2.1.4. Faktor Resiko Malaria
Faktor lingkungan enviroment meliputi beberapa faktor yaitu, faktor fisik yang dimana suhu sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus atau masa inkubasi ekstrinsik.
Makin tinggi suhu, makin panjang masa ekstrinsiknya. Hujan yang berselang dengan panas berhubungan langsung dengan perkembangan larva nyamuk Depkes, 1999. Air hujan yang
menimbulkan genangan air merupakan tempat yang ideal untuk perindukan nyamuk malaria. Dengan bertambahnya tempat perindukan, populasi nyamuk malaria bertambah sehingga
bertambah pula jumlah penularannya Prabowo, 2004. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak
berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60 merupakan batas paling rendah yang memungkinkan untuk nyamuk hidup. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi
lebih aktif dan lebih sering menggigit sehingga meningkatkan penularan malaria Harijanto, 2000.
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. Ada yang menyukai tempat terbuka dan ada yang hidup di tempat yang teduh maupun di tempat yang
terang. Faktor biologi dimana tumbuhan semak, sawah yang berteras, pohon bakau, lumut, ganggang merupakan tempat perindukan dan tempat-tempat peristirahatan nyamuk yang baik.
Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambus, nila, mujahir mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah Depkes, 1999. Faktor budaya meliputi
tingkat kesadaran mesyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesadaran masyarakat memberantas malaria.
Jenis kelamin juga menpengaruhi misalnya pada ibu hamil akan menyebabkan anemia yang lebih berat. Faktor lain yang mungkin juga dapat meningkatkan terkena malaria yaitu
imunitas, apabila imunitas seseorang rendah lebih mudah terkena daripada seseorang yang memiliki imunitas tinggi.
2.1.5. Patogenesis Malaria
Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia adalah sama yaitu mengalami stadium yang berpindah dari vektor nyamuk ke manusia dan kembali ke nyamuk. Siklus
seksual sprogoni berlangsung pada nyamuk Anopheles sedangkan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia terdiri atas fase eritrosit erythrocytic schizogony dan fase yang
berlangsung di dalam parenkim sel hepar exo-erythrocytic schizogony Harijanto, 2002. Stadium hati exo-erythrocytic schizogony di mulai ketika nyamuk Anopheles betina
menggigit manusia dan memasukkan sprozoit yang terdapat pada air liurnya ke dalam darah
Universitas Sumatera Utara
manusia sewaktu menghisap darah. Melalui aliran darah dalam 30-60 menit kemudian sprozoit ke dalam sel hati terjadi melalui perlekatan antara protein sirkum-sprozoit dengan
reseptor heparin sulfat proteoglikogen dan suatu glikoprotein yang disebut low density lipoprotein receptor-like protein LRP di hepar. Selama 5-16 hari sprozoit mengalami
reproduksi aseksual proses skizogoni atau proses pemisahan yang akan menghasilkan sekitar 10.000-30.000 merozoit, yang kemudian akan dikeluarkan dari sel hati dan
selanjutnya menginfeksi eritrosit Harijanto, 2002. Patogenesis malaria jelas akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang, dan
lingkungan. Tetapi yang penting pada malaria, menyadari bahwa satuan patologi adalah eritrosit terinfeksi, kombinasi sifat-sifat inang dan parasit, interaksi antara parasit dan inang
seperti invasi eritrosit yang belum terinfeksi, sitoadherens, rosseting dan pengenalan makrofag terhadap sel-sel terinfeksi, merupakan interaksi yang mencerminkan determinan-
determinan parasit dan inang Harijanto, 2002.
2.1.6. Manifestasi klinis