Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda (Studi Pada Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kab. Aceh Barat Daya)

(1)

KESIAPAN DUSUN IV ALUE TENGKU MUDA MENJADI DESA ALUE TENGKU MUDA

(Studi Pada Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kab. Aceh Barat Daya)

DISUSUN O L E H 050903053 R I F Y A L

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : R I F Y A L NIM : 050903053

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda

Medan, Juni 2009

Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara

Drs. Rasudyn Ginting, M. Si.

NIP : 131 570 480 NIP : 131 568 391

Prof.Dr. Marlon Sihombing, M.A.

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

NIP : 131 757 010


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah menganugerahkan segala rahmat dan petunjuk-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda” ini dengan baik.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan, baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini juga dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang turut mengambil dalam membatu peneliti menyelesaikan laporan ini, mulai dari pengarahan di kampus sampai praktek sesungguhnya di lapangan kepada:

1. Bapak Prof. DR. Muhammad Arif Nasution, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara, Prof. DR. Marlon Sihombing, MA. yang telah memberikan rekomendasi serta pembekalan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Rasudyn Ginting, M. Si. selaku dosen pembimbing yang penuh kesabaran dan perhatian membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Teristimewa kepada orang tua penulis ayahanda dan ibunda tercinta Ikhawan Hanif dan Aja Sumarni beserta kakek Hanifuddin Ali dan (alm) nenek ..., adikku Irfan, cepat tamat dek !!, adikku Putri Mulyasari yang manis, rajin-rajin belajar dan baca buku, adikku yang mentel Annisa dan Vivi..jangan banyak main-main panas, nanti


(4)

itam, Abangku Affif Herman, Adikku Saifta Herman yang manis, Adikku Riza Herman dan seluruh keluarga yang telah membantu terutama dari segi materi, doa dan motivasi.

5. Abangda Safaruddin, S. Sos. atas segala motivasi dan dukungan sehingga saya bisa menyelesaikan kuliah ini.

6. Abangda Rajab Polpoke, S. Sos. ....he..he...cepat nikah bang...!!!.

7. Staf pengajar Departemen Ilmu Administrasi Negara yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuannya selama ini kepada penulis.

8. Kak Mega, Kak Emi dan Kak Dian yang telah membantu penulis dalam mengurus segala keperluan administrasi dan memberikan segala informasi-informasi dari departemen.

9. Teman-teman magang kelompok 8, Rati, Santi, Ainun, Aci, Pengki, Soleman, Hajali, terima kasih atas kerjasama dan batuannya selama ini.

10.Kepada sohib-sohibQ Isan Cek Wen, Yudi R, Darmi, Mukhsin, Tanjil, dan lain-lain. 11.Teman-teman stambuk 2005 yang telah bersama-sama selama 4 tahun di FISIP

USU ini. Terima kasih kalian telah memberi warna dalam hidupku.

12.Kepada keluarga besar FKPPM-ABDYA. Lely, Bg Is, Firdaus, Avien, Kak Nova, dan yang lainnya yang telah mengikutkan sertakan penulis dalam berbagai kegiatan-kegiatanya, dan memberikan penulis pengalaman-pengalaman baru yang sangat bermanfaat bagi penulis.

13.Kepada seluruh pihak yang mungkin tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu, yang telah banyak menuangkan ide yang bersifat membangun selama pembuatan skripsi ini dilakukan.


(5)

Seperti kata pepatah “Tak Ada Gading yang Tak Retak”, demikian pula halnya dengan skripsi ini, tentu ada kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis menerima saran-saran yang konstruktif dan solutif dari pembaca sekalian.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2009 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Kerangka Teori ... 9

1. Otonomi Daerah ... 9

2. Desa ... 11

3. Pembangunan Desa dan pemberdayaan Masyarakat ... 16

4. Pembentukan Desa ... 23

F. Defenisi Konsep ... 28

1. Kesiapan... 28

2. Desa ... 29

3. Pembentukan Desa ... 29

G. Defenisi Operasional ... 29

BAB II METODE PENELITIAN ... 31

A. Bentuk Penelitian ... 31

B. Lokasi Penelitian ... 31

C. Informan Penelitian ... 32

D. Teknik Pengumpulan Data ... 33

E. Teknik Analisa Data ... 34

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 36

A. Sejarah Singakat Nama Desa ... 36

B. Letak Geografis ... 36

C. Sarana dan Prasarana ... 37


(7)

E. Sumber-sumber air bersih ... 38

F. Potensi Ekonomi ... 38

1. Mata Pencaharian ... 38

2. Sumber-sumber Mata Pencaharian Pokok ... 39

3. Jenis Mata Pencaharian dan Perlengkapan yang digunakan ... 40

G. Potensi Sumber Daya Alam ... 41

H. Sosial Budaya ... 41

I. Gambaran Umum Dusun IV Alue Tengku Muda ... 42

BAB IV PENYAJIAN DATA ... 47

A. Hasil Penelitian ... 47

B. Pelaksanaan Wawancara ... 47

C. Pedoman Administratif ... 48

D. Kondisi Fisik Kewilayahan. ... 49

E. Hasil Wawancara ... 51

BAB V ANALISIS DATA ... 59

A. Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menuju Pembentukan Menjadi Desa ... 59

B. Analisis SWOT ... 65

1. Kondisi Internal ... 66

2. Kondisi Eksternal ... 67

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(8)

ABSTRAKSI

KESIAPAN DUSUN IV ALUE TENGKU MUDA MENJADI DESA ALUE TENGKU MUDA

NAMA : Rifyal

NIM : 050903053

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Pembimbing : Drs. Rasudyn Ginting, M. Si.

Sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat tentang perubahan di era reformasi, maka sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 ini, pemerintah telah melakukan perubahan-perubahan penting dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan mengejawantahkannya dalam rangka peningkatan kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Tuntutan perubahan itu tidak hanya pada tataran nasional, tapi juga merambah ke tataran daerah. Dalam hal ini aspirasi yang disuarakan untuk perubahan itu terkait pembangunan yang selama orde baru dijalankan secara terpusat. Maka diadakanlah revisi-revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur hubungan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Salah satu lokus yang mendapat perhatian penting adalah desa, yang selama orde baru teralienasi perannya dalam pemberdayaan dan pembangunan. Desa dengan masyarakatnya yang seharusnya dinamis di masa orde baru berada dalam kondisi yang distatiskan, tidak berkembang, bahkan musnah nilai-nilai otonominya. Seiring dengan tuntutan perubahan, akhirnya desa telah dikembalikan keaslian otonominya oleh pemerintah pusat. Mulai dari keaslian namanya sesuai dengan asal daerah dan budaya masyarakat setempat, hingga pada pola dan struktur kepemerintahannya.

Tentang perubahan tersebut telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan Permendagri No 28 Tahun 2006. pada ketiga perundangan tersebut telah termuat secara gamblang tentang desa yang sudah ada dari awalnya, hingga pada desa hasil pembentukan atau pemekaran. Di dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tersebut telah disebutkan tentang syarat-syarat pembentukan desa baru. Keseluruhan produk hukum yang ada, yang mengatur tentang desa, tentu bertujuan untuk mempercepat proses dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang adil dan merata kepada masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi Desa Alue Tengku Muda. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggambarkan fakta seadanya dan diberikan interpretasi secukupnya atas variabel penelitian sehingga menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.


(9)

Informan penelitian ini berjumlah 4 orang, yang terdiri dari: Bapak Camat Jeumpa, Kepala Desa Alue Sungai Pinang, Kepala Dusun IV Alue Tengku Muda, dan Satu Orang Panitia Pembentukan Desa. Pengambilan sampel secara purposive sampling. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara substansi latar belakang keinginan masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda membentuk desa baru adalah ketidakadilan pembangunan. Sedangkan kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi desa belum sepenuhnya memenuhi persyaratan pembentukan desa sebagaimana yang tertuang dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006.

Kata-kata kunci (key word) : Pembentukan desa, Syarat-syarat Pembentukan Desa.


(10)

ABSTRAKSI

KESIAPAN DUSUN IV ALUE TENGKU MUDA MENJADI DESA ALUE TENGKU MUDA

NAMA : Rifyal

NIM : 050903053

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Pembimbing : Drs. Rasudyn Ginting, M. Si.

Sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat tentang perubahan di era reformasi, maka sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 ini, pemerintah telah melakukan perubahan-perubahan penting dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan mengejawantahkannya dalam rangka peningkatan kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Tuntutan perubahan itu tidak hanya pada tataran nasional, tapi juga merambah ke tataran daerah. Dalam hal ini aspirasi yang disuarakan untuk perubahan itu terkait pembangunan yang selama orde baru dijalankan secara terpusat. Maka diadakanlah revisi-revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur hubungan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Salah satu lokus yang mendapat perhatian penting adalah desa, yang selama orde baru teralienasi perannya dalam pemberdayaan dan pembangunan. Desa dengan masyarakatnya yang seharusnya dinamis di masa orde baru berada dalam kondisi yang distatiskan, tidak berkembang, bahkan musnah nilai-nilai otonominya. Seiring dengan tuntutan perubahan, akhirnya desa telah dikembalikan keaslian otonominya oleh pemerintah pusat. Mulai dari keaslian namanya sesuai dengan asal daerah dan budaya masyarakat setempat, hingga pada pola dan struktur kepemerintahannya.

Tentang perubahan tersebut telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 dan Permendagri No 28 Tahun 2006. pada ketiga perundangan tersebut telah termuat secara gamblang tentang desa yang sudah ada dari awalnya, hingga pada desa hasil pembentukan atau pemekaran. Di dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tersebut telah disebutkan tentang syarat-syarat pembentukan desa baru. Keseluruhan produk hukum yang ada, yang mengatur tentang desa, tentu bertujuan untuk mempercepat proses dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang adil dan merata kepada masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi Desa Alue Tengku Muda. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggambarkan fakta seadanya dan diberikan interpretasi secukupnya atas variabel penelitian sehingga menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.


(11)

Informan penelitian ini berjumlah 4 orang, yang terdiri dari: Bapak Camat Jeumpa, Kepala Desa Alue Sungai Pinang, Kepala Dusun IV Alue Tengku Muda, dan Satu Orang Panitia Pembentukan Desa. Pengambilan sampel secara purposive sampling. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara substansi latar belakang keinginan masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda membentuk desa baru adalah ketidakadilan pembangunan. Sedangkan kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi desa belum sepenuhnya memenuhi persyaratan pembentukan desa sebagaimana yang tertuang dalam Permendagri Nomor 28 Tahun 2006.

Kata-kata kunci (key word) : Pembentukan desa, Syarat-syarat Pembentukan Desa.


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transisi politik yang terjadi di Indonesia, sejak berakhirnya kekuasaan Soeharto pada bulan bulan Mei 1998, menghasilkan dua proses politik yang berjalan secara simultan:

desentralisasi dan demokratisasi. Kedua proses politik itu terlihat jelas dalam pergeseran

format pengaturan politik di taraf lokal maupun nasional, dari pengaturan politik yang bersifat otoritarian-sentralistik menjadi lebih demokratis-desentralistik (Dwipayana dan Sutoro Eko, 2003:v)

Desentralisasi dianggap penting karena setidaknya telah mengubah pola relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang selama ini terpusat di pusaran elit yang berada di Jakarta. Desentralisasi menghadirkan pola kebijakan bottom-up yang selama ini bersifat top-down. Sedangkan hadirnya demokratisasi telah merubah paradigma pola kekuasaan yang selama ini dimiliki secara penuh oleh birokrat, beralih kepada kekuasaan yang “diperebutkan” secara konstitutif oleh partai-partai yang hadir berdasarkan kemerdekaan hak asasi warga Negara Indonesia di bidang politik.

Perubahan di level lokal tentu diawali dengan adanya revisi terhadap beberapa undang-undang tentang pemerintah daerah, yakni UU No.22/1999 (sekarang adalah UU No.32/2004. Pen) Salah satu lokus yang bergeser pengaturannya adalah desa (Dwipayana dan Sutoro Eko, 2003: vi). Sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 hingga sampai saat ini, peraturan-peraturan perundangan yang mengatur tentang bentuk dan susunan pemerintah di daerah, termasuk pemerintahan desa adalah sebaga berikut, (Widjaja, 2003: 2-3):


(13)

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah;

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

5. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah (disempurnakan);

6. Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (disempurnakan) tentang DPRD Gotong Royong dan Sekretaris Daerah;

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Desapraja;

8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;

10.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan 11.Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Secara historis dan kultural, desa atau kesatuan masyarakat hukum terkecil di negara kita memiliki variasi nama. Desa adalah sebutan untuk kesatuan masyarakat hukum yang berada di Pulau Jawa. Sedangkan sebutan untuk kesatuan masyarakat hukum yang berada di luar Pulau Jawa memiliki perbedaan nama masing-masing berdasarkan karakterisitik daerah dan bahasanya. Misalnya kita mengenal adanya sebutan Nagari untuk


(14)

daerah Sumatera Barat, Negeri untuk daerah Maluku, Huta untuk daerah Sumatera Utara, Marga untuk daerah Sumatera Selatan, Kampung untuk daerah Kalimantan Timur, Gampong untuk daerah Aceh, dan lain sebagainya. Perbedaan nama tersebut juga menghadirkan beragam variasi sistem dan struktur pemerintahan kesatuan masyarakat hukum di daerah-daerah tersebut.

Dalam perspektif wawasan kebangsaan, variasi nama-nama tersebut seharusnya menjadi khazanah budaya Indonesia yang wajib dipertahankan sesuai aslinya, sehingga pola pembangunan yang dicanangkan ke level terendah dalam sistem kenegaraan kita dapat berjalan sebagaimana mestinya. Namun sejarah Orde Baru mencatat bahwa kuasa otoritarianisme Soeharto telah menghilangkan kekhasan masing-masing daerah yang telah mandiri secara baik tersebut. Inilah bukti betapa sentralisme kekuasaan telah memusnahkan konsepsi asli tentang pemerintahan desa yang seharusnya dapat menjadi modal filosofi pembangunan bagi tiap-tiap kesatuan masyarakat hukum di Indonesia.

Menyinggung keterkaitan antar desa dengan pembangunan, harus didasari bahwa desa merupakan salah satu sub-sistem dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indoneisa, dan merupakan struktur terendah dalam sistem tersebut. Biarpun Desa merupakan struktur terendah dalam sistem pemerintahan kita, namun demikian, desa ternyata memegang peranan penting dalam proses implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan. Sebab setiap kebijakan pembangunan pemerintah pusat, sebagian besar implementasinya dilakukan oleh pemerintah desa.

Melihat pentingnya peranan desa dalam proses pembangunan, maka upaya-upaya meningkatkan peran struktur pemerintahan desa harus selalu digalakkan. Hal ini dimaksudkan agar proses pembangunan yang telah dicanangkan dapat menyentuh seluruh


(15)

lapisan masyarakat tanpa kecuali. Masyarakat desa adalah unsur pembangunan yang harus diperhatikan kesetaraannya dalam proses pembangunan. Namun fokus masalah tersebut dalam realita di lapangan banyak yang tidak terlaksana secara baik. Hal tersebut akhirnya menimbulkan kesenjangan distribusi hasil-hasil pembangunan di masyarakat. Kondisi demikian tentu ada sebabnya. Salah satu permasalahan yang menjadi penyebab timbulnya kesenjangan tersebut di masyarakat desa adalah kepemimipinan kepala desa. Seorang kepala harus mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya secara baik, sehingga kepemimpinannya mampu membawa kebaikan kepada warga desanya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebutkan dalam Pasal 14 Ayat 1, bahwa tugas kepala desa adalah: menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam Ayat 2 Pasal 14 tersebut dinyatakan bahwa: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa mempunyai wewenang :

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;

b. mengajukan rancangan peraturan desa;

c. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desamengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;

e. membina kehidupan masyarakat desa; f. membina perekonomian desa;


(16)

h. mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Mengingat tugas dan wewenang kepala desa sangat berat tersebut, maka sangat diperlukan kemampuan dari kepala desa untuk mengkoordinasi seluruh kepentingan masyarakat desa dalam setiap pengambilan keputusan. Kepala desa harus menyadari bahwa pekerjaannya tidak mudah. Oleh sebab itu dia harus bersedia melimpahkan semua kewenangannya kepada semua tingkatan pimpinan sampai ke tingkat bawah, sekalipun seperti kepala dusun dan lainnya. (Widjaja: 31). Kesenjangan proses pembangunan adalah efek besar dari ketidakmampuan melakukan distribusi wewenang kepada jajaran di bawahnya oleh seorang kepala desa. Permisalan efek turunannya adalah lambannya proses pembangunan di beberapa bidang di antaranya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain.

Fakta lapangan selalu menunjukkan adanya gerakan sosial dari masyarakat apabila masalah di atas tidak segera diperbaiki. Masyarakat desa yang terdiri dari masyarakat-masyarakat dusun cenderung bergerak untuk melepaskan diri dan membentuk desa baru dengan satu alasan bahwa dusun-dusun mereka tidak pernah diperhatikan oleh kepala desa mereka. Kekecewaan terhadap ketidaktanggapan kepala desa pada isu-isu kesetaraan dalam pembangunan, menghadirkan suatu persepsi yang sangat kuat bahwa membentuk desa baru (pemekaran) adalah sebuah solusi desentralistis dan demokratis guna percepatan pembangunan desa.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa kebijakan desentralisasi yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom dalam mengatur dan mengurus rumah


(17)

tangganya, pada intinya antara lain, adanya perwujudan demokratisasi penyelenggaraan pemerintah daerah yang selama ini sentralistis. Kedua, kebijakan penyerahan kewenangan kepada daerah untuk lebih memberdayakan dan memandirikan daerah, baik dalam peningkatan pelayanan kepada masayarakat, maupun peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, terimplementasikannya kebijakan otonomi daerah tersebut, memunculkan tuntutan baru dari daerah itu sendiri yaitu tuntutan makin mendekatnya pemerintah dengan masyarakat. Dari aspek geografis terkadang suatu wilayah daerah, sangat jauh dari rentang kendali ibu kota daerah otonom, sehingga berpengaruh pada akselerasi pelayanan. Pada dimensi yang terakhir inilah lahir tuntutan pemekaran daerah. (Murtir: 111).

Secara teoritis, pembentukan desa baru nantinya akan melahirkan kesejahteraan dengan adanya peningkatan pelayanan yang lebih baik dan lebih cepat karena rentang rentang kendali pemerintah yang lebih pendek, dengan harapan fakta di lapangan tidak menunjukkan bahwa pemberian status otonom pada desa yang baru belum mampu menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat karena pembentukan desa baru hanya dimanfaatkan oleh segelintir elit untuk mendapatkan kekuasaan.

Adalah masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mencoba melakukan pembentukan desa baru di dusun tersebut. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa masyarakat akan cenderung melakukan gerakan sosial guna mendapatkan hak-hak mereka yang selama ini tidak mereka nikmati. Gerakan sosial tersebut kini sedang dilakukan oleh masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda. Mereka ingin melepaskan diri dari Desa Alue Sungai Pinang (desa induk) dan membentuk desa baru, sebab selama ini


(18)

mereka merasa dianaktirikan oleh desa induk. Namum, pembentukan desa baru tentunya tidak hanya didasarkan pada persoalan hak-hak sosial ekonomi yang belum terpenuhi saja, tanpa mempertimbangkan studi kelayakan apakah dusun tersebut sudah siap untuk menjadi desa baik secara administratif maupun secara fisik kewilayahan, sehingga nantinya pembentukan desa baru menghadirkan kehidupan masyarakat desa yang maju dan sejahtera.

Studi kelayakan yang dimaksudkan di atas harus berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 72 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang di dalamnya memuat tentang syarat-syarat pembentukan desa. Syarat-syarat tersebut wajib dipenuhi oleh sebuah daerah (dusun) yang ingin melakukan pembentukan desa baru.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue

Tengku Muda”.

B. Perumusan Masalah

Suharsimi Arikunto (1993: 17) menguraikan bahwa agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana harus pergi, dan dengan apa ia melakukan penelitian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pentingnya perumusan masalah adalah agar diketahui arah jalan suatu penelitian.


(19)

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut: Bagaimanakah Kesiapan Dusun

IV Alue Tengku Muda untuk Menjadi Desa Alue Tengku Muda ?

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tentunya mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui sejauh mana Dusun IV Alue Tengku Muda dalam mempersiapkan diri guna menjadi desa defenitif.

b. Untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam rencana pembentukan Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan pendidikan, khususnya mengenai pembentukan desa guna mewujudkan percepatan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang berminat menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan sampel penelitian yang lebih banyak;

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi masyarakat desa khususnya di tempat penelitian ini dilaksanakan agar masyarakat terus


(20)

mempersiapkan segala kebutuhan untuk menjadi sebuah desa definitif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori diperlukan untuk memudahkan penelitian, sebab ia merupakan pedoman berfikir bagi peneliti. Oleh karena itu, seorang peneliti harus terlebih dahulu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana ia menyoroti masalah yang dipilihnya.. Selanjutnya menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (1989: 37), teori adalah serangkaian asumsi , konsep, konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.

1. Otonomi Daerah

Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan mayarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-perundangan.

Otonomi daerah menjadi satu hal yang penting, bukan semata-mata karena memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tapi dengan otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Kita selama ini dapat melihat, ketika kebijakan ekonomi dan pembangunan ditentukan oleh pemerintah pusat, maka banyak sekali kebijakan yang dilakukan itu tidak tepat sasaran. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah akan lebih dapat melaksanakan program ekonomi dan


(21)

pembangunan dengan mempertimbangkan kondisi riil daerah. Lebih dari itu, dengan otonomi juga percepatan pembangunan daerah dapat dilaksanakan karena otonomi memberikan peluang finansial yang lebih baik, yang apabila digunakan secara maksimal akan menciptakan jalan kemakmuran bagi masyarakat. (Halim, 2002:16)

Adanya kebijakan otonomi daerah itu membawa konsep pemekaran daerah. Daerah-daerah di tanah air menyambut dengan antusias ide pemekaran daerah tersebut, saat ini saja di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah terbentuk 13 kabupaten baru. Melihat kecenderungan dan semangat daerah dalam memekarkan daerahnya, ada kekhawatiran bahwa ide pemekaran daerah lebih banyak dilatarbelakangi oleh nafsu segelintir orang yang tidak terakomodasi kepentingannya di daerah induk sehingga dengan berbagai upaya taktis dan politis dikembangkan wacana tentang perlunya pemekaran daerah. Hal ini tentunya melenceng dari tujuan pemekaran daerah yang sebenarnya untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Menurut Kastorius (Wahyudi, 2002:18) ide pemekaran daerah setidaknya harus menjawab tiga isu pokok, diantaranya:

1. Urgensi dan relevansi, apakah urgensi pemekaran daerah berkaitan dengan penuntasan masalah kemiskinan dan marginalitas etnik. Jika tidak, pemekaran daerah akan berdampak negatif dan proses pemiskinan rakyat akan semakin cepat. Pertimbangan umum pemekaran biasanya didasari oleh adanya potensi sumber daya alam yang siap untuk dieksploitasi sementara kemampuan daerah menyangkut finansial dan sumber daya manusia amat terbatas. Jalan keluar yang paling mungkin adalah mengundang pihak luar menjadi investor dan ketika keputusan ini diambil maka tidak lama setelah itu akan terjadi proses eksplotasi yang sangat besar


(22)

terhadap kekayaan alam yang dimiliki daerah itu. Cara berfikir inilah yang sangat mengkhawatirkan dan berpotensi mengundang terjadinya proses pemiskinan.

2. Prosedur, apakah prosedur pemekaran daerah sudah ditempuh dengan benar sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ditetapkan. Jika tidak, maka proses pemekaran daerah ini akan berbelit-belit karena rantai birokrasi yang mengurus persoalan seperti ini sangat panjang.

3. Implikasi, yakni sejauh mana pemekaran daerah memberi dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dan secara politis berimplikasi terhadap terpeliharanya identitas etnik dan agama. Selain itu implikasi negatif yang juga harus diperhitungkan adalah terjadinya konflik horizontal berkaitan dengan ide pemekaran daerah itu. Di luar pihak yang memberi dukungan, pasti ada pihak-pihak tertentu yang tidak menyetujui ide pemekaran daerah itu.

2. Desa

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berikut adalah penjelasan mengenai desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut:

“Desa berdasarkan undang-undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus


(23)

kepentingan masyarkat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Undang-undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa walaupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transimigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.

Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkut an, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa.


(24)

Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada bupati atau walikota melalui camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabanya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.

Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan, penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa, dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan pemerintah.

Sedangkan menurut Sutardjo Kartodikusuma sebagaimana dikutip oleh Abu Ahmadi (2003: 241) menjelaskan definisi desa sebagai suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.

Lapera, (2001: 3-6) menguraikan pandangannya tentang desa dengan dua sudut pandang yakni desa dari sudut pandang sosial budaya, dan desa dari sudut pandang politik dan hukum. Bila ditinjau secara sosial budaya desa dapat juga dikatakan sebagai komunitas dalam kesatuan geografis tertentu yang antar mereka saling mengenal dengan baik dengan corak kehidupan yang relatif homogen dan banyak bergantung secara langsung pada alam. Oleh karena itu, desa diasosiasikan sebagai masyarakat yang hidup secara sederhana pada sektor agraris, mempunyai ikatan sosial, adat dan tradisi yang kuat, bersahaja, serta tingkat pendidikan yang dapat dikatakan rendah.


(25)

Dengan demikian, jika kita membahas mengenai desa, setidak-tidaknya memuat beberapa ciri berikut (Lapera, 2001: 4-5):

a. Adanya suatu wilayah yang jelas – dengan demikian wilayah ini telah didefinisikan dengan jelas batas-batas teritorialnya;

b. Adanya sekumpulan orang (bukan pribadi atau sebuah keluarga) yang bertempat tinggal di daerah yang dimaksud, dan menempatkan wilayah tempat tinggal tersebut sebagai “wilayah meraka”;

c. Adanya ikatan dengan dasar yang beragam dan luas, seperti: kebutuhan akan rasa aman bersama; hubungan darah (satu nenek moyang); dan nilai-nilai sosial bersama yang dibangun bersama dari pengalaman hidup bersama;

d. Mempunyai kekuasaan untuk mengatur urusan mereka sendiri – menetapkan pemerintahan sendiri; dan

e. Mempunyai harta benda, kekayaan desa.

Sedangkan dari sudut pandang politik dan hukum, desa sering diidentikkan sebagai organisasi kekuasaan. Melalui perspektif ini, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini, desa bisa dipilah dalam beberapa unsur penting:

(1) adanya orang-orang atau kelompok;

(2) adanya pihak-pihak yang menjadi “penguasa” atau pemimpin (baca: pengambil keputusan)

(3) adanya organisasi (badan) penyelenggaraan kekuasaan;


(26)

(5) adanya mekanisme, tata aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan keputusan.

Siti Waridah, dkk, (2004: 125-126) mengutip pendapat pakar Sosisologi “Talcot Parsons” yang menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (gemeinischaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut:

a. Afektifitas;

b.

ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong-menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih;

Orientasi kolektif;

c.

sifat ini merupakan konsekuensi dari afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan;

Partikularisme;

d.

pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subjektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja (lawannya universalisme);

Askripsi; yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan (lawannya prestasi);


(27)

e. Kekaburan (diffuseness); sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antar pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung untuk menunjukkan sesuatu.

3. Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat a. Pembangunan Desa

Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada di desa tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pembangunan desa. Pembangunan desa seharusnya menerapkan prinsip-prinsip yaitu: (1) transparansi (keterbukaan), (2) partisipatif, (3) dapat dinikmati masyarakat, (4) dapat dipertanggungjawabkan, dan (5) berkelanjutan (sustainable). Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat dilanjutkan dan dikembangkan ke seluruh pelosok daerah, untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan itu pada dasarnya adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat seharusnya diajak untuk menentukan visi (wawasan) pembangunan masa depan yang akan diwujudkan. Masa depan merupakan impian tentang keadaan masa depan yang lebih baik dan lebih indah dalam arti tercapainya tingkat kemakmuran yang lebih tinggi.

Pembangunan desa dilakukan dengan pendekatan secara multisektoral (holistik), partisipatif, berlandaskan pada semangat kemandirian, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan serta melaksanakan pemanfaatan sumber daya pembangunan secara serasi dan selaras serta sinergis sehingga tercapai optimalitas.


(28)

Ada tiga prinsip pokok pembangunan pedesaan, yaitu:

Pertama, Kebijakan dan langkah-langkah pembangunan di setiap desa mengacu kepada pencapaian sasaran pembangunan berdasarkan Trilogi Pembangunan. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan tersebut yaitu (a) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, (b) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan (c) stabilitas yang sehat dan dinamis, diterapkan di setiap sektor, termasuk desa dan kota, di setiap wilayah dan antar wilayah secara saling terkait, serta dikembangkan secara selaras dan terpadu.

Kedua, Pembangunan desa dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pembanguan yang berkelanjutan. Penerapan prinsip pembangunan yang berkelanjutan mensyaratkan setiap daerah mengandalkan sumber-sumber alam yang terbaharui sebagai sumber pertumbuhan. Disamping itu setiap desa perlu memanfaatkan SDM secara luas, memanfaatkan modal fisik, prasarana mesin-mesin, dan peralatan seefisien mungkin.

Ketiga, Meningkatkan efisiensi masyarakat melalui kebijaksanaan deregulasi, debirokratisasi dan desentralisasi dengan sebaik-baiknya.

Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan desa, diperlukan kerjasama yang erat antar daerah dalam satu wilayah dan antar wilayah. Dalam hubungan ini perlu selalu diperhatikan kesesuaian hubungan antar kota dengan daerah pedesaan sekitarnya, dan antara suatu kota dengan kota-kota sekitarnya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lokasi industri, lokasi kegiatan pertanian atau sektor-sektor lain yang menunjang/terkait cenderung terkonsentrasi hanya pada daerah administrasi yang berdekatan. Dengan


(29)

kerjasama antar daerah, maka daerah-daerah yang dimaksud dapat tumbuh secara serasi dan saling menunjang.

Seperti dalam pembangunan ekonomi pada umumnya, maka dalam mewujudkan tujuan pembangunan desa, terdapat paling sedikit empat strategi, yaitu (1) Strategi pertumbuhan, (2) Strategi kesejahteraan, (3) Strategi yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, (4) Strategi terpadu atau strategi yang menyeluruh.

(1) Strategi Pertumbuhan

Strategi pertumbuhan umumnya dimaksudkan untuk mencapai peningkatan secara cepat dalam nilai ekonomis melalui peningkatan pendapatan perkapita, produksi dan produktivitas sektor pertanian, permodalan, penempatan kerja dan peningkatan kemampuan partisipasi masyarakat pedesaan.

(2) Strategi Kesejahteraan

Strategi kesejahteraan pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki taraf hidup atau kesejahteraan penduduk desa melalui pelayanan dan peningkatan program-program pembangunan sosial yang berskala besar atau nasional, seperti peningkatan pendidikan, perbaikan kesehatan dan gizi, penanggulangan urbanisasi, perbaikan pemukiman penduduk, pembangunan fasilitas transportasi, penyediaan prasarana dan sarana sosial lainnya.

(3) Strategi yang Responsif terhadap Kebutuhan Masyarakat

Strategi ini merupakan reaksi terhadap strategi kesejahteraan yang dimaksudkan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan pembangunan yang dirumuskan oleh masyarakat sendiri dan mungkin saja dengan bantuan pihak luar (sell need and assistance) untuk memperlancar usaha mandiri


(30)

melalui pengadaan teknologi dan tersedianya sumber-sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan di desa.

(4) Strategi Terpadu dan Menyeluruh.

Strategi terpadu dan menyeluruh ingin mencapai tujuan-tujuan yang menyangkut kelangsungan pertumbuhan, persamaan, kesejahteraan dan partisipasi aktif masyarakat secara simultan dalam proses pembangunan desa. Secara konsepsional terdapat tiga prinsip yang membedakannya dengan strategi lain, yaitu: Pertama, Persamaan, keadilan, pemerataan dan partisipasi masyarakat merupakan tujuan

yang eksplisit dari strategi terpadu ini. Oleh karena itu pemerintah desa yang berwenang harus: (a) memahami dinamika sosial masyarakat setempat, (b) memecahkan masalah yang dihadapinya, dan (c) memperkuat aparatur pemerintah desa dalam melakukan intervensi sosial.

Kedua, Perlunya perubahan-perubahan mendasar, baik dalam kesepakatan maupun dalam gaya dan cara kerja, karena itu pemerintah desa ,harus memiliki komitmen yang kuat untuk: (a) menentukan arah, strategi, dan proses menuju terwujudnya tujuan dan sasaran pembangunan, (b) memelihara integritas masyarakat pedesaan yang didukung oleh local leadership (kepemimpinan lokal).

Ketiga, Perlunya keterlibatan pemerintah desa dan organisasi sosial secara terpadu, untuk meningkatkan keterkaitan antara organisasi formal dan organisasi informal. (Raharjdo: 19-23, 2006)

b. Pemberdayaan Masyarakat

Untuk mengatasi persoalan kemiskinan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik di desa maupun di perkotaan, maka hal tersebut dapat dilaksanakan


(31)

dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya dimana masyarakat berdaya dan mandiri dalam mengelola berbagai potensi yang mereka miliki dalam mencapai kesejahteraannya. Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto (2007: 37-41) menyatakan bahwa ada 5 argumentasi mengapa pemberdayaan masyarakat untuk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan pembangunan Indonesia. Pertama, demokratisasi proses pembangunan. Konsep pemberdayaan dipercaya mampu

memjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara (baca: rakyat) dalam proses pembangunan, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasinya. Salah satu pendekatan untuk mendemokratisasikan proses pembangunan adalah memberikan peluan sebesar-besarnya kepada lapisan masyarakat paling bawah (grass-root, baca: rakyat miskin) untuk terlibat dalam pengalokasian sumber daya pembangunan. Inilah hakikat konsep pembangunan yang diarahkan oleh rakyat atau dalam istilah lain disebut pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (community-driven development). Proses ini diyakini mampu menjadi wahana pembelajaran pencerdasan bagi rakyat untuk mengenali kebutuhannya serta melaksanakan dan melestarikan upaya memenuhi kebutuhannya itu. Penerapan konsep pemberdayaan dengan demikian mempunyai efek samping dalam bentuk mampu memberikan jalan terlaksananya penyelenggaraan ketatanegaraan secara baik.

Kedua, penguatan peran organisasi kemasyarakatan lokal. Konsep pemberdayaan dipercaya mampu menjawab tantangan bagaimana melibatkan organisasi kemasyarakatan lokal berfungsi dalam pembangunan. Organisasi kemasyarakatan lokal merupakan pemegang peran sentral terjadinya perubahan sosial karena


(32)

merekalah yang paling mengerti karakter lapisan masyarakat bawah. Dalam mekanisme manajemen pembangunan modern, peran mereka harus diorganisasikan secara hierarkis agar informasi tentang situasi terkini dapat dijalin secara multiarah, baik vertikal maupun horizontal. Peran organisasi kemasyarakatan dalam mendampingi rakyat miskin sangat bervariatif, mulai sebagai inisiator, katalisator, hingga fasilitator.

Ketiga, penguatan modal sosial. Konsep pemberdayaan diyakini mampu menggali dan memperkukuh ikatan sosial diantara warga negara (baca: warga masyarakat). Penguatan modal sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, yaitu kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian. Penguatan modal sosial merupakan motivasi dasar setiap kegiatan yang dapat menjadi spirit (pemacu) perwujudan tujuan pemberdayaan itu sendiri. Proses pemberdayaan dengan sendirinya mampu menciptakan kultur masyarakat yang mandiri, menciptakan hubungan harmonis diantara rakyat serta antara rayat dengan pamong praja.

Keempat, penguatan kapasitas birokrasi lokal. Konsep pemberdayaan secara khusus diyakini mampu meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan khusunya kepada penduduk setempat. Konsep pemberdayaan memaksa jajaran rakyatnya agar rakyat dapat memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya baik fisik maupun nonfisik secara mudah. Dalam proses pemberdayaan – akhirnya – karena rakyatnya bertambah cerdas, pada akhirnya mereka mampu memaksa para penyelenggara pelayanan publik dan pemerintahan untuk belajar memahami dan melayani rakyatnya lebih baik.


(33)

Kelima, mempercepat penanggulangan kemiskinan. Konsep pemberdayaan dalam bentuknya yang paling menonjol diyakini dapat mempercepat penanggulangan kemiskinan, yaitu meninngkatkan kesejahteraan rakyat miskin, karena dalam pendekatan pemberdayaan ini para penyelenggara poembangunan – baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan – dituntut memberikan pemihakan dan perlindungan kepada rakyat miskin. Pemihakan dilakukan dengan senantiasa mengalokasikan suumber daya pembangunan untuk rakyat miskin. Karakter lokal harus menjadi landasan dalam pemihakan agar antara berpeluang dan aspirasi dapat terartikulasikan secara baik. Perlindungan dilakukan dengan senantiasa membela rakyat miskin dalam berbagai aspeknya yang positif. Rakyat miskin harus senantiasa dilindungi dan didampingi agar memiliki kekuatan untuk meraih (mengakses) sumber daya ekonomi. Oleh karena itu, peran pendamping sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini.

Lebih lanjut, kita perlu memperhatikan penyataan berikut: (1) tidak semua pendudukmempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu; dan (2) tidak semua penduduk mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu, memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhan konsumsinya dan konsumsi untuk seluruh anggota keluarganya.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan: (1) apabila penduduk yang mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu mempunyai penghasilan yang kurang dari kebutuhan konsumsinya (termasuk konsumsi seluruh anggota keluarganya) berdasarkan kebutuhan minimum lokal, ia dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin;


(34)

dan (2) apabila penduduk miskin tidak mempunyai usaha atau tidak melakukan/memiliki pekerjaan tertentu (sehingga tidak mempunyai penghasilan), ia dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin parah.

Agar penduduk miskin (baca: anggota rumah tangga miskin) menjadi tidak miskin lagi, meraka memerlukan sesuatu yang dapat memberikan penghasilan atau sesuatu yang dapat meringankan beban konsumsinya. Dalam rangka memberikan peluang bagi penduduk miskin agar dapat mempunyai usaha atau melakukan/memiliki pekerjaan tertentu sehingga dapat mempunyai penghasilan, kita dapat memberikan peluang pekerjaan yang dapat menambah/memberikan penghasilan.

Untuk dapat menjalankan kebijakan pembangunan yang baik dan berkelanjutan, maka diperlukan proses pemberdayaan masyarakat yang baik juga agar tujuan-tujuan pembangunan yang ingin diwujudkan dapat terlakasa sesuai rencana.

4. Pembentukan Desa

a. Pengertian Pembentukan Desa

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa pada pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

b.Tujuan Pembentukan Desa

Berdasarkan Permendagri No. 28 Tahun 2006 pada pasal 2 menyatakan bahwa pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.


(35)

Menurut Latuconsina, pemekaran adalah bagian dari proses implementasi desentralisasi yang memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum berbagai macam tujuan dapat diklasifikasikan ke dalam dua variabel penting yakni peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan. Secara otomatis melalui otonomi daerah dalam hal ini adalah pembentukan desa baru dengan azas desentralisasi akan terjadi optimalisasi hirarki penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh instansi yang memiliki kedudukan lebih dekat dengan masayarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat, adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal, adanya tingkat perawatan terhadap infrastruktur yang ada melalui alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya tersebut.

c. Dasar Hukum Pembentukan Desa

1. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

Pada pasal 2 ayat (3) dalam PP No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa menyatakan bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Sedangkan pada pasal 2 ayat (4) menyebutkan bahawa pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan desa.


(36)

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006

Permendagri No. 28 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan merupakan aturan turunan dari PP No. 72 Tahun 2005 yang mengatur lebih lanjut tentang mekanisme pembentukan desa. Permendagri tersebut memuat tentang syarat dan tata cara pembentukan desa yang merupakan aturan terbaru yang ada pada saat ini.

Tata cara pembentukan desa sebagaimana yang dimaksud pada pasal 5 Permendagri No. 28 Tahun 2006 dilaksanakan sebagai berikut:

a. Adanya prakarsa dan kesepakatan masyarakat untuk membentuk desa;

b. Masyarakat mengajukan usul pembentukan desa kepada BPD dan Kepala Desa; c. BPD mengadakan rapat bersama Kepala Desa untuk membahas usul masyarakat

tentang pembentukan desa, dan kesepakatan rapat dituangkan dalam Berita Acara Hasil Rapat BPD tentang Pembentukan Desa;

d. Kepala Desa mengajukan usul pembentukan Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat, disertai Berita Acara Hasil Rapat BPD dan rencana wilayah administrasi desa yang akan dibentuk;

e. Dengan memperhatikan dokumen usulan Kepala Desa, Bupati/Walikota menugaskan Tim Kabupaten/Kota bersama Tim Kecamatan untuk melakukan observasi ke Desa yang akan dibentuk, yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Bupati/Walikota;

f. Bila rekomendasi Tim Observasi menyatakan layak dibentuk desa baru, Bupati/ Walikota menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa;


(37)

g. Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada huruf f, harus melibatkan pemerintah desa, BPD, dan unsur masyarakat desa, agar dapat ditetapkan secara tepat batas-batas wilayah desa yang akan dibentuk;

h. Bupati/Walikota mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa hasil pembahasan pemerintah desa, BPD, dan unsur masyarakat desa kepada DPRD dalam forum rapat Paripur na DPRD;

i. DPRD bersama Bupati/Walikota melakukan pembahasan atas Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan desa, dan bila diperlukan dapat mengikutsertakan Pemerintah Desa, BPD, dan unsur masyarakat desa;

j. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah;

k. Peyampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada huruf j, disampaikan oleh Pimpinan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama;

l. Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada huruf k, ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan tersebut disetujui bersama; dan

m. Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Desa yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada huruf 1, Sekretaris Daerah mengundangkan Peraturan Daerah tersebut di dalam Lembaran Daerah.


(38)

d. Syarat-Syarat Pembentukan Desa

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa menyatakan bahwa pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Sedangkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28 Tahun 2006 menyatakan bahwa pembentukan desa bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Adapun pembentukan desa harus memenuhi berbagai syarat yang tertuang dalam yang tertuang dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Permendagri No. 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan adalah sebagai berikut:

Syarat pembentukan desa berdasarkan PP No. 72 Tahun 2005 pada pasal 2 adalah sebagai beikut:

a. jumlah penduduk; b.luas wilayah;

c. bagian wilayah kerja; d.perangkat; dan

e. sarana dan prasarana pemerintahan

Sedangkan dalam Permendagri No. 28 Tahun 2006 pada pasal 3 dijelaskan lebih lanjut tentang syarat pembentukan tentang desa adalah sebagai berikut:

a. jumlah penduduk, yaitu:

1) wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK; 2) wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau


(39)

200 KK; dan

3) wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit 750 jiwa atau 75 KK.

e. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat;

f. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;

g. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;

h. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;

i. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan daerah; dan

j. sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan perhubungan.

F. Defenisi Konsep

Menurut Masri Singarimbun yang dikutip oleh Mardalis (2003: 45) bahwa konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama. Tujuannya adalah untuk menghindari interpretasi ganda dari variabel yag akan diteliti.

1. Kesiapan

Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, “kesiapan” merupakan kata nomina atau kata benda dengan konfiks ke-an (2002:1038), dengan kata dasar “siap”. “Siap” berarti mengatur atau membereskan sesuatu sehingga tinggal memakai saja


(40)

(2002:1417). Sehingga kesiapan adalah suatu keadaan telah siap, yaitu segala sesuatu telah diatur dan dibereskan untuk suatu pekerjaan dengan persiapan berupa perlengkapan, hal, tindakan, rancangan dan sebagainya. Jadi kesiapan daerah (dusun) menuju

pembentukan desa adalah kemampuan daerah (dusun) dalam mempersiapkan daerahnya

sehingga memenuhi semua persyaratan suatu daerah dapat dibentuk menjadi desa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Desa

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Pembentukan Desa

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa menyatakan pembentukan desa adalah dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.

G. Defenisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel, sehingga dengan pengukuran ini dapat diketahui indikator-indikator apa saja yang mendukung penganalisaan dari variabel-variabel tersebut (Singarimbun, 1989: 46). Widodo (2004: 52) mengutip pendapat Fred N. Kerlinger, bahwa


(41)

definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur suatu variabel. Dalam definisi operasional ini disajikan parameter/indikator dari variabel yang diteliti dengan tujuan untuk memudahkan membaca fenomena-fenomena yang diteliti.

Berdasarkan permasalahan dan kerangka teori yang menjadi referensi teoritis dalam penelitian ini, maka indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tunggal (Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda) adalah sebagai berikut: a. Jumlah penduduk;

b. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat;

c. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;

d. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;

e. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;

f. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan daerah; dan

g. sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan perhubungan.


(42)

BAB II

METODE PENELITIAN A. Bentuk Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2004: 44) memberikan pengertian penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang beradasarkan data-data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi; ia juga bisa bersifat komperatif dan korelatif. Sudarwan Danim (2002: 41) memberikan beberapa ciri dominan dari penelitian deskriptif yaitu:

1. Bersifat mendeskripsikan kejadian atau peristiwa yang bersifat faktual. Adakalanya penelitian ini dimaksudkan hanya membuat deskripsi atau narasi semata-mata dari suatu fenomena.

2. Dilakukan secara survei. Oleh karena itu penelitian deskriptif sering disebut juga sebagai penelitian survei.

3. Bersifat mencari informasi faktual dan dilakukan secara mendetail;

4. Mendeskripsikan subjek yang sedang dikelola oleh kelompok orang tertentu dalam waktu yang bersamaan.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


(43)

C. Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian tidak ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi tiga macam, yaitu (1) informan kunci (key Informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan utama, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti. (Hendrarso dalam Suyanto, 2005: 171-172)

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menentukan informan dengan menggunakan teknik purposive yaitu: penentuan informan tidak didasarkan atas strata, pedoman atau wilayah tetapi berdasarkan adanya tujuan tertentu yang tetap berhubungan dengan permasalahan penelitian, maka peniliti dalam hal ini menggunakan informan penelitian yang terdiri dari:

1. Informan Kunci, berjumlah 1 orang yaitu pemrakarsa pembentukan desa. 2. Informan Utama, berjumlah 2 orang yaitu:

a. Camat Jeumpa Bapak Hasbi Hasan, S. Sos. M.M b. Kepala Desa Alue Sungai Bapak Zaini, B. Sc.


(44)

3. Informan Tambahan, berjumlah 1 orang yaitu dari tokoh masyarakat Bapak Muhammad Iman Ismail M. Amin Nyak Geh sebagai kepala Dusun IV Alue Tengku Muda.

Jumlah informan ini dapat berkembang jika dalam proses penelitian nantinya ditemukan variasi jawaban atau adanya jawaban baru yang berbeda dari informan sebelumnya yang dapat meningkatkan kualitas informasi.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaiu: 1. Teknik Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer yaitu data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung di lapangan untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik ini dilakukan melalui:

a. Metode wawancara mendalam, yaitu dengan cara memberikan pertanyaan langsung kepada sejumlah pihak terkait yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Metode wawancara ditujukan untuk informan penelitian yang telah ditetapkan.

b. Metode observasi non partisan, yaitu pengamatan namun tidak terlibat secara langsung. Pengamatan yang dimaksud di sini adalah deskripsi secara sistematis tentang kejadian dan tingkah laku dalam setting sosial yang dipilih untuk diteliti. Metode pengamatan ini bervariasi mulai dari yang sangat terstruktur dengan catatan rinci mengenai tingkah laku sampai dengan deskripsi yang paling kabur tentang kejadian dan tingkah laku.


(45)

2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

a. Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data-data yang diperoleh dengan mempelajari sejumlah buku, tulisan dan karya ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

b. Dokumentasi, yaitu dengan menggunakan catatan-catatan yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.

E. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif. Teknik analisis data kualitatif dalam hal ini menggunakan analisis SWOT.

Dalam Penelitian ini analisis yang akan dilakukan adalah dengan melihat kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa berdasarkan syarat-syarat yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan. Selanjutnnya akan diidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam rencana pembentukan Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi desa. Syarat-syarat pembentukan desa tersebut meliputi:

a. jumlah penduduk, yaitu:

1) wilayah Jawa dan Bali paling sedikit 1500 jiwa atau 300 KK; 2) wilayah Sumatera dan Sulawesi paling sedikit 1000 jiwa atau

200 KK; dan

3) wilayah Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Papua paling sedikit 750 jiwa atau 75 KK.


(46)

b. luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat;

c. wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun;

d.sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;

e. potensi desa yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia;

f. batas desa yang dinyatakan dalam bentuk peta desa yang ditetapkan dengan peraturan daerah; dan

g.sarana dan prasarana yaitu tersedianya potensi infrastruktur pemerintahan desa dan perhubungan.


(47)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Nama Desa

Nama Desa Alue Sungai Pinang diambil dari kisah legenda Teuku Malem Diwa. Karena desa ini tumbuh pohon pinang besar (Areca Catechu). Selain itu Desa Alue Sungai Pinang juga dinamai atas dasar karena di desa ini banyak terdapat alue (anak sungai) yang mengaliri air ke sawah-sawah penduduk, juga sungai yang sebagian besar digunakan masyarakat desa sebagai tempat MCK (mandi, cuci dan kakus).

B. Letak Geografis

Desa Alue Sungai Pinang berada di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Desa ini memiliki luas wilayah 3.460 Ha2 yang terdiri dari 5 dusun, yaitu Dusun I Pasar, Dusun II Alue Sanggeu, Dusun III Alue Seulaseh, Dusun IV Alue Teungku Muda dan Dusun V Gunong Tengku.

Adapun batas-batas wilayah Desa Alue Sungai Pinang sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan pegunungan/Kabupaten Gayo Lues; 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kuta Jeumpa Kecamatan Jeumpa; 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Alue Rambot Kecamatan Jeumpa; 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cot Manee Kecamatan Jeumpa.


(48)

C. Sarana dan Prasarana

Ketersediaan sarana dan prasarana di Desa Alue Sungai Pinang belum begitu memadai, hal ini terlihat dari masih adanya yang rusak, parit dan talut yang sering longsor. Sedangkan untuk sarana transportasi, rata-rata penduduk sudah memakai sepeda motor, bahkan mobil. Untuk menuju pusat Kota Provinsi Naggroe Aceh Darussalam di Banda Aceh tidak terlalu sulit karena adanya angkutan umum dan keberadaan desa yang dilalui oleh jalan Negara. Selain itu, Desa Alue Sungai Pinang terdapat 1 buah jembatan yang terletak di jalan negara yang sekaligus jembatan tersebut menjadi batas alam antara Desa Alue Sungai Pinang dengan Desa Kuta Jeumpa.

Desa Alue Sungai Pinang terdiri dari dua unit jalan, yaitu jalan kecamatan dengan panjang jalan ± 2.000 meter dan lebar ± 15 meter dengan jenis aspal dan kondisi yang masih bagus dan jalan relokasi yang terletak di Dusun III Alue Seulaseh dan Dusun IV Gunong Cut dengan panjang ± 1.500 meter dengan kondisi jalan yang saat ini sedang rusak. Di Desa Alue Sungai Pinang tidak terdapat saluran pembuangan, karena di desa tersebut tidak memiliki limbah pabrik dan juga karena air irigasi dimanfaatkan warga untuk kebutuhan MCK dan mengairi sawah. Sedangkan untuk penggunaan energi listrik, hamper 99 % massyarakat sudah menggunkannya untuk berbagai kepentingan rumah tangga.


(49)

D. Fasilitas Umum

Ketersediaan fasilitas umum di Desa Alue Sungai Pinang dapat peneliti gambarkan dalam bentuk tabel seperti di bawah ini:

Jenis Ukuran/Daya Tampung Kondisi

Mesjid

Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar (2 unit)

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Umum (SMU) Gedung Desa (Kantor Mukim) Pesantren (1 unit)

Balai Pengajian (3 unit) TPA (2 unit)

Tempat Pelelangan Ikan Puskesmas

Pasar

MCK Umum

Kuburan Umum (7 Lokasi) Lumbung Desa 1.000 orang 50 orang 6 Kelas - -

13 x 8 meter 160 orang 10 – 15 orang 50 orang - 15 orang - - 200 kuburan -

5. Sumber-sumber air bersih

Ketersediaan sumber-sumber air bersih di Desa Alue Sungai Pinang peneliti gambarkan dalam tabel seperti di bawah ini:

Jenis Satuan/Unit

Sungai Sumur Cincin Sumur Bor PDAM Bak Penampungan 1 70 Unit - 3 Unit I Unit

E. Potensi Ekonomi 1. Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Desa Alue Sungai Pinang pada umumnya adalah di sektor pertanian. Dengan lahan sawah seluas 80 Hektar, lahan perkebunan 780 Hektar,


(50)

lahan kering 890 Hektar dan lahan pekarangan 850 Hektar. Masyarakat Alue Sungai Pinang umumnya menanam padi (Oriza Sativa). Sedangkan untuk tanaman palawija yang biasa ditanami di Desa Alue Sungai Pinang adalah jagung (Zea Mays L), ubi kayu (Manihot Utilisima), ubi jalar (Ipomea Batata), kacang tanah (Aracis Hypogaea) dan kedelai (Glycine L. Meryl). Tanaman holtikultura yang biasa ditanami dan banyak terdapat di Desa Alue Sungai Pinang adalah pisang (Musa Paradisiaca), Mangga (Mangifera Indica), Durian ( Durio Zibethinus), Kuini (Mangifera Odorata), sa#wo (Manilcara), Rambutan, Tomat (Licoparsikum Asculantum), Cabai (Capsicum Annum), mentimun (Cucumis Sativus) dan beberapa jenis tanaman hias.

Sedangkan di daerah yang berbukit dan gunung merupakan daerah kebun penduduk yang sebagian besar ditanami pohon Pala (Mysistica Paragran Hot), Pinang (Areca Catechu), Durian ( Durio Zibethinus), Kuini (Mangifera Odorata), Mangga (Mangifera Indica), Coklat (Teobroma Cacao), dan Nilam (Pagostemon Cablin).

Tanaman perkebunan yang ada Desa Alue Sungai Pinang sebagian besar adalah Pala (Mysistica Paragran Hot), selain itu juga terdapat tanaman Coklat (Teobroma Cacao), Nilam (Pagostemon Cablin) dan Pinang (Areca Catechu).

Selain di sektor pertanian, masyarakat di Desa Alue Sungai Pinang juga memelihara ternak di hampir setiap rumah, berupa ternak ayam (gallus-gallus varius, gallus-gallus banvica)

2. Sumber-sumber Mata Pencaharian Pokok

Untuk sumber-sumber mata pencaharian penduduk peneliti paparkan melalui tabel di bawah ini:


(51)

Jenis Mata Pencaharian Utama Jumlah Keterangan

Nelayan 5 orang

Pegawai Negeri Sipil 40 orang

Dagang 71 orang

Menyulam -

Tukang 98 orang

Tani 1.173 orang

Wiraswasta 132 orang

Pensiunan 13 orang

TNI 4 orang

Polri 4 orang

Sopir 34 orang

Menjahit 27 orang

3. Jenis Mata Pencaharian dan Perlengkapan yang digunakan

Jenis Mata Pencaharian dan Perlengkapan yang digunakan peneliti gambarkan dalam tabel seperti di bawah ini:

Jenis Mata Pencaharian Peralatan Yang Digunakan Keterangan

Tukang a. Ketam Tangan

b. Gergaji Mesin c. Pahat

d. Martil e. Kampak f. Bor

Menjahit a. Mesin Jahit

b. Gunting c. Meteran d. Benang e. Jarum

f. Mesin Bordir g. Mesin Pinggir


(52)

Menyulam -

Tani a. Parang

b. Cangkul c. Bajak

d. Hand Tractor

Ternak Ayam -

Tukang Kayu a. Chainsaw

b. Gergaji c. Ketam

F. Potensi Sumber Daya Alam

Jenis Luas/Unit Keterangan

Sawah 80 Ha

Tambak 2 Ha

Perkebunan 780 Ha

Kehutanan - Tak terbatas

Kelautan - Nihil

Lain-lain 860 Ha

G. Sosial Budaya

Di Desa Alue Sungai Pinang terdapat Kelompok Seudati, Ratep Meusukat, dan Ratep Akhir Zaman. Akan tetapi sampai sejauh ini, belum pernah diikutkan dalam pelatihan-pelatihan yang diadakan baik oleh pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi.


(53)

H. Gambaran Umum Dusun IV Alue Tengku Muda

Nama Dusun IV Alue Tengku Muda diambil dari nama seorang tengku (ulama) yang telah lama menetap dan mengabdikan ilmunya di dusun tersebut.

Berdasarkan sensus terbaru tahun 2008, jumlah penduduk di Dusun IV Alue Tengku Muda adalah 337 jiwa yang terdiri dari laki-laki 181 jiwa dan perempuan 156 jiwa atau 83 kepala keluarga. Jika dibandingkan dengan dusun-dusun lain di Desa Alue Sungai Pinang, Dusun IV Alue Tengku Muda masih tergolong sebagai dusun yang tertinggal di bidang pembangunan, baik itu dari segi bangunan pemerintahan seperti Puskesmas dan sekolah, kondisi jalan dusun yang rusak maupun bangunan ibadah (mesjid) yang masih belum selesai pengerjaannya karena terbentur dana. Di sisi lain, jarak dusun yang relatif jauh dari desa induk yang menyebabkan sering terhambatnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat di dusun tersebut.

Dusun IV Alue Tengku Muda memiliki luas wilayah ± 2 Km2 dengan batas geografis adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Perkebunan Rakyat;

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Iku Lhung;

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Dusun V Gunong Tengku; dan

d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Alue Rambot.

Letak Dusun IV Alue Tengku Muda sangat strategis karena berada diantara Jalan Negara Blangpidie – Nagan Raya yang memudahkan masyarakat dalam memperoleh arus informasi dan transportasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diantara areal persawahan dan pegunungan sebagai tempat penduduk berkebun (pala dan coklat/kakao).


(54)

Disamping itu dusun tersebut juga memiliki dua jalan, yang pertama jalan yang menuju Perkebunan Rakyat (Jalan Tengku Muda) dan jalan yang menuju areal persawahan (Jalan Kota Malaka).

Jalan Negara yang menghubungkan Kabupaten Aceh Barat Daya – Nagan Raya Yang terletak di tengah-tengah Dusun IV Alue Tengku Muda

Jalan Kota Malaka menuju ke areal persawahan warga yang sampai saat ini kondisinya belum dilakukan pengaspalan


(55)

Jalan Perkebunan Rakyat menuju ke areal pegunungan yang saat ini kondisi aspalnya rusak

1 buah bangunan mesjid yang saat ini masih tersendat pembangunannya karena terbentur dana

Secara umum masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda telah menggunakan listrik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Untuk potensi alam, Dusun IV Alue Tengku Muda memiliki tambang batu besi, areal persawahan dan perkebunan yang berada di lereng gunung, secara umum masyarakat menanam tanaman pala dan tanaman coklat (kakao) sebagai mata pencaharian penduduk yang paling banyak adalah bertani dan ada juga yang menjadi kuli bangunan. 90 % penduduk, 20, SMA 10 %, kuliah 2 orang, PNS 2 orang, Satpol PP 1 orang. Aset dusun yang ada persawahan Bandes seluas 8.000 meter. Sedangkan untuk sarana pelayanan


(56)

kesehatan, Dusun IV Alue Tengku Muda belum memiliki sarana seperti Puskesmas ataupun Pustu (Puskesmas Pembantu), jadi ketika ada warga yang sakit, maka warga tersebut harus dibawa berobat di Puskesmas yang ada di Dusun V Gunong Tengku yang berjarak ±

½

kilometer.

Areal persawahan yang menjadi potensi Dusun IV Alue Tengku Muda

Tanaman coklat (kakao) yang menjadi sumber pendapatan warga

Dulunya Dusun IV Alue Tengku Muda memiliki industri pembuatan batu bata, namun karena harga batu bata yang lebih murah daripada ongkos produksi memaksa industri pembuatan batu bata tersebut harus gulung tikar. Dusun ini juga memiliki 2 pabrik penggilingan padi, untuk sarana air bersih, Dusun IV Alue Tengku Muda belum memiliki sarana untuk itu, masyarakat masih menggunakan sungai sebagai tempat untuk mengambil air bersih dengan cara menggali tanah di sekitar sungai untuk dapat diambil airnya yang nantinya akan dikonsumsi warga. Sedangkan untuk MCK masyarakat masih juga menggunakan sungai sebagai sarana MCK.


(57)

Dua pabrik gilingan padi yang beada di Dusun IV Alue Tengku Muda

Salah satu tower telefon seluler di Kecamatan Jeumpa Yang jaringannya sampai ke Dusun IV Alue Tengku Muda


(58)

BAB IV PENYAJIAN DATA A. Hasil Penelitian

Pada bab ini penulis akan menyajikan data yang telah diperoleh melalui penelitian di lapangan untuk kemudian dianalisis berdasarkan teori yang ada. Data tersebut terdiri atas data primer dan data sekunder. Data perimer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang memperkuat data primer. Adapun permasalahan utama yang hendak disajikan dalam bab ini yaitu kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi Desa Alue Tengku Muda.

B. Pelaksanaan Wawancara

Penelitian ini dilakukan pada Dusun IV Alue Tengku Muda Desa Alue Sungai Pinang Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, selama kurang lebih 2 bulan. Dalam pengumpulan data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian, ada beberapa tahapan yang dilakukan penulis, yaitu:

pertama, penelitian diawali dengan pengumpulan berbagai dokumen tertulis tentang

kondisi umum Desa Alue Sungai Pinang dan Dusun IV Alue Tengku Muda seperti profil Desa Alue Sungai Pinang dan Dusun IV Alue Tengku Muda. Kedua, penulis melakukan wawancara dengan beberapa informan yang sudah ditetapkan untuk mendapatkan informasi dan fakta-fakta yang lebih komprehensif menyangkut permasalah penelitian.

Wawancara merupakan salah satu cara untuk mendaptkan informasi dari para key


(59)

dengan rancangan penelitian, penulis menetapkan jumlah key informan sebanyak 4 (empat) orang. Keempat orang yang ditetapkan sebagai key informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tertentu karena dianggap dapat menjawab segala sesuatu yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu yang berhubungan dengan Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi Desa Alue Tengku Muda. Keempat orang yang menjadi key informan terdiri dari Pemrakarsa Pembentukan Desa, Camat Jeumpa, Kepala Desa Alue Sungai Pinang dan Kepala Dusun IV Alue Tengku Muda.

C. Pedoman Administratif

Berdasarkan kerangka acuan (proposal) pembentukan Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi Desa Alue Tengku Muda di tahun 2006, pedoman administratif yang dipakai oleh warga Dusun IV Alue Tengku Muda adalah Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Aceh, dan Qanun No. 27 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Gampong (desa) dalam Kabupaten Aceh Barat Daya. Di dalam Bab II Bagian Pertama tentang Syarat-Syarat Pembentukan Gampong/desa, qanun tersebut menyebutkan bahwa:

(1) Untuk membentuk suatu gampong sekurang-kurangnya mempunyai penduduk 250 jiwa;

(2) Memiliki luas tertentu dan terjangkau secara berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka memberikan pelayanan dan pembinaan kepada masyarakat;

(3) Letak wilayah memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antara dusun dengan dusun yang letaknya memungkinkan terpenuhi dalam wilayah tersebut;


(60)

(4) Tersedianya sarana dan prasarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi, sarana dan prasarana pemerintahan desa;

(5) Kesamaan sosial budaya yaitu suasana yang memberikan kemungkinan terbinanya kerukunan hidup beragama dan kerukunan hidup bermasyarakat yang berhubungan dengan adat-istiadat;

(6) Dalam pembentukan gampong/desa perlu mempedomani pola tata gampong yang memungkinkan kelancaran perkembangan yang selaras dan sesuai dengan atat pemerintahan gampong, tata masyarakat dan fisik gampong/desa guna mempertahankan kesimbangan dan kelestariannya.

Selain itu terdapat pula bukti dukungan dari masyarakat yang terbentuk dalam Panitia Pemekaran Gampong Alue Tengku Muda Kecamatan Jeumpa Kabupaten Aceh Barat Daya tahun 2006. Kepanitian ini merupakan bukti atas keinginan dan aspirasi masyarakat yang menginginkan pembentukan Dusun IV Alue Tengku Muda untuk menjadi Desa Alue Tengku Muda definitif.

D. Kondisi Fisik Kewilayahan.

Syarat fisik meliputi cakupan wilayah yang memungkinkan masyarakat dapat beraktivitas secara leluasa berdasarkan tata adat istiadat yang ada tengah-tengah masyarakat. Wilayah calon desa yang akan dimekarkan seluas kurang lebih 2 Km². Wilayah pembentukan desa digambarkan dalam peta wilayah calon desa dan sarana dan prasarana yang tersedia.


(61)

Berikut gambaran desa berdasarkan proposal yang diajukan panitia pemekaran 1. Calon desa baru memiliki empat dusun, mengenai peta wilayah calon desa ada

dilampirkan dalam lampiran, berikut ini masing-masing dusun di desa tersebut: a. Dusun Suka Damai;

b. Dusun Gunong Cut; c. Dusun Kuta Malaka; dan d. Dusun Gunong Tengku

2. Sarana dan prasarana yang tersedia berdasarkan pengamatan penulis pada calon desa tersebut berupa 2 unit sarana peribadatan berupa mesjid dan dayah dan adanya adanya 2 unit kilang padi.

Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, Dusun IV Alue Tengku Muda dilalui oleh Jalan Negara Blangpidie – Nagan Raya yang merupakan jalan penghubung antara Kabupaten Aceh Barat Daya dengan Kabupaten Nagan Raya. Dusun IV Alue Tengku Muda juga memiliki 2 jalan yaitu Jalan Tengku Muda yang menuju ke Perkebunan Rakyat dan Jalan Kota Malaka yang menuju ke areal persawahan warga. Kondisi Dusun IV Alue Tengku Muda juga memiliki kondisi sosial budaya yang homogen dimana masyarakat di dusun tersebut 100% beragama Islam dan memiliki talian persaudaraan yang erat karena tidak terdiri dari berbagai macam suku dan ras. Dusun IV Alue Tengku Muda memiliki areal persawahan yang luas dan merupakan satu-satunya dusun di Desa Alue Sungai Pinang yang memiliki areal persawahan, disamping itu Dusun IV Alue Tengku Muda juga memiliki areal pegunungan yang dimanfaatkan oleh warga untuk berkebun pala dan coklat (kakao).


(1)

1. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Permendagri No. 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yang merupakan landasan hukum yang memberikan peluang untuk dapat melakukan pembentukan desa.

Opportunity (Peluang):

2. Proposal pembentukan desa sudah pernah disampaikan ke Bupati dan DPRK Aceh Barat Daya;

3. Adanya potensi sumber daya yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

1. Belum adanya rekomendasi dari Camat Jeumpa; Threath (Ancaman):

2. Kurang tepatnya sasaran sosialisasi dapat berakibat pemekaran dijadikan sumber keuntungan elit politik semata, karena masyarakat awam kurang memahami pentingnya pembentukan desa tersebut

3. Belum direvisinya Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 yang mengatur tentang syarat 1000 jiwa atau 200 KK bagi pembentukan desa di Sumatera dan Sulawesi.

Pada akhirnya, setelah melalui beberapa tahap penilaian berdasarkan analisis data primer berupa petikan wawancara mendalam dengan beberapa key informan yang cukup berkompeten maka dapat dijelaskan bahwa kesiapan pembentukan Dusun IV Alue Tengku Muda guna menjadi Desa Alue Tengku Muda definitif belum sepenuhnya memenuhi persyaratan pembentukan sebagaimana yang tertuang dalam Permendagri Nomor 28 Tahun


(2)

2006 Tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Setelah melakukan pengumpulan data berupa hasil jawaban dari hasil wawancara dengan key informan yang penulis anggap menguasai masalah penelitian ini, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan berhubungan dengan penelitian ilmiah tentang kesiapan pembentukan Dusun IV Alue Tengku Muda menjadi Desa Alue Tengku Muda, antara lain :

1. Ketidakadilan proses dan distribusi hasil-hasil pembangunan di Desa Alue Sungai Pinang telah memicu keinginan masyarakat Dusun IV Alue Tengku Muda membentuk desa baru yang definitif sebagai sebuah solusi untuk percepatan pembangunan di daerah tersebut.

2. Dusun IV Alue Tengku Muda belum sepenuhnya memenuhi persyaratan untuk dibentuk menjadi desa baru yang definitif walupun panitia pembentukan desa memasukkan sebahagian wilayah Dusun V Gunong Tengku untuk dapat menjadi wilayah calon Desa Alue Tengku Muda;

B. Saran

Setelah melakukan penelitian tentang “Kesiapan Dusun IV Alue Tengku Muda Menjadi Desa Alue Tengku Muda”, maka penulis bermaksud merekomendasikan beberapa hal yang merupakan sumbangsih pemikiran dari kajian ilmiah ini, antara lain :

1. Peraturan tentang pembentukan desa baru dari segi jumlah penduduk hendaknya diatur oleh peraturan kabupaten bukan diatur oleh peraturan di


(4)

atasnya dalam hal ini peraturan menteri dalam negeri karena kabupatenlah yang paling mengetahui jumlah penduduk dan penyebaran penduduk di wilayahnya masing-masing.

2. Pemerintah pusat harus memberikan otonomi seluas-luasnya kepada desa sebagaimana asalnya yang asli;

3. Pemerataan proses dan distribusi hasil-hasil pembangunan bagi dusun-dusun harus dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini pemerintah desa induk secara adil dan merata sehingga ketimpangan dan kecemburuan sosial antar dusun bisa diatasi..

4. Pembinaan dan pemberdayaan terhadap masyarakat dusun secara adil dan merata harus lebih diperhatikan oleh desa induk, sehingga tidak memunculkan gerakan-gerakan protes yang dapat mengganggu kondusifitas kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo, Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.

Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1993

Danim, Sudarwan, Dr., Prof., Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia, 2002. Hidayat, Wisnu, dkk., Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Partisipatif, Yogyakarta:

YPAPI.

Jeddawi, Murtir, Pro Kontra Pemekaran Daerah (Analisis Empiris), Yogyakarta: Total Media, 2009.

Jones, Charles O, Pengantar Kebijakan Publik, (terj.), Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2003.

Mardalis, Drs, Metode penelitian: Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Narbuko, Cholid, Drs., dan Achmadi, Abu, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: Grasindo, 2005)

Putra, Fadillah, Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, Yogyakarta: 2003. Singarimbun, Masri, Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1982. Sugiarto, Toto, “Suara Rakyat: Otonomi!” dalam Soegeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit.

Membaca Indonesia, Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate, 2005.

Sugiyono, Dr, Prof, Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta, 2006. Waridah, Siti, dkk, Sosiologi Kelas 3 SMU, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.. Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian, Jakarta: Magna Script, 2004.


(6)

Wrihatnolo, Randy R, dan Nugroho, Riant, Manajemen Pembangunan Indonesia: Sebuah

Pengantar dan Panduan, Jakarta: Elekx Media Komputindo, 2006.

____________________________________, Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta: Elex

Media Komputindo,2007.

Peraturan Perundang-undangan

UU.No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa

Permendagri No. 28 Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan.