1
BAB I PENDAHULUAN
I. A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kebudayaan pada dasarnya memberikan pemahaman tentang dunia, yaitu cara pemilik budaya tersebut memandang dunia, termasuk pesimisme atau
optimisme. Selanjutnya pemahaman tentang dunia tersebut memberikan pemahaman tentang manusia dan perilaku serta nilai-nilai yang mendasarinya.
Kebudayaan menentukan perilaku individu, selain berpotensi untuk menggerakkan dan mendorong perilaku individu yang hidup di dalamnya,
kebudayaan dapat mengekang atau menahan individu untuk berperilaku tertentu Harahap dan Siahaan, 1987. Pemantapan perilaku tersebut dapat terlaksana
dengan baik melalui proses enkulturasi bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan, upacara ritual, dan nilai-nilai dalam keluarga maupun masyarakat Purba, 2004.
Koentjaraningrat 1980 mengatakan bahwa individu sejak kecil telah dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakatnya, sehingga hal
itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwanya dan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat. Proses pemberian pengaruh itu
merupakan proses internalisasi nilai budaya yang terjadi sepanjang hidup. Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat,
nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Dalam budaya seseorang, self dilihat sebagai kesatuan batasan lahiriah yang
tetap dari beberapa atribut internal, termasuk kebutuhan, kemampuan, motivasi, dan hak. Kebudayaan dan kepribadian terkait erat. Budaya menentukan dan
Universitas Sumatera Utara
2 membentuk perilaku, pikiran, dan perasaan individu secara tidak langsung melalui
konsep dirinya. Budaya yang berbeda menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota-anggotanya yang kemudian mempengaruhi semua aspek-aspek lain
dari perilaku individu Matsumoto dan Juang, 2004. Matsumoto dan Juang 2004 juga menambahkan bahwa kekhasan suatu
budaya dapat dilihat dari proses marah yang terjadi pada masyarakatnya karena setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas tentang cara
individu dalam budaya tersebut menghayati suatu stimulus yang memicu munculnya kemarahan, dan cara mengekspresikan kemarahannya. Dewi 2004
memberi contoh fenomena yang terjadi di Indonesia, yakni orang akan marah ketika orang lain yang usianya jauh lebih muda memanggilnya dengan
menggunakan nama saja, tanpa diawali kata sapaan seperti ‘kakak’, ‘ibu’, ataupun ‘bapak’. Hal ini tidak berlaku pada kebanyakan orang Amerika, sehingga dapat
disimpulkan bahwa cara memanggil dengan menggunakan hanya nama dapat menjadi penyebab munculnya kemarahan pada orang Indonesia yang tidak
berlaku bagi orang Amerika. Lebih lanjut Dewi mengatakan bahwa latar belakang budaya yang berbeda mengakibatkan pengalaman, ekspresi, dan kontrol marah
yang berbeda pula. Hal ini dibuktikan dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan mengenai anteseden kemarahan
interpersonal, trait-anger, anger expression-in, anger expression control-out, dan anger expression control-in pada orang Batak dan orang Jawa. Orang Batak
terlihat ekspresif dalam mengungkapkan rasa marahnya dan trait-anger cukup sering muncul terutama pada Batak laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
3 Suku bangsa Batak Toba adalah salah satu dari enam suku bangsa Batak
yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak PakpakDairi, Batak Mandailing, dan Batak Angkola Sibeth, 1991; Bangun dalam
Koentjaraningrat, 2002. Suku bangsa Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata berbatasan dengan Parapat, Pulau
Samosir, Pakkat, serta Sarulla. Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara
ibukota Tarutung, Kabupaten Toba Samosir ibukota Balige, Kabupaten Samosir ibukota Pangururan, Kabupaten Humbang ibukota Siborong-borong,
Kabupaten Humbang Hasundutan ibukota Dolok Sanggul Wikipedia, 2007. Selain di daerah-daerah tersebut, suku bangsa Batak Toba juga banyak tersebar di
Pematangsiantar dan menjadi suku bangsa mayoritas di Pematangsiantar. Hal ini terbukti dari sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik BPS
kota Pematangsiantar tahun 2006. Berikut ini disajikan tabel jumlah penduduk kota Pematangsiantar dirinci menurut suku bangsa dan kecamatan.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Dirinci Menurut Suku Bangsa dan Kecamatan
Kecamatan Distrik
Suku Bangsa Melayu Karo Simalungun
Toba Mandailing Pakpak
Siantar Marihat 37
680 1.150
26.602 654
30 Siantar Selatan
28 1.088 1.345
14.142 441
13 Siantar Barat
688 367
1.666 8.954
4.646 17
Siantar Utara 317
321 3.885
24.303 4.042
39 Siantar Timur
190 1.134 4.683
26.448 1.784
100 Siantar Martoba
394 811
3.806 17.203
2.441 51
Jumlah 1.654 4.401
16.490 117.652 14.008
250
Sumber: Badan Pusat Statistik kota Pematangsiantar tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
4 Lanjutan....
Kecamatan Distrik
Suku Bangsa Nias Jawa Minang Cina
Aceh Lainnya
Siantar Marihat 150
2.904 31
28 34
256 Siantar Selatan
100 1.300
126 2.667
13 437
Siantar Barat 126 21.371
1.769 3.052
263 5.132
Siantar Utara 137
8.700 2.965
1.688 91
4.499 Siantar Timur
298 5.380
526 1.865
101 1.363
Siantar Martoba 265 23.745
566 269
212 962
Jumlah 1.076 63.400
5.974 9.569
714 12.649
Sumber: Badan Pusat Statistik kota Pematangsiantar tahun 2007
Berdasarkan hasil wawancara dengan Praeses
1
HKBP
2
Huria Kristen Batak Protestan Distrik V Sumatera Timur
3
termasuk kota Pematangsiantar, Pendeta DR. Plasthon Simanjuntak, tanggal 3 Mei 2008, mengungkapkan bahwa adat
Batak Toba di kota Pematangsiantar masih cukup kuatkental, terlihat pada pola hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan sesempurna
mungkin sesuai aturan adat Batak Toba, tanpa ada penyederhanaan adatnya. Plasthon Simanjuntak juga menjelaskan bahwa suku bangsa Batak Toba yang ada
di Pematangsiantar pada dasarnya berasal dari tanah asal suku bangsa Batak Toba yaitu Tapanuli Utara, dan umumnya bukan berasal dari kaum intelektual.
Suku bangsa atau etnis dapat diartikan sebagai identitas sosial, berasal dari garis keturunan atau budaya asal, yang juga dipengaruhi oleh budaya di
lingkungan tempat tinggalnya Helms dalam Dalton, Elias, dan Wandersman, 2001. Suku bangsa seseorang tampak dalam bahasa, adat, nilai-nilai, ikatan
sosial, dan berbagai aspek lain dari subjektif budaya, bukan dari penampilan fisiknya Feagin Feagin dalam Dalton, Elias, dan Wandersman, 2001. Suku
bangsa Batak Toba adalah individu yang berasal dari keturunan suku bangsa Batak Toba, dan etnis ini menganut sistem patrilineal garis keturunan ayah,
Universitas Sumatera Utara
5 sehingga marga yang dimiliki seorang anak suku bangsa Batak Toba adalah
berasal dari marga ayahnya. Konsep dasar kebudayaan Batak adalah Dalihan Na Tolu yang artinya tiga
tiang tungku atau tiga status sosial. Ketiga status sosial tersebut adalah Hula-hula pihak keluarga ibu atau pemberi istri, Boru keluarga saudara perempuan atau
penerima istri, dan Dongan Tubu anggota keluarga yang berasal dari satu keturun atau teman semarga. Falsafah hidup suku bangsa Batak Toba yang
berlandaskan Dalihan Na Tolu ini mencakup “Somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” yaitu hormat pada Hula-hula, ramah dengan
melakukan pendekatanmembujuk Boru, dan berhati-hati dalam menjaga hubungan baik dengan teman semarga. Ketiga status sosial tersebut akan dijalani
oleh setiap suku bangsa Batak Toba yang sudah menikah, suami dan istri sehingga hubungan kekerabatan berupa Dalihan Na Tolu mendidik suku bangsa
Batak Toba menjadi orang yang demokratis dan terbuka. Dalam kehidupan sehari- hari, konsep Dalihan Na Tolu ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi
landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan suku bangsa Batak Toba. Sistem kekerabatan tersebut tidak bertujuan menciptakan sistem kelas atau
kasta melainkan untuk membangun hubungan saling mengasihi dan menghormati agar tetap bersatu dan bekerjasama Harahap dan Siahaan, 1987; Simanjuntak,
2000. Simanjuntak 2000 menjelaskan bahwa demokrasi dalam suku bangsa
Batak Toba diartikan sebagai demokrasi yang kolektif, yaitu caraseni yang mampu mengharmonisasikan perasaan individu dengan keiinginannya. Ketiga
Universitas Sumatera Utara
6 status sosial dalam Dalihan Na Tolu mengindikasikan bahwa Hula-hula memiliki
status khusus atau paling tinggi. Hal ini dikarenakan suku bangsa Batak Toba percaya bahwa Hula-hula adalah sumber berkat dan perlindungan bagi Boru. Hal
inilah pula yang mengharuskan Boru memberikan hormat pada Hula-hula dan menganggap Hula-hula sebagai ‘raja’ atau pemimpin. Hula-hula disisi lain
diharapkan membina hubungan yang baik dengan Boru secara persuasimembujuk. Hula-hula diharapkan berhati-hati menjalankan fungsinya
sebagi ‘raja’, bukan berarti Hula-hula memiliki posisi yang tinggi dapat memperlakukan Boru secara bebas karena Boru adalah pendukung kehidupan
Hula-hula. Semakin banyak Boru, maka dapat diartikan semakin besar kekuasaan Hula-hula, dan tanpa ada Boru, Hula-hula tidak memiliki arti karena tidak
memiliki kekuasaan. Budaya Batak Toba juga mengajarkan seseorang untuk berhati-hati dengan Dongan Tubu. Dongan Tubu merupakan saudara sehingga
memiliki status, hak, dan kewajiban yang sama. Kesamaan atau kesetaraan tersebut sering menjadi motivator Dongan Tubu untuk bersaing mendapatkan hak,
status, kehormatan, dan sebagainya, yang kemudian berpeluang besar menimbulkan konflik. Itulah sebabnya setiap orang berhati-hati dalam menjaga
hubungan baik dengan Dongan Tubu. Kemandirian suku bangsa Batak Toba di dalam Dalihan Na Tolu
menghasilkan potensi konflik yang tinggi berupa keinginan untuk bersaing dan lebih lanjut menghasilkan pula rasa iri dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut
dalam bahasa Batak Toba dikenal dengan hosom dendam, elat dengki, iri, late dengki, iri dan teal sombong Harahap dan Siahaan, 1987. Irmawati 2007
Universitas Sumatera Utara
7 menjelaskan bahwa perasaan tersebut juga membuat suku bangsa Batak Toba sulit
menyatakan dirinya telah gagal. DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan bahwa tingginya emosi
emosional yang ditemukan pada suku bangsa Batak Toba tidak lepas dari budayanya yaitu terbuka dalam segala hal. Hal ini terungkap dalam pribahasa
Batak Toba yang berbunyi: “Si boru puasi, si boru bakkara. I si puas i si soada mara”, artinya bila sudah terbuka persoalan maka disitu ada jalan keluarnya. Pada
satu sisi hal tersebut dapat mempercepat penyelesaian konflik namun di sisi lain menciptakan benturan fisik yang dapat menimbulkan tindak kekerasan atau
agresivitas. Lebih lanjut ia membandingkannya dengan suku bangsa Batak Simalungun yang memiliki kontrol diri lebih tinggi dan tidak terbuka
menyelesaikan konflik sehingga benturan lebih terhindari. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa suku bangsa Batak Toba pada umumnya kurang
memiliki kontrol diri. Selain konsep Dalihan Na Tolu terdapat pula sembilan nilai budaya Batak
yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak yaitu kekerabatan, religi haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik,
hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Tiga dari nilai tersebut dipandang sebagai misi budaya suku Batak, yaitu hagabeon anak, hamoraon kekayaan,
dan hasangapon kehormatan, yang dalam pembahasan selanjutnya disingkat dengan misi budaya 3H. Misi budaya tersebut juga dituangkan dalam lagu yang
diciptakan oleh Nahum Situmorang berjudul Marragam-ragam, berikut ini kutipan syairnya:
Universitas Sumatera Utara
8 Marragam-ragam do sita-sita di hita manisia
Marasing-asing do anggo pangidoan di ganup-ganup jolma Hamoran, Hagabeon, Hasangapon ido dilului na deba
Inna deba asalma tarbarita goarna tahe....
DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan hasangapon adalah cita-cita suku bangsa Batak Toba yang dicapai dengan adanya hagabeon dan hamoraon. Konsep
hasangapon ini menyatu dengan ide-ide dan beritegrasi dengan kepribadin suku bangsa Batak Toba.
Akhirnya kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras, dan ulet dalam kemandirian namun menyatu
dalam kebersamaan dan berkonflik secara serentak Harahap dan Siahaan, 1987. Adanya konflik dalam kebersamaan merupakan hal yang unik dalam
kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi suku non-Batak sukar difahami. Oleh sebab itu hubungan suku bangsa Batak Toba dengan suku bangsa lain sering
menimbulkan salah pengertian. Kebebasan mengemukakan pendapat pada suku bangsa Batak Toba mungkin akan mengalami benturan bila suku bangsa Batak
Toba terlibat dalam masalah yang menyangkut diri orang lain dari suku bangsa lain yang menganut budaya hubungan manusia atas-bawah dan tertutup. Suku
bangsa Batak Toba dapat saja memberi kesan kepada suku lain sebagai orang yang suka turut campur urusan orang lain, atau melanggar tata krama sopan
santun, meskipun menurut ukuran nilai budaya tradisional suku bangsa Batak Toba, keterlibatan itu adalah wajar atau bahkan wajib Harahap dan Siahaan,
1987. Junjungan dan Zulkifli dalam Lubis, 2005 menjelaskan bahwa bukti
sejarah menunjukkan sejak dahulu suku bangsa Batak Toba selalu terlibat konflik. Konflik yang dimaksud adalah perselisihan. Pihak-pihak yang berselisih tidak
Universitas Sumatera Utara
9 hanya bermaksud memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga
memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka. Sedemikian seringnya terjadi konflik, sehingga tidak heran muncul anggapan sinis yang
mengatakan bahwa suku bangsa Batak Toba senang berkelahi dan bahkan terdapat stereotip yang mendukung penilaian yang demikian, yaitu cara berbicara atau
berkomunikasi suku bangsa Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dewi 2005 yang menunjukkan
bahwa suku Batak tampak lebih ekspresif menunjukkan rasa marahnya. Sebagai tambahan, Harahap dan Siahaan 1987 mengatakan bahwa suku bangsa Batak
Toba lebih agresif dibanding suku Batak Angkola-Mandailing. Nadapdap dalam Lubis, 2005 menggambarkan bahwa secara umum pada
diri manusia Batak Toba terdapat dualisme kepribadian. Di satu sisi mereka adalah manusia yang senang bekerja, senang mengumpulkan harta, senang
mengabdi pada Tuhan, mencintai masyarakat, dan pandai bergaul. Di sisi lain mereka juga adalah manusia yang pencemburu, pesaing, tidak kenal kompromi
dan belas kasihan, serta sering bertindak destruktif, yakni mencari segala macam cara untuk bisa merusak bahkan melenyapkan harta dan atau nama baik orang
yang menjadi saingannya. Penjelasan mengenai nilai-nilai suku bangsa Batak Toba yang
memunculkan perilaku-perilaku khusus pada orang Batak Toba di atas dapat menggambarkan kepribadian suku bangsa Batak Toba. Pervin 2005 menjelaskan
bahwa kepribadian mengacu pada beberapa karakteristik seseorang dari sejumlah pola-pola perasaan, pikiran dan perilaku yang konsisten. Dalam psikologi,
Universitas Sumatera Utara
10 kepribadian secara umum dipandang sebagai kumpulan karakter perilaku dan
kognitif, trait atau predisposisi seseorang yang relatif menetap pada berbagai situasi, konteks, dan dalam berhubungan dengan orang lain, serta membentuk
perbedaan individual Matsumoto dan Juang, 2004. Hal yang perlu diperhatikan ketika melihat konstruk kepribadian dalam
suatu budaya adalah indigenous personality dan cultural psychology. Indigenous personality kepribadian pribumi merupakan kumpulan trait kepribadian dan
karakteristik yang ditemukan hanya pada budaya tertentu. Cultural psychology psikologi budaya dan kepribadian bukanlah hal yang terpisah, melainkan
merupakan sistem yang saling menguntungkan, masing-masing memelihara dan membentuk yang lain atau dengan kata lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi
Matsumoto dan Juang, 2004. Hasil penelitian menggunakan Big Five Personality atau yang dikenal juga dengan Five Factor Model FFM,
menunjukkan tampilan kepribadian yang berbeda pada budaya yang berbeda Santrock, 2003. Cina, Jepang dan Filipina menunjukkan openness yang rendah
De Raad dalam Pervin, 2005. Penelitian menggunakan trait personality pada budaya Asia menunjukkan mereka lebih membiasakan diri pada hubungan
individual dengan keluarga dan kelompok sosial dari pada trait kepribadian individu yang tertutup Pervin, 2005. Penelitian lain menyatakan orang dewasa di
Hong Kong rendah pada extroversion daripada di Inggris dan pada anak-anak di Hong Kong rendah pada extroversion dan neuroticism daripada di Inggris
Matsumoto dan Juang, 2004.
Universitas Sumatera Utara
11 Teori yang menggambarkan kekonsistenan kepribadian adalah Trait
Theory oleh Allport dalam Lahey, 2005. Trait adalah pola perilaku pikiran, tindakan, dan perasaan yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran
kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005, yang dikenal dengan Big Five Personality
traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan
concientiousness. Big Five Personality adalah konsep model yang dibuat berdasarkan
dimensi kepribadian yang jelas dan mendasar yang tampil universal untuk semua orang. Model ini diawali oleh berbagai penelitian Eysenk dengan menggunakan
EPQ yang banyak mendukung bahwa extroversion dan neuroticism bersifat stabil, skala kepribadian yang universal. Berbagai penelitian lintas budaya mengenai
validitas FFM belakangan ini dilakukan untuk mendukung universalitas tersebut, termasuk pula penelitian ini. Universalitas FFM menggambarkan bahwa semua
manusia memiliki struktur kepribadian yang mirip yang dapat dikarakteristikkan oleh lima trait atau dimensi Big Five Personality tersebut Matsumoto dan Juang,
2004. Peneliti kepribadian, sama seperti ilmu-ilmu lain, mengandalkan
pengukuran data konkrit yang dapat digunakan untuk menguji “what people are like”. Dalam hal inilah Big Five memegang peranan penting. Big Five mula-mula
berasal dari dua tim penelitian yang berdiri sendiri di tahun 1970-an—Paul Costa dan Robert McCrae di National Institutes of Health, dan tim lainnya yaitu
Universitas Sumatera Utara
12 Warrent Norman di University of Michigan dan Lewis Goldberg di University
of Oregon—yang melakukan cara sedikit berbeda dengan hasil sama: kebanyakan trait kepribadian manusia dapat dipersempit menjadi lima dimensi
kepribadian, tanpa memperhatikan bahasa maupun budaya. Kelima dimensi ini diperoleh dengan menanyakan ribuan orang dengan ratusan pertanyaan kemudian
menganalisa data menggunakan prosedur statistik yang dikenal dengan analisa faktor outofservice, 2002. Big Five dibangun menggunakan pendekatan Lexical
Hypothesis yang menyatakan bahwa hampir semua perbedaan kepribadian orang yang menonjol dan tampak dalam kehidupannya dikenal dalam bahasanya
wikipedia, 2007. Big Five merupakan model gambaran kepribadian yang secara empiris
berdasarkan fenomena, bukan teori, sehingga dapat digunakan dalam berbagai area penelitian psikologis Srivastava, 2008; wikipedia, 2007. Kelima faktor Big
Five atau FFM juga dikenal dengan model kepribadian OCEAN atau CANEO karena akronim yang terbentuk dari huruf-huruf inisialnya, yaitu Openness to
experience, Concientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism. Pengelompokkan trait didasarkan pada generalisasi perhitungan statistik sehingga
mungkin saja terjadi pengecualian pada profil kepribadian seseorang wikipedia, 2007 namun tentu saja lebih banyak benarnya daripada salah outofservice,
2002. Barent Roberts dan beberapa ahli psikologi dalam Srivastava, 2008
mengatakan bahwa pengaruh lingkungan seperti aturan sosial turut berinteraksi dengan faktor bilogis dalam membentuk trait kepribadian. Lebih lanjut, Chaplin
Universitas Sumatera Utara
13 dalam John dan Srivastava, 1999 menemukan bahwa dalam Big Five, konsep
trait dan state digabungkan. State adalah konsep asli kepribadian yang lebih mudah berubah-ubah, ringkas, dan disebabkan faktor eksternal.
Berdasarkan uraian di atas, kepribadian suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras dan ulet mungkin dapat dikatakan cenderung tinggi di dimensi
conscientiousness dan tingginya kebersamaan pada suku bangsa Batak Toba mungkin berhubungan dengan dimensi extroversion yang tinggi pula. Namun di
sisi lain, suku bangsa Batak Toba juga memiliki sifat agresif, tidak kenal kompromi dan belas kasihan yang kemungkinan mengindikasikan rendahnya skor
di dimensi agreeableness. Di sisi lain cara berkomunikasi orang Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah, serta adanya dendam dan iri mungkin
dapat dilihat sebagai trait neuroticism. Sarlito dalam Atmosiswoyo, dkk., 1999 menyatakan pentingnya
mempelajari keragaman budaya untuk menjaga integrasi bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia. Pengakuan akan keragaman atau eksistensi suatu suku bangsa
merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh sebab itu peneliti melakukan penelitian deskriptif pada salah satu suku bangsa di Indonesia, yaitu suku bangsa
Batak Toba. Penelitian mengenai kepribadian suku bangsa Batak Toba menggunakan Big Five Inventory BFI belum pernah dilakukan sehingga peneliti
tertarik untuk melakukannya. Penelitian ini mengunakan skala Oliver’s Big Five Inventory yang diadaptasi dan dimodifikasi.
Universitas Sumatera Utara
14
I.B. PERTANYAAN PENELITIAN
Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five
Inventory BFI.
I.C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Penggambaran
kepribadian suku bangsa Batak Toba ini menggunakan Big Five Inventory BFI yang diadaptasi dan dimodifikasi.
I.D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini dapat dibagi atas dua bagian yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana
pengetahuan di bidang Psikologi Sosial, khususnya mengenai suku bangsa Batak Toba. Penelitian ini diharapkan pula mampu menjadi landasan
penelitian selanjutnya. 2.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan: a.
Informasi bagi pengamat sosial dalam mengamati dan menganalisa kondisi dan fenomena sosial yang terjadi yang berkaitan dengan suku
bangsa Batak Toba khususnya yang di Pematangsiantar.
Universitas Sumatera Utara
15 b.
Informasi bagi masyarakat khususnya yang berinteraksi dengan suku bangsa Batak Toba, sehingga mereka dapat lebih arif dalam
memberikan respon terhadap perilaku suku bangsa Batak Toba. c.
Informasi bagi pihak-pihak pengembang yang berhubungan dengan suku bangsa Batak Toba sehingga dapat meningkatkan integrasi
bangsa dan menghindari konflik yang destruktif.
I.E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan. Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan
suku bangsa Batak Toba dan Big Five Personality. Bab III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode
pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, dan metode analisis data. Penelitian ini bersifat kuantitatif, dengan sampel penelitian adalah suku
bangsa Batak Toba berjumlah 129 orang. Sampel penelitian ini diambil
Universitas Sumatera Utara
16 dengan teknik pengambilan sampel proportional incidental sampling.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Big Five Personality yang diadaptasi dan dimodifikasi. Metode analisis data
menggunakan statistik deskriptif dan uji Z.
Universitas Sumatera Utara
17
BAB II LANDASAN TEORI