


(9)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Studi Review ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH A. Pengertian Hadhanah ... 14

B. Dasar Hukum Hadhanah ... 19

C. Syarat-syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah ... 22

D. Upah Hadhanah ... 24


(10)

x

C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Cikarang ... 47 D. Yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang ... 48

BAB IV PELAKSANAAN EKSEKUSI HADHANAH

A. Pelaksanaan Putusan Hadhanah di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Cikarang ... 50 B. Upaya Pengadilan Agama Cikarang Untuk Terlaksananya Pelaksanaan

Eksekusi Hadhanah ... 65 C. Analisis Penulis ... 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84 LAMPIRAN


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan tuntunan agama.1 Dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Secara arti kata nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad” adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam

Al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut..2

Dalam pandangan Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunah Allah, berarti: menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.3

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita dengan

1 Asrorun Ni’am Sholeh,

Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), Cet.II, h.3.

2

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet.III , h.35-36.

3


(12)

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia da kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4

Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa definisi perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqon Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Lain halnya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tidak mengenal definisi perkawinan, karena sebagaimana Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya disebutkan bahwa Undang-Undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja. Artinya pasal tersebut hendak menyatakan bahwa sebuah perkawinan yang sah itu hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama yang dikesampingkan.5

Tujuan diadakannya perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.6 Proses menuju keluarga yang sakinah tentu tidak bisa dianggap sepele, sebagaimana Nabi Muhammad SAW tidak pernah

4

Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Internasa, 1991), Cet.I, h.187.

5

Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), h.23.

6

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan,(Jakarta: Pustaka Mina, 2008),h.275.


(13)

menyepelekannya, oleh karena itu kita harus memahami terlebih dahulu tentang tujuan perkawinan tersebut sebelum kita melaksanakan dari pada perkawinan.7

Dalam kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kehidupan berumah tangga bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, karena didalam kehidupan rumah tangga tidak lepas dari gejolak-gejolak yag ada. Apabila suami istri tidak dapat melewati gejolak-gejolak tersebut, maka tidak bisa dihindarkan lagi akan terjadi sebuah pemutusan tali pernikahan atau bisa disebut juga dengan perceraian.

Suatu gugatan perceraian, bisa mengundang berbagai macam permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri, muncul pula masalah-masalah lain sebagai akibat dari di kabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti permasalahan tentang siapa yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah (pemeliharaan) terhadap anak.8

Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang yang mendidiknya.

Apabila dua orang suami bercerai sedangkan keduanya mempunyai seorang anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun), maka istrilah

7

Abdullah Gymnastiar, AA Gym dan Fenomena Darrut Tauhid, (Bandung: PT Mizan, 2002), h.20.

8

Said Agil Husain Al-Munawwar, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah), (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.189.


(14)

yang berkewajiban untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.9

Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama menyimpulkan, kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah.10

Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan kembali pada waktunya, sedangkan yang satu lagi menetap ditempat lebih berhak mendapatkan hadhanah. Alasannya ialah, bahwa perjalanan itu mengandung resiko dan kesulitan bagi si anak. Oleh karena itu menetap lebih baik karena tidak ada resiko tersebut bagi si anak.11

Dalam hal pindah tempat juga Ulama berpendapat. Menurut Ulama Hanafiyah bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah, maka ibu lebih berhak atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ke tempat dilaksanakan pernikahannya dulu, ibu yang lebih berhak tapi bila ke tempat lain, maka ayahlah

yang berhak. Ulama lainnya termasuk Imam Malik dan Syafi’I yang berhak atas

hadhanah dalam keadaan pindah tempat adalah ayah.12

9

Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), Cet.III, h.426.

10

Wahbah Al-Zuhaili, AL-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), h.680.

11

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Cet.III, h.332.

12


(15)

Fenomena kelalaian dan penelantaran anak merupakan permasalahan yang sering terjadi dalam masyarakat, sebaliknya juga perebutan anak antara orang tua sering terjadi seakan-akan anak adalah harta benda yang dapat dibagi-bagi, dan setelah dibagi seolah putuslah ikatan orang tua yang tidak mendapatkan hak asuhnya. Walaupun sebenarnya masalah kedudukan anak dan kewajiban orang tua terhadap anak ini telah di atur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan Hukum Islam.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang berbunyi : dalam hal

terjdinya perceraian : a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum

berumur 12 tahun adalah hak ibunya, b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz

diserahkan untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaannya, c) biaya pemeliharaan di tangung oleh ayahnya.13

Pengadilan Agama akan memutuskan kepada siapa hak pemeliharaan tersebut diberikan, namun seringkali pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan Agama tersebut, sehingga pihak yang menang kesulitan mendapatkan haknya. Maka solusi yang dapat dilakukan adalah meminta Pengadilan Agama untuk membantu melaksanakan putusannya tersebut.

Berawal dari latar belakang masalah inilah, penulis ingin mengetahui lebih mendalam mengenai persoalan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul

Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanahdi Pengadilan Agama Cikarang”.

13


(16)

B. Batasan dan rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Agar penelitian ini lebih akurat dan untuk mempermudah serta memperjelas pokok bahasan, maka penulis membatasi masalah pada eksekusi yang ada di Pengadilan Agama Cikarang dan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur hak asuh anak.

2. Rumusan Masalah

Pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak/ hadhanah yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan di tangung oleh ayahnya. Dalam realitanya seringkali pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan Agama tersebut, sehingga pihak yang menang kesulitan mendapatkan haknya. Maka solusi yang dapat dilakukan adalah meminta Pengadilan Agama untuk membantu melaksanakan putusannya tersebut. Dalam praktek Hukum Acara Perdata, pelaksanaan putusan pemeliharaan anak/ hadhanah ini tidaklah semudah seperti apa yang diatur. Putusan Pengadilan akan sulit melaksanakan apabila pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan tentang hadhanah.

Dari rincian masalah diatas maka penulis menuangkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :


(17)

1. Apa pengertian hadhanah menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ?

2. Bagaimana pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang ?

3. Bagaimana upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan eksekusi hadhanah ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk menjelaskan pengertian hadhanah menurut Fiqih dan Undang-Undang

b. Untuk menjelaskan pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di wilayah hukum Pengadilan Agama Cikarang

c. Untuk menjelaskan upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan putusan hadhanah

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademisi bidang hukum, khususnya mengenai pelaksanaan eksekusi hadhanah setelah terjadinya perceraian. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan menambah wawasan ilmu hukum bidang perdata bagi masyarakat umum.

Manfaat yang terahir dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi para praktisi Peradilan yang


(18)

terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya, yaitu para Hakim khususnya di Cikarang. Dan dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, referensi atau bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa fakultas

syari’ah dan hukum maupun masyarakat luas.

D. Studi Review

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan, tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Namun ada beberapa yang menyangkut topik permasalahan yang sama, diantaranya :

1. Skripsi berjudul “Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum Mumayyiz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara

Nomor 228/Pdt.G/2009/PAJB)” yang ditulis oleh Nova Andriani, tahun 20011, Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, NIM 107044200445. Pada skripsi ini membahas tentang,

pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusan Nomor

228/Pdt.G/2009/PAJB tentang hadhanah dan bagaimana metode ijtihad Majelis Hakim dalam memutuskan perkara hak hadhanah anak kepada bapak.

2. Skripsi berjudul “ Kewajiban Pembiayaan Hadhanah Akibat Perceraian

(Studi Kritis Pasal 105 Poin c Jo Pasal 156 Poin d KHI)” yang ditulis oleh Aziz Angga Riana, Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan

Peradilan Agama, NIM 207044100261. Pada skripsi ini membahas tentang,


(19)

No.666/Pdt.G/2009/PAJB tentang hadhanah, dan bagaimana analisis penetapan hak hadhanah dalam putusan di Pengadilan Agama.

3. Skripsi berjudul “Hak Hadhanah Ibu Wanita Karir (Analisis Putusan Perkara Nomor:458/Pdt.G.2006/PADepok” yang ditulis oleh Mochammad Anshory,

Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, NIM 105044201459. Pada skripsi ini membahas tentang, pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutuskan perkara nomor: 458/Pdt/2006/Pengadilan Agama Depok dan apakah Hakim memperhatikan masalah anak disaat membuat pertimbangan dalam memutuskan perkara.

4. Skripsi berjudul “ Gugat Rekonpensi Dalam Sengketa Cerai Gugat dan Implikasinya Hak Hadhanah di Pengadilan Agama (Studi Analisis Perkara

No.078/Pdt. G/2007/PAJakarta Pusat)” yang ditulis oleh Rizal Purnomo,

Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, NIM 104044201485. Pada skripsi ini membahas tentang, pertimbangan dan putusan Majelis Hakim tentang cerai gugat rekonvensi mengenai hak hadhanah di Pengadilan Agama dan bagaimana persfektif fiqih dan hukum positif tentang putusan Hakim mengenai rekonvensi dalam cerai gugat bersama hak hadhanah di Pengadilan Agama.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian


(20)

Dalam penelitian karya ilmiyah ini, penulis menggunakan gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian hanya merupakan studi dokumen.14 Dan penelitian yuridis empiris yaitu penelitian kenyataan lapangan yang bersifat das sein tidak sesuai dengan keadaan yang didambakan atau yang diharapkan yang bersifat das sollen.15 Dalam penelitian ini yang akan dicari prihal pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang dengan berpedoman pada aturan yang berlaku.

2. Data Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Dalam studi kepustakaan, penulis mencari data primer yang berkaitan dengan masalah yang akan diketengahkan untuk dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan.16 Bahan-bahan yang digunakan :

a) Sumber Primer

Sumber primer yaitu data yang dikumpulkan diolah dan disajikan oleh peneliti dari sumber pertama atau sumber asli yang

14

Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian (Jakarta: ADELINA Bersaudara,2010), Cet.I, h.155.

15

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007), h.29.

16


(21)

memuat informasi atau data tersebut.17 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah lapuran tahunan perkara, Putusan Pengadilan Agama Cikarang, Ketua/ Wakil Pengadilan Agama Cikarang, para Hakim dan para pihak yang terkait dengan masalah ini.

b) Sumber Sekunder

Data sekunder merupakan data yang mendukung data utama atau memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.18 Data sekunder dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Kompilasi Hukum Islam, dan studi kepustakaan atau dokumen-dokumen yang ada di Pengadilan Agama Cikarang.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Dilakukan dengan cara interview, adalah metode pengumpulan data dengan atau mellalui wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik

17

Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 132.

18

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 195.


(22)

lengsung berhadap-hadapan yang atau dapat melihat muka yang lain dan masing-masing dapat menggunakan saluran komunikasi secara wajar dan lancar.19 Dengan mengambil objek di Pengadilan Agama Cikarang.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.20

b. Penelitian Lapangan

Data lapangan yang diperlukan sebagai data penunjang diperoleh melalui informasi dan pendapat-pendapat dari responden yang ditentukan secara purposive sampling (ditentukan oleh peneliti berdasarkan kemauannya) dan/atau random sampling (ditentukan oleh peneliti secara acak). Data lapangan yang penulis dapatkan berupa hasil wawancara di Pengadilan Agama Cikarang.

3. Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriftif analisis, yaitu apa yang

19

Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, Metedologi Penelitian Sosial (Terapan dan Kebijaksanan) (Jakarta: Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, 2000), h.39.

20


(23)

dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga prilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.21

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut :

Bab pertama, dalam bab ini menguraikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.

Bab kedua, dalam bab ini memuat tinjauan umum tentang hadhanah, pengertian, dasar hukum, syarat, dan dalam peraturan perundang-undangan.

Bab ketiga, dalam bab ini membahas profil Pengadilan Agama cikarang, sejarah, dasar hukum dan wewenang, struktur organisasi, serta yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang.

Bab keempat, dalam bab ini berisi tentang pelaksanaan putusan hadhanah, mencakup : penyebab sulitnya pelaksanaan eksekusi hadhanah serta upaya Pengadilan Agama cikarang agar terlaksananya pelaksanaan eksekusi hadhanah dan Analisis Penulis

Bab kelima, memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan untuk kemudian penulis memberikan saran-saran yang konstruktif.

21


(24)

14

A. Pengertian Hadhanah

Hadhanah berasal dari kata “hidnan” yang berarti lambung. Seperti kalimat “hadhana ath-thaairu baidhahu”, burung itu menggempit telur dibawah sayapnya, begitu juga dengan perempuan (ibu) yang mengempi anaknya.1

Pemeliharaan anak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “hadhanah”.2 Maksudnya adalah merawat dan mendidik atau mengasuh bayi/ anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri..

Para fuqaha mendefinisikan “al-hadhn” adalah memelihara anak kecil laki-laki atau perempuan atau orang yang kurang akal yang tidak bisa membedakan. Al-hadhn tidak berlaku pada orang dewasa yang sudah baligh dan berakal. Ia boleh memilih tinggal dengan siapa saja dari kedua orang tuanya yang ia sukai. Bilamana seorang laki-laki maka ia boleh tinggal sendiri karena tidak

membutuhkan kedua orang tuanya. Akan tetapi syara’ menyuruhnya berbakti dan

berbuat baik kepada mereka. Jika seorang perempuan, ia tidak boleh tinggal sendiri dan tidak dipaksa karena kelamahan tabiatnya untuk menghindari kecemaran keluarganya.3

1

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 2, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h.237.

2

Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2013), h.175.

3


(25)

Hadhanah menurut bahasa berarti “ meletakan sesuatu dekat tulang rusuk

atau dipangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuan-nya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya : pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.4

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, hadhanah yaitu mengasuh anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan kemampuan intelektual agar sangup memikul tanggung jawab hidup.5

Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, hadhanah adalah tugas menjaga atau mengasuh bayi/ anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri. Mendapat asuhan dan pendidikan adalah hak setiap anak dari kedua orangtuanya. Kedua orangtua anak itulah yang lebih utama untuk melakukan tugas tersebut, selama keduanya mempunyai kemampuan untuk itu.6

Menurut Muhammad bin Ismail Salah Al-Amir Al-Khalani atau yang

disebut dengan nama Sa’ani, mengartikan hadhanah ialah pemeliharaan anak

4

Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.175

5 “Hadhanah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,

Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997), h.37.

6 “Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed.,

Ensiklopedii Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h.269.


(26)

yang belum mampu berdiri sendiri mengenai dirinya, pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang membahayakannya.7

Menurut Qalyubi Dan Umairah: 8

Artinya:

”Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus urusannya

dan mendidiknya dengan hal-hal baik”.

Menurut Amir Syarifuddin, Pengertian hadhanah di dalam istilah Fikih digunakan dua kata namun ditunjukan untuk maksud yang sama yaitu Kafalah dan Hadhanah.9

Yang dimaksud dengan hadhanah dan kafalah dalam arti sederhana adalah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putusnya perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya.10

7 As-San’ani,

Subulus Salam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), Cet.III, h.37.

8 Syeikh Al-Syihab Al-Din Al-Qalyabi Wa Al-„Umairah, Al-Mahalli Juz IV, (Kairo: Dar

Wahya Al-Kutub, 1971), h.88.

9


(27)

Hadhanah yang dimaksud adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencangkup masalah pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.11

Dari pengertian-pengertian hadhanah tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hadhanah itu mencakup aspek-aspek :

a. Pendidikan

b. Pencukupannya kebutuhan

c. Usia (yaitu bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak sampai usia tertentu). Sehingga dimaksudkan dengan hadhanah adalah membekali anak secara material maupun secara spiritual, mental meupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan pengertian pemeliharaan anak (hadhanah) secara definitif, melainkan hanya disebutkan tentang kewajiban orang tua untuk memelihara anaknya. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa, “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”.

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, mengemukakan bahwa arti pemeliharaan anak adalah :

a. Tanggungjawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari anak oleh orang tua.

10

Ibid, h.327.

11


(28)

b. Tanggungjawab yang berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah tersebut bersifat kontinu (terus menerus) sampai anak itu mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah bisa berdiri sendiri.12

Dari pengertian pemeliharaan pemeliharaan anak (hadhanah) tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pemeliharaan anak adalah mencakup segala kebutuhan anak, jasmani dan rohani. Sehingga termasuk pemeliharaan anak adalah mengembangkan jiwa intelektual anak melalui pendidikan.

Beberapa Ulama Mazhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak. Imam Hanafi berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk lelaki dan sembilan tahun untuk perempuan. Imam Hanbali berpendapat masa asuh anak lelaki dan perempuan adalah tujuh tahun dan setelah itu diberi hak untuk memilih dengan siapa ia akan tinggal. Menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa batas mumayyiz anak adalah jika anak itu sudah berumur tujuh tahun atau delapan tahun. Sedangkan Imam Malik memberikan batas usia anak mumayyiz adalah tujuh tahun.13

Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 (a) menyebutkan bahwa batas mumayyiz seorang anak adalah berumur 12 tahun.14 Sedangkan Undang-Undang

12

Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV Zahir Trading CO, 1975), h.204.

13

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet.V, h.

14

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Akademia Presindo, 2007), h.293.


(29)

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa anak dikatakan mumayyiz jika sudah berusia 18 tahun atau setelah melangsungkan pernikahan.15

Para Ulama Fikih mendefinisikan : hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.

Para Ulama sepakat bahwasannya hukum hadhanah, mendidik dan merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam dalam hal, apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak.16

B. Dasar Hukum Hadhanah

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah :

...















Artinya:

15

Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 47.

16

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009). Cet.III, h.326.


(30)

Adalah kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya. (Qs. Al-Baqarah : 233)

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.17

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang dperintahkan. (Qs. At-tahrim: 6)

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak. Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah perceraian.18

17

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.328.

18


(31)

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:19

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari Abu 'Amr Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah Saw berkata kepadanya; engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah. (HR. Abu Dawud)

Untuk memelihara, merawat dan mendidik anak kecil diperlukan kesabaran, kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang, sehingga seseorang tidak dibolehkan mengeluh dalam menghadapi berbagai persoalan mereka; bahkan Rasulullah SAW sangat mengencam orang-orang yang merasa bosan dan kecewa dengan tingkah laku anak-anak mereka. 21 Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis :“ Ya Rasulullah, saya memiliki beberapa orang anak perempuan dan saya mendoakan agar maut menemui mereka, Rasulullah SAW bersabda

19 Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sajastani,

Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar Fikr, 2003), h.525.

20

Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy'ab al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar al-Kitab al-'Arabi, tt), Juz.II, Hadis No. 1913, h.251.

21

Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet.I, h.115-116.


(32)

“Wahai Ibnu Sa’dah (panggilan bagi Aus) jangan kamu berdo’a seperti itu ,

karena anak-anak itu membawa berkat, mereka akan membawaberbagai nikmat, mereka akan membantu apabila terjadi musibah, dan mereka merupakan obat diwaktu sakit dan rezeki mereka datang dari Allah SWT.(HR.Muslim dan Abu Daud).

C. Syarat-syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah

Seorang hadhanah atau hadhin yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah

Adapaun syarat-syaratnya antara lain :

1. Baligh dan berakal sehat ; hak hadhanah anak diberikan kepada orang yang berakal sehat dan tidak mengganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah. Imam Ahmad bin Hambal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular. 22

22

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2005), h.172.


(33)

2. Dewasa ; sebab anak kecil sekalipun tergolong mumayyiz, tetap begantung pada orang lain yang mengurus dan mengasuhnya, sehingga tidak layak mengasuh orang lain.23

3. Mampu mendidik.

4. Amanah dan berakhlak, sebab orang yang curang, tidak dapat dipercaya menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nanti si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.24 5. Beragama Islam. Disyaratkan oleh kalangan Mazhab Syafi’iyah dan

Hanabilah. Oleh karena itu, bagi seorang kafir tidak ada hak untuk mengasuh anak yang muslim, karena akan ditakutkan akan membahayakan aqidah anak tersebut. Selain itu, agama anak dikhawatirkan terpengaruh oleh pengasuh, karena tentu akan berusaha keras mendekatkan anak tersebut dan mendidiknya berdasarkan ajaran agamanya. Akibatnya, dikemudian hari anak akan sulit melepaskan diri darinya. Inilah bahaya terbesar yang mengancam anak.25

6. Merdeka.

7. Wanita yang mengasuh itu tidak bersuamikan dengan seorang laki-laki yang bukan mahram dari anak yang diasuh, dikhawatirkan wanita tersebut sibuk

23

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008), h.533.

24

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, h.531.

25


(34)

melayani keperluan suaminya sehingga tidak ada waktu untuk mengasuh anak tersebut.26

Adapun syarat untuk anak yang diasuh (mahdhun) itu adalah :

1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

2. Si anak berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya. Oleh karena itu, dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa seperti orang yang cacat mental. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuh apapun.27

D. Upah Hadhanah

Menurut Islam biaya hidup anak merupakan tanggung jawab bapaknya, baik selama perkawinan berlangsung maupun setelah perceraian. Apabila setelah perceraian, anak yang masih kecil dan menyusui berada di bawah pemeliharaan ibunya, sedangkan masa Iddahnya telah habis, maka ibu berhak mendapatkan upah atas pemeliharaan dan penyusuan tersebut. Hal ini karena tidak lagi menerima nafkah dari bapak anak tersebut. Upah tersebut wajib diberikan baik diminta ataupun tidak.

Sebagaimana firman Allah AWT:













26

Ibid, h.241.

27


(35)

Artinya:

“…. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka

berikanlah kepada mereka upahnya…”. (Qs. At-Thalaq: Ayat 6)

Adapun besar biaya yang ditanggung oleh bapak untuk anaknya disesuaikan dengan kemmpuan si bapak, sesuain dengan firman Allah SWT:



































.

Artinya :

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Qs. At-Thalak: 7)

Akan tetapi jika bapak tidak mampu, karena ia orang susah, dan berpenghasilan rendah serta anak itu tidak mempunyai harta, sedangkan si ibu menolak untuk mengasuhnya kecuali dengan upah dan tiada seorang pun diantara kamu kerabat yang mau mengasuhnya secara mutlak. Dan biaya pemeliharaan atau rawatan itu tetap menjadi hutang suami yang tidak gugur, kecuali dengan ditunaikan. Kewajiban tersebut dapat ditanggung oleh kerabat ahli waris yang terdekat yang mampu. Tetapi apabila ada orang lain yang dengan suka rela


(36)

mendidik anak itu tanpa ongkos, maka hal tersebut dapat diserahkan kepada pendidik suka rela tersebut.28

Sedangkan apabila bapak dengan sengaja menelantarkan anaknya dengan tidak membiayai keperluan hidupnya padahal bapak mampu untuk melakukannya, maka hal itu tidak dibenarkan dan merupakan perbuatan dosa.

Dengan demikian masa pembiayaan anak akan berakhir yakni bagi anak laki-laki apabila ia telah dewasa, dapat bekerja dan berdiri sendiri. Sedangkan bagi perempuan sampai ia kawin, ketika anak perempuan telah kawin maka nafkahnya menjadi kewajiban suaminya.29

Ibu tidak berhak atas upah hadhanah, seperti upah menyusui, selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau masih dalam iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah.

Allah SWT berfirman :

























Artinya: 28

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet.I, h.135.

29

Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), Cet.I, h.106.


(37)

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah member makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang makruf…”. (Qs. Al-Baqarah: 233)

Adapaun sesudah habis masa iddahnya maka ia berhak atas upah itu seperti haknya kepada upah menyusui. Allah SWT berfirman :





























Artinya :

Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahlah diabtara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kam menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (Qs. At-Thalak: 6)

Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadhanah sejak ia menangani hadhanahnya, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran (upah).

Upah pengasuhan adalah utang dan tidak gugur, kecuali dengan melunasi


(38)

adalah orang yang wajib memberi nafkah anak kecil itu. Karena pengasuhan termasuk nafkah. Maka wajib dibayar oleh ayah atau wali anak itu.30

Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah, juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapan jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya, dan ayah memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini bukan termasuk dalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil, seperti : makan, minum, tempat tidur, obat-obatan dan keperluan lain yang pokok yang sangat dibutuhkannya. Tetapi gaji ini hanya wajib dikeluarkannya saat ibu pengasuh menangani asuhannya. Dan gaji ini menjadi utang yang ditanggung oleh ayah serta ibu bias lepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau dibebankan.

Jika diantara kerabat anak kecil ada orang yang pandai mengasuhnya dan melakukannya dengan sukarela, sedangkan ibunya sendiri tidak mau kecuali dibayar, jika ayahnya mampu, dia boleh dipaksa untuk membayar upah kepada ibunya tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan kepada kerabatnya perempuan yang mau mengasuhnya dengan sukarela, bahkan si anak kecil harus tetap pada ibunya. Sebab asuhan ibunya lebih baik untuknya apabila ayahnya mampu membayar untuk upah ibunya. Tetapi kalau ayahnya tidak mampu, ia boleh menyerahkan anak kecil itu kepada kerabatnya yang perempuan untuk

30

Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah: Ibadat Mu’amalat, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), Cet.III, h.346.


(39)

mengasuhnya dengan sukarela, dengan syarat perempuan ini dari kalangan kerabat si anak kecil dan pandai mengasuhnya.

Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib ditanggung oleh ayah. Adapaun apabila anak kecil itu sendiri memiliki harta untuk membayar nafkahnya, maka anak kecil inilah yang membayar kepada pengasuh sukarelanya. Di samping untuk menjaga hartanya juga karena ada salah seorang kerabatnya yang menjaga dan mengasuhnya. Tetapi jika ayahnya tidak mampu, si anak kecil sendiri juga tidak memiliki harta, sedangkan ibunya tidak mau mengasuhnya kecuali kalau dibayar, dan tidak seorang kerabat pun yang mau mengasuhnya dengan sukarela, maka ibu dapat dipaksa untuk mengasuhnya, sedangkan upah (bayarannya) menjadi hutang yang wajib dibayar oleh oleh ayah, dan bisa gugur kalau telah dibayar atau dibebaskan.

Tentang pemeliharaan anak yang belum mumayyiz, sedangkan kedua orang tuanya bercerai, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan sebagai berikut :

Pasal 105

Dalam hal terjadi perceraian

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.

Pasal 106

1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengambangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan


(40)

memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi.

2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1)

E. Hadhanah Dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Menurut Hukum Perdata

Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XII, dan XIV. Pada pasal 289 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian I Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umumnya wajib menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan perdata mengenai siapa yang paling berhak memelihara dan mengasuh anak yang masih dibawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih dibawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua dan kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu.31

Kemudian dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian I Akibat-Akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa selama perkawinan orang tuanya,

31

Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.72.


(41)

setiap anak anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh kedua orang tua tetrsebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atas pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam hal adanya pisah ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 3 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.32

Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam pasal 229 bab X Tentang Pemeliharaan Perkawinan, pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan : “Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atas keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengandalkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas mereka dari kekuasaan orang tua”.33

32


(42)

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hak memelihara anak yang masih kecil tetap tanggung jawab orang tua baik ibu maupun ayah. Kecuali apabila orang tua tersebut melalaikan tugasnya atau berprilaku tidak baik maka Pengadilan akan menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan perwalian atas tiap-tiapa anak.

Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata : “Bubarnya Perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian

perkawinan orang tua mereka”. Menurut pasal tersebut, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah anak yang dilahirkan atas perkawinan yang sah.34

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 secara

33

Ibid, h.55-56.

34


(43)

luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam kitab-kitab fikih ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama deberi wewenang untuk mengadili dan menyelesaikannya.35

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42-45 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 13 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan skunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam

35

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,(Jakarta: Kencana, 2008), h.428-429.


(44)

Hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.36

Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana dikemukakan dalam pasal 104 yaitu :

1. Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban member nafkah kepada ayahnya dan walinya;

2. Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.37

Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relevan dengan hal yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.38

36

Ibid, h.429.

37

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h.138.

38


(45)

Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah Mumayyiz deserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.39

Pada pasal 45 bab X mengnai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan pada ayat 1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Pada ayat 2 menyatakan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak asuh itu menikah atau dapat berdiri sendiri, yang mana kewajiban tersebut berlaku selamanya meskipun antara kedua orang tua putus.40

Selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai hak dan kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama

39

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.138.

40

Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.14.


(46)

mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.41

Pada Pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggdaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.42

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat :

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan luar pengadilan.

3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menyesuaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.43

Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum Mumayyiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami

41

Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.14-15.

42

Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, h.14-15.

43

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h.189.


(47)

mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.44

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena : (1) orang tua itu sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali.

M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.45

44

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.13.

45

Yahya Harahap, Hukum perkawinan nasional : pembahasan berdasarkan undang-undang no.1 tahun 1974. Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975, (Medan: Zahir, 1975), h.214.


(48)

Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut diatas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada anaknya, jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan diluar pengadilan.46 Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.47

3. Hadhanah di beberapa Negara Islam

a. Mesir

Masa pengasuhan anak dalam setatus hukum perorangan (personal status law) yang di amandemen tahun 1985, menetapkan bahwa wanita (istri) memiliki hak untuk mengasuh anak laki-laki hingga usia 10 tahun dan 12 tahun bagi anak perempuan. Setelah habis masa pengasuhan, hakim dapat memerintahkan bahea anak yang dalam pengasuhan tetap pada ibu tanpa adanya upah hingga berusia 15 tahun bagi anak laki-laki, dan sampai menikah bagi anak perempuan. Jika hakim yakin bahwa kemaslahatan anak akan terpenuhi.

46

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h.431.

47

Soedaryo Soimin, Kitab Undang- Undang Hukum Perda, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.15.


(49)

Mengenai syarat-syarat pemegang hak hadhanah, dirumuskan sebagai berikut: orang yang baligh, berakal, mampu mengasuh anak, sehat dan mempunyai garis hubungan kekeluargaan.

Adapun mengenai gugur atau pencabutan hak hadhanah, hakim dapat mempertimbangkan dua hal :

- Pertama, apabila pemegang hak hadhanah berprilaku buruk yang dapat

mempengaruhi akhlak dan tabiat anak yang dalam pengasuhannya.

- Kedua, jika pemegang hak hadhanah sering mengabaikan dan/atau

meninggalkan anak yang dalam pengasuhannya.48 b. Yordania

Ketentuan hadhanah dalam perundang-undangan yordania, terdiri dari 12 pasal yakni pasal 154 sampai dengan pasal 166. Ketentuan hadhanah berlaku setelah terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraian antara suami istri, maka ibu mempunyai hak utama untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Adapun tertib urutan pemegang hak hadhanah setelah ibu disesuaikan pendapat Imam Abu Hanifah.

Adapun syarat-syarat hadhanah, dewasa, berakal, tidak meninggalkan anak karena ksibukannya, mampu untuk mendidik dan menjaganya, tidak murtad, dan tidak menikah dengan laki-laki lain, kecuali mempunyai hubungan

48

Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), Cet.I, h.135-136.


(50)

kekerabatan dekat dengan anaka asuhnya, dan tidak menempatkannya di rumah yang penuh konflik.49

c. Syria

Masa pengasuhan anak dalam Undang-Undang Syiria, dirumuskan bahwa bagi anak laki-laki sampai berusia 7 tahun, sedangkan anak perempuan sampai berusia 9 tahun. Meskipun demikian, jika hakim melihat ada kemaslahatan, maka ia dapat menambah masa pengasuhan masing-masing anak selama 2 tahun, yakni bagi anak laki-laki dapat diperpanjang menjadi 9 tahun, sedangkan anak perempuan hingga berusia 11 tahun. Syarat-syarat pemegang hak hadhanah dirumuskan sebagai berikut, yaitu: dewasa, berakal, mampu mengasuh anak baik jasmani maupun rohani,. Kemudian hak hadhanah seseorang dapat digugurkan apabila: pemegang hak hadhanah memiliki sifat tercela yang dapat mempengaruhi si anak, gila, dan murtad. Bahkan hak pengasuhan anak dapat digugurkan karena tidak mempu melakukan pengasuhan dengan alasan kesehatan. Apabila pemegang hak hadhanah mengaku sering meninggalkan rumah, dan tidak mempunyai kesempatan mengasuh anak, maka hak hadhanahnya di gugurkan, meskipun anak tersebut masih sangat kecil.50

d. Kuwait

Secara umum hukum keluarga Kuwait tidak berbeda dengan hukum keluarga fikih klasik, termasuk didalamnya pasal-pasal yang mengatur tengtang

49

Ibid, h.139.

50


(51)

hadhanah. Misalnya tentang ketentuan pemegang hak hadhanah, Undang-Undang hukum keluarga Kuwait mengutamakan pemegang hak hadhanah adalah ibu.

Penetapan hak hadhanah itu di dasarkan pada sunah, ijma’, dan rasio (akal). Mengenai hal yang dapat menggugurkan hak hadhanah antara lain, pemegang hak menikah lagi dengan laki-laki yang bukan kerabat dekatnya. Namun perbedaan agama tidak menyebabkan gugurnya hak untuk mengasuh, sehingga ia mengerti agama. Mengenai lamanya masa hadhanah perundang-undangan Kuwait lebih cenderung kepada pendapat Imam Malik. Maka pengasuhan anak berakhir apabila laki-laki ia sampai baligh sedangkan wanita sampai ia telah menikah.

e. Tunisia

Dalam perundang-undangan Keluarga Tunisa tahun 1958 dirumuskan: 1. Pasal 54, hadhanah adalah pemeliharaan anak, termasuk juga merawat dan

mendidik anak sampai ia mencapai usia dewasa.

2. Pasal 57, selama masa perkawinan, anak dipelihara kedua orang tuanya. Jika terjadi perceraian atau meninggal dunia, hak pemeliharaan anak secara berturut-turut diberikan kepada ibu dan nasab ibunya.

3. Pasal 58, syarat memelihara anak antara lain harus dewasa, dapat dipercaya, dan cakap dalam menjalankan kewajiban.

4. Pasal 61, jika seorang wanita dalam memelihara anak memiliki tempat tinggal jauh dan menghambat proses perawatan anak, maka ia bisa kehilangan hak pemeliharaannya.


(52)

5. Pasal 64, seorang pemelihara anak tidak boleh melalaikan kewajibannya, meskipun dalam keadaan sulit.

6. Pasal 67, anak laki-laki dirawat sampai berumur 7 tahun dan anak perempuan dipelihara sampai berusia 9 tahun selanjutnya ayah dapat mengambil alih pemeliharaan anak, kecuali adanya keputusan pengadilan yang berkehendak lain berdasarkan kepentingan anak.

Dari undang-undang tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa pemeliharaan anak Tunisia masih berpegang teuh pada pendapat fikih sedangkan keutamaan pemeliharaan anak lebih cenderung mengakomodir kemaslahatana anak, ketimbang mengikuti pendapat fukaha. Mengenai pencabutan hak hadhanah tidak disebut dengan tegas, nampaknya diserahkan pada pertimbangan pengadilan.51

51


(1)

dijadikan alasan oleh Penggugat adalah karena sejak bulan Maret 2008 antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan Tergugat jarang pulang ke rumah, jarang memberikan nafkah kepada Penggugat dan hendak menikah lagi, akibatnya Penggugat dan Tergugat pisah ranjang hingga sekarang iin, alasan-alasan tersebut dengan Pasal yang diatur secara limitatif di dalam Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa : “Perceraian dapat terjadi karena alasan : “Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, dan karenanya secara formal gugatan Penggugat patut diterima dan dipertimbangkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat, Majelis menilai bahwa, oleh karena Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah menurut hukum, maka anggapan hukum bahwa, Tergugat telah menyetujui dan mengakui dalil-dalil Penggugat. Oleh sebab itu Majelis Hakim berpendapat bahwa, dalil-dalil gugatan Penggugat dapat dinyatakan telah menjadi dalil-dalil yang tetap;

Menimbang, bahwa meskipun dalil gugatan Penggugat tentang adanya perselisihan dan pertengkaran tersebut pada dasarnya telah menjadi dalil yang tetap, namun oleh karena perceraian adalah sesuatu yang sakral dan tidak dibenarkan atas dasar kesepakatan, sementara menurut ketentuan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 jo Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat mengabulkan gugatan Penggugat setelah dapat mengambil kesimpulan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga yang sulit untuk dirukunkan lagi, dan telah cukup jelas hal-hal yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran. Oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat perlu menemukan fakta-fakta tidak hanya apakah benar antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dalam rumah tangga yang sulit untuk dirukunkan lagi, namun juga perlu diketahui apakah yang menjadi sebab perselisihan dan pertengkaran tersebut;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P.1) berupa copy Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat, yang menerangkan bahwa Penggugat dan Tergugat telah menikah dan telah dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karena itu, harus dinyatakan telah terbukti bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terikat dalam perkawinan


(2)

yang sah;

Menimbang, bahwa berdasarkan dalili-dalil Penggugat yang tidak dibantah Tergugat – oleh karena Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum - tentang adanya perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat yang diperkuat dengan keterangan saksi-saksi pada intinya menjelaskan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sejak bulan Juli 2008 telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dan puncaknya terjadi pada 2 (dua) tahun yang lalu yang mengakibatkan Penggugat dan Tergugat pisah rumah sampai sekarang, sementara saksi-saksi telah cukup menasehati Penggugat, demikian juga Majelis telah berupaya menasehatinya, tapi Penggugat tetap bersikeras ingin bercerai dengan Tergugat. Hal tersebut menunjukkan bahwa Penggugat sudah tidak lagi berkeinginan membangun rumah tangga dengan Tergugat, maka Majelis dapat menarik suatu kesimpulan yang merupakan fakta adalah bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Tergugat sendiri – oleh karena Tergugat tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum - yang diperkuat dengan keterangan saksi keluarga tentang faktor-faktor yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran itu terjadi, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa yang menjadi sebab perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat pada intinya adalah hal-hal sebagaimana yang telah didalilkan oleh Penggugat;

Menimbang, bahwa dengan adanya fakta-fakta tersebut telah merupakan bukti bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat telah pecah, dan sendi-sendi rumah tangga telah rapuh dan sulit untuk ditegakkan kembali yang dapat dinyatakan bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat telah rusak (broken marriage), sehingga telah terdapat alasan untuk bercerai sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan sejalan dengan ketentuan pada Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perceraian dapat terjadi dengan alasan antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan hukum Islam yang tersirat dalam surat Ar-Rum ayat 21 dan juga ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang


(3)

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa)”, jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan membentuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”, dan jika Penggugat dan Tergugat selaku pasangan suami isteri telah ternyata sudah tidak lagi timbul sikap saling mencintai, saling pengertian dan saling melindungi dan bahkan Penggugat tetap sudah tidak lagi berkeinginan untuk meneruskan rumah tangganya dengan Tergugat, maka agar kedua belah pihak berperkara tidak lagi lebih jauh melanggar norma agama dan norma hukum maka perceraian dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menyelesaikan sengketa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat;

Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak pernah hadir di persidangan meskipun, ia telah dipanggil dengan patut dan resmi berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan tidak ternyata ketidakhadirannya itu disebabkan suatu halangan yang sah menurut hukum, sementara gugatan Penggugat tidak melawan hukum, dan dengan didasarkan kepada ketentuan Pasal 125 dan 126 HIR, maka Tergugat yang telah dipanggil dengan patut dan resmi tersebut, harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan Penggugat dikabulkan dengan verstek;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim sependapat dan mengambil alih pendapat ahli fiqih dalam Kitab Ahkamul Qur'an Juz II halaman 405 yang berbunyi :

Artinya :

"Barang siapa yang dipanggil untuk menghadap Hakim Islam, kemudian tidak menghadap, maka ia termasuk orang yang dzalim, dan gugurlah haknya";

Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis sepakat bahwa keinginan Penggugat sebagaimana tercantum pada petitum nomor 2 primer telah patut untuk dikabulkan karena telah memenuhi ketentuan pada Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang, bahwa gugatan Penggugat dikumulasikan dengan gugatan tentang hak hadlanah yang merupakan akibat suatu perceraian dan karenanya dengan didasarkan kepada ketentuan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, gugatan


(4)

tersebut patut diterima dan dipertimbangkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 41 hurup (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Tentang hak pemeliharaan anak semata-mata didasarkan kepada kepentingan anak”, dan anak yang masih di bawah umur (belum mumayyiz) pada umumnya masih banyak bergantung kepada bantuan/pertolongan ibunya; dan oleh karena telah ternyata bahwa anak-anak tersebut masih di bawah umur dan tidak ternyata bahwa Penggugat telah melakukan sesuatu yang merugikan kepentingan anak, maka dengan didasarkan kepada ketentuan Hukum Islam sejalan dengan bunyi Pasal 105 hurup (a) Kompilasi Hukum Islam, maka permohonan agar Penggugat ditetapkan sebagai pemegang hak hadlanah dari 1 (satu) orang anak laki-laki bernamaVICCA R, umur 5 tahun, Majelis sepakat untuk mengabulkannya;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pada Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah ditambah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yang berbunyi: “Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk, berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi kediaman Penggugat dan Tergugat, untuk mendaftarkan putusan dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu”, dan ayat (2) dari Undang-Undang yang sama menerangkan bahwa : “Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan”;

Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai dengan ketentuann pada Pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah ditambah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 biaya perkara dibebankan kepada Penggugat;

Mengingat, hukum Islam dan semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan perkara ini;

MENGADILI

1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara patut dan resmi untuk menghadap di persidangan tidak hadir;


(5)

2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;

3. Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat (WAHYUDI bin SIDJO, M) kepada Penggugat (HERNI SILVIA YOHANA, M binti HERMAN JOYO);

4. Menetapkan 1 (satu) anak anak yang bernama VICCAR, umur 5 tahun berada dalam pemeliharaan (hadhonah) Penggugat;

5. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Cikarang untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal dan tempat perkawinan Penggugat dan Tergugat dilangsungkan untuk dicatat dalam register yang disediakan untuk itu;

6. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 316.000,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah);

Demikian putusan ini dijatuhkan di Tambun Selatan dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Agama Cikarang pada hari Rabu tanggal 01 Mei 2011 Masehi bertepatan dengan tanggal 28 Jumadil Tsani 1432 Hijriyah. Oleh kami Majelis Hakim yang terdiri dari Drs. H. HASAN BASRI, SH. MH., sebagai Ketua Majelis dan Drs. CHALID, L, MH serta Drs. M. ANSHORI, SH. MH., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan mana pada hari itu juga serta diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut dalam sidang yang terbuka untuk umum yang dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota serta dibantu oleh A. DJUDAIRI RAWYIAN, S.H., sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Penggugat tanpa hadirnya Tergugat.

Ketua Majelis, TTD

Drs. H. HASAN BARI, S.H., M,H

Hakim Anggota I, Hakim Anggota II,

TTD TTD Drs. H. CHALID, L, SH. MH Drs. M. ANSHORI, SH. MH

Panitera Pengganti, TTD

A. DJUDAIRI RAWIYAN, S.H Perincian Biaya Perkara :


(6)

2. PGL Penggugat 2x : Rp. ,- 3. PGL Tergugat 2x : Rp.,-

4. Redaksi : Rp. 5.000,-

5. Materai : Rp. 6.000,- Jumlah : Rp. 316.000,-

Salinan ini sesuai dengan aslinya

Panitera