Hubungan Antara Tipe Kepribadian Big Five Personality Dengan Coping Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan

(1)

DENGAN COPING STRESS

PADA POLISI RESERSE KRIMINAL

POLTABES MEDAN

Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Disusun oleh:

Bima Sandro Sumbayak

041301114

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Bima Sandro Sumbayak dan Rika Eliana, M.Si

ABSTRAK

Polisi merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk menjaga keamanan yang terdapat pada setiap negara. Salah satu bagian polisi yang tergolong unik adalah polisi Reserse Kriminal. Polisi Reserse Kriminal mengalami stres yang berbeda jika dibandingkan dengan bagian kepolisian yang lain.

Untuk mengatasi stres ini, maka setiap individu perlu melakukan coping

stress. Salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress adalah kepribadian.

Kepribadian yang dilihat dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian Big Five

Personality.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian Big Five Personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. Dari penelitian ini juga dapat diperoleh gambaran

coping stress dan apakah ada perbedaan coping stress ditinjau dari ciri demografis

pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Sampel diperoleh dengan tehnik incidental sampling. Data diperoleh dengan tehnik

multiple regression. Hasil penelitian ini adalah adanya hubungan tipe kepribadian neuroticism, agreeableness, dan conscientiousness dengan problem-focused coping, dan adanya hubungan tipe kepribadian extraversion dengan emotion-focused coping.

Hasil tambahan penelitian ini adalah terdapat 55 orang sampel yang telah melakukan coping stress dengan baik, dan tidak ada perbedaan coping stress bila ditinjau dari ciri demografis.


(3)

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Yesus Kristus yang telah memberikan kekuatan fisik dan pikiran kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proposal penelitian ini:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) selaku dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Rika Eliana, M.Si selaku dosen pembimbing seminar yang dengan sabar, telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan petunjuk, saran serta semangat untuk dapat menyelesaikan seminar.

3. Para dosen penguji seminar, kak Ridhoi E., M.Si dan ibu Ika sari devi S.Psi yang bersedia memberikan waktu untuk menguji, memberi kritik dan saran kepada peneliti.

4. Mamaku yang telah memberikan dukungan moril dan materil sampai saat ini. Juga kepada adek-adekku Ivan dan Ica yang selalu memberikan hiburan dan pengertian selama waktu pengerjaan.

5. Yolanda yang selalu membantu, memberi dukungan , kritik, dan saran selama waktu pengerjaan seminar.

6. Teman-temanku Rayez, Stefani, Zoel, Neysya, Yudha, Renny, Farah, Rooney, Agnes, Juned, Hendra, Indih, Juliana, Riri, Wita ’kekep’, Fahmi dan semua mahasiswa angkatan 2004 yang selalu mendukungku.


(4)

refreshing dan penguasaan motorik halus selama ini.

9. Para senior dan juniorku di Fakultas Psikologi USU.

10. Semua fansku yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam proposal ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan seminar ini. Semoga, seminar ini memiliki manfaat bagi banyak pihak.

Medan, Mei 2008

Peneliti,


(5)

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Pertanyaan Penelitian... 12

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian... 13

E. Sistematika Penulisan... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Big Five Personality... 15

1. Definisi Big Five Personality….……….…………. 15

2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality….……….. 16

B. Coping Stress... 20

1. Definisi Coping Stress... 20

2. Faktor-Faktor Coping Stress... 21

3. Fungsi Coping Stress... 23

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stress... 25


(6)

D. Kaitan Antara Tipe Kepribadian Big Five Personality dan Coping

Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes

Medan... 30

E. Hipotesa Penelitian... 31

BAB III METODE PENELITIAN... 34

A. Variabel Penelitian... 34

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 35

C. Prosedur Pengambilan Sampel... 38

1. Populasi dan Sampel... 38

2. Metode Pengambilan Sampel... 38

3. Jumlah Sampel Penelitian... 38

D. Metode Pengumpulan Data... 39

1. Alat Ukur yang Digunakan... 39

2. Validitas... 41

3. Uji Daya Beda Item dan Reliabilitas... 43

a. Uji Daya Beda Item... 43

b. Reliabilitas... 44

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 48

1. Persiapan Penelitian... 48

2. Pelaksanaan Penelitian... 49


(7)

1. Usia Subjek Penelitian... 52

2. Jenis Kelamin Subjek Penelitian... 53

3. Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian... 53

4. Suku Subjek Penelitian... 54

B. Hasil Penelitian... 54

1. Hasil Uji Asumsi Penelitian... 54

a. Uji Normalitas... 55

b. Uji Linieritas... 55

c. Autokorelasi... 57

2. Hasil Utama Penelitian... 57

3. Hasil Tambahan Penelitian... 61

a. Gambaran Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan... 61

b. Gambaran Kepribadian Big Five Personality pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan... 63

c. Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan ditinjau dari Faktor Demografis... 70

1) Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan ditinjau dari Usia... 70


(8)

3) Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal

Poltabes Medan ditinjau dari Tingkat Pendidikan... 73

4) Perbedaan Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan ditinjau dari Suku... 74

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 76

A. Kesimpulan... 76

1. Hasil Utama... 76

2. Hasil Tambahan... 78

B. Diskusi... 79

C. Saran... 82

1. Saran Metodologis... 82

2. Saran Praktis... 83


(9)

Bima Sandro Sumbayak dan Rika Eliana, M.Si

ABSTRAK

Polisi merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk menjaga keamanan yang terdapat pada setiap negara. Salah satu bagian polisi yang tergolong unik adalah polisi Reserse Kriminal. Polisi Reserse Kriminal mengalami stres yang berbeda jika dibandingkan dengan bagian kepolisian yang lain.

Untuk mengatasi stres ini, maka setiap individu perlu melakukan coping

stress. Salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress adalah kepribadian.

Kepribadian yang dilihat dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian Big Five

Personality.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian Big Five Personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. Dari penelitian ini juga dapat diperoleh gambaran

coping stress dan apakah ada perbedaan coping stress ditinjau dari ciri demografis

pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional. Sampel diperoleh dengan tehnik incidental sampling. Data diperoleh dengan tehnik

multiple regression. Hasil penelitian ini adalah adanya hubungan tipe kepribadian neuroticism, agreeableness, dan conscientiousness dengan problem-focused coping, dan adanya hubungan tipe kepribadian extraversion dengan emotion-focused coping.

Hasil tambahan penelitian ini adalah terdapat 55 orang sampel yang telah melakukan coping stress dengan baik, dan tidak ada perbedaan coping stress bila ditinjau dari ciri demografis.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Semua negara di dunia membutuhkan lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum. Indonesia memiliki lembaga yang bertugas untuk menjalankan fungsi tersebut yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Polri merupakan suatu lembaga yang mendapatkan tugas dan wewenangnya berdasarkan sistem ketatanegaraan Indonesia untuk menjaga keamanan negara dan menegakkan hukum yang berlaku dalam wilayah Negara Republik Indonesia (Syafrika & Suyasa, 2004).

Polri sebagai institusi, pengayom dan penegak hukum harus mampu berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan sosialnya. Kleden (2001) menganggap polisi sebagai the strong hand of the society dan the soft hand of society. Polisi menghadapi dilema dalam menerapkan kedua peran tersebut.

Sebagai penegak hukum, polisi harus selalu teratur dalam berbagai situasi dan dalam mengendalikan berbagai tingkah laku manusia. Meskipun polisi melaksanakan tugasnya dengan adil, baik, dan diplomatis pekerjaan mereka tetaplah bukan tugas yang mudah (Sullivan, 1977).

Direktur utama ACLU, Ira Glasser (dalam Amaranto, 2003) menyatakan bahwa polisi adalah pekerjaan yang mencakup banyak aspek, sulit, berbahaya, dan

stressfull. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hans Seyle (dalam Haines, 2003) yang menyatakan bahwa polisi adalah pekerjaan yang paling menyebabkan stres di Amerika, bahkan lebih stres daripada petugas pengawas lalu lintas udara.


(11)

Pernyataan-pernyataan di atas sesuai dengan hasil penelitian McShane dan Glinow (2003) yang menyatakan bahwa polisi adalah salah satu dari beberapa pekerjaan yang digolongkan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada pekerjaan-pekerjaan lainnya, seperti: akuntan, artis, manajer rumah sakit, kepala sekolah, dan lain-lain. Hal ini tampak dari gambar berikut:

Sumber: McShane & Glinow (2003)

Gambar 1.

Stressors In Occupations

Menurut Berg dkk (dalam Nuzulia, 2005), pekerjaan polisi tidak saja merupakan pekerjaan yang membuat stres, tetapi juga, karakteristik pada stres yang dialami oleh polisi berbeda dengan pekerjaan lain. Beberapa hal yang menyebabkan stres pada polisi adalah pimpinannya, waktu kerja yang padat yang menyebabkan kurangnya waktu dengan keluarga, teman sekerja, dan warga masyarakat. Haines (2003) menyatakan beberapa faktor lain yang turut berperan sebagai penyebab stres pada polisi yaitu gaji yang rendah, waktu tidur yang tidak teratur, dan konflik dengan keluarga dan teman.

Accountant Artist Auto mechanic Forester Hospital manager Physician Psychologist School principal Police officer Telephone operator U.S. president Waiter/ waitress

High – stress occupations Medium – stress

occupations Low – stress


(12)

Demikian pula Kunarto (2001), seorang punawirawan Polri dalam bukunya Perilaku Organisasi POLRI, menyatakan bahwa terdapat 9 (sembilan) penyebab stres pada polisi, yaitu:

1. Beban kerja berlebihan. 2. Tekanan/desakan waktu. 3. Kualitas pelaksana yang buruk. 4. Iklim politik yang tidak baik. 5. Wewenang yang tidak memadai. 6. Konflik berkepanjangan.

7. Perbedaan nilai tugas antara pimpinan dan bawahan.

8. Perubahan-perubahan organisasi yang tak lazim seperti PHK. 9. Frustrasi.

Selain hal-hal tersebut di atas, Meliala (2001) menyatakan bahwa polisi juga mendapat tekanan dari masyarakat sipil. Kegusaran masyarakat, konon semakin dirasakan oleh polisi di banyak negara Barat maupun di Indonesia sebagai momok yang menghantui polisi. Para polisi mendapat kritikan ketika ingin menetapkan proses peradilan yang cepat. Sebaliknya, ketika ingin menerapkan peradilan yang tuntas dan optimal (lambat), mereka juga akan mendapat kritikan. Menurut Meliala (2001), hal ini ada kaitannya dengan sikap tanggung gugat (accountability) yang cenderung meningkat di kalangan polisi. Tanggung gugat merujuk pada kesediaan bertanggung jawab atas sesuatu yang secara tidak langsung dilakukan.


(13)

Polisi dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum dan keadilan memiliki beberapa tugas, yaitu sebagai petugas patroli, detektif, polisi remaja, polisi lalu lintas, petugas training, petugas identifikasi, dan petugas laboratorium (kriminal)(Sullivan, 1977).

Adapun di Indonesia, berdasarkan website resmi Polda DIY (2008), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diklasifikasikan menjadi 9 (sembilan) bagian, atau yang disebut dengan direktorat, yaitu:

1. Direktorat Intelkam 2. Direktorat Polair 3. Direktorat Narkoba 4. Detasemen 88 5. Direktorat Lantas 6. Direktorat Samapta 7. Satuan Brimob 8. Direktorat Pampar 9. Direktorat Reskrim

Menurut Sullivan (1977), apabila dibandingkan dari kedelapan bidang kepolisian lainnya, polisi kriminal atau yang dikenal dengan Direktorat Reserse Kriminal (Dit. Reskrim) di Indonesia dianggap sebagai ”urat nadi” kepolisian. Berdasarkan website resmi Polda DIY (2008), Dit. Reskrim merupakan unsur pelaksana utama Kepolisian Daerah (Polda) yang bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi dan fungsi Laboratorium Forensik lapangan dalam


(14)

rangka penegakan hukum, koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan sesuai ketentuan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.pe

Dit. Reskrim bertugas untuk menindak segala jenis perilaku kriminal. Kriminal adalah suatu bentuk perilaku yang melanggar hukum. Kriminalitas adalah suatu tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum yang berlaku di masyarakat (’Lectric Law Library, 2008).

Setiap anggota polisi kriminal dituntut untuk menguasai berbagai cabang ilmu untuk memberi solusi terhadap kasus yang belum terpecahkan. Kesaksian mereka juga dibutuhkan di persidangan (Sullivan, 1977). Bersaksi di persidangan menimbulkan tekanan tersendiri. Tekanan tersebut berasal dari kehadiran keluarga tersangka dan pihak pers yang menghadiri persidangan tersebut (Schmalleger, 1997). Tekanan lain yang dirasakan polisi, khususnya polisi kriminal adalah waktu. Mereka dituntut untuk selalu siaga selama 24 jam (Sullivan, 1977).

Menurut Meliala (2001), polisi kriminal sering menghadapi jenis bahaya yang berbeda, yaitu harus senantiasa mewaspadai perlawanan pelaku kejahatan yang dapat mengancam keselamatan jiwa polisi yang hendak menangkapnya ataupun keselamatan masyarakat lainnya. Sarwono (dalam Pratama, 2008) menyatakan bahwa polisi kriminal terkadang harus menghadapi situasi hidup-mati, menembak atau ditembak, dan melihat rekan kerja mereka tewas. Akibatnya, polisi kriminal lebih rentan mengalami Post-Traumatic Syndrome Disorder, yaitu mengalami gejala stres yang sangat berat setelah mengalami suatu peristiwa traumatik.


(15)

Nuzulia (2005) juga menemukan bahwa bekerja pada komunitas yang besar dilaporkan lebih stres daripada yang berada pada komunitas kecil. Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek pekerjaan polisi kota, termasuk tindak kriminal yang lebih tinggi.

Fisher (dalam Bell, 1996) menyatakan bahwa tingkat kriminalitas lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding dengan pedesaan. Tingkat kekerasan mencapai hampir 8 (delapan) kali lebih besar dan tingkat pembunuhan 3 (tiga) kali lebih besar di kota besar dibandingkan dengan daerah pedesaan (Bell, 1996).

Salah satu kota terbesar di Indonesia adalah Medan. Kota Medan memiliki populasi penduduk yang berjumlah 4 juta orang, Medan merupakan salah satu kota terpenting bagi industri dan perdagangan Indonesia (PT. Medan Mas Karimun, 2008).polda.

Kota Medan saat ini telah menjadi Kota Koboi. Pasalnya, dalam beberapa waktu belakangan ini, aksi tindak kriminal baik perampokan dan penembak misterius semakin bergentayangan dan ironisnya tidak satupun terungkap (Samosir, 2006). Misalnya saja perampokan Rp. 500 juta gaji karyawan PTP II dan tewasnya anggota Polsek jajaran Poltabes Medan. Lebih uniknya lagi kawanan penjahat ini menggunakan senjata api dalam aksinya. Sementara itu, pelajar SD tewas terapung di dalam goni plastik di sungai Deli Medan baru-baru ini (Badan Informasi dan Komunikasi, 2005).

Media massa dapat bertindak sebagai pengawas terhadap kasus-kasus yang belum terungkap, yang mengingatkan polisi untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Ketika hukum tidak memungkinkan polisi meneruskan kasus, maka pada umumnya pers akan cepat sekali sampai pada kesimpulan bahwa polisi telah


(16)

berkolusi dengan tersangka. Di mata polisi, pengawasan oleh media massa tersebut dirasakan sebagai campur tangan dan tekanan (Meliala, 2001).

Menurut Rice (1992), kondisi tertekan ini disebut dengan stres. Lazarus dan Folkman (1980) berpendapat bahwa kondisi ketertekanan individu dapat disebabkan oleh stimulus internal dan eksternal. Menurut Sarafino (2006), stres adalah suatu kondisi yang diakibatkan adanya transaksi antara individu dengan lingkungan yang menyebabkan individu mempersepsikan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan dirinya. Stres memiliki pengaruh positif dan pengaruh negatif.

Pengaruh positif dari stres adalah dapat mengaktifkan dan memotivasi individu sehingga dia dapat mencapai tujuannya, merubah lingkungannya, dan meraih kesuksesan dalam hidupnya. Pengaruh negatif dari stres disebabkan oleh tingkat stres yang terlalu tinggi dan individu merasa tidak sanggup untuk menghadapinya (Nuzulia, 2005). Pengalaman ini mengakibatkan gangguan fisiologis, psikologis dan tingkah laku. Menurut McShane dan Glinow (2003), gangguan-gangguan tersebut antara lain: sakit jantung, tekanan darah tinggi, sakit kepala, dan penyakit-penyakit lainnya, ketidakpuasan kerja, depresi, burnout, penurunan performance kerja, tingginya absensi, agresi, dan lain-lain.

Setiap individu diharuskan memiliki kemampuan coping yang baik untuk menghindari konsekuensi negatif ini, tidak perduli apakah individu tersebut mampu atau tidak (Duffy & Wong, 2003). Menurut Nuzulia (2005), coping adalah cara individu untuk mengatasi masalahnya.

Folkman dan Lazarus (1980) memberikan definisi yang cukup jelas mengenai coping, yaitu segala upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi,


(17)

mengurangi, dan bersikap sabar dalam menghadapi tuntutan terhadap dirinya. Tuntutan tersebut dapat berupa eksternal dan internal. Berdasarkan definisi ini, Matheny (1986) memberikan definisi coping sebagai segala usaha secara sehat maupun tidak sehat, sadar ataupun tidak, untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi efek stressor, atau untuk sabar menghadapi dampak negatif yang ditimbulkan oleh stressor tersebut (dalam Rice, 1992).

Menurut Lazarus, Folkman, dkk (1986), ada 8 (delapan) cara dalam mengatasi stres, atau yang disebut dengan faktor-faktor coping, yaitu: confrontive coping, distancing, self-controlling, seeking social support, accepting responsibility, escape-avoidance, planful problem-solving, dan positive reappraisal.

Menurut Lazarus, Folkman, dkk (1986) faktor-faktor coping tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam fungsi, yaitu:

a. Problem-Focused Coping

Strategi yang dibuat individu untuk mengembangkan perencanaan tindakan yang jelas terhadap stressor dan mengontrolnya sebisa mungkin.

b. Emotion-Focused Coping

Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan membebaskan perasaan-perasaan negatif (seperti amarah, frustrasi, rasa takut) yang disebabkan oleh tekanan yang diterimanya.

Menurut Smet (1994), salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress


(18)

yang bersifat terbuka, aktif dalam hubungan sosial, dan sering mengekspresikan emosi akan merespon situasi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang tertutup, menarik diri, dan jarang mengekspresikan emosinya. Orang yang tertutup atau introvert biasanya akan menyelesaikan masalahnya sendiri, tanpa meminta bantuan orang lain.

Sarafino (2006) juga menambahkan bahwa semakin besar jaringan sosial dan intensitas hubungan interpersonal seseorang, maka semakin sering ia memberi dukungan dan mencari dukungan sosial ketika menghadapi masalah. Orang-orang yang bersifat terbuka akan lebih mau menerima saran dan informasi dari orang lain untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut Costa dan McRae (dalam Pervin, 2005), orang-orang dengan kepribadian Neuroticism lebih sering merespon situasi stres dengan cara yang tidak tepat.

Gordon Allport dan Raymond Cattell adalah orang-orang yang memulai meneliti tentang kepribadian dan mereka yakin bahwa faktor bawaan sangat berperan dalam membentuk kepribadian, sama halnya dengan faktor lingkungan (dalam Shultz & Schultz, 1994). Menurut Allport (dalam Suryabrata, 2002), kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis di dalam individu, sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John & Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam memahami perbedaan individu dalam perilaku dan pengalamannya. Namun,


(19)

jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa henti-hentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).

Eysenck (1981) setuju dengan pendapat Cattell (1977) yang menyatakan bahwa kepribadian merupakan kumpulan dari sifat-sifat yang saling berkombinasi yang disebut dengan superfactors (dalam Schultz & Schultz, 1994). Eysenck (1985) membagi kepribadian menjadi 3 (tiga) dimensi, yaitu:

1. Extraversion vs Introversion (E). 2. Neuroticism vs EmotionalStability (N). 3. Psychoticism vs ImpulseControl (P).

Namun peneliti-peneliti selanjutnya merasa tidak puas dengan teori tersebut. Menurut mereka teori-teori sebelumnya terlalu sederhana, hanya mencakup sedikit aspek dan rumit (dalam Schultz & Schultz, 1994). Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu The Big Five Personality (John & Srivastava, 1999).

Kerangka berpikir Big Five merupakan suatu model hirarki kepribadian dengan lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian dengan jelas dan sangat luas. Pandangan Big Five menyatakan bahwa setiap perbedaan individu dalam kepribadiannya dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima) bagian secara empiris (Gosling, Rentfrow, & Swann Jr, 2003). Istilah Big Five pertama kali dicetuskan oleh Lew Goldberg (1981).

Menurut Srivastava (2008), Big Five merupakan 5 (lima) faktor atau dimensi sifat kepribadian yang meluas.


(20)

Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Extraversion (Surgency). Dimensi ini terdiri dari sifat-sifat seperti:

talkative, berenergi, dan asertif.

2. Agreeableness. Dimensi ini mencakup sifat-sifat, seperti simpati, baik hati, dan berperasaan.

3. Conscientiousness. Orang dengan dimensi ini cenderung teratur, teliti, dan terencana.

4. Neuroticism (terkadang terbalik dan disebut dengan Emotional Stability). Dikarakteristikkan dengan sifat tegang, moody, dan cemas.

5. Openness to Experience (terkadang disebut dengan Intelect atau Intelect/ Imagination). Dimensi ini mencakup sifat-sifat seperti rasa ketertarikan yang luas, imaginatif, dan berwawasan luas.

Beberapa peneliti lain, seperti Paul Costa dan Robert (Jeff) McRae menyebut pendekatan Big Five dengan istilah Five Factor Model atau Five Factor Theory. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada faktor biologis yang menganggap bahwa faktor belajar dan pengalaman hanya memberikan pengaruh yang kecil dalam membentuk kepribadian (Srivastava, 2008).

Faktor kepribadian Big Five atau Five Factor Model merupakan salah satu pendekatan yang lebih sederhana dan deskriptif dalam menggambarkan kepribadian manusia (Pervin, 2005). Hasil yang konsisten mengenai teori ini juga telah diperoleh dari berbagai teknik pengukuran. Kelima faktor ini telah ditemukan pada anak-anak dan orang dewasa. Berdasarkan studi longitudinal


(21)

selama 6 (enam) tahun diperoleh kestabilan sifat pada subjek yang sama (dalam Schultz & Schultz, 1994).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dinyatakan sebelumnya, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Dari penjelasan di atas maka pertanyaan yang diajukan peneliti adalah ”bagaimana hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan?” Pertanyaan tambahan dalam penelitian ini adalah ”bagaimana gambaran coping stress dan kepribadian

big five personality pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan?” dan ”apakah ada perbedaan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan bila ditinjau dari faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan suku subjek penelitian?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.


(22)

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat pada ilmu Psikologi Sosial terutama mengenai hubungan tipe kepribadian big five personality dengan

copingstress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

b. Penelitian ini diharapkan agar menjadi pemicu munculnya penelitian-penelitian lain terhadap polisi yang memang masih jarang dijumpai saat ini.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi Direktorat Reserse Kriminal Poltabes Medan, seperti seleksi, penempatan, dan lain-lain.

b. Memberi informasi mengenai hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan coping stress pada polisi reserse kriminal Poltabes Medan.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I : Pendahuluan berisikan uraian latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian ini.


(23)

Bab II : Landasan teori berisikan teori-teori yang berkaitan dengan big five personality, coping stress, dan direktorat reserse kriminal. Pada bab ini juga dijelaskan hubungan antar variabel dan hipotesa.

Bab III : Metode penelitian, berisi uraian mengenai metode yang digunakan untuk penelitian ini, seperti pendekatan yang digunakan, sampel, cara pengambilan sampel, dan alat ukur penelitian.

Bab IV : Analisa data berisi uraian hasil penelitian dan interpretasi data. Bab V : Kesimpulan, diskusi, dan saran.


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. BIG FIVE PERSONALITY 1. Definisi Big Five Personality

Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya (McAdams dalam John & Srivastava, 1999). Masing-masing tingkatan ini memiliki keunikan dalam memahami perbedaan individu dalam perilaku dan pengalamannya. Namun, jumlah sifat kepribadian dan skala kepribadian tetap dirancang tanpa henti-hentinya (Goldberg dalam John & Srivastava, 1999).

Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi mengenai kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu pengetahuan adalah untuk menyederhanakan defenisi yang saling tumpang-tindih. Oleh karena itu, dalam psikologi kepribadian, suatu taksonomi akan mempermudah para peneliti untuk meneliti sumber utama karakteristik kepribadian daripada hanya memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang membuat setiap individu berbeda dan unik (John & Srivastava, 1999).

Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu dimensi “Big Five Personality”. Dimensi Big Five pertama kali diperkenalkan oleh Goldberg pada tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam menjelaskan dirinya sendiri dan orang lain. Taksonomi Big Five bukan bertujuan untuk mengganti sistem yang terdahulu, melainkan sebagai penyatu karena dapat


(25)

memberikan penjelasan sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava, 1999).

Big Five disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan ini disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language) Hypothesis; perbedaan individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan satu istilah yang terdapat pada setiap bahasa (dalam Pervin, 2005).

Big Five Personality atau yang juga disebut dengan Five Factor Model

oleh Costa & McRae dibuat berdasarkan pendekatan yang lebih sederhana. Di sini, peneliti berusaha menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa kata-kata yang digunakan orang pada umumnya, yang tidak hanya dimengerti oleh para psikolog, namun juga orang biasa (Pervin, 2005).

2. Tipe-Tipe Kepribadian Big Five Personality

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa big five personality terdiri dari lima tipe atau faktor. Terdapat beberapa istilah untuk menjelaskan kelima faktor tersebut. Namun, di sini kita akan menyebutnya dengan istilah-istilah berikut:

1. Neuroticism (N) 2. Extraversion (E)

3. Openness to New Experience (O) 4. Agreeableness (A)


(26)

Untuk lebih mudah mengingatnya, istilah-istilah tersebut di atas disingkat menjadi OCEAN (Pervin, 2005).

Untuk lebih jelasnya, kelima faktor di atas akan dipaparkan pada Tabel 1. yang didapat dari hasil penelitian Costa dan McRae (1985;1992). Neuroticism

berlawanan dengan Emotionalstability yang mencakup perasaan-perasaan negatif, seperti kecemasan, kesedihan, mudah marah, dan tegang. Openness to Experience

menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari aspek mental dan pengalaman hidup. Extraversion dan Agreeableness merangkum sifat-sifat interpersonal, yaitu apa yang dilakukan seseorang dengan dan kepada orang lain. Yang terakhir Conscientiousness menjelaskan perilaku pencapaian tujuan dan kemampuan mengendalikan dorogan yang diperlukan dalam kehidupan sosial (Pervin, 2005).

Tabel 1.

Karakteristik sifat-sifat Five Factor Model dengan skor tinggi dan rendah

Karakteristik dengan skor tinggi

Sifat Karakteristik dengan skor rendah

Kuatir, cemas, emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan.

Neuroticism (N) Mengukur penyesuaian Vs ketidakstabilan emosi. Mengidentifikasi

kecendrungan individu akan

distress psikologi, ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan respon

coping yang tidak sesuai.

Tenang , santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.

Mudah bergaul, aktif,

talkative, person-oriented, optimis, menyenangkan, kasih sayang, bersahabat.

Extraversion (E) Mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal, level aktivitas, kebutuhan akan stimulasi, kapasitas kesenangan.

Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, task –oriented, pemalu, pendiam.

Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif,

original, imajinatif, tidak

ketinggalan jaman.

Openness (O)

Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru, Senang

Mengikuti apa yang sudah ada, down to earth,

tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa


(27)

mengetahui sesuatu yang tidak familiar.

seni, kurang analitis.

Berhati lembut, baik, suka menolong, dapat

dipercaya, mudah

memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan, terus terang.

Agreeableness (A) Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang, mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap

permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan.

Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulatif.

Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun.

Conscientiousness (C) Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Berlawanan dengan ketergantungan, dan kecendrungan untuk menjadi malas dan lemah.

Tidak bertujuan, tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono, tidak disiplin, keinginan lemah, suka bersenang-senang.

Menurut Costa & McRae (dalam Pervin, 2005), setiap dimensi dari Big Five terdiri dari 6 (enam) faset atau subfaktor. Faset-faset tersebut adalah:

1. Extraversion terdiri dari:

1. Gregariousness (suka berkumpul). 2. Activity level (level aktivitas). 3. Assertiveness (asertif).

4. Excitement Seeking (mencari kesenangan). 5. Positive Emotions (emosi yang positif). 6. Warmth (kehangatan).

2. Agreeableness terdiri dari:

1. Straightforwardness (berterusterang). 2. Trust (kepercayaan).

3. Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain). 4. Modesty (rendah hati).


(28)

5. Tendermindedness (berhati lembut). 6. Compliance (kerelaan).

3. Conscientiousness terdiri dari: 1. Self-discipline (disiplin). 2. Dutifulness (patuh). 3. Competence (kompetensi). 4. Order (teratur).

5. Deliberation (pertimbangan).

6. Achievement striving (pencapaian prestasi).

4. Neuroticism terdiri dari: 1. Anxiety (kecemasan).

2. Self-consciousness (kesadaran diri). 3. Depression (depresi).

4. Vulnerability (mudah tersinggung). 5. Impulsiveness (menuruti kata hati). 6. Angry hostility (amarah).

5. Openness to new experience terdiri dari: 1. Fantasy (khayalan).

2. Aesthetics (keindahan). 3. Feelings (perasaan). 4. Ideas (ide).


(29)

5. Actions (tindakan). 6. Values (nilai-nilai).

B. COPING STRESS 1. Definisi Coping Stress

Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai segala upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan bersikap sabar dalam menghadapi tuntutan terhadap dirinya. Tuntutan tersebut dapat berupa eksternal dan internal.

Menurut Taylor (dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang dimiliki individu tersebut dalam menghadapi situasi stressfull.

Menurut Harowitz (dalam Rice, 1992), coping merupakan tindakan yang mencakup tindakan mental dan fisik yang digunakan untuk mengendalikan, mengatur, mengurangi, atau mentolerir efek tekanan yang ada, baik eksternal maupun internal. Secara umum, coping diarahkan pada dua hasil. Yang pertama bahwa coping diharapkan untuk mengubah hubungan antara diri dan lingkungan. Yang kedua, coping diarahkan untuk mengatur emosi yang tidak menyenangkan.

Situasi yang stressfull sendiri merupakan suatu kondisi yang penuh dengan stres. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan tiga pengertian yang berbeda, yaitu :


(30)

a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut dengn stressor. Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan timbulnya ”physiological reaction” adalah

stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian internal dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interpretasi dan proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan gangguan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping stress adalah segala usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi, mengatur, dan besikap sabar terhadap tuntutan-tuntutan baik internal maupun eksternal yang tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya secara fisik dan mental atau emosional.

2. Faktor-Faktor Coping Stress

Para peneliti telah menemukan sekitar 400 (empat ratus) cara yang biasa dilakukan orang dalam menghadapi situasi yang stressfull dan mengelompokkannya dalam berbagai kategori (dalam Sarafino, 2006). Berdasarkan hasil penelitian Lazarus, Folkman, dkk (1986), coping dapat dikelompokkan menjadi 8 (delapan) jenis faktor, yaitu:


(31)

1. Confrontive coping; mencakup usaha agresif untuk menghadapi situasi yang menekan, menggambarkan kekerasan terhadap orang lain, dan mengambil tindakan yang memiliki resiko tinggi.

2. Distancing; usaha untuk melupakan masalah yang terjadi, dan melihat sisi positif dari suatu masalah yang dihadapi.

3. Self-control; menjelaskan usaha untuk mengatur perasaan dan perilaku agar tetap tenang.

4. Seeking social support; usaha untuk mencari dukungan informasi, dukungan penyelesaian masalah, dan dukungan emosional dari orang-orang yang dianggap penting.

5. Accepting responsibility; menyadari permasalahan yang sedang dihadapi dan bertekad untuk menyelesaikannya.

6. Escape-Avoidance; menganggap masalah akan segera berakhir dan mencari tindakan untuk menghindari masalah yang sedang dihadapi.

7. Planful problem-solving; usaha untuk memahami masalah dan melakukan perencanaan untuk menyelesaikannya.

8. Positive reappraisal; menjelaskan usaha untuk mencari makna positif dari suatu masalah yang berguna untuk perkembangan diri sendiri.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik oleh Lazarus, Folkman, et al (1986), hasil yang memuaskan diperoleh dari penggunaan planful problem-solving dan positive reappraisal. Sedangkan hasil yang tidak memuaskan diperoleh dari penggunaan confrontive coping dan distancing.


(32)

Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun metode yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Menurut Ruther (Smet, 1994) tidak ada strategi coping yang paling berhasil. Lazarus & Folkman (1984) menyatakan bahwa efektivitas strategi coping bervariasi tergantung pada situasinya (dalam Powers, dkk, 2002). Menurut Taylor, keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling berhasil (dalam Smet, 1994).

Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006), confrontive coping, seeking social support, accepting responsibility, dan planful problem-solving memiliki fungsi problem focused-coping. Sedangkan distancing, self-control, escape-avoidance, dan positive reappraisal memiliki fungsi emotion-focused coping.

3. Fungsi Coping Stress

Secara umum Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1992) membedakan 2 (dua) fungsi copingstress, yaitu:

a. Emotion-focused coping

Usaha yang dilakukan individu untuk mengontrol dan membebaskan perasaan-perasaan negatif (seperti amarah, frustrasi, rasa takut) yang disebabkan oleh tekanan yang diterimanya.

Menurut Powers (2002), pengaturan ini dapat terlihat dari perilaku individu, seperti penggunaan alkohol, bagaimana mengabaikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressfull, individu akan cenderung mengatur emosinya. Salah


(33)

satu contoh strategi ini disebutkan oleh Freud (dalam Smet, 1994) yaitu mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Strategi ini tidak mengubah situasi stres, hanya mengubah cara orang memikirkan situasi dan melibatkan elemen penipuan diri.

b. Problem-focused coping

Strategi yang dibuat individu untuk mengembangkan perencanaan tindakan yang jelas terhadap stressor dan mengontrolnya sebisa mungkin.

Menurut Powers (2002), individu akan mengatasi masalah dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru untuk mengurangi stressor tersebut. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi. Metode ini sering digunakan oleh orang dewasa.

Menurut Sarafino (2006), individu dapat menggunakan problem focused coping dan emotion focused coping secara bersamaan ketika sedang menghadapi masalah. Beberapa studi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh psikologi terkemuka menunjukkan hasil penemuan mengenai penggunaan problem focused dan

emotion focused coping, seperti Folkman (dalam Sarafino, 2006) yang menyatakan bahwa individu dewasa madya lebih sering menggunakan problem-focused coping sedangkan individu yang lebih tua lebih sering menggunakan

emotion-focused coping.

Selain itu, Greenglass & Noguchi juga menyatakan bahwa pria cenderung lebih sering menggunakan problem-focused coping dibandingkan wanita yang lebih sering menggunakan emotion-focused coping. Dalam penelitian Billings &


(34)

Moos juga ditemukan bahwa orang dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi lebih sering menggunakan problem-focused coping

dibandingkan dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah. (dalam Sarafino, 2006).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stress

Reaksi terhadap stres bervariasi antara orang yang satu dengan yang lainnya, dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah stressor bagi individu.

Menurut Smet (1994) faktor-faktor tersebut adalah:

a. Variabel dalam kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, tempramen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.

b. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum, kepribadian ”ketabahan” (hardiness), locus of control, kekebalan, ketahanan.

c. Variabel sosial-kognitif, mencakup: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial, kontrol pribadi yang dirasakan.

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial.

e. Strategi coping stress, merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam situasi stres.


(35)

C. DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL 1. Pengertian dan Fungsi Reserse Kriminal

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terdiri dari beberapa bagian atau yang disebut direktorat, antara lain adalah direktorat reserse kriminal (Dit. Reskrim). Dit Reskrim adalah unsur pelaksana utama Polda yang berada dibawah Kapolda. Dit Reskrim bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi Identifikasi dan fungsi Laboratorium Forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum , koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan sesuai ketentuan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku (Website POLRI DIY, 2008).

Dalam menyelenggarakan tugas yang dimaksud, Dit. Reskrim menyelenggarakan fungsi sbb :

1. Pembinaan fungsi / penyelidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan serta kegiatan-kegiatan lain yang menjadi tugas Dit Reskrim dalam lingkungan Polda.

2. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan / penyidikan tindak pidana umum dan tertentu , dengan memberikan pelayanan / perlindungan khusus kepada korban / pelaku remaja , anak dan wanita, dalam rangka penegakan hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

3. Penyelenggaraan fungsi Identifikasi baik untuk kepentingan penyidikan maupun pelayan umum.

4. Penyelenggaraan pembinaan teknis dan koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidak PPNS.


(36)

5. Pelaksanaan analisis setiap kasus dan isu-isu menonjol beserta penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas satuan-satuan fungsi Reskrim.

Dit. Reskrim dipimpin oleh Direktur Reskrim , disingkat Dir. Reskrim , yang bertanggung jawab kepada Kapolda dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wakapolda. Dir Reskrim dibantu oleh Wakil Direktur Reskrim , disingkat Wadir Reskrim , yang bertanggung jawab kepada Dir. Reskrim.

2. Struktur Organisasi Direktorat Reserse Kriminal Dit. Reskrim terbagi menjadi 6 (enam) bagian, yaitu: 1. Sub bagian perencanaan dan Administrasi (Subbagrenmin)

Subbagrenmin adalah unsur pelaksana dan pelayanan staf pada Dit. Reskrim yang berada dibawah Dir. Reskrim. Subbagrenmin bertugas merumuskan / menyiapkan rencana / program kerja & anggaran termasuk rencana dan administrasi operasional & pelatihan dan menyelenggarakan pelayanan urusan administrasi personel & logistik urusan ketatausahaan & urusan dalam dan pelayan keuangan Dit. Reskrim.

Subbagrenmin dipimpin oleh Kepala Subbagrenmin disingkat Kasubbagrenmin yang bertanggung jawab kepada Dir. Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim. Untuk menjamin dinamika dan keterpaduan operasional dalam pelaksanaan tugas semua satuan operasional , Kasubbagrenmin membantu Dir. Reskrim mengatur pelaksanaan


(37)

piket siaga yang juga berperan dalam pelayanan penerimaan dan penanganan pertama laporan/pengaduan warga masyarakat yang membutuhkan.

2. Bagian Analisis Direktorat Reserse dan Kriminal

Bag Analisis adalah unsur pembantu pimpinan dan staf pada Dit Reskrim yang berada dibawah Dir. Reskrim. Bag. Analisis bertugas melakukan analisa dan gelar perkara setiap kasus dan isu-isu yang berkaitan dgn rangkaian kasus-kasus menonjol beserta penanganannya dan mempelajari / mengkaji efektifitas pelaksanaan tugas penyelidikan / penyidikan tindak pidana oleh satuan-satuan fungsi Reskrim dalam lingkungan Polda , termasuk penghimpunan dan pemeliharaan berkas perkara yang telah selesai diproses dan bahan literatur yang terkait

Bag Analisis dipimpin oleh Kepala Bagian Analisis , disingkat Kabag Analisis yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Wadir Reskrim.

Kabag Analisis dalam melaksanakan tugas keawajibannya dibantu oleh : a. Kepala Sub Bagian Produksi disingkat Kasubbag Produk

b. Kepala Sub Bagian Dokumentasi & Literatur disingkat Kasubbag Doklit

3. Siskorwas PPNS Direktorat Reserse dan Kriminal

Sikorwas PPNS adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang berada dibawah Dir Reskrim. Sikorwas bertugas melaksanakan koordinasi dan pengawasan operasional termasuk pembinaan / bimbingan teknis penyidikan dan administrasi penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil pada tingkat Polda.


(38)

Sikorwas PPNS dipimpin oleh Kepala Sikorwas PPNS , disingkat Kasi Korwas PPNS yang bertabggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

4. Seksi Identifikasi Direktorat Reserse Kriminal

Si Ident adalah unsur pelaksana teknis pada Dit Reskrim yang berada dibawah Dir Reskrim. Si Ident bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi Identifikasi yang meliputi kegiatan Daktiloskopi kriminal, Daktiloskopi umum dan fotografi Kepolisian.

Si Ident dipimpin oleh Kepala Bid / Si Ident , disingkat Si Ident yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

5. Satuan Operasional Direktorat Reserse Kriminal

Sat Opsnal adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah Dir Reskrim. Sat Opsnal bertugas melakukan penyedikan dan penyidikan tindak pidana yang terjadi di wilayah Polda.

Sat Opsnal dipimpin oleh Kepala Sat Opsnal , disingkat Kasat Opsnal, yang bertanggung jawab kepada Dir Reskrim dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari berada dibawah kendali Wadir Reskrim.

Sat Opsnal terdiri dari sejumlah unit yang masing-masing dipimpin oleh kepala Unit disingkat Kanit. Jumlah Sat Opsnal pada Dit Reskrim dalam jumlah unit pada masing-masing Sat Opsnal disesuaikan dengan tipe dari masing-masing


(39)

Polda dan pembagian tugasnya diatur lebih lanjut oleh Dir Reskrim sesuai arahan Kapolda.

6. Detasemen 88 Anti Teror (Den 88 AT)

Adalah unsur pelaksana pada Dit Reskrim yang berada dibawah Kapolda. Bertugas menyelenggarakan penyelidikan tindak pidana serta tugas lain di bidang tindak pidana terorisme. Den 88 AT dipimpin oleh Kepala Den 88 AT, disingkat Kaden 88 AT yang sehari-hari bertanggung jawab kepada Kapolda.

Den 88 AT terdiri dari:

1). Urusan Administrasi dan Tata Usaha disingkat Urmintu 2). Unit Intelejen, disingkat Unitintel

3). Unit Penindak, disingkat Unittindak 4). Unit Investigasi, disingkat Unitinvest 5). Unit Bantuan, disingkat Unitban

Pembentukan Den 88 AT yang berkedudukan langsung dibawah Kapolda dan atau berkedudukan langsung dibawah Dir. Reskrim, diatur dengan keputusan sendiri.

D. KAITAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN BIG FIVE PERSONALITY DAN COPING STRESS PADA POLISI RESERSE KRIMINAL POLTABES MEDAN

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga yang bertugas untuk menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban umum di Indonesia (Syafrika & Suyasa, 2004). Ira Glasser (dalam Amaranto dkk, 2003) menyatakan:bahwa pekerjaan polisi adalah pekerjaan yang mencakup banyak


(40)

aspek, sulit, berbahaya, dan stressfull. Kepolisian Negara Republik Indonesia dibagi menjadi 9 (sembilan) direktorat, salah satunya adalah Direktorat Reserse Kriminal.

Menurut Sullivan (1977), polisi kriminal adalah ”urat nadi” kepolisian. Meliala (2001) berpendapat bahwa polisi kriminal mengalami stres tersendiri, dimana mereka sering berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan. Khusus untuk polisi kriminal yang bertugas di kota besar seperti Medan, stres yang dialami lebih besar karena tingkat kriminal yang lebih tinggi juga (Nuzulia, 2005).

Stres memiliki dampak positif dan negatif. Untuk mengatasi dampak negatif ini, individu perlu melakukan coping. Lazarus dan Folkman (1986) membagi coping stress menjadi dua bagian, yaitu problem-focused coping dan

emotion-focused coping.

Smet (1994) beranggapan bahwa kepribadian adalah salah satu faktor yang mempengaruhi coping stress. Salah satu taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum saat ini adalah Big Five Personality (John & Srivastava, 1999). Big Five merupakan suatu model hirarki kepribadian yang membagi kepribadian menjadi lima faktor yang setiap faktornya menjelaskan kepribadian dengan jelas dan sangat luas (Gosling, Rentfrow, & Swann Jr, 2003). Kelima tipe kepribadian tersebut adalah neuroticism, extraversion, openness to new experience, agreeableness, dan conscientiousness.

E. HIPOTESA PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional yang bertujuan untuk menguji hipotesa. Hipotesa dalam penelitian ini adalah:


(41)

a. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan

problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. b. Ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan

emotion-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

2. Ho (Hipotesa Nihil) : p > 0,05, artinya:

a. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan

problem-focused coping pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. b. Tidak ada hubungan antara tipe kepribadian big five personality dengan


(42)

Gambar 2. Paradigma Penelitian Five Factor Model

McRae & Costa:

- Neuroticism - Extraversion - Openness - Agreeableness - Conscientiousness

Coping

Stress

Direktorat Reserse Kriminal

Poltabes Medan POLRI Polisi : lembaga keamanan dan

ketertiban umum Stressfulljob

Emotion- Focused Problem- Focused

Stress

Kepribadian


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel terikat dengan beberapa variabel bebas yang lain .

Jadi, penelitian ini bertujuan untuk melihat secara sistematik dan akurat mengenai hubungan antara tipe kepribadian Big Five Personality dengan coping stress pada polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan berdasarkan perhitungan statistik.

A. VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah

1. Variabel X: Tipe kepribadian Big Five Personality, yang terdiri dari

Neuroticism, Extraversion, Openness to new experience, Agreeableness, dan

Conscientiousness.

2. Variabel Y: Coping stress, yang terdiri dari:

a) Problem-focused coping (Confrontive coping, Seeking social support, Accepting responsibility, dan Planful problem-solving,)

b) Emotion-focused coping (Distancing, Self-control, Escape-Avoidance, dan


(44)

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Big Five Personality diukur dengan menggunakan inventori kepribadian.

Big Five Personality merupakan model yang mengelompokkan kepribadian menjadi 5 klasifikasi, yaitu:

1. Neuroticism. Individu yang tergolong pada tipe ini sering cemas dan tegang dalam menghadapi situasi yang berbeda atau yang membuat dirinya tertekan. 2. Extraversion. Individu yang tergolong pada dimensi ini cenderung suka

berkelompok, banyak berbicara, dan mampu mengemukakan pendapatnya dengan baik.

3. Openness to new experience. Terkadang disebut Intellect atau

Intellect/Imagination (terbuka terhadap pengalaman atau intelektual). Individu yang tergolong pada dimensi ini biasanya merupakan orang yang pintar, memiliki ide-ide yang kreatif, dan berwawasan luas.

4. Agreeableness. Individu yang tergolong pada dimensi ini cenderung menyetujui dan mengiyakan pendapat orang lain dan mudah untuk mempercayai orang lain.

5. Conscientiousness. Individu yang tergolong pada dimensi ini cenderung teratur, merencanakan sesuatu yang akan dilakukannya untuk waktu yang akan datang dan berusaha mencapai apa yang direncanakannya tersebut.

Skor tinggi pada salah satu dimensi kepribadian menunjukkan bahwa individu cenderung tergolong dalam salah satu dimensi kepribadian tersebut dan begitu pula sebaliknya.


(45)

Coping stress diukur oleh peneliti dengan skala coping stress. Skala

coping stress dibagi menjadi dua bagianberdasarkan fungsinya, yaitu: 1. Problem-focused coping:

Usaha individu dalam menghadapi masalahnya dan berusaha untuk menyelesaikannya. Problem focused coping ini diukur melalui subskala

problem-focused coping yang terdiri dari 4 (empat) faktor, yaitu:

a) Confrontive coping; dapat dilakukan dengan menyalahkan orang lain, mengekspresikan kemarahan, dan melakukan tindakan yang beresiko. b) Seeking social support; dapat dilakukan dengan bertanya pada orang lain,

meminta bantuan orang lain, bercerita kepada teman atau saudara, dan meminta saran dari orang-orang yang memahami masalah tersebut.

c) Accepting responsibility; dapat dilakukan dengan mengkritik diri, menyadari bahwa sumber masalah adalah diri sendiri, dan membuat komitmen untuk menyelesaikan masalah tersebut.

d) Planful problem-solving; dapat dilakukan dengan membuat jadwal harian dan melakukannya, merubah sesuatu yang menjadi sumber masalah, mencari tahu sumber masalah di masa lalu dan membuat solusi masalah yang berbeda.

Subjek penelitian yang cenderung menggunakan problem focused coping

merupakan kategori individu yang memiliki skor tinggi dalam pengisian subskala


(46)

2. Emotion-focused coping:

Usaha individu untuk mengatur respon emosional terhadap stres dengan mengabaikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan dengan menggunakan strategi kognitif, ataupun dengan menghindari masalah tersebut. Emotion focused coping diukur melalui subskala emotion focused coping yang terdiri dari 4 (empat) faktor, yaitu:

a) Distancing; dapat dilakukan dengan menganggap masalah tidak serius, berperilaku seolah-olah tidak ada masalah, dan melupakan seluruh masalah yang ada.

b) Self-control; dapat dilakukan dengan memendam perasaan, tidak

men-sharing-kan masalah dengan orang lain, dan membiarkan masalah tanpa ada penyelesaian.

c) Escape-Avoidance; dapat dilakukan dengan berpikiran bahwa masalah akan segera berakhir, berandai-andai bahwa akan ada keajaiban, dan melakukan aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah, seperti makan, minum, merokok, tidur, dan sebagainya untuk menghindari masalah yang sedang dihadapi.

d) Positive reappraisal; dapat dilakukan dengan mengubah cara hidup, mencari pengalaman baru, mencari keyakinan baru, berdoa, dan melakukan sesuatu yang kreatif.

Subjek penelitian yang cenderung menggunakan emotion focused coping

merupakan kategori individu yang memiliki skor tinggi dalam pengisian subskala


(47)

C. PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh subyek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subyek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama. Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh polisi Reserse Kriminal yang bertugas di Poltabes Medan. Berdasarkan data terbaru Reserse Kriminal Poltabes Medan, yaitu tahun 2008, jumlah personil polisi reserse kriminal Poltabes Medan adalah 204 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan yang dikenakan alat ukur penelitian.

2. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel atau sampling menurut Kerlinger (1990) berarti mengambil suatu bagian dari populasi sebagai wakil (representasi) dari populasi ini. Pada penelitian ini, sampel diperoleh melalui teknik non probability secara

incidental sampling yang berarti setiap anggota populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk dapat terpilih menjadi anggota sampel, dimana pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada sistem kebetulan sampai diperoleh jumlah sampel yang dibutuhkan.

3. Jumlah Sampel Penelitian

Dari seluruh Polisi Reserse Kriminal yang bertugas di Poltabes Medan (populasi), jumlah total sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 80 orang.


(48)

D. METODE PENGUMPULAN DATA 1. Alat Ukur yang Digunakan

Data penelitian diperoleh dari alat ukur. Alat ukur yang diberikan kepada sampel dalam penelitian ini adalah inventori kepribadian dan skala copingstress.

Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan inventori dan skala yang dibuat berdasarkan model skala Likert. Kelebihan skala Likert yaitu lebih reliabel secara statistik dan waktu yang lebih singkat dalam pembuatan skala (Hogg, 2002).

Inventori kepribadian terbagi menjadi 5 (lima) bagian besar subskala yang diadaptasi dari Big Five Inventory Personality Test (BFI) yang disusun oleh John dan Srivastava. Big Five Inventory Personality Test (BFI) merupakan inventori yang dianggap lebih efisien karena memiliki nilai koefisien validitas yang paling baik (0,92) dengan koefisien reliabilitas 0,83 jika dibandingkan dengan inventori kepribadian lainnya yang sering digunakan dalam setting penelitian mengenai big five personality, seperti NEO-Five Factor Inventory (NEO-FFI) dan Trait Descriptive Adjective (TDA) (John & Srivastava, 1999). Skala coping stress

disusun berdasarkan 8 (delapan) faktor coping stress yang dibagi menjadi 2 (dua) bagian berdasarkan fungsinya, diadaptasi dari coping scales hasil penelitian Lazarus, Folkman, dkk. Item-item pada alat ukur tersebut disusun secara acak (random).

Item-item disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable)

dan tidak mendukung (unfavorable). Setiap item pada skala terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju dan Sangat Tidak Setuju. Nilai setiap pilihan bergerak dari 1–4. Bobot penilaian


(49)

untuk pernyataan favorable yaitu: Sangat setuju = 4, Setuju = 3, Tidak Setuju = 2, Sangat Tidak Setuju = 1. Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan

unfavorable yaitu: Sangat setuju = 1, Setuju= 2, Tidak Setuju = 3, Sangat Tidak Setuju = 4.

Untuk lebih jelasnya, cara penilaian inventori kepribadian dan skala

coping stress yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1.

Cara Penilaian Inventori Kepribadian dan Skala Coping Stress

Bentuk Pernyataan

Skor

1 2 3 4

Favorable Sangat tidak setuju Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju

Unfavorable Sangat Setuju Setuju Tidak Setuju Sangat tidak setuju

Tabel 2.

Blue-print Inventori Kepribadian dan Skala Coping Stress

Sebelum Uji Coba

Inventori kepribadian uji coba yang diberikan kepada sampel terdiri dari 44 (empat puluh empat) item dengan perincian seperti yang tampak pada Tabel 2.1. berikut:

Tabel 2.1. Blue-print Inventori Kepribadian Sebelum Uji Coba

No. Tipe kepribadian Favorable Unfavorable Jumlah 1 Neuroticism 1,11,16,26,36,42 = 6 6,21,27,31 = 4 10 2 Extraversion 4,14,19,29,39,43 = 6 9,24,34 = 3 9

3 Openness 7,17,22,32 = 4 2,12,37 =3 7

4 Agreeableness 5,10,15,20,25,30,40,44 = 8

41 =1 9

5 Conscientiousness 3,13,23,28,33,35,38 = 7 8,18 =2 9


(50)

Skala coping stress uji coba yang diberikan kepada sampel terdiri dari 72 (tujuh puluh dua) item dengan perincian seperti yang tampak pada Tabel 2.2. dan Tabel 2.3. berikut:

Tabel 2.2. Blue-print Subskala Problem-FocusedCoping Sebelum Ui Coba

No Faktor Favorable Unfavorable Jumlah

1 Confrontive coping 1,2,4,70,71,72 = 6 3,6 = 2 8 2 Seeking social support 52,53,55,56,58,59 = 6 21,24,27,30 = 4 10 3 Accepting responsibility 14,16,17,19 = 4 33,36,39,42 = 4 8 4 Planful problem-solving 28,29,31,32,34,35 = 6 51,54,57 = 3 9

Jumlah Total Item 22 13 35

Tabel 2.3. Blue-print Subskala Emotion-FocusedCoping Sebelum Ui Coba

No Faktor Favorable Unfavorable Jumlah

1 Distancing 5,7,8,67,68,69 = 6 9,12 = 2 8 2 Self-controlling 10,11,13,61,62,64,65 =

7

15,18 = 2 9

3 Escape-Avoidance 20,22,23,25,26,47,49,50 = 8

45,48 = 2 10

4 Positive reappraisal 37,38,40,41,43,44,46 = 7

60,63,66 = 3 10

Jumlah Total Item 28 9 37

2. Validitas

Skala tersebut akan diujicobakan dahulu sebelum digunakan. Uji coba digunakan untuk menguji reliabilitas dan validitas alat ukur.

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu alat ukur yang valid tidak sekedar mampu mengungkapkan data dengan tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.


(51)

Pendekatan terhadap validitas alat ukur dilakukan dengan menyusun terlebih dahulu operasional aspek-aspek pengukuran yang tepat dalam blue-print (criterion-related validity).

Dalam penelitian ini, validitas yang digunakan adalah face validity. Face validity adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan (appearance) tes. Apabila penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur, maka dapat dikatakan bahwa face validity telah terpenuhi. (Azwar, 2004).

Penilaian face validity item dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, antara lain:

1. Setelah Big Five Inventory Personality Test (BFI) dan Coping Scales yang sebenarnya diterjemahkan oleh peneliti, hasil terjemahan diperlihatkan kepada seorang dosen Bahasa Inggris untuk diperiksa tata bahasanya.

2. Item-item yang telah dibuat diberikan kepada teman-teman yang lain untuk memperoleh penilaian dan saran untuk memperbaiki item yang dirasa tidak jelas atau ambigu.

3. Item-item yang telah diperbaiki sebelumnya diberikan kepada para ahli, dalam hal ini kepada dosen yang menguasai teknik pembuatan skala psikologi.

4. Item-item kemudian disusun ulang berdasarkan feedback dari teman-teman dan para ahli.


(52)

3. Uji Daya Beda Item dan Reliabilitas a. Uji Daya Beda Item

Uji daya beda butir pernyataan untuk melihat sejauh mana butir pernyataan mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis butir pernyataan ini adalah dengan memilih butir-butir pernyataan yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata lain, memilih butir pernyataan yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 1999).

Pengujian daya beda butir pernyataan ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap butir pernyataan dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisien korelasi item total yang dikenal dengan indeks daya beda butir pernyataan (Azwar, 2000). Uji daya beda butir pernyataan ini akan dilakukan pada alat ukur dalam penelitian ini, yaitu inventori kepribadian dan skala coping stress. Setiap butir pernyataan pada alat ukur ini akan dikorelasikan dengan skor total alat ukur. Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 5% (p<0,05).

Besarnya koefisien korelasi item total bergerak dari 0 sampai dengan 1,00 dengan nilai positif dan negatif. Semakin baik daya diskriminasi item maka koefisien korelasinya semakin mendekati angka 1,00 (Azwar, 2005). Batasan nilai indeks daya beda item (

r

iX) dalam penelitian ini adalah 0,275, sehingga setiap


(53)

item yang memiliki nilai

r

iX ≥ 0,275 sajalah yang akan digunakan dalam

pengambilan data yang sebenarnya.

b. Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Menurut Hadi (2000) reliabilitas alat ukur menunjukkan derajat keajegan atau konsistensi alat ukur yang bersangkutan bila diterapkan beberapa kali pada kesempatan yang berbeda. Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi item-item yang dalam menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2002).

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal dimana prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2002). Teknik yang digunakan untuk pengukuran reliabilitas alat ukur penelitian ini adalah teknik koefisien Alpha Cronbach dengan koefisien > 0,05. Untuk menguji reliabilitas ini menggunakan bantuan program

SPSS versi 15.0 for Windows.

4. Hasil Uji Coba

Sebelum melakukan pengambilan data yang sebenarnya, terlebih dahulu dilakukan uji coba alat ukur penelitian untuk mengetahui kualitas dari masing-masing item. Uji coba skala coping stress dan inventori kepribadian dilakukan pada 7 Oktober - 29 Oktober 2008. Dari 90 eksemplar kuesioner yang disebarkan,


(54)

terdapat 74 kuesioner yang kembali, dan 70 kuesioner yang kemudian diolah datanya.

Pada uji coba alat ukur, jumlah item yang digunakan adalah sebanyak 44 item untuk inventori kepribadian dan 72 item untuk skala coping stress, dengan perincian seperti yang tampak pada Tabel 2. di atas.

Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas dan uji daya beda item terhadap data uji coba yang telah diperoleh dengan menggunakan program SPSS version 15.0 For Windows, maka diperoleh koefisien alpha keseluruhan item untuk inventori kepribadian sebesar 0,898 dan untuk skala coping stress sebesar 0,916. Sedangkan berdasarkan uji daya beda item diperoleh 17 item dari inventori kepribadian yang gugur dan 33 item dari skala coping stress atau tidak dapat digunakan lagi karena memiliki nilai korelasi item total atau indeks daya beda item (

r

iX) < 0,275, sehingga jumlah item yang akan digunakan untuk pengambilan data yang sebenarnya adalah sebanyak 27 item untuk inventori kepribadian dan 39 item untuk skala coping stress. Item-item yang gugur setelah uji cobadapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.

Item-Item yang Gugur padaUji Coba

Tabel 3.1. Item-item Inventori Kepribadian yang Gugur pada Uji Coba

No. Tipe kepribadian Favorable Unfavorable

Jumlah Item Gugur 1 Neuroticism 1,11,16,26,36,42 6,21,27,31 4 2 Extraversion 4,14,19,29,39,43 9,24,34 4

3 Openness 7,17,22,32 2,12,37 1

4 Agreeableness 5,10,15,20,25,30,40,44 41 4 5 Conscientiousness 3,13,23,28,33,35,38 8,18 4


(55)

Tabel 3.2. Item-item Subskala Problem-FocusedCoping yang Gugur pada Uji Coba

No Faktor Favorable Unfavorable Jumlah

Item Gugur 1 Confrontive coping 1,2,4,70,71,72 3,6 4 2 Seeking social support 52,53,55,56,58,59 21,24,27,30 3 3 Accepting responsibility 14,16,17,19 33,36,39,42 1 4 Planful problem-solving 28,29,31,32,34,35 51,54,57 3

Jumlah Total Item Gugur 10 1 11

Tabel 3.3. Item-item Subskala Emotion-FocusedCoping yang Gugur pada Uji Coba

No Faktor Favorable Unfavorable Jumlah

Item Gugur 1 Distancing 5,7,8,67,68,69 9,12 4 2 Self-controlling 10,11,13,61,62,64,65 15,18 6 3 Escape-Avoidance 20,22,23,25,26,47,49,50 45,48 6 4 Positive reappraisal 37,38,40,41,43,44,46 60,63,66 6

Jumlah Total Item Gugur 17 5 22

Keterangan :

Penebalan: nomor item yang gugur.

Selanjutnya 33 item untuk skala coping stress dan 27 item untuk inventori kepribadian tersebut, disusun kembali nomor-nomor itemnya untuk kemudian digunakan dalam pengambilan data penelitian seperti yang terlihat pada Tabel 4.1. dan Tabel 4.2. berikut ini:

Tabel 4.

Perubahan Nomor Item Inventori Kepribadian dan Skala Coping Stress

Setelah Uji Coba

Tabel 4.1. Perubahan Nomor Item Inventori Kepribadian

Nomor Item Inventori

Favorable Unfavorable

Nomor item lama Nomor item baru Nomor item lama Nomor item baru

1 1 2 2 3 3 8 7 4 4 9 8


(56)

5 5 12 10 7 6 18 14 10 9 21 17 14 11 24 20 15 12 27 21 17 13 31 22 19 15 37 24 20 16 22 18 23 19 36 23 38 25 42 26 44 27

Jumlah = 17 Jumlah = 10

Tabel 4.2. Perubahan Nomor Item Skala Coping Stress

Nomor Item

Favorable Unfavorable

Nomor item lama Nomor item baru Nomor item lama Nomor item baru

2 1 3 2 5 3 6 4 8 5 12 7 11 6 21 13 14 8 24 15 16 9 27 16

17 10 30 19

19 11 33 21

20 12 36 22

22 14 39 24

28 17 48 26

29 18 51 28

31 20 54 30

38 23 57 32

43 25 60 34

50 27 66 37

52 29 55 31 59 33 64 35 65 36 69 38 71 39


(57)

Setelah item-item tersebut disusun ulang, maka diperolehlah format akhir inventori kepribadian dan skala coping stress yang terlihat pada Tabel 5. berikut ini:

Tabel 5.

Blue-print Skala Coping Stress dan Inventori Kepribadian yang Digunakan pada Penelitian

Tabel 5.1. Blue-print Inventori Kepribadian yang Digunakan pada Penelitian

No. Tipe kepribadian Favorable Unfavorable Jumlah Persentase

1 Neuroticism 1,23,26 17,21,22 6 22,22 %

2 Extraversion 4,11,15 8,20 5 18,52 %

3 Openness 6,13,18 2,10,24 6 22,22 %

4 Agreeableness 5,9,12,16,27 - 5 18,52 %

5 Conscientiousness 3,19,25 7,14 5 18,52 %

Jumlah Total Item 17 10 27 100 %

Tabel 5.2. Blue-print Subskala Problem-Focused Coping yang Digunakan pada Penelitian

No Faktor Pembentuk Favorable Unfavorable Jumlah Persentase

1 Confrontive coping 1,39 2,4 4 10,25 %

2 Seeking social support 29,31,33 13,15,16,19 7 17,94 % 3 Accepting responsibility 8,9,10,11 21,22,24 7 17,94 % 4 Planful problem-solving 17,18,20 28,30,32 6 15,38 %

Jumlah Total Item 12 12 24 61,51 %

Tabel 5.3 Blue-print Subskala Emotion-Focused Coping yang Digunakan pada Penelitian

No Faktor Pembentuk Favorable Unfavorable Jumlah Persentase

1 Distancing 3,5,38 7 4 10,25 %

2 Self-controlling 6,35,36 - 3 7,69 %

3 Escape-Avoidance 12,14,27 26 4 10,25 %

4 Positive reappraisal 23,25 34,37 4 10,25 % Jumlah Total Item 11 4 15 38,44 %

E. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian dimulai dengan melakukan survey ke kantor atau markas polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan untuk mengurus segala keperluan


(58)

administratif yang diperlukan, seperti mengurus surat izin melakukan penelitian. Setelah itu peneliti mulai merancang alat ukur penelitian untuk uji coba. Jumlah skala coping stress dan inventori kepribadian yang dipersiapkan untuk uji coba penelitian ini adalah sebanyak 90 eksemplar. Uji coba alat ukur diberikan kepada para polisi yang bertugas di Poltabes Medan. Data yang diperoleh dari hasil uji coba kemudian diolah dengan bantuan program SPSS version 15.0 for Windows

untuk memperoleh item-item yang dapat digunakan untuk penelitian. Setelah data tersebut diolah, item-item yang lulus seleksi disusun kembali sehingga diperolehlah format alat ukur penelitian yang telah teruji reliabilitas dan validitasnya secara statistik.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 3 November – 24 November 2008. Penentuan sampel dilakukan dengan incidental sampling,, yaitu peneliti memberikan skala coping stress dan inventori kepribadian kepada para Polisi Reserse Kriminal yang sedang berada di markas Poltabes Medan secara langsung dan dengan menitipkannya pada staf atau pegawai administrasi Reserse Kriminal Poltabes Medan. Jumlah keseluruhan inventori kepribadian dan skala coping stress yang dipersiapkan peneliti untuk pengambilan data ini adalah 120 eksemplar. Jumlah inventori kepribadian dan skala coping stress yang kembali dan yang kemudian diolah adalah 80 eksemplar.


(59)

F. METODE ANALISA DATA

Menurut Sudjana (2001) metode korelasi bertujuan untuk dapat mengetahui seberapa kuat hubungan antar variabel. Ukuran yang digunakan untuk mengetahui hubungan tersebut, khususnya untuk data kuantitatif adalah koefisien korelasi. Selanjutnya untuk mengetahui seberapa kuat hubungan satu variabel dengan beberapa variabel lainnya, dapat dilakukan dengan melakukan uji regresi berganda (multiple regression).

Data yang diperoleh akan diolah dengan analisa statistik dengan menggunakan program SPSS version 15.0 for Windows. Data diolah dengan menghubungkan skor total masing-masing skor total inventori kepribadian, yaitu

Neuroticism, Extraversion, Opennes, Agreeableness, dan Conscientiousness

dengan skor total subskala problem-focused coping dan emotion-focused coping.

Analisa data dilakukan dengan perintah regression, sehingga nantinya akan diperoleh persamaan regresi:

Y= a +b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+ b5X5 Dengan:

Y = variabel Y (coping stress) X = variabel X (big five personality) a = nilai konstanta

b = koefisien arah regresi

Data yang akan diolah harus melalui uji asumsi terlebiih dahulu. Uji asumsi pada metode korelasional terdiri dari uji normalitas, uji linieritas, dan autokorelasi.


(60)

1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk melihat distribusi variabel X dan variabel Y dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan program SPSS versi 15.0 for windows. Data tersebut dapat dikatakan memiliki sebaran normal apabila memiliki nilai p>0.05.

2. Uji linieritas

Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah data pada variabel X mempunyai hubungan yang linier dengan data pada variabel Y. Uji linieritas pada data ini dilakukan dengan bantuan program SPSS version 15.0 for Windows,

Variabel X (tipe kepribadian) dapat dikatakan memiliki hubungan linier dengan variabel Y (coping stress) apabila memiliki nilai p<0,05.

3. Autokorelasi

Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan setiap variabel X (kepribadian). Agar dapat melakukan uji regresi, setiap variabel X tidak boleh saling berhubungan atau harus memilik hubungan yang lemah.


(61)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian yang berkaitan dengan analisa data penelitian yang sesuai dengan pertanyaan penelitian yang akan dijawab pada penelitian ini maupun analisa tambahan terhadap data yang ada.

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 80 polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan yang kemudian akan dibagi berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan suku.

1. Usia Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan usia dengan penyebaran data seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6.

Gambaran subjek berdasarkan usia.

Usia N Persentase 21-30 thn

31-40 thn 41-50 thn >50 thn

28 23 27 2

35 % 30 % 32,5 %

2,5 % Total 80 100%

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang berusia antara 21-30 tahun merupakan kelompok sampel yang terbesar yaitu sebanyak 28 orang (32,5 %). Sedangkan jumlah terkecil adalah kelompok sampel yang berusia lebih dari 50 tahun, yaitu 2 orang (2,5 %).


(1)

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti: genetik, intelegensi, ketabahan, locus of control, dan faktor lain yang mempengaruhi coping stress yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

C. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

1. Saran Metodologis

1. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya jumlah sampel ditambah agar hasilnya lebih reliabel

2. Sebaiknya jumlah sampel penelitian lebih proporsional untuk setiap kategorinya sehingga hasilnya akan lebih dapat diterima.

3. Disarankan untuk penelitian selanjutnya lebih mengidentifikasi faktor-faktor lain yang mempengaruhi coping stress sehingga hasil yang diperoleh lebih jelas, kompleks, dan mendetail.

4. Sebaiknya alat ukur yang digunakan dirancang agar memiliki jumlah item yang lebih seimbang untuk setiap aspeknya.

5. Disarankan untuk selanjutnya agar melakukan penelitian mengenai coping stress pada Direktorat Kepolisian lainnya. Dengan demikian juga dapat diketahui bagaimana coping stress dan kepribadian pada masing-masing bagian kepolisian tersebut.


(2)

6. Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan pendekatan kualitatif sehingga dapat diketahui secara lebih mendalam mengenai coping stress dan kepribadian Polisi Reserse Kriminal.

7. Penelitian lanjutan seharusnya mencakup penggunaan rapport terhadap polisi Reserse Kriminal yang lebih baik untuk menghindari kesulitan dalam pengumpulan data.

2. Saran Praktis

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi Polisi Reserse Kriminal Poltabes kota Medan, yaitu:

1. Sebaiknya Direktorat Reserse Kriminal lebih memprioritaskan calon anggotanya yang memiliki kepribadian extraversion, agreeableness, dan conscientiousness yang tinggi dalam proses seleksi sehingga diharapkan dapat melakukan coping dengan lebih baik sewaktu bertugas nantinya.

2. Direktorat Reserse Kriminal disarankan untuk memberikan penyuluhan atau pelatihan mengenai coping stress yang tepat pada setiap anggotanya agar setiap polisi Reserse Kriminal mampu melakukan coping dengan baik dan efektif.

3. Direktorat Reserse Kriminal seharusnya lebih sensitif terhadap keluhan dan kebutuhan petugas yang selalu berubah dengan menyediakan fasilitas atau orang yang mungkin dapat memberikan informasi dan hal lain yang dapat


(3)

membantu mengurangi stres pada polisi Reserse Kriminal yang saat ini tergolong tinggi..

4. Masyarakat seharusnya memiliki kesadaran yang lebih besar terhadap tugas dan tanggung jawab polisi Reserse Kriminal dengan turut berpartisipasi dalam menjaga keamanan di daerahnya masing-masing. Sebab dengan bantuan masyarakat jugalah tingkat kriminalitas akan dapat ditekan yang dengan sendirinya akan mengurangi beban kerja dan tekanan pada polisi Reserse Kriminal khususnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Amaranto, dkk. (2003). Police Stress Intervensions. (On-line). http:brief-treatment.oxfordjournals.org/cgi/reprint/3/1/47. (diakses bulan Januari 2008).

Azwar, S. (2004). Reliabilitas dan Validitas. Ed 3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2005). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Ed.2. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Badan Informasi dan Komunikasi Propinsi Sumatera Utara. (2005). Tingkat Kriminal Semakin Meningkat di Medan. (On-line). http: www.bainfokomsumut.go.id/tourism16.php. (diakses bulan Maret 2008). Bell, P.A. et al. (1996). Environmental Psychology. 4th Ed. USA: Harcourt.

DIY, Polda. (2008). Website Resmi POLDA DIY. (On-line). http://www.POLDADIY.com. (diakses bulan Februari 2008).

Gosling, Rentfrow, Swann Jr. (2003). A Very Brief Measure of the Big-Five Personality Domains. (On-line).

http://homepage.psy.utexas.edu/homepage/faculty/gosling/tipi%20site/JRP %2003%20tipi.pdf. (diakses bulan Maret 2008).

Haines. (2003). Police Stress and The Effects on the Family. (On-line). http://www.emich.edu/PoliceStressandtheEffectontheFamily. (diakses bulan Januari 2008).

Hogg, M. A., Vaughan, G. M., (2002). Social Psychology. 3rd Ed. London: Person Education.

Karimun. (2008). PT. Medan Mas Karimun: Company Profile. (On-line) http://www.gudang-mmk.com/?task=comprof. (diakses bulan April 2008). Kleden, K. (2001). Potret Citra Polisi Indonesia. (On-line).

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/02/jatim/potr38.htm. (diakses bulan Februari 2008).

Kunarto. (1997). Perilaku Organisasi POLRI. Jakarta: Cipta Manunggal.

Lazarus, Folkman, et al. (1986). Dynamics of a Stressfull Encounter: Cognitive Appraisal, Coping, and Encounter Outcomes. Journal of Personality and Social Psychology. USA: American Psychological Assosiation Inc.


(5)

McShane., Steven L., Glinow., Mary Ann Von. (2003). Organizational Behavior: Emerging Realities For The Workplace Revolution. 7nd Ed. New York: McGraw-Hill.

Meliala, A. (2001). Mengkritisi Polisi. Jakarta: Kanisius.

Nuzulia, S. (2005). Peran Self-Efficacy dan Strategi Coping Terhadap Hubungan Antara Stressor Kerja dan Stress Kerja. Jurnal Psikologika.

Pervin, Cervone, John. (2005). Personality Theoriy and Research. 9nd Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Powers, et al. (2002). Coping and Depression in Alzheimer’s Caregivers: Longitudinal Evidence of Stability. http://proquest.umi.com/pqdweb?did=120633865&sid=1&Fmt=4&clientI d=11929&RQT=309&VName=PQD. (diakses bulan Februari 2008).

Pribadi, dkk. (2007). Perilaku Agresif pada Polisi Lalu Lintas di Terminal Blok

M-Jakarta. (On-line).

http://ejournal.gunadarma.ac.id/files/Satria%20Desi%20Anita%20-%20pl%20agresif%20polisiEdited.pdf. (diakses bulan Februari 2008). Rice, P.L. (1992). Stress and Health. Ed.2. California: Brooks / Cole Publishing

Company.

Santoso, Singgih. (2006). Menggunakan SPSS untuk Statistik Parametrik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Sarafino, E.P. (2006).Health Psychology: Biopsychosocial Interventions. 5th Ed. USA: John Wiley & Sons, INC.

Sarwono, S. W. (2008). Stres Pada Polisi. (On-line). www.wirapratama1997.com. (diakses bulan Mei 2008).

Schmalleger, F. (1997). Criminal Justice: A Brief Introduction. 2nd Ed. New Jersey: Prentice Hall.

Schultz, D., Schultz, S. E. (1994). Theories of Personality. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Subagja. (2007). Lolos Tes Psikologi Tak Jamin Dapat Polisi Yang Baik.(On-line).

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/12/tgl/1 9/time/140646/idnews/869376/idkanal/10. (diakses bulan Juni 2008).


(6)

Sudjana. (2001). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sullivan, John L. (1977). Introduction to Police Science. 3rd Ed. New York: McGraw Hill.

Suryabrata. (2002). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. The ’Lectric LawLibrary’s Legal Lexicon On. (2008). Crime. (On-line).