bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dari masyarakat kota yang maju dan kompleks.
a. Konsep Suku Bangsa
18
1 Suku Bangsa
19
Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat baik berwujud sebagai komunitas desa, kota, sebagai kelompok kekerabatan,
atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang di luar warga masyarakat bersangkutan.
Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari ke hari di dalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak
khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnyaterutama mengenai unsur-unsur yang berbeda dengan
kebudayaannya sendiri. Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan
itu menghasilkan suatu unsur kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk khusus, atau karena di antara pranata-pranatanya ada
suatu pola sosial khusus, atau dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya khusus. Sebaliknya, corak khas tadi juga dapat
disebabkan karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khusus tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan
dari kebudayaan lain. Pokok perhatian dari suatu deskripsi etnografi adalah kebudayaan-
kebudayaan dengan corak khas seperti itu. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah ”suku bangsa” dalam bahasa
inggris disebut ethnic group dan bila diterjemahkan secara harfifah “kelompok etnik”. Namun di sini digunakan istilah “suku bangsa” saja
karena sifat kesatuan dari suatu suku bangsa bukan “kelompok”, melainkan “golongan”.
Konsep yang tercakup dalam istilah “suku bangsa” adalah suatu golongan manusia yang terlihat oleh kesadaran dan identitas akan
“kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali tetapi tidak selalu dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Jadi,
“kesatuan kebudayaan” bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar
18 Dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat. Hlm. 214-248. 19 Ibid
10
misalnya oleh seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya, dengan metode-metode analisa ilmiah, melainkan oleh warga
kebudadayaan bersangkutan itu sendiri. Dengan demikian, kebudayaan- kebudayaan Sunda merupakan suatu kesatuan, bukan karena ada peneliti-
peneliti yang secara etnografi telah menentukan bahwa kebudayaan Sunda itu suatu kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan kebudayaan
Jawa, Banten, atau Bali, melainkan karena orang Sunda sendiri sadar bahwa kebudayaan Sunda mempunyai kepribadian dan identitas khusus,
berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan tetangganya itu. Apalagi adanya bahasa Sunda yang berbeda dengan bahasa Jawa atau Bali lebih
mempertinggi kesadaran akan kepribadian khusus tadi. Dalam kenyataan, konsep “suku bangsa” lebih kompleks daripada
yang terurai di atas. Ini disebabkan karena dalam kenyataan, batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh keseragam
kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan. Misalnya, penduduk Pulau Flores di Nusa Tenggara terdiri dari beberapa
suku bangsa yang khusus, dan menurut kesadaran orang Flores itu sendiri, yanitu orang Manggarai, Ngada, Riung, Nage-Keo, Ende, dan
Larantuka. Kepribadian khas dari tiap suku bangsa tersebut dikuatkan pula oleh bahasa-bahasa khusus, yaitu bahasa Manggarai, bahasa Ngada,
bahasa Sikka, bahasa Ende dan sebagainya, yaitu jelas bebeda dan tidak dimengerti yang lain. Walaupun demikian, kalau orang Flores dari
berbagai suku bangsa itu tadi berada di Jakarta misalnya, dimana mereka harus hidup berkonfrontasi dengan golongan atau kelompok lain yang
lebih besar dan kekejaman perjuangan hidup di suatu kota besar, mereka akan merasa bersatu sebagai Putra Flores dan tidak sebagai orang Sikka,
orang Ngada, atau orang Lrantuka. Demikian pula penduduk Irian Jaya yang di Irian Jaya sendiri sebenarnya merasakan orang Sentani, orang
Marindanim, orang Seruni, orang Kapauku, orang Moni dan sebagainya, akan merasa diri mereka sebagai Putra Irian Jawa apabila mereka ke luar
dari Irian Jaya. Dalam penggolongan politik atau administratif di tingkat nasional tentu lebih praktif memakai penggolongan suku bangsa secara
terakhir tadi, yang sifatnya lebih luas dan lebih kasar, dalam analisis
11
ilmiah secara antropologi kita sebaiknya memakai konsep suku bangsa dalam arti sempit.
Mengenai pemakaian suku bangsa sebaiknya selalu memakainya secara lengkap, dan agar tidak hanya mempergunakan istilah singkatan
“suku” saja. Pemakaian yang tepat, misalnya suku bangsa Minangkabau, suku bangsa Sunda, suku bangsa Ngaju, suku bangsa Makassar, suku
bangsa Ambon, dan jangan hanya: suku Minangkabau, suku Sunda, suku Ngaju, suku Makassar, suku Ambon. Hal tersebut di atas sangat penting,
karena istilah suku, baik dalam bahasa Minangkabau maupun dalam sitem mempunyai arti tehnik yang khas.
Deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan isi dari sebuah karangan etnografi. Namun karena ada suku
bangsa yang bsar sekali, terdiri dari berjuta-juta penduduk seperti suku bangsa Sunda, maka ahli antropologi yang membuat sebuah karangan
etnografi sudah tentu tidak dapat mencakup keseluruhan dari suku bangsa besar itu dalam deskripsinya. Umumnya ia hanya melukiskan sebagian
dari suku bangsa besar itu dalam deskripsinya. Umumnya ia hanya melukiskan sebagian dari kebudayaan suku bangsa itu. Etnografi tentang
kebudayaan Sunda misalnya hanya akan terbatas pada kebudayaan Sunda dalam suatu desa atau beberapa desa tertentu, kebudayaan Sunda dalam
suatu logat Sunda yang tertentu, kebudayaan Sunda dalam suatu kabupaten tertentu, kebudayaan Sunda di pegunungan atau kebudayaan
Sunda di pantai, atau kebudayaan Sunda dalam suatu lapisan sosial tertentu dan sebagainya.
12
2 Beragam Kebudayaan Suku Bangsa
20
Selain mengenai besar-kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat susku bangsa, seorang sarjana antropologi tentu juga
menghadapi masalah perbedaan asas dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi
etnografinya. Dalam hal itu para sarjana antropologi sebaiknya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia
berdasarkan atas kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi ke dalam enam macam: a masyarakat perburu dan peramu hunting and
gathering sosial, b masyarakat peternak astoral societise, c masyarakat peladang societies of shifting cultivators, d masyarakat
nelayan fishing communities, e masyarakat petani pedesaan peasanat Communities, dan f masyasarakat perkotaan kompleks complex urban
societies. Kebudayaan suku bangsa yang hidup dari berburu dan meramu
hunting and gatrhering societies pada bagian terakhir abad ke-20 ini sudah hampir tidak ada lagi di muka bumi ini. Mereka kini tinggal di
daerah-daerah terisolasi di daerah-daerah pinggiran atau daerah-daerah terpencil yang karena keadaan alamnya tidak suka didiami oleh bangsa-
bangsa lain. Daerah-daerah seperti itu misalnya daerah Pantai Utara Kanada yang terlampau dingin, atau daerah-daerah yang tidak cocok
untuk bercocok tanam seperti daerah gurun. Oleh karena itu, di daerah Pantai Utara Kanada tingal suku-suku bangsa Eskimo yang memburu
binatang kutub, di pucuk selatan Amerika tinggal susku bangsa Ona dan Yahgan, yang hidup dari berburu dan menangkap ikan, di daerah Gurun
Kalahari di Afrika Selatan tinggal oramg Bushmen, dan Gurun Australia tinggal beberapa suku bangsa asli Australia ras Australoid sebagai
pemburu binatang gurun. Pada masa kini jumpal dari semua suku bangsa yang hidup dan
berburu di seluruh dunia belum ada setengah juta orang. Dibandingkan dengan seluruh pendududk dunia yang kini berjumlah lebih dari 3.000
juta, maka hanya tinggal kira-kira 0,01 dari seluruh penduduk dunia
20 Ibid
13
yang masih hidup dari berburu, dan jumah itu sekarang makin berkurang juga karena suku bangsa berburu itu akhir-akhir ini sudah banyak yang
pindah ke kota-kota untuk menjadi buruh. Walaupun demikian masih cukup banyak juga ahli antropologi yang menaruh perhatian terhadap
kebudayaan suku bangsa berburu dan meramu, sebagai suatu bentuk mata pencarian hidup manusia yang tertua, guna mendapat pengertian
yang lebih mendalam tentang asas-asas kehidupan masyarakat manusia. Di negara kita suku-suku bangsa yang hidup dari meramu, yaitu meramu
sagu, masih ada di daerah-daerah rawa-rawa di pantai-pantai Irian Jaya. Kebudayaan peternak yang hidup dalam pastoral societies hingga
kini masih ada di daerah-daerah padang rumput stepa atau sabana di Asia Barat Daya, Asia Tengah, Siberia, Asia Timur Laut, Afrika Timur, atau
Afrika Selatan. Binatang yang dipelihara berbeda-beda menurut daerah geografisnya. Misalnya, di daerah-daerah oase di Gurun Semenanjung
Arab hidup suku-suku bangsa Arab Badui yang memelihara unta, kambing, dan kuda. Di daerah-daerah gurun, stepa dan sabana, di Asia
Barat Daya hidup suku-suku bangsa seperti Khanzah dan di Iran dan Pshrun di Afghanistan yang memelihara domba, sapi dan kuda. Di
daerah-daerah stepa di Asia Tengah hidup suku-suku bangsa Mongolia dan Turki, seperti buryat, kazakh, kirghiz, Uzbek yang memelihara
domba, kambing, unta, dan kuda. Di daerah-daerah stepa di Siberia hidup suku-suku bangsa Mongolia dan Turki seperti Kalmauk, Goldi, dan Yakut
yang memelihara domba dan kuda. Di daerah-daerah tundra di Asia Timur Laut hidup suku-suku bangsa seperti Lemut dan Gilyak yang
memelihara rusa reinder. Di daerah-daerah stepa dan sabana Afrika Timur dan Selatan hidup susku-suksu bangsa Bantoid yang memelihara
sapi. Kehidupan suku-suku bangsa peternak berpindah pindah dari suatu
perkemahan ke perkemahan lain dengan menggembalakan ternak mereka sesuai musim-musim tertentu. Mereka memerah susu ternak lalu
membuat menjadi mentega, keju, dan hasil olahan lain dari susu yang dapat disimpan lama. Selama berpindah-pindah mereka harus menjaga
ternaknya dengan baik agar tidak dicuri oleh kelompok-kelompok
14
peternak lainnya. Jumlah ternak yang mereka miliki sering kali mencapai beratus-ratus ekor sapi atau domba. Kehidupan seperti itu menyebabkan
bahwa bangsa-bangsa peternak itu sering sangat agresif sifatnya. Kebudayaan peladang yang hidup dalam shifting cultivators
societies terbatas pengembangaraannya di daerah hutan rimba di daerah perariaran Sungai Kongo di Afrika Tengah, di Asia Tenggara termasuk
Indonesia di luar Jawa dan Bali, dan di daerah pengairan Sungai amazone di Amerika Selatan. Para peladang di daerah tropis tersebut
menggunakan tehnik bercocok tanam yang sama. Mereka memulai dengan membersihkan belukar bawah dalam hutan, kemudian menebang
pohon-pohon dan membakar daun-daun, dahan, dan balok-balok pohon yang ditebang. Di ladang yang dibuka ditengah hutan secara demikian,
mereka menanam berbagai macam tanaman tanpa pengolahan tanah yang intensif hanya seperlunya saja, dan tanpa irigasi. Apabila setelah dua-
tiga kali panen tanah tidak menghasilkan lagi karena kehabisan zat- zatnya, maka ladang ditinggalkan, dan mereka membuka ladang yang
baru di hutan sampingnya, dengan tehnik yang tetap sama. Begitu juga, kalau setelah dua-tiga tahun ladang ini pun tidak menghasilkan lagi,
mereka meninggalkannya untuk menebang dan membakar hutan berikutnya lagi. Demikianlah seterunya hingga kira-kira 10-12 tahun
kemudian mereka kembali lagi kepada tanah bekas ladang yang pertama, yang sudah tertutup hutan kembali.
Walapun mereka harus berpindah-pindah ladang setiap dua-tiga tahun, namun suku-suku bangsa peladang biasanya hidup menetap dalam
desa-desa yang tetap. Kalau jarak desa tempat tinggal ke ladang terlampau jauh, maka mereka membangun gubuk-gubuk sementara
ditengah ladang atau di atas pohon-pohon di dekat ladang di mana mereka dapat tinggal dalam musim-musim sibuk, dan mereka dapat
menjaga tanaman mereka dengan baik, tanpa perlu mondar mandir ke desa yang jauh tempatnya itu.
Bercocok tanam di ladang merupakan suatu mata pencarian yang dapat juga menjadi dasar suatu peradapan kompleks dengan masyarakat
perkotaan, sistem kenegaraan, dan seni bangunan serta pertukangan yang
15
tinggi. Contoh dari suatu peradapan serupa itu adalah peradapan Indian Maya dalam abad ke-15 di Meksiko Selatan, Yukatan, dan Guatemala di
Amerika Tengah. Kebudayaan nelayan yang hidup dalam fishing communities ada di
seluruh dunia, di sepanjang pantai, maupun di pulau-pulau. Secara khusus desa-desa nelayan itu biasanya terletak di daerah muara-muara
sungai atau di sekitar sebuah teluk. Lokasi di muara sungai memudahkan para nelayan untuk melabuhkan perahu atau biduk yang mereka pakai
untuk ke luar menuju laut. Demikian juga lokasi di dalam suatu teluk. Selain itu, suatu teluk sering kali banyak ikannya, oleh karena kawasan-
kawasan ikan yang menyusur pantai pada musim-musim tertentu biasanya masuk ke teluk-teluk untuk bertelur. Suatu kebudayaan nelayan
tentu mengetahui teknologi pembuatan perahu, mengetahui cara-cara navigasi di laut, mempunyai organisasi sosial yang dapat menampung
suatu sistem pembagian kerja antara nelayan-pelaut, pemilik perahu, dan tukang pembuat perahu, sedangkan sistem religinya biasanya
mengandung unsusr keyakinan, upacara-upacara, dan ilmu gaib yang erat hubungannya dengan persepi serta konsepsi mereka mengenai laut.
Kebudayaan petani pedesaan, yang hidup dalam peasant communties pada masa sekarang merupakan bagian terbesar dari objek
perhatian para ahli antropologi, karena suatu proporsi terbesar dari penduduk dunia masa kini memang masih merupakan petani yang hidup
dalam komunitas-komunitas desa, yang berdasarkan pertanian, khususnya bercocok tanam menetap secara tradisional dengan irigasi.
Adapun komunitas desa seperti itu jarang bersifat otonom lepas dari komunitas tetangganya yang lain, tetapi biasanya terikat komunitas-
komunitas desa lain oleh suatu otoritas yang lebih tinggi tadi, menjadi suatu kesatuan ekonomi, sosial-budaya, atau administratif yang lebih
besar. Kebudayaan penduduk komunitas- komunitas desa tersebut biasanya berorientasi terhadap kebudayaan yang lebih tinggi tadi, yang
biasanya berada di kota-kota administratif. Kebudayaan dari kota tersebut dengan penduduknya yang sebagian besar mempunyai peradaban dan
gaya hidup sebagai seorang pegawai, biasanya dipandang sebagai
16
kebudayaan yang lebih “beradap” oleh para petani di desa-desa itu, dan mnjadi pedoman dan idaman mereka. Hampir semua masyarakat
pedesaan di Indonesia, dan khususnya di Jawa, merupakan peasant societies yang berdasarkan bercocok tanam dengan irigasi secara
tradisional dan penduduk yang orientasi kebudayaannya merupakan golongan pegawai kebudayaan priyayi di kota-kota administratif.
Kebudayaan perkotaan yang kompleks telah menjadi objek perhatian para ahli antropologi, tetutama sesudah Perang Dunia II. Pada
masa itu timbul banyak negara baru bekas jajahan, dengan penduduk yang biasanya terdiri dari banyak suku bangsa, golongan bahasa, atau
golongan agama, dalam wadah satu negara nasional yang merdeka. Dalam usaha membangun ekonominya secara cepat, kemakmuran
diperoleh secara mendadak terutama di kota-kota besar, menarik jutaan penduduk daerah-daerah dari berbagai latar belakang kebudayaan suku
bangsa ke kota-kota itu sehingga timbul suatu gejala baru, yaitu gejala hubungan interaki antar suku bangsa di kota-kota besar di negara-negara
yang sedang berkembang. Masalah-masalah yang berhubungan dengan gejala tersebut dan juga beberapa masalah yang menjadi pokok perhatian
antropologi spesialis, sebagian besar juga timbul di kota-kota menyebabkan ada perhatian luas dari para ahli antropologi terhadap
masyarakat kota, dan timbulnya sub ilmu antropologi spesialis yang disebut “antropologi perkotaaan” urban anthropology.
b. Konsep Daerah Kebudayaan