D. Wewenang Pemerintah Daerah dalam Penetapan Sanksi
Prinsip yang berlaku di negara hukum, apabila pemerintah daerah akan menetapkan sanksi pidana harus didasarkan pada kewenangan yang dimiliki.
Sedemikian pentingnya kewenangan ini, dari perspektif disiplin ilmu hukum memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kajian hukum administrasi
negara maupun hukum tata negara, sehingga F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum
administrasi
163
. Menurut P. Nicolai
164
dalam kewenangan terkandung hak dan kewajiban. Kewenangan merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan
hukum tertentu berupa tindakan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak berisi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban
memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan, in
casu menegakkan peraturan daerah Bambang Poernomo
165
membagi hukum pidana dalam beberapa pengertian sebagai berikut:
A. Hukum pidana dilihat dari artinya:
1. Hukum pidana obyektif dinamakan ius poenale meliputi:
163
F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, inleiding in het Staas-en Administratief Recht, Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, hlm. 26 sebagaimana dikutip oleh HM. Ridwan.
164
P. Nicolai, et al, Bestuurrecht, 1985, hlm. 4.
165
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
a. Perintah dan larangan yang pelanggaran diancam dengan sanksi
pidana oleh badan yang berhak; b.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat dipergunakan, apabila norma itu dilanggar yang dinamakan hukum penitentiaire;
c. Aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma-
norma tersebut di atas. 2.
Hukum Pidana Subyektif dinamakan ius puniendi yaitu hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan
serta melaksanakan pidana. B.
Hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu sebagai berikut: 1.
Hukum pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana Strafbare
feiten itu mempunyai dua bagian yaitu: a.
bagian obyektif merupakan suat perbuatan atau sikap nalaten yang bertentangan dengan hukum positif, sehingga bersifat melawan hukum
yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggarannya;
b. bagian subyektif merupakan suatu kesalahan yang menunjuk kepada
sipembuat dader untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum. 2.
Hukum pidana formil yang mengatur cara hukum pidana materiil dapat dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara
C. Hukum pidana menurut cara bekerjanya sebagai:
1. Peraturan hukum obyektif ius poenale yang dibagi menjadi:
a. hukum pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat-syarat
bilamanakah, siapakah dan bagaimanakah sesuatu itu dapat dipidana; b.
hukum pidana formil yaitu hukum acara pidananya. 2.
Hukum subyektif ius puniendi yaitu hukum yang memberikan kekuasaan untuk
menetapkan ancaman
pidana, menetapkan
putusan dan
melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu dapat dibedakan menjadi:
a. hukum pidana umum algemene strafrecht yaitu hukum pidana yang
berlaku bagi semua orang; b.
hukum pidana khusus bijzondere strafrecht yaitu dalam bentuknya sebagai ius speciale seperti hukum pidana militer dan sebagai ius
singulare seperti hukum pidana fiscale. Sedemikian luasnya pengertian hukum pidana tersebut, maka
penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan kaedah hukum di daerah tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Hukum pidana dan pidana
mempunyai pengertian dan implikasi yang spesifik terhadap tata sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Kesalahan dalam penerapan hukum pidana akan
berdampak sosial yang cukup luas, karena hukum pidana berkaitan erat dengan kebebasan dan hak asasi manusia. Pembentuk peraturan daerah harus memahami
benar substansi yang akan diatur, beserta dengan kewenangan yang dimilikinya.
Universitas Sumatera Utara
Kewenangan menetapkan sanksi pidana di dalam peraturan daerah oleh pemerintah daerah tidak dapat mengabaikan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukumnya. Secara teoretik, wewenang yang berasal dari peraturan perundang-undangan itu dapat diperoleh
melalui 3 tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat
166
, namun kewenangan untuk membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi
167
. Wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi mempunyai pengertian
bahwa terjadi suatu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini legislator yang
berkompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan dapat dibedakan antara:
a. yang berkedudukan sebagai original legislator, dinegara kita badan
yang membuat peraturan perundang-undangan paling atas adalah MPR sebagai pembentuk Konstitusi, DPR bersama Presiden sebagai
yang melahirkan Undang-Undang, dan DPRD bersama dengan Kepala Daerah yang melahirkan peraturan daerah.
b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang
berdasarkan ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dimana diciptakan wewenang
pemerintahan pada Presiden atau pejabat-pejabat lainnya terhadap institusi di bawahnya untuk melakukan perbuatan pemerintahan
168
. Pada delegasi terjadi pelimpahan wewenang yang telah dimiliki oleh
Badan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada
166
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pers, 2002, hlm. 73.
167
Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hlm. 130.
168
Indroharto, Usaha Memahami UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm. 91.
Universitas Sumatera Utara
Badan lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya organ pemerintahan. Sedangkan mandat,
menurut H.D van Wijk Willem Konijnenbelt terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya. Penetapan pidana pada peraturan daerah yang mengandung sanksi pidana
merupakan wewenang atribusi, karena Undang-undang menetapkan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan sanksi pidana pada peraturan daerah yang
bersangkutan. Sesuai dengan asas legalitas Het beginsel van wetmatigheid van bestuur,
wewenang Pemda dalam menentukan peraturan daerah didasarkan pada peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang pemerintah daerah adalah
peraturan perundang-undangan. Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan macht. Ada pendapat yang mengatakan
wewenang bevoegdheid mengandung pengertian tugas plichten, dan hak rechten
169
. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak
berbuat. Dalam hukum wewenang, sekaligus berarti hak dan kewajiban rechten plichten.
Dikaitkan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri zelfregelen dan
mengelola sendiri zelfbesturen, sedangkan kewajiban meliputi kewajiban horizontal dan vertikal.
169
Bagir Manan, Menyongsong Fajar otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm. 69.
Universitas Sumatera Utara
Kekuasaan horizontal berarti kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya, sedangkan vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan dalam suasana tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.
Kewenangan pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah yang memuat sanksi pidana juga tidak dapat dilepaskan dari struktur hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Secara teoritik penyelenggaraan pemerintahan senantiasa akan berhadap-hadapan antara dua pilihan sistem, yaitu
kekuasaan yang terpusat concentrated dan kekuasaan yang terpencar dispersed sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai negara yang sangat
luas dengan keanekaragaman budaya, para pendiri negara telah menyadari bahwa pemerintah daerah perlu diberi kewenangan untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Tidak diterapkannya kekuasaan yang terpusat concentrated dapat
dipahami melalui Pasal 18 UUD 1945 baik sesudah di amandemen maupun sebelum amandemen berserta dengan penjelasannya. Bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka, pemikiran otonomi pernah muncul pada tahun 1926. Samaun pernah menulis bahwa pemerintahan negara modern akan tersusun dari:
a. pemerintahan dan parlemen;
b. pemerintahan provinsi dan dewan provinsi;
c. pemerintahan kota dan dewan kota.
170
170
John Ingleson, Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan, terjemahan Nin Bakdi Soemarto, Grafiti, Jakarta, 1993, hlm. 116.
Universitas Sumatera Utara
Mohammad Hatta dalam tulisan brosur berjudul ke arah Indonesia merdeka
pada tahun 1932 telah menyebutkan bahwa “Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap golongan,
kecil atau besar, mendapat otonomi, mendapat hak menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan
umum
171
. Landasan konstitusional untuk menyelenggarakan otonomi ditetapkan
oleh Pasal 18 UUD 1945. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan
pemerintah ditetapkan dengan undang-undang. Dalam penjelasan Pasal tersebut dinyatakan oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat maka Indonesia
tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen dikatakan bahwa
“Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil, di daerah yang bersifat otonom steek dan
locale rechtgemeenschappen, atau bersifat daerah administrasi belaka semuanya
menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang ”. Konsekuensi
daerah yang bersifat otonom akan diadakan Dewan Perwakilan Daerah yang berarti pelaksanaan pemerintahan di daerah akan bersendikan atas dasar
permusyawaratan.
171
Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan I , Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 103.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi ternyata semakin diakui oleh para ahli sebagai prasyarat agar pemerintahan suatu negara dapat survive,
bahkan telah menjadi wacana publik yang mengglobal. Toffler mensinyalir bahwa dalam peradaban gelombang ketiga gelombang pasca industri akan terjadi
kecenderungan pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi. Naisbitt dan Aburdene menunjukkan pergeseran tersebut dari sentralisasi ke desentralisasi
sebagai salah satu dari sepuluh pergeseran yang terjadi di dunia
172
. Dalam konteks
ini Osborne dan Gaebler menempatkan desentralisasi sebagai salah satu diantara 10 sepuluh prinsip yang merupakan cara baru dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan
173
. Pernyataan ini memberikan gambaran perubahan orientasi
pemerintahan yang terpusat concentrated atau sentralistis ke pemerintahan yang terpencar dispersed atau desentralistis.
Akibat logis dari asas desentralisasi akan semakin banyak pula ketentuan pidana yang di tetapkan di daerah, karena kekuasaan mengatur yang dimiliki oleh
pemerintah daerah juga semakin besar. Hal ini akan membawa konsekuensi perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana di daerah juga akan menjadi
semakin banyak. Terlebih-lebih dengan kecenderungan sanksi pidana dimuat di dalam peraturan daerah sebagai sarana agar warga masyarakat lebih menaati
kaidah administrasi yang ditetapkan.
172
John Naisbitt dan Aburdene, Megatrend 2000, Binarupa Aksara, Jakarta, 1990, hlm. 2.
173
David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1996, hlm. 281.
Universitas Sumatera Utara
E. Sejarah Pengaturan Sanksi Pidana pada Peraturan Daerah