Penduduk Polinesia dipandang dari sudut ras menunjukkan ciri-ciri fisik yang khas juga, yaitu ciri-ciri Polinesian, yang oleh para ahli
antropologi-fisik sebenarnya belum banyak diteliti dan dianalisis. Bahasa-bahasa Polinesian yang sudah banyak diteliti oleh para ahli
bahasa sudah jelas merupakan keluarga bahasa. Dari sudut etnografi kebudayaan-kebudayaan penduduk Polinesian menunjukkan suatu
keragaman besar dari yang sangat sederhana hingga yang sangat kompleks, dengan system-sistem social berdasarkan kerajaan, upacara-
upacara kerajaan yang luas, dan seni patung yang menarik. Suatu hal yang sama pada hampir semua kebudayaan di Polinesia adalah
berkebudayaan maritim yang maju, termasuk kecakapan membuat perahu-perahu bercadik yang dapat berlayar di lautan terbuka, dan
kepandaian bernavigasi yang mengagumkan.
f. DAERAH-DAERAH KEBUDAYAAN DI AFRIKA
Ragam kebudayaan suku bangsa penduduk Afrika kecuali Mandagaskar untuk pertama kali diklasifikasikan ke dalam sebelas daerah
kebudayaan oleh ahli antropologi bangsa Amerika, M.J. Herskovits. Sistem kesebelas daerah kebudayaan itu, sifatnya masih sangat kasar dan
impresionistik, tetapi klasifikasi Herskovits tersebut boleh dikatakan cukup memuaskan untuk zaman ketika pengetahuan orang Amerika tentang
Afrika masih pada taraf awal dari perkembangannya, dan untuk suatu zaman ketika pengetahuan para ahli bangsa Perancis, Inggris, Belgia,
Jerman, dan Italia hanya khusus mengenai daerah-daerah jajahan mereka masing-masing dan belum terintegrasikan menjadi satu, artinya dalam
zaman ketika pengetahuan komprehensif mengenai itu belum ada. Tahun 1955 telah terbit hasil klasifikasi dari bahasa-bahasa di
Afrika ke dalam rumpun-rumpun dan keluarga-keluarga bahasa oleh para ahli linguistic bangsa Amerika, antara lain J.H Greenberg. Berbeda dengan
29
di Indonesia klaifikasi bahasa-bahasa di Afrika tidak dapat dipakai untuk satu klasifikasi kebudayaan.
Dalam bukunya tentang Afrika, ahli antropologi G.P Murdock telah menyusun suatu system daerah-daerah kebudayaan Afrika, dan dalam hal
itu Benua Afrika dibagi dalam 38 cultures areas. Klasifikasi tersebut lebih terperinci dari pada klasifikasi Herskovits terutama karena mencoba
unsur-unsur perbedaan bahasa dan unsur-unsur perbedaan system kekerabatan . Justru hal itu menyebabkan bahwa sifat gambaran
keseluruhannya menjadi hilang. Untuk suatu benua seperti Afrika kita memerlukan system klasifikasi yang lebih meluas sifatnya. Sebaliknya,
untuk daerah yang lebih khusus seperti Indonesia dapat dapat memakai system klasifikasi yang lebih terperinci dengan cara memperhitungkan di
dalamnya lebih banyak unsure kebudayaan. Oleh karena system klasifikasi Herskovits terlampau kasar sifatnya,
sedangkan klasifikasi Murdock kurang membeir gambaran menyeluruh, maka penulis telah mencoba mengombinasikan ke dua system tersebut
sehingga terjadi suatu system yang membagi Afrika dan Madagaskar ke dalam 18 daerah kebudayaan. Berbeda dengan Murdock yang mencoba
menggambarkan batas-batas daerah-daerah kebudayaan yang berliku-liku mengikuti daerah penyebaran suku-suku bangsa. Penulis sederahanakan
dengan menggambarkan garis-garis lurus untuk member batas-batas pada daerah-daerah kebudayaan. Dua diantara daerah yang penulis susun, yaitu
sahara dan hulu tengah Nil. Sebenarnya bukan daerah-daerah kebudayaan,melainkan daerah geografi karena di dalamnya tidak memuat
kebudayaan-kebudayaan yang menunjukkan ciri-ciri yang seragam. Berikut ini ke 18 daerah kebudayaan dari ke dua daerah geografi tersebut
akan diuraikan sifat-sifatnya secara singkat satu demi satu, yaitu: 1 Daerah kebudayaan Afrika Utara. Daerah kebudayaan ini meliputi
kebudayaan suku-suku bangsa yang sepanjang sejarah telah mengalami nasib yang lebih-kurang sama, sehingga walaupun asalnya
beraneka warga, tetapi pada ciri-ciri lahirnya tampak suatu keseragaman yang besar. Suku-suku bangsa itu sebagian besar berupa
30
rakyat pedesaan yang hidup dari bercocok tanam menetap intensif dengan irigasi dan bajak, ditambah dengan beternak kambing, sapi,
dan keledai. Kebudayaan petani pedesaan peasant societies dari ras kaukasoid yang disebut Berber, dan pada umumnya beragama Islam,
berorientasi terhadap suatu peradaban di kota-kota yang merupakan suatu campuran dalam suatu proses bercampur berabad-abad lamanya
dari unsure-unsur kebudayaan Funia, Mesir, Yunani, Rum, Vandals, dan Germania, Byzanthium, dan agama Islam dari zaman Negara
Khafilah Abbassyah, kebudayaan Yahudi, agama Islam dari abad ke- 12, Islam dan Spanyol dan Islam dari zaman kejayaan Negara Turki.
Kecuali itu, kebudayaan rakyat petani pedesaan ini juga mendapat pengaruh besar dari kebudayaan peternakan orang Arab Badui, yang
secara besar-besaran masuk berimigrasi ke Afrika Utara dalam abad ke-11 dan ke-12, dan sampai sekarang masih juaga hidup mengembara
dari peternakan kambing dan unta di berbagai daerah itu. 2 Daerah Kebudayaan Hilir Nil. Daerah kebudayaan ini meliputi
kebudayaan suku-suku bangsa petani pedesaan yang intensif di suatu daerah lembah-lembah sungai yang subur, menggunakan irgasi dan
bajak. Kebudayaan rakyat pedesaan dari ras Kaukasoid yang disebut ”orang Mesir” ini, berorientasi terhadap suatu kebudayaan tinggi
diatasnya yang telah hidup sejak berpuluh-puluh abad lamanya, mula- mula dengan kepribadian yang khusus dan unik zaman raja-raja
Farau, dan kemudian dengan masuknya pengaruh unsur-unsur kebudayaan Yunani, Byzanthium, Islam, dan Turki.
3 Daerah Kebudayaan Sahara. Daerah geografi ini meliputi kebudayaan suku bangsa yang hidup menetap dalam masyarakat
rumput dari bercocok tanam dan beternak, atau yang hidup mengembara dari peternakan saja di daerah lembah-lembah sungai
yang ada airnya, di daerah-daerah sumber air oasis dan di daerah- daerah dimana air tanah belum terlampau dalam sehingga masih dapat
diambil dengan menggali sumur. Di bagian timur gurun Sahara, suku- suku bangsa yang hidup serupa itu secara dominan termasuk ras
31
Negroid, di bagian tengah yang dominan adalah orang Berber, dan di bagian barat ada suku-suku bangsa Arab atau orang Berber yang telah
banyak terpengaruh oleh kebudayaan Arab. Kecuali hidup dari bercocok tanam atau dari peternakan, rumpun-rumpun Negro,
Berber ,dan Arab tadi juga hidup dari perdagangan melintasi gurun yang sejak berabad-abad lamanya hingga sekarang,dengan melalui
rute-rute tertentu. Ciri lain yang mencolok dalam masyarakat suku- suku bangsa Tuareg dan Negroid di Sahara adalah adanya kasta-kasta
hina dari tukang-tukang pandai, tukang kulit, dan penyanyi jalanan. 4 Daerah Kebudayaan Sudan Barat. Daerah kebudayaan ini meliputi
kebudayaan suku-suku bangsa Negroid yang hidup dari bercocok tanam berpindah-pindah di ladang tanpa irigasi dan bajak tetapi
dengan cangkul. Tanaman pokoknya gandum Sudan sorgbum dan fonio. Sebagai mata pencaharian lain mereka beternak sapi, tetapi
tidak untuk diambil susu atau dagingnya, hanya untuk sekedar gengsi, misalnya untuk mas kawin. Kebudayaan rakyat pedesaan berorientasi
terhadap peradaban-peradaban tinggi yang sejak berabad-abad lamanya berpusat di kota-kota kaya, pusat-pusat negara seperti Ghana
Kuno, Mali Kuno, Songhai, Bambara dan lain-lain. Sejak datangnya pengaruh Islam melalui rute-rute perdagangan khafilah yang melintasi
Sahara, hampir semuanya memeluk dan mengadaptasi agama dan kebudayaan Islam. Ciri-ciri mencolok dari kebudayaan rakyat di desa
antara lain:adanya adat pembagian kehidupan pria ke dalam tingkat- tingakatan umur yang masing-masing harus dilalui dengan upacara-
upacara inisiasi yang luas,dan masing-masing mempunyai fungsi social tegas, adanya kedudukan pandai besi yang dianggap hina,
tukang kulit, tukang penyanyi, dan penari jalanan dalam masyarakat, adanya suatu jabatan dalam pimpinan desa yang bersifat setengah
keramat, yaitu jabatan ”tuan pengawas tanah”, dan pola perkampungan desa yang mengelompok padat dengan bentuk rumah
bulat beratap kerucut gaya Sudan.
32
5 Daerah Kebudayaan Sudan Timur. Daerah ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa petani pedesaan yang hidup dari bercocok tanam
menetap dengan irigasi. Tanaman pokoknya gandum Sudan suku- suku bangsa di bagian Selatan dari daerah ini, menanam tanaman Asia
Tenggara sepeti keladi, ubi jalar, dan pisang sebagai tanaman pokok. Bercocok tanam terutama meruoakan pekerjaan wanita sedangkan
peternakan yang juga merupakan suatu mata pencaharian hidup yang sangat penting, eksklusif pekerjaan pria, sapi yang dipelihara, diperah
susunya untuk dibuat mentega dan keju. Ciri lain yang mencolok dari daerah kebudayaan ini adalah pembayaran mas kawin dengan ternak,
pola perkembangan desa yang bersifat memencar dengan pekarangan yang luas dan rumah-rumah bergaya sudan;dan adanya system
kenegaraan yang prinsip-prinsip organisasinya banyak menyerupai organisasi Negara mesir zaman raja-raja Farau.
6 Daerah Kebudayaan Hulu Tengah Nil. Daerah ini, yang oleh Murdock disebut daerah Nile Corridor, bukan suatu daerah kebudayaan,
melainkan suatu daerah geografi yang sejak berabad-abad lamanya menjadi semacam jalur lalu lintas dari berbagai pengaruh kebudayaan
kepedalaman Afrika, dan kadang-kadang juga sebaliknya. Mengenai kebudayaan-kebudayaannya daerah hulu tengah Nil tidak seragam
sifatnya. Ada kebudayaan rakyat pedesaan dan ras Negroid yang disebut orang Nubia, hidup dari pertanian intensif dengan irigasi dan
bajak di lembah sungai Nil. Kebudayaan rakyat ini beroriaetasi terhadap suatu peradaban tinggi dan kuno yang dahulu berpusat di
kota-kota Napata dan Meru. Selain itu juga banyak pengaruh oleh:unsur-unsur kebudayaan mesir di zaman raja-raja Farau, unsur-
unsur agama.
7 Daerah Kebudayaan Afrika Tengah. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa Negroid merupakan masyarakat
rumpun dan hidup dari bercocok tanam berpindah-pindah di ladang
33
tanpa menggunakan irigasi maupun bajak. Tanaman pokok mereka adalah keladi, ubi jalar, dan pisang tanaman asli Asia Tenggara,
gandum Sudan, gandum eleusine tanaman asli Ethiopia, jagung, dan singkong tanaman asli Amerika. Peternakan yang tidak
menghasilkan susu, tidak penting, dan menghilang makin ke arah Selatan. Ciri – ciri mencolok dari kebudayaan-kebudayaan di daerah
ini antara lain : pembayaran mas kawin dengan alat –alat besi, pola perkampungan yang menyebar luas, bentuk rumah bergaya Sudan, dan
makin ke arah selatan, berubah menjadi bentuk rumah persegi dengan atap berbentuk piramida berpuncak tinggi gaya “Bantu”, tidak
adanya bentuk-bentuk organisasi sosial yang lebih tinggi dari desa, yaitu yang misalnya berupa federasi desa atau negara dengan beberapa
pengecualian seperti pada suku bangsa Mangbetu, Azande, dan beberapa yang lain.
8 Daerah Kebudayaan Hulu Sungai Nil. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan bermasyarakat rumpun yang berdasarkan
peternakan menetap tidak mengembara di daerah-daerah sabana di Sudan Selatan. Sapi merupakan binatang peliharaan yang terpenting,
ditambah dengan pertanian sebagai mata pencarian bantu, Suku-suku bangsa pemangku kebudayaan-kebudayaan tersebut mempunyai ciri
ras Negroid yang lazim, tetapi ciri-ciri fisik yang sangat mencolok, yaitu tubuh tinggi ramping luar biasa. Selain keseragaman ciri-ciri
fisik yang biasanya disebut ciri-ciri Nilote, suku-suku bangsa di daerah ini juga seragam mengenai bahasa-bahasa mereka.
9 Daerah Kebudayaan Tanduk Afrika. Daerah kebudayaan ini meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat pedesaan yang hidup dari peternakan
dan bercocok tanam intensif dengan irigasi dan bajak di lembah- lembah sungai dataran tinggi Ethiopia. Kebudayaan dan rakyat petani
pedesaan yang mempunyai ciri-ciri ras Kaukasoid tetapi berbahasa Semit, berorientasi kepada peradaban-peradaban lebih tinggi berpusat
di kota-kota, dan yang berdasarkan agama Nasrani Yunani.
34
10 Daerah Kebudayaan Pantai Guinea. Daerah kebudayaan ini
meliputi suku-suku bangsa bermasyarakat petani pedesaan dengan ciri-ciri ras Negroid. Hidup dari berladang berpindah-pindah di hutan
rimba tropis, tanpa irigasi dan bajak. Tanaman pokoknya pada beberapa suku bangsa adalah gandum Sudan, sedangkan pada suku-
suku bangsa lainnya tanaman pokoknya adalah tanaman Asia Tenggara keladi, ubi jalar, dan pisang, dan pada suku-suku bangsa
lain lagi tanaman pokoknya adalah tanaman Amerika ubi manis, dan jagung. Peternakan, walaupun kadang-kadang ada, tetapi bukan
merupakan mata pencarian penting. Kebudayaan rakyat pedesaan ini berorientasi kepada peradaban kota yang merupakan pusat-pusat dari
kerajaan-kerajaan kecil. Raja-raja dari negara-negara kecil ini dianggap keramat, dan hidup dengan suatu sistem adat-istiadat
upacara istana yang luar biasa kompleks. Jumlah pejabat-pejabat istana sangat banyak dan ada tiga jabatan ratu yang sangat penting,
yaitu ratu ibu raja, ratu istri utama raja, dan ratu kakak raja. Contoh dari kerajaan-kerajaan kecil itu misalnya Dahomey, Ashanti di Ghana
sekarang bagian selatan, Ife suku bangsa Yuroba di Nigeria Selatan,
dan Benin suku bangsa Edo di Nigeria Selatan. Kedua kerajaan yang disebut terakhir telah menghasilkan suatu seni patung perunggu yang
sangat mengagumkan keindahan dan kesempurnaannya. Ciri-ciri mencolok dari kebudayaan petani di desa antara lain : sistem tingkat
umur dengan upacara inisiasi berat dan fungsi-fungsi sosial yang kha, perkumpulan desa yang mengelompok padat dengan rumah-rumah
berbentuk persegi, dengan atap gaya “Bantu”. Selain suku-suku bangsa petani pedesaan tersebut, ada pula yang bersifat masyarakat
rumpun dan yang tidak terorientasi pada peradaban-peradaban yang tinggi.
11 Daerah Kebudayaan “Bantu” Khatulistiwa. Daerah kebudayaan ini
meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat rumpun yang hidup dari peladangan berpindah-pindah di hutan rimba tropis, tanpa
irigasi dan bajak. Tanaman pokoknya adalah keladi, ubi jalar, dan pisang tanaman Asia Tenggara, walaupun mereka juga menanam
35
gandum Sudan sebagai tanaman tambahan. Peternakan praktis tidak ada. Ciri-ciri yang mencolok adalah adat bride service untuk
mendapat mas kawin istri mas kawin tidak dikenal oleh sebagian besar suku-suku bangsa di daerah ini, adanya dahulu adat
kanibalisme, pola perkampungan pada umumnya berupa desa-desa
yang mengelompok padat dengan rumah-rumah gaya “Bantu” walaupun sebagian besar dari suku-suku bangsa tidak mengenal
sistem kenegaraan, suatu pengecualian adalah suku bangsa Baluba, yang dalam abad ke-17 mendirikan suatu negara Baluba yang kuat.
12 Daerah Kebudayaan “Bantu” Danau-danau. Daerah kebudayaan
ini meliputi kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat petani pedesaan yang hidup dari pertanian intensif menetap dengan irigasi di
lereng-lereng pegunungan yang dikelilingi oleh danau-danau besar, seperti Danau Victoria, Kioga, Albert, Edward, Kivu, dan Tanganyika.
Kebudayaan petani pedesaan ini berorientasi pada peradaban tinggi di kota-kota pusat kerajaan orang Negro seperti Nega Beganda, Ruanda,
dan Urundi, yang dalam strukturnya ternyata mendapat pengaruh banyak dari struktur kerajaan-kerajaan di daerah Tanduk Afrika.
Selain bercocok tanam, rakyat di desa-desa juga beternak sapi yang diperah susunya untuk dibuat mentega dan keju. Memerah dan
mengolah susu adalah eksklusif pekerjaan pria. Di beberapa negara seperti Belanda, ada kebiasaan untuk menyerahkan peternakan kepada
orang Nilote dari suku bangsa Bahima yang telah bermigrasi dari daerah hulu selatan Sungai Nil, masuk ke daerah danau-danau sejak
beberapa abad yang lalu. Ciri-ciri yang mencolok adalah pembayaran mas kawin dengan ternak, sistem tingkat umur yang lengkap dengan
upacara inisiasi yang lompleks, dan fungsi-fungsi sosial yang luas, pola perkampungan berupa desa terpencar dengan rumah-rumah yang
mempunyai gaya yang khusus, yaitu bentuk sarang lebah.
13 Daerah Kebudayaan “Bantu” Timur. Daerah kebudayaan ini
meliputi kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa bermasyarakat
36
rumpun. Mereka hidup dari pertanian intensif menetap dengan irigasi. Gandum Sudan sebagai tanaman pokok pada beberapa suku bangsa
di Tanganyika dengan padi sebagai tanaman pokok, dan tanaman- tanaman Asia Tenggara lainnya, ditambah dengan tanaman Ethiopia.
Mata pencaharian tambahan yang penting adalah peternakan sapi yang diperah susunya untuk membuat mentega dan keju. Ciri-ciri yang
mencolok adalah: mas kawin yang dibayar dengan ternak, dan sistem tingakatan umur dengan upacara inisiasi. Daerah kebudayaan “Bantu”
Timur didatangi oleh suku-suku bangsa Nilote sudah sejak lebih dari satu abad yang lalu. Mereka bermigrasi dari daerah hulu selatan
Sungai Nil, ke daerah-daerah sabana yang subur di Kenya. Suku-suku bangsa itu adalah suku bangsa Kipsigi, Samburu, dan Masai.
14 Daerah Kebudayaan “Bantu” Tengah. Daerah kebudayaan ini
meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang sebagian besar bermasyarakat rumpun dan hidup dari peladangan berpindah di hutan
rimba atau di daerah sabana. Tanaman pokok mereka adalah jagung, kacang-kacangan, dan singkong tanaman Amerika, walaupun ada
juga yang menanam gandum Sudan sebagai tanaman tambahan. Peternakan, praktis tidak ada. Kebudayaan rakyat petan pedesaaan
terorientasi pada negara-negara pribumi yang banyak terdapat di daerah ini seperti, Bakongo, Chokwe, Kimbundu, Bemba, dan lain-
lain. Pola perkampungan tidak sama bagi semua suku bangsa di seluruh daerah. Ada yang berupa desa-desa mengelompok padat,
sedangkan bentuk rumahnya bergaya Sudan, dan suku-suku bangsa di bagian barat gaya rumahnya adalah gaya sarang lebah.
15 Daerah Kebudayaan “Bantu” Barat Daya. Daerah kebudayaan ini
meliputi kebudayaan suku-suku bangsa yang berdasarkan masyarakat rumpun dan hidup dari peladangan berpindah, tanpa irigasi maupun
bajak. Tanaman pokok mereka adalah gandum Sudan, sedangkan tanaman Asia Tenggara di daerah kebudayaan ini mulai banayak
37
terdapat lagi. Mata pencarian hidup tambahan yang sama pentingnya adalah peternakan sapi untuk diambil susunya bahan pembuat
mentega dan keju. Berbeda dengan di daerah-daerah peternakan di Afrika Timur, memerah susu sapi tidak pantang bagi wanita, dan di
bagian selatan daerah kebudayaan ini, memerah susu sapi malahan khusus merupakan pekerjaan wanita. Makin kearah selatan peternakan
menjadi makin penting, dan sampai pada suku bangsa Herero di bagian paling selatan, peternakan menjadi satu-satunya mata
pencarian tanpa bercocok tanam. Suatu ciri mencolok adalah pemeliharaan sapi keramat, suatu pasangan sapi dengan anak-anak
sapinya yang beralih turun-temurun secara patrilineal. Pemeliharaan sapi keramat dilakukan dengan berbagai upacara. Pola perkampungan
merupakan desa-desa yang mengelompok padat, dengan rumah-rumah yang dibangun dalam lingkaran-lingkaran konsentris, dengan
lapangan di tengah-tengahnya untuk pertemuan desa atau untuk melakukan upacara bersama. Gaya bentuk rumah adalah rumah
lingkaran silinder, melingkar atau bujur sangkar, berdinding rendah, tetapi dengan atap berbentuk kerucut yang sangat tinggi berbeda
dengan rumah gaya Sudan, yang mempunyai dinding silinder lebih tinggi dengan atap kerucut lebih rendah.
16 Daerah Kebudayaan “Bantu” Tenggara. Daerah ini meliputi
kebudayaan suku-suku bangsa yang bagian utara berdasarkan masyarakat rumpun, tetapi di bagian selatan Natal, Basutoland
berdasarkan masyarakat petani pedesaan yang berorientasi pada kebudayaan kerajaan-kerajaan peternak seperti kerajaan Zulu,
Lovendu, dan Bavenda. Beberapa raja dari suku bangsa Ngoni, yang sejak lebih – kurang tahun 1820 mengembara dari Natal ke arah Utara
melalui Danau Nyasa dan Tanganyika, sampai mendekati Danau Victoria di Kenya, lalu kembali mengembara ke selatan, dan menetap
di sebelah barat Danau Nyasa di negara Malawi masa kini. Mata pencarian hidup suku-suku bangsa di utara terutama bercocok tanam
menetap, tetapi tanpa irigasi dan jagung sebagai tanaman pokok
38
gandum-gandum Sudan mulai jarang di daerah ini, tanaman Asia Tenggara tidak ada. Peternakan yang di bagian utara hanya mata
pencarian tambahan, makin ke selatan menjadi bertambah penting untuk dimakan hasil susunya, untuk gengsi, dan untuk investasi
kekayaan. Pola perkampungan desa adalah lingkaran konsentris, dengan sebuah lapangan di tengahnya untuk mengandangkan ternak
apabila sedang tidak digembala. Bentuk rumah-rumah sama seperti pada suku-suku bangsa di daerah kebudayaan Bantu Barat Daya.
17 Daerah Kebudayaan Choisan. Daerah kebudayaan ini meliputi
kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup mengembara dari berburu dan meramu bushmen, tetapi ada pula yang hidup daripeternakan
hottentot. Ciri-ciri ras suku-suku bangsa di daerah kebudayaan ini sangat berbeda dengan ras apa pun di dunia sehingga ahli antropologi
fisk mengkelaskan mereka sebagai suatu ras manusia yang khusus, yaitu ras bushmen, yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu
dari ketiga ras pokok, yaitu Kaukasoid, Mongolid, dan Negroid. Ras bushmen di Afrika Selatan ini rupa-rupanya merupakan sisa-sisa dari
suatu bentuk manusia yang sangat tua dan yang puluhan ribu tahun yang silam tersebar luas di seluruh Afrika Timur sampai perbatasan
daerah Tanduk Afrika. Oleh para ahli prehistori mereka diasosiasikan dengan suatu gaya kebudayaan Paleolitik yang dinamakan “gaya
stillbay”. 18
Daerah Kebudayaan Madagaskar. Daerah kebudayaan ini meliputi kebudayaan suku bangsa bermasyarakat rumpun di daerah pantai
Timur hidup dari peladangan berpindah tanpa irigasi dan bajak, dilereng – lereng Timur dari deret Pegunungan Tengah yang hidup
dari bercocok tanam dengan irigasi tanpa bajak, dan menanam padi sebagai tanaman pokok, suku-suku bangsa di tanah rendah sebelah
barat hidup dari peternakan, ditambah dengan sedikit bercocok tanam. Ciri –ciri fisik penduduk Madagaskar pada dasarnya adalah ciri-ciri
ras Malayan-Mongolid seperti penduduk Asianesia, yaitu penduduk kepulauan Asia seperti Indonesia, yang paling jelas tampak pada
39
penduduk dataran tinggi tengah, dan di samping itu ada pula banyak ciri fisik tambahan unsur-unsur Negroid yang jelas tampak di pantai-
pantai, dan unsur Kaukasoid Arab dan Eropa Mediteran yang paling jelas tampak di bagian tenggara. Bahasa dari suku-suku bangsa di
Madagaskar adalah relatif seragam, dan terdiri dari logat-logat dan variasi-variasi dari satu bahasa, yaitu bahasa Malagasi. Bahasa ini
mengenai strukturnya termasuk keluarga bahasa-bahasa Austronesia, sedang secara leksikografi terdiri dari kata-kata Bantu dan Arab. Di
sebelah barat laut, bahasa Swahili berkuasa, sedang di bagian tenggara yang terpenting adalah bahasa Arab. Satu suku bangsa, yaitu Imerina
atau Hova di dataran tinggi tengah, telah mengembangkan suatu sistem kenegaraan, meskipun menurut ciri-ciri ras mereka paling
dekat dengan orang Asianesia, dan dalam hukum adat rakyat di desa- desa katanya terdapat persamaan unsur dengan hukum adat rakyat
pedesaan di Indonesia, tetapi struktur negara Imerina menunjukkan banyak unsur struktur negara-negara di daerah kebudayaan Tanduk
Afrika.
g. Daerah – daerah Kebudayaan di Asia