Interaksi Sosial Anak Tunarungu Dengan Guru kelas

80

5. Interaksi Sosial Anak Tunarungu Dengan Lingkungan Sekitarnya

Anak tunarungu di kelah III SLB Wiyata Dharma 1 Tempel menunjukkan interaksi dengan lingkungan yang berbeda masing- masing individu. Perbedaan sifat dalam diri masing-masing menjadi salah satu faktor perbedaan interaksi sosial mereka. Sebagai anak laki- laki MU dan ASS memiliki keberanian untuk memulai interaksi terlebih dahulu dengan lingkungannya, mereka lebih percaya diri dan supel. Temuan ini tentu tidak sejalan dengan pendapat Van Uden dalam Edja Sadjaah 2005: 113-114 bahwa anak tunarungu memiliki perasaan takut akan hidup lebih luas selain lingkungan keluarganya, memiliki sifat ketergamtungan pada orang lain, kurang mandiri, dan senang bergaul dengan orang yang dekat saja. ASS dan MU sering jajan di tempat ibu KS mereka anak selalu pergi jajan bersama ke tempat ibu KS di tempat ibu KS mereka tidak akan malu-malu karena sudah terbiasa mereka akan mengatakan keinginannya dengan menunjuk, jika tidak melihatnya maka ia akan mengatakannya dengan isyarat jika ibu KS belum memahaminya mereka akan mengatakannya dengan bahasa oral yang di barengi dengan bahsa oral. Ini menunjukkan proses asosiatif sesuai dengan pendapat Burhan Bungin 2006: 58 proses asisiatif adalah sebuah proses yang terjadi saling pengertian dan kerjasama timbal balik antar 81 orang peroran atau kelompok satu dengan lainnya, dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan-tujuan bersama. Sama dengan MU dan ASS namun perbedaannya hanya ketika memulai interaksi dengan ibu KS, NPS dan TRA akan malu-malu terlebih dahulu dan melihat-lihat agak lama ketika ingin membeli sambil tersenyum-senyum. Mereka baru akan mengutarakan maksudnya ingin jajan apabila mereka sudah di tanya oleh ibu KS. Jadi dapat disimpulkan interaksi sosial MU, ASS, NPS dan TRA dengan lingkungan sekitarnya yang adalah orang normal ditunjukkan dengan menjalin percakapan menggunakan bahasa isysrat dan oral. Ketika berinteraksi anak tunarungu sudah memiliki kemandirian untuk memulai interaksi sendiri meskipun usia mereka masih anak-anak dan masih bisa dibilang kecil.

6. Upaya Guru Kelas Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Anak

Tunarungu Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru kelas III SLB Wiyata Dharma 1 Tempel telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan interaksi sosial anak tunarungu di kelasnya. Salah satu upaya yang dilakukan guru adalah mengurangi rasa minder yang dimiliki oleh anak tunarungu. Upaya selanjutnya adalah selalu melibatkan siswa dalam KBM serta senantiasa memberikan pujian dan motivasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Sunardi dan Sunaryo 2007: 277 bahwa 82 menekankan pentingnya kasih sayang dan kepercayaan dalam pembelajaran dan belajar, mendorong anak untuk bersikap terbuka dan dilakukan melaui penciptaan iklim yang tidak otoriter. Selain itu dukungan juga di dapat dari lingkungan anak yang tinggal di asrama bersama ibu asrama, lingkungan yang dibangun bersama oleh guru, ibu asrama serta siswa dapat mempengaruhi kemampuan interaksi sosial anak tunarungu. Agar dapat berinteraksi dengan baik makasiswa memerlukan dukungan dari lingkungannya Tutik Faricha: 2008. Lingkungan psikososial yang baik dan dikembangkan secara positif dapat membantu anak tunarungu merasa lebih nyaman dan percaya diri untuk melaksanakan proses interaksi sosial dengan guru, wali, dan lingkungannya. Jadi dapat disimpulkan upaya guru kelas III SLB Wiyata Dharma 1 Tempel utuk menigkatkan kemampuan interaksi sosial anak tunarungu yaitu dengan mengurangi rasa minder anak, melibatkan anak dalam setiap KBM, serta senantiasa memberikan pujian kepada anak, dan bekerja sama dengan wali untuk membangun lingkungan yang baik di asrama serta dapat memahami kondisi anak tunarungu.