65
menimbulkan  inefisiensi.
44
Sanksi  administrasi  yang  dirumuskan  berdiri sendiri  tersebut  menyebabkan  penjatuhannya  hanya  dapat  dilakukan  oleh
lembaga yang ditunjuk diluar hakimpengadilan. Barda  Nawawi  Arief  sependapat  seyogyanya  jenis  administratif
diintegrasikan  dalam  sistem  sanksi  pidana  atau  sistem  pertanggungjawaban pidana,
45
maka dalam perumusan sanksi administrasi dalam Peraturan Daerah yang  akan  datang,  penulis  beranggapan  perlunya  perumusan  sanksi
administrasi  diintegrasikan  dalam  ketentuan  pidana,  baik  sebagai  pidana tambahan  maupun  sanksi  tindak  administrasi.  Perumusan  demikian,  hakim
dapat sekaligus mempertimbangkan kedua macam sanksi tersebut, baik sanksi pidana  maupun  sanksi  administrasi  dalam  menjatuhkan  putusan.  Jika  sanksi
administrasi  saja  dipandang  cukup,  hakim  tentunya  tidak  perlu  menjatuhkan sanksi  pidana.  Namun  apabila  hakim  berpendapat  bahwa  pelanggaran  cukup
serius  misalnya  pelanggaran  Peraturan  Daerah  oleh  korporasi,  maka  hakim dapat menjatuhkan sanksi administrasi bersama-sama sanksi pidana.
B.  Pengaturan Sanksi Pidana Ditinjau dari Tujuan Pemidanaan
Penerapan  pidana  dalam  perampasan  kemerdekaan  menurut  perundang-
undangan  di  Indonesia,  menyebutkan  bahwa  pidana  penjara  diancamkan terhadap  tindak  pidana  kejahatan.  Sedangkan  terhadap  tindak  pidana
44
Barda  Nawawi  Arief,  Masalah  Penegakan  Hukum  dan  Kebijakan  Penanggulangan Kejahatan, Op. Cit., hlm.182.
45
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
66
pelanggaran  pada  umumnya  hanya  di  ancam  dengan  pidana  perampasan kemerdekaan yang lebih ringan berupa pidana kurungan. Garis kebijakan seperti
itu diikuti oleh pembentuk undang-undang pemerintahan daerah dalam membuat ketentuan umum yang kemudian dijadikan pedoman oleh legislatif daerah dalam
membuat  aturan  pemidanaan  Peraturan  Daerah.  Ketentuan  umum  demikian  ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 143 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
yang selanjutnya telah dilakukan perubahan ke dua dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa:
“Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 enam bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 lima puluh juta
rupiah”. Garis kebijakan legislatif yang demikian tersebut mengikuti dan bersumber dari
sistem KUHP yang membagi tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran. Menurut  Memorie  van  Toelichting  dimasukkannya  pidana  kurungan  ke  dalam
KUHP itu terdorong oleh dua macam kebutuhan, yaitu: a.
Kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangat sederhana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak atau suatu vrijheidsstraaf yang sangat
sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan; dan b.
Kebutuhan  akan  perlunya  suatu  bentuk  pidana  berupa  suatu  pembatasan kebebasan  bergerak  yang  sifatnya  tidak  begitu  mengekang  bagi  delik-delik
yang menurut sifatnya “tidak menujukkan adanya suatu kebobrokan mental
Universitas Sumatera Utara
67
atau  ad anya  suatu  maksud  yang  sifatnya  jahat  pada  pelakunya”,  ataupun
yang sering disebut sebagai suatu custodial honesta belaka.
46
Berdasarkan  kedua  pertimbangan  di  atas,  maka  dapat  di  asumsikan bahwa  pembentuk  undang-undang  pemerintahan  daerah  juga  beranggapan
bahwa delik-delik yang diatur dalam peraturan daerah adalah delik yang menurut sifatnya ringan, tidak menunjukkan adanya suatu kebobrokan mental serta tidak
menunjukkan  adanya  sifat  jahat  pada  pelakunya,  sehingga  hanya  diancam dengan pidana kurungan.
Pasal  18  ayat  1  KUHP  dinyatakan  bahwa  pidana  kurungan  paling sedikit  1  hari  dan  paling  lama  1  tahun,  selanjutnya  ayat  2  dinyatakan  bahwa
dalam  hal  ada  pemberatan  kurungan  dapat  ditambah  menjadi  1  tahun  4  bulan. Berdasarkan  waktu  menjalani  pidana  tersebut,  maka  pidana  kurungan
sebenarnya  termasuk  dalam  kategori  pidana  perampasan  kemerdekaan  jangka pendek.
Pidana  perampasan  kemerdekaan  jangka  waktu  pendek  ini  menurut beberapa  kalangan  memiliki  kelemahan-kelemahan.  Salah  satu  kritik-kritik
berkenaan dengan pidana penjara jangka pendek ini dikemukakan oleh Johannes Andenaes  dalam  bukunya  berjudul
“Punishment and Deterrence” seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa:
…Pidana  pendek  seperti  itu  tidak  memberikan  kemungkinan  untuk merehabilitasi  si  pelanggar,  tetapi  cukup  mencap  dia  dengan  stigma
46
Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
68
penjara dan membuat kontak-kontak yang tidak menyena ngkan… Ada 2
keterbatasan dari pidana pejara pendek, yaitu: a.
Tidak  membantumenunjang  secara  efektif  fungsi  membuat  tidak mampu
“it  does  not  effectively  serve  an  incapacitative  function” dan
b. Sebagai suatu pencegahan umum, ia lebih rendah mutunya daripada
pidana  lama “as  a  general  deterrent  it  is  inferior  to  longer
sentences”.
47
Kelemahan-kelemahan  tersebut  tentunya  secara  tidak  langsung  akan menghambat  maksud  dijatuhkannya  pidana  itu  sendiri.  Menurut  Soedarto
maksud  dijatuhkannya  pidana  perampasan  kemerdekaan  adalah  dengan  pidana agar  dapat  dilakukan  pembinaan  sedemikian  rupa  sehingga  setelah  selesai
menjalani  pidana,  terpidana  menjadi  orang  yang  lebih  baik  dari  sebelumnya.
48
Sedangkan  menurut  Soemadi  Pradja  tujuan  dan  alasan  pembenar  dari  pidana perampasan  kemerdekaan  adalah  untuk  melindungi  masyarakat.  Tujuan  ini
hanya  bisa  dicapai  bila  masa  hilangnya  kemerdekaan  itu  diarahkan  secara maksimal agar terpidana dapat kembali ke masyarakat atau resosialisasi.
49
Penerapan  ancaman  pidana  kurungan  terhadap  delik-delik  yang  menurut sifatnya  ringan  dan  tidak  menunjukkan  adanya  suatu  kebobrokan  mental  atau
adanya  suatu  maksud  yang  sifatnya  jahat  pada  pelakunya,  perlu  dibahas efektifitasnya apabila di tinjau dari aspek pokok tujuan pemidanaan yakni untuk
perlindungan  masyarakat  dan  pembinaan  individu  pelaku.  Alasannya  adalah tujuan  pemidanaan  ini  merupakan  pengendalian  atau  kontrol  dan  sekaligus
47
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 36-38.
48
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 81.
49
Soemadi Praja, S. Achmad dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Badung, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
69
memberian  dasar  filosofis,  dasar  moralitas  dan  motivasi  yang  terarah  dan  jelas berkenaan dengan pidana kurungandenda yang bersangutan.
Dilihat  dari  aspek  perlindungan  kepentingan  masyarakat,  maka  suatu pidana  dikatakan  efektif  apabila  pidana  ini  dapat  mencegah  atau  mengurangi
kejahatan.  Efektifitasnya  dilihat  dari  seberapa  jauh  frekuensi  kejahatan  dapat ditekan.  Kriterianya
terletak  pada  seberapa  jauh  efek  “pencegahan  umum” general  prevention  dari  pidana  perampasan  kemerdekaan  dalam  mencegah
warga masyarakat pada umumnya tidak melakukan kejahatan.
50
Berkenaan  dengan  aspek  general  prevention  dari  pidana  kurungan  yang juga  merupakan  bagian  dari  pidana  perampasan  kemerdekaan,  perlu
dikemukakan  kesimpulan  dari  Barda  Nawawi  Arief  yang  didasarkan  pada pendapat  dari  Schultz,  Roger  Hood,  dan  Richard  Sparks  maupun  Karl  O.
Christiansen, pada saat membahas aspek general prevention dari pidana penjara, sebagai berikut:
51
“bahwa  indikator  naik  turunnya  frekuensi  kejahatan  tidak  dapat  begitu saja digunakan sebagai ukuran untuk menentukan efektif tidaknya pidana
penjara  pidana  kurungan-pen.  Terlebih  lagi  ada  sisi  lain  dari  aspek perlindungan  masyarakat,  yaitu  pemidanaan  bertujuan  juga  untuk
“memulihkan  keseimbangan  masyarakat”.  Seberapa  jauh  efektifitas pidana  penjarakurungan  untuk  mencapai  tujuan  ini  jelas  tidak  dapat
diukur  dengan  indikator  naik  turunnya  kejahatan  yang  lebih  bersifat kuantitatif. Indikator telah pulihnya keseimbangan masyarakat antara lain:
telah  ada  penyelesaian  konfik,  telah  ada  kedamaia  dan  rasa  aman  dalam masyarakat, telah hilangnya noda-noda di masyarakat atau telah pulihnya
kembali  nilai-nilai  yang  hidup  dalam  masyarakat.  Indikator-indikator  ini
50
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 247.
51
Barda  Nawawi  Arief,  Kebijakan  Legislatif  dalam  Penanggulangan  Kejahatan  dengan Pidana Penjara, Op. Cit., hlm. 100.
Universitas Sumatera Utara
70
lebih bersifat kualitatif dan hal ini pula lah yang menurut Roger Hood dan Richard  Sparks  merupakan  aspek  lain  dari  general  prevention  yang  sulit
diteliti”. Berkenaan  dengan  aspek  perbaikan  si  pelaku,  maka  ukuran  efektifitas
terletak  pada  aspek  pencegahan  khusus  special  prevention  suatu  pidana. Ukurannya  terletak  seberapa  jauh  pidana  itu  pidana  kurungan  mempunyai
pengaruh  terhadap  si  pelaku.  Ada  2  aspek  pengaruh  pidana  terhadap  terpidana, yaitu  aspek  pencegahan  awal  deterrent  aspect  dan  aspek  perbaikan
reformative aspect
52
Aspek  pertama  pencegahan  awal  biasanya  diukur  dengan  menggunakan indikator  residivis.  Berdasarkan  indikator  inilah  R.M.  Jackson  sebagaimana
dikutip  Barda  Nawawi  Arief  menyatakan  bahwa  suatu  pidana  adalah  efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Penelitian
dengan indikator residivis ini sulit dilakukan di Indonesia, karena data yang ada bisanya  sangat  summir,  yaitu  hanya  mengemukakan  jumlah  residivis  pada  tiap
akhir  bulan  atau  akhir  tahun.
53
Aspek  kedua,  yaitu  aspek  perbaikan  reformatif aspect yang berhubungan dengan perubahan sikap dari terpidana. Dalam aspek
yang  kedua  inipun  sangat  sulit  diteliti  mengingat  adaya  problem  metodologis dalam  menetapkan  ukuran  untuk  menentukan  adanya  perubahan  sikap  maupun
lamanya  periode  tertentu.  Berdasarkan  masalah-masalah  metodologis  yang dikemukakan di atas, dapatlah dinyatakan bahwa penelitian-penelitian selama ini
52
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 251-252.
53
Ibid. 252.
Universitas Sumatera Utara
71
belum  dapat  membuktikan  secara  pasti  apakah  pidana  penjarakurunganitu efektif atau tidak.
54
Sehubungan dengan  hal  tesebut  diatas,  perlu  diperhatikan  rekomendasi
Kongres  ke- 2  PBB  mengenai  “The  Prevention  of  Crime  and  Treatment  of
Offenders ” tahun 1960 di London menyatakan antara lain:
1.
Kongres  mengakui  bahwa  dalam  banyak  hal,  pidana  penjara  pendek
dapat berbahaya, yaitu si pelanggar dapat terkontaminasi danatau tidak memberi  kesempatan  untuk  menjalani  pelatihan  yang  konstruktif,  oleh
karena  itu  penggunaannya  secara  luas  tidak  dikehendaki.  Namun demikian  Kongres  mengakui  bahwa  dalam  hal-hal  tertentu  penjatuhan
pidana penjara pendek diperlukan dilihat dari tujuan keadilan. 2.
Kongres  menyadari bahwa dalam praktiknya penghapusan menyeluruh pidana  penjara  pendek  tidak  dapat  dilakukan,  pemecahannya  yang
realistis hanya dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya. 3.
Pengurangan berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk pengganti  pidana  bersyarat,  pengawasanprobation,  denda,  pekerjaan
diluar  lembaga  dan  tindakan-tindakan  lain  yang  tidak  mengandung perampasan kemerdekaan.
4. Dalam hal pidana penjara pendek tidak dapat dihindari pelaksanaannya
harus  terpisah  dari  yang  dijatuhi  pidana  penjara  untuk  waktu  lama  dan
54
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 103-105.
Universitas Sumatera Utara
72
pembinaannya  harus  konstruktif,  pribadi  dan  dalam  lembaga  terbuka open institution.
55
C.  Pengaturan  Sanksi  Pidana  dalam  Peraturan  Daerah  ditinjau  dari Penegakan Hukum.