Pengaturan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah ditinjau dari Penegakan Hukum.

72 pembinaannya harus konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka open institution. 55

C. Pengaturan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah ditinjau dari Penegakan Hukum.

Kebijakan kriminalisasi adalah kebijakan untuk menentukan perbuatan- perbuatan mana yang perlu diancam dengan sanksi pidana. Kriminalisasi ini berarti ada perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukum yang harus di tanggulangi dengan sanksi pidana. Perbuatan-perbuatan yang melawan hukum itulah yang menurut Soedarto disebut sebagai penegakan hukum. Perbuatan melawan hukum ini baik perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi onrecht in actu maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi onrecht in potentie. 56 Sedangkan kalau menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan… 57 Perbuatan-perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi pidana ini terdapat pengaturannya juga di dalam Peraturan Daerah. Perbuatan- perbuatan melawan hukum yang diatur dalam peraturan daerah ini adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan daerah. Perbuatan- 55 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.Cit,. hlm. 34-35. 56 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 111. 57 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 26. Universitas Sumatera Utara 73 perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan daerah ini diperlukan juga penegakan hukum. Penegakan hukum peraturan daerah adalah ketentuan yang bersifat administratif yang berfungsi untuk mengatur perekonomian dan kebijakan pemerintah. Formulasinya terhadap pelanggaran-pelanggaran Peraturan Daerah ini diancamkan dua macam sanksi, yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana. Pembahasan penegakan hukum Peraturan Daerah ini, perlu diperhatikan adanya sistem penegakan hukum yang ada dalam tata hukum. Dikemukakan oleh Soedarto, dalam tata hukum dikenal ada 3 sistem, yakni sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum administrasi dan sistem penegakan hukum pidana. Terdapat berturut-turut sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum administrasi dan sistem sanksi hukum pidana. Ketiga sistem penegakan hukum tersebut, masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum yang mempunyai aturannya sendiri-sendiri. 58 Penegakan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah ini dikenal adanya lembaga Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS. Lembaga inilah yang menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diserahi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran peraturan daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 74 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menegaskan bahwa “Dengan Peraturan Daerah dapat ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran 58 Ibid. Universitas Sumatera Utara 74 atas ketentuan peraturan daerah”. Diserahkannya penyidikan pelanggaran peraturan daerah kepada lembaga selain kepolisisan dimungkinkan didasarkan Pasal 6 Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP dan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Diserahkannya penyidikan pelanggaran peraturan daerah ke PPNS ini, maka kewenangan penyidikan pelanggaran Peraturan Daerah yang dahulu diserahkan kepada “Hulp Magistrat” yang kebanyakan terdiri dari Polisi Pamong Praja yang telah mendapatkan brevet dari Kejaksaan Agung berdasarkan HIR dan RIB telah berakhir kewenangannya pada tanggal 1 Agustus 1985. Keberadaan PPNS dalam rangka penegakan hukum Peraturan Daerah menjadi penting selain dimaksudkan untuk mengatasi jumlah personil penyidik Polri yang jumlahnya terbatas juga dimaksudkan agar penyidik ini lebih profesional mengingat sebagian besar substansi yang diatur dalam Peraturan Daerah menyangkut bidang pemahaman, kesadaran hukum masyarakat, ketertiban masyarakat dan pungutan daerah. Keberadaan PPNS ini secara personal maupun kelembagaan belum siap, penegakan hukum Peraturan Daerah selama ini masih dilakukan oleh kepolisian dibantu oleh aparat ketertiban umum dari pemerintahan daerah. Konsekuensi dari hal ini Penegakan Hukum peraturan daerah menjadi terhambat. Banyak Universitas Sumatera Utara 75 pelanggaran Peraturan Daerah yang kemudian tidak tersentuh oleh penegakan hukum. Selama ini jumlah aparat penyidik Polri yang terbatas menjadi alasan utama terhambatnya penegakan hukum. Jumlah aparat penyidik Polri yang terbatas tersebut, secara kelembagaan lebih diprioritaskan untuk menangani masalah tindak pidana yang menurut bobotkualitasnya lebih berat mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat. Sementara itu, mengingat bobot pelanggaran Peraturan Daerah dianggap hanya merupakan tindak pidana “ringan”, maka aktivitas penegakan hukumnya pun kurang di prioritaskan. Kenyataan selama ini banyak pelanggaran peraturan daerah yang jarang dilakukan penegakan hukum, apalagi sampai diajukan ke sidang pengadilan. Sebenarnya masalah keterbatasan aparat penegak hukum dan adanya skala prioritas itu adalah masalah klasik yang ada dalam suatu penegakan hukum. Masalah utama lain yang sebenarnya menghambat penegakan hukum pelanggaran peraturan daerah ini, terletak pada masalah culture hukum yang ada pada aparat penegak hukum itu sendiri. Berkaitan dengan masalah budaya hukum ini, oleh Lawrence M. Friedman dikemukakan, bahwa budaya hukum adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum, bersama- sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang berkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya baik secara positif maupun Universitas Sumatera Utara 76 negatif…. 59 Atas dasar pengertian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran Peraturan Daerah aparat penegak hukum sebenarnya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepribadian, sikap dan moral penegak hukum tersebut. Dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa para penegak hukum tersebut sebagai manusia selalu cenderung keluar dari konstruksi organisasinya atau terjatuh diluar organisasi disebabkan oleh karena ia cenderung memberikan tafsirannya sendiri mengenai fungsinya dalam organisasi, berdasarkan kepribadiannya, asal usul sosialnya, tingkat pendidikannya, kepentingan ekonominya, keyakinan politik dan pandangan hidupnya sendiri... 60 Adanya persepsi terhadap sanksi pidana yang demikian ini tidak dapat dilepaskan dari anggapan penegak hukum bahwa pelanggaran Peraturan Daerah hanya dianggap sebagai pelanggaran ringan. Perbuatan yang dilakukan oleh para pelanggar itu pun menurut aparat hakim lebih diorong oleh karena adanya kebutuhan ekonmi bukan didasarkan atas adanya motif jahat yang ada pada pelaku. 61 Bertolak dari adanya persepsi yang demikian tersebut, kebijakan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah yang lebih mengedapkan pidana kurungan dan pidana denda maksimum dipandang oleh aparat penegak hukum terlalu berat diterapkan terhadap pelaku pelanggaran Peraturan Daerah. Akibatnya pidana 59 Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 82. 60 Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hlm. 26. 61 Dalam penelitian yang dilakukan oleh Budi Gutami diambil contoh penanganan pelanggaran Perda No.U.16315 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Pelacuran di jalan Kota Semarang, Op.Cit. Universitas Sumatera Utara 77 kurungan dan pidana denda selama ini hanya menjadi pajangan dan hanya untuk menakut-nakuti saja. Penyusunan Peraturan Daerah yang akan datang hendaknya dapat dirumuskan sanksi pidana yang lebih fleksibel diterapkan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah dengan melihat bobot pelanggaran, motif pelanggar, maupun keadaanlatar belakang pelanggar dan sebagainya. KUHP harus berpandangan “fleksibilitas atau elastisitas pemidanaan”, walaupun tetap dalam batas-batas kebebasan menurut undang-undang 62 . Sanksi pidana yang lebih fleksibel tersebut para penegak hukum tidak perlu merasa kasihan menerapkan prosedur penegakan hukum kepada pelanggar Peraturan Daerah. Sanksi pidana yang lebih fleksibel tersebut aparat penyidik dapat berharap hakim sebagai pintu terakhir penjatuhan sanksi dapat lebih memperhatikan keadaan individu pelanggar peraturan daerah. Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelanggar peraturan daerah lebih memperhatikan individu pelaku, maka dalam Konsep KUHP juga telah dirumuskan adanya pedoman pemidanaan. Mengenai pedoman pemidanaan ini telah diatur dalam Pasal 51 ayat 1 konsep rancangan KUHP tahun 20022003 yang meliputi: a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. cara melakukan tindak pidana; d. sikap batin pembuat tindak pidana; 62 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit., hlm.102. Universitas Sumatera Utara 78 e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana; f. sikap dan tindak pembuat setelah melakukan tindak pidana; g. pengaruh tindak pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban dan atau; j. apakah tindak pidana dilakukan berencana. Konsep pemidanaan ini sangat membantu Hakim dalam menjatuhkan pidana lebih proporsional dan lebih dapat dipahami baik secara subyektif yaitu menyangkut orangnyapembuat dan secara obyektif yang menyangkut hal-hal diluar pembuat.

D. Pengaturan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah ditinjau dari Hukum Acara Pidana