HEGEL DAN BHAGAVAD GITA MANUSIA DAN SEJA

(1)

HEGEL DAN BHAGAVAD GITA: MANUSIA DAN SEJARAH

MEMBACA REALITAS SOSIAL INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF KEDUANYA

Oleh: Romo Donatus Sermada, SVD. Pendahuluan

Dalam rangka memperingati seratus hari wafatnya Romo Reksosusilo, CM, saya diminta oleh BEM untuk menggumuli salah satu tema pemikiran Romo Rekso yang tertuang dalam artikel-artikelnya. Sejalan dengan tema umum kegiatan BEM dalam periode ini, khususnya kegiatan di bidang seni, yaitu tema yang berhubungan dengan manusia, saya mengangkat tema tersebut yang ditulis oleh Romo Rekso dalam artikelnya yang berjudul “Comparison Between The Bhagavad Gita And Hegel On Man And History”.

Saya membataskan diri pada pendalaman lebih lanjut pemikiran Romo Rekso tentang keserupaan pemikiran Hegel dan Bhagavad Gita. Poin ini adalah lebih penting dari pada pendalaman terhadap perbedaan antara pemikiran Hegel dan Bhagavad Gita, karena saya melihat bahwa perbedaan keduanya sudah jelas dari fakta historis keduanya. Hegel hidup pada abad 19 di barat dalam kebudayaan pencerahan, sementara Bhagavad Gita ditulis antara tahun 400 sampai 200 seb. M., di India dalam kebudayaan India Kuno. Tidak ada relasi historis keduanya yang bisa memperlihatkan hubungan mereka yang saling mempengaruhi. Karena itu, saya merasa tertarik dengan gagasan keserupaan antara keduanya seperti yang telah disinyalir oleh Romo Rekso dalam artikelnya. Gagasan keserupaan pemikiran Hegel dan Bhagavad Gita ini justru memperlihatkan adanya satu “titik temu sistematis” antara kedua pemikiran. Titik temu sistematis itu terletak dalam salah satu persoalan universal yang tercermin dalam pemikiran keduanya, yaitu siapa itu manusia, di mana tempatnya dalam universum, dari mana dan apa tujuan hidupnya serta apa arti atau nilai perbuatannya.

1. Friedrich Hegel: Manusia, Alam Semesta Dan Sejarah

Sebelum kita berbicara tentang pandangan filosofis Hegel tentang manusia, alam semesta dan sejarah, baiklah kita berikan isi ringkas filsafat Hegel. Sebagaimana setiap pemikir dalam sejarah filsafat berusaha untuk merefleksikan apa yang disebut “real”, begitu juga Hegel tidak luput dari persoalan itu. Pertanyaan dasarnya ialah “apa itu yang real”. Dengan kata lain, apa itu realitas yang sesungguhnya. Hegel mengemukakan gagasan dasar filsafatnya dengan satu perkataannya yang terkenal: “Apa yang rasional, itulah yang real, dan apa yang real, itulah yang rasional” (Was vernuenftig ist, das ist wirklich, und was wirklich ist, das ist vernuenftig). Realitas yang sesungguhnya itu adalah ratio (akal budi) dan segala kegiatan ratio. Hasil kegiatan ratio itu disebutnya ide. Ratio itu adalah Roh yang sadar akan dirinya. Tetapi bagaimana kita menjelaskan realitas ini?

Hegel menggunakan metode yang disebutnya “dialektika”. Dialektika mengandaikan adanya dua hal yang saling bertentangan, tetapi relasi timbal-balik antara keduanya membuahkan sesuatu yang baru dalam tingkat yang lebih tinggi. Sesuatu yang baru ini merupakan perpaduan atau pendamaian antara kedua unsur tadi. Elemen-elemen dalam kedua unsur itu tidak dipadukan seluruhnya, tapi sebagiannya dicabut dan sebagiannya dibawa ke tingkat yang lebih tinggi dalam satu perpaduan yang baru. Istilah bahasa Jerman yang dipakai oleh Hegel adalah “aufgehoben”


(2)

“sublated”. Unsur baru itu adalah unsur ketiga (synthese), yang merupakan perpaduan atau pendamaian antara unsur pertama (these) dan unsur kedua (antithese).

Bagaimana Hegel menggunakan metode dialektika itu untuk menjelaskan ratio sebagai satu realitas? Ratio tidak dimengerti sebagai ratio manusia individual, tapi adalah subyek mutlak atau Roh mutlak yang sadar akan diriNya. Dia bergiat. Inilah fase pertama yang merupakan “these”. Proses dialektika sudah berjalan di dalam Roh itu sendiri, dan ini dibahas dalam logika yang diartikan Hegel bukan sebagai kaidah umum penalaran sebagaimana dimengerti umum, tetapi sebagai ilmu pengetahuan dasar tentang Roh. Roh itu dilihat sebagai satu realitas “Ada” (these) yang bebas dari segala isi yang konkrit. Dia adalah Yang Ada, tak terbatas, terlepas dari ruang dan waktu, dan ada tanpa ketambahan apa pun padaNya. Tese “Yang Ada” ini memiliki antithesenya, yaitu sisi negatif dari Yang Ada, dan sisi negatif dari Yang Ada ini disebut sebagai “Yang Tidak-Ada” (Ketiadaan). Hegel tidak menjelaskan bagaimana awal dari “Ada” dan “Tidak-Ada” terjadi. Apakah realitas Roh itu mengidentifikasikan “Ada dan Tidak-“Tidak-Ada” di dalam diriNya, hal itu tidak dijelaskan. Tapi ketegangan antara kedua sisi itu di dalam Roh menghasilkan apa yang disebut “menjadi” sebagai synthesenya. Pengertian “menjadi” berarti bahwa ada “yang dijadikan” sebagai hasil perpaduan antara “yang ada” dan “yang tidak ada”. Ada proses gerak Roh. Pada gilirannya “menjadi” yang memuat pengertian “yang ada sebagai yang dijadikan” merupakan tese, dan antithesenya adalah “yang ada sebagai yang terbatas”, karena “menjadi” mengandaikan pembatasan terhadap “yang ada sebagai yang tak terbatas”, dan relasi dialektis antara “menjadi” dan “yang ada sebagai yang terbatas” menghasilkan lagi “yang tak terbatas” (synthese), dan seterusnya.

Metode itu dipakai Hegel juga untuk menjelaskan manusia, alam semesta dan sejarah. Dalam garis besar pemikiran Hegel, alam semesta yang meliputi manusia, alam sendiri sebagai ruang dan sejarah sebagai waktu dipandang sebagai “antithese”, karena alam semesta merupakan penjelmaan Roh Mutlak itu sendiri. Roh yang sadar akan diriNya (these) keluar dari diriNya dan masuk ke dalam ruang dan waktu. Roh menemukan pembatasannya di dalam ruang dan waktu (antithese). Roh menjadikan diriNya dalam alam sebagai yang berbeda dari diriNya dan terasing dari diriNya. Proses dialektis antara Roh Mutlak dan penjelmaanNya dalam ruang dan waktu justru menghasilkan gerak kembali ke Diri Roh Mutlak itu sendiri dalam keadaan diriNya yang penuh dan utuh. Inilah yang menghasilkan syntese, dan prosesnya berjalan dalam sejarah dunia.

Dalam karyanya “Die Naturphilosophie”, Hegel menjelaskan konsepnya tentang alam semesta. Alam semesta adalah kodrat yang tidak sadar akan dirinya dan tidak mempunyai roh dari dirinya. Dia tidak memiliki ide untuk mengkomunikasikan dirinya. Karena itu, dia hanya dapat dimengerti dan dapat dikenal dalam perspektif ide atau roh. Hegel menyebut alam sebagai bentuk lain dari roh atau ide, yang di dalamnya roh berada di luar diriNya. Bentuk lain dari roh itulah materi yang berada dalam ruang dan waktu. Di dalam materi terdapat pertentangan-pertentangan yang hanya dapat didamaikan oleh roh. Hegel mengembangkan satu cara berevolusi dari alam menuju ke dalam dirinya. Artinya, alam itu dipandang sebagai satu sistem jenjang-jenjang atau tahap-tahap yang di dalamnya unsur yang satu wajib keluar dari dirinya untuk bergabung dengan yang lain, dan hasil perpaduan itu tidak dihasilkan secara kodrati, tetapi di dalam roh yang mendasari alam. Ada proses pembatinan (pengrohanian) di dalam alam itu sendiri. Hegel membagikan tiga jenjang dalam alam: mekanis, fisika dan kodrat organis.

Mekanis dibicarakan dalam diskusi Hegel tentang ruang dan waktu. Ruang adalah gambaran abstrak yang dihasilkan dari garis-garis yang menghubungi titik-titik, dan waktu adalah proses gerak. Hegel mengakui bahwa untuk mengerti ruang dan waktu, geometri dan matematika memainkan peranan penting, tapi filsafat matematika bisa memberi sumbangan untuk melacak kemungkinan untuk menetapkan ukuran dan massa dari materi berdasarkan proses dialektika di dalam materi itu sendiri. Fisika berhubungan dengan elemen-elemen materi yang saling


(3)

bertabrakan seperti cahaya, bunyi, panas, dan sebagainya. Hasil tabrakan itu menghasilkan listrik dan kombinasi unsur-unsur kimiawi. Kodrat organis berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Proses dialektika itu masih berjalan terus, tetapi yang lebih menarik perhatian Hegel adalah dialektika di dalam dunia binatang, dan kemudian lebih intensif dalam diri manusia yang dibicarakannya dalam “Filsafat Roh”. Di dalam dunia binatang, relasi antara binatang yang satu dengan binatang yang lain di dalam satu spesies yang sama, misalnya melalui perkawinan, menghasilkan satu kesatuan baru. Ada elemen dalam spesies itu hilang, ada yang masih tetap ada dan ada yang khas muncul pada individu itu dalam spesies yang sama. Hegel melihat bahwa hasil perpaduan baru yang dihasilkan oleh relasi perkawinan seperti itu diisyaratkan oleh roh. Kita hanya bisa mengerti proses itu melalui “roh atau kesadaran”; artinya, proses itu bukan hanya satu proses biologis semata-mata, tapi dalam pengenalan kita proses itu adalah proses kesadaran atau roh yang hendak menerobos keluar dari genggaman alam materi.

Manusia merupakan bagian dari alam. Proses dialektika dalam makhluk organis mencapai jenjang yang lebih tinggi dalam diri manusia. Hegel menentukan posisi manusia di alam semesta melalui teori filosofisnya tentang roh subyektif, roh obyektif dan roh mutlak. Roh subyektif adalah manusia individual yang masih dibalut oleh alam. Roh yang berada di luar diriNya menjelma dalam kodrat manusia individual dan mulai berada untuk diriNya melalui kesadaran yang berusaha untuk keluar dari belenggu alam. Dalam kodrat manusia roh merupakan hakekat kodrat itu yang disebut “Seele” (soul). Hegel berkata: “Seele ist Schlaf des Geistes” (jiwa adalah keadaan tidurnya Roh). Melalui tubuh manusia, roh mengungkapkan dirinya dan bertindak melalui gerak gerik tubuh dan serempak pula menyadarkan diri manusia ketika bereaksi terhadap rangsangan dari luar. Jadi, ada proses externalisasi dan internalisasi yang digiatkan roh. Gejala-gejala roh dalam manusia individual ini bisa diteliti dalam fase-fase pengalaman manusia dari pengalaman inderawi, persepsi, pengertian, pengenalan sampai kepada kegiatan budi. Kegiatan roh dalam manusia individual adalah kegiatan akal budi individual yang berhubungan dengan akal budi teoretis (mengamati, membayangkan dan berpikir) dan akal budi praktis (merasa, berupaya, dan menghendaki). Kesatuan antara akal budi teoretis dan akal budi praktis menghasilkan roh yang bebas, yaitu roh yang mengenal diri sebagai yang bebas (pengenalan) dan yang menghendaki dirinya untuk ada (penghendakan).

Roh obyektif mengungkapkan diri dalam tata tertib yang mengatur relasi manusia yang satu dengan yang lain. Hegel berbicara tentangnya dalam konteks hukum, moralitas dan etika. Puncak dari proses roh subyektif itu adalah kebebasan: kebebasan berpikir dan kebebasan kehendak. Kebebasan berpikir dan kebebasan kehendak manusia individual menjadi hak setiap individu, tetapi kenyataan ini dihadapkan dengan kebebasan dari orang lain. Maka di sana kebebasan berpikir dan berkehendak individu mendapat pembatasan yang “mengharuskan” individu untuk membangun kesepakatan dengan orang lain dalam bentuk hukum, pelanggaran dan sanksi hukum. Hukum, pelanggaran dan sanksi hukum adalah produk dari pengenalan dan kehendak bersama. Dalam bidang moral, Hegel menjelaskan roh obyektif itu dalam hubungan dengan kebebasan dan kesejahteraan bersama. Kebebasan individual yang tampil dalam tindakan bebas dengan niat tertentu untuk kesejahteraan individual perlu memperhitungkan tindakan bebas orang lain yang memiliki haknya untuk mengejar kesejahteraan individualnya. Karena itu, jembatan antara keduanya adalah kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan perbuatan mereka dalam relasi mereka. Hegel memasukkan pentingnya konsep kebaikan yang berfungsi untuk menjamin hak masing-masing individu untuk mengejar kesejahteraan bersama. Bagaimana konkritnya kebaikan itu dipraktekkan, Hegel menyerahkannya kepada kebebasan subyek dan suara hatinya untuk menghayatinya demi kesejahteraan bersama.

Dalam bidang etika (Sittlichkeit), Hegel memperlihatkan tiga bentuk utama penampilan roh obyektif: keluarga, masyarakat sipil dan negara. Proses dialektika sudah berjalan dalam


(4)

keluarga sendiri antara anggota keluarga (ayah, ibu dan anak) di bawah motif cinta, dan kesatuan keluarga menjelma sangat jelas dalam diri anak yang memiliki sifat individualnya dan sekaligus juga mewarisi elemen ayah dan ibu. Bentuk yang lebih tinggi dari keluarga adalah masyarakat sipil. Ketegangan antara anggota yang satu dengan anggota yang lain sudah terjadi, terutama dalam mengejar tujuan ekonomis. Dalam satu masyarakat liberal, ketika terjadi perkembangan industri dan tekhnik, kepentingan ekonomi pribadi lebih ditonjolkan dari pada kesejahteraan bersama dengan akibat bahwa kemiskinan, pengangguran dan overproduksi meraja di mana-mana. Fase ini hanya bisa diatasi oleh negara yang dilihat Hegel sebagai “polisi” untuk mengawasi gerak gerik anggota masyarakat. Dalam pemikirannya tentang negara, Hegel berpendapat bahwa negara merupakan sintese keluarga dan masyarakat. Ide tentang kesusilaan dan moralitas telah terealisir dalam negara. Kekuasaan negara adalah kekuasaan kesusilaan yang di satu pihak telah melenyapkan keputusan-keputusan individual, tetapi di lain pihak menjamin hak individu untuk menghayati kebebasannya dan menuntut kewajibannya sebagai warga negara untuk membangun kesejahteraan bersama. Negara Prusia pada waktu itu merupakan negara ideal menurut Hegel.

Tahap yang lebih tinggi dari negara adalah sejarah dunia. Sejarah dipandang sebagai tahap beradanya manusia individual, manusia sosial, masyarakat dan negara. Hubungan antara negara yang satu dengan negara yang lain, antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain membentuk satu proses sejarah dunia. Maka, sejarah dunia merupakan perkembangan roh mutlak yang menggunakan waktu sebagai alatnya. Di dalam sejarah dunia dijumpai proses roh untuk mengolah pengetahuan dan kehendak diriNya yang menyentuh diriNya untuk kembali lagi kepada diriNya. Hegel menunjukkan proses sejarah dunia, yang di dalamnya roh mencapai puncak perkembangannya dalam kebudayaan Eropa; di sana puncak perkembangan roh ditandai dengan “kebebasan” sebagai watak manusia yang sebenarnya. India ditempatkannya dalam tahap ketika roh belum tahu bahwa dia sebenarnya bebas tapi masih terkurung dalam sistem teokrasi, ketika raja dilihat sebagai dewa.

Roh mutlak merupakan kesatuan tertinggi antara roh subyektif dan roh obyektif. Dia sudah ada pada diriNya (Bei-sich-Sein) dan ada untuk diriNya (Fuer-sich-Sein). Dia yang tadinya berada di luar diriNya dan berbeda dari diriNya kini kembali kepada diriNya secara penuh. Bahasa teologis menyebut roh mutlak ini adalah Allah yang dibicarakan Hegel dalam temanya tentang agama. Proses dialektika subyek dan obyek mencapai kepenuhan dalam Roh Mutlak yang hadir dalam tiga bentuk sejalan dengan pikiran Hegel tentang psikologi, yaitu kegiatan kesadaran dalam dalam hal memandang (Anschauen) dengan menghasilkan kesenian, kegiatan kesadaran dalam hal membayangkan (Vorstellen) dengan menghasilkan agama, dan kegiatan kesadaran dalam hal berpikir (Denken) dengan menghasilkan filsafat. Pertanyaan dasar untuk filsafat Hegel: Apakah Roh Mutlak sebagai puncak proses dialektika sudah selesai dalam sejarah dunia dewasa ini atau masih belum selesai menuju zaman eskatologis. Dijawab Hegel bahwa Roh Mutlak itu sudah terwujud dan telah mencapai kepenuhannya dalam agama Kristen Protestan dan dalam filsafat Hegel sendiri, tapi sejarah masih berjalan terus menuju masa depan tanpa membawa synthese lagi. 2. Bhagavad Gita: Manusia, Alam Semesta dan Sejarah

Kata “Bhagavad-Gita” terbentuk dari kata “Bhagavad” dan “Gita”. Bhagavad berarti “Yang Mulia, Yang Agung” dan dalam buku ini, Yang Mulia atau Yang Agung itu adalah Brahman yang menjelma dalam diri “Kresna”. Gita berarti “Nyanyian atau Hymne”. Jadi, Bhagavad-Gita adalah “Hymne dari Yang Agung”. Ini bisa ditafsirkan sebagai lagu suci yang dinyanyikan oleh Kresna dan Arjuna tentang Yang Agung (Brahman) atau juga Hymne Brahman sendiri yang dituangkan dalam bentuk percakapan Kresna dan Arjuna di medan perang”. Penulis BG dalam tradisi dikenakan pada diri Vyasa, tetapi studi kritis-historis menunjukkan bahwa ada kemungkinan tiga pengarangnya sesuai dengan pembagian tiga bagian besar dari himne itu.


(5)

Himne ini berisikan sebagian ceritera epos dalam Mahabharata bagian 6, dan dituangkan dalam 18 percakapan (bab), dan dari 18 bab ini para ahli Indologi membaginya ke dalam tiga bagian utama yang isinya kita akan ringkaskan: bagian I ( himne 1-6); bagian II (himne 7-12); bagian III (himne 13-18). Arjuna dan Kresna merupakan tokoh utama dalam BG. Arjuna adalah salah seorang tokoh dari kaum Pandawa dalam perang melawan saudara mereka Kaurawa. Pandawa, putera dari Pandu, terdiri dari lima orang: Arjuna; Yudhisthira; Bima; Nakula; Shahadewa dengan pemimpin mereka Yudhisthira. Kaurawa, putera dari Drtarasta, terdiri dari 100 orang di bawah pimpinan Duryodhana. Dalam BG, Arjuna adalah murid Kresna, sementara Kresna adalah guru rohani Arjuna, pengemudi kereta perang Arjuna, penjelmaan Brahman dan pada bagian lain penjelmaan Visnu.

Isi ringkas dari BG itu adalah demikian. Bagian pertama berisikan pengajaran kepada Arjuna tentang disiplin kerja tanpa mengharapkan hasil dan sifat-sifat jiwa manusia. Dalam himne pertama, peperangan antara Pandawa dan Kaurawa sudah berada di ambang pintu, tetapi Arjuna bingung untuk berperang melawan saudara-saudaranya karena peperangan akan membawa kehancuran dan kebinasaan kerajaan. Arjuna akhirnya memutuskan untuk menolak perang, tapi dalam himne kedua (Samkhya Yoga) Kresna tidak setuju dengan sikap penolakan Arjuna dan menasihatkan Arjuna untuk maju berperang, karena berperang adalah kebajikan ksatrya. Kresna memberi nasihat bahwa tidak usahlah bersedih atas kematian, sebab kematian hanyalah kematian badan dan bukannya kematian jiwa. Pusatkan perhatian dan pikiran pada kesucian, bertindaklah tanpa mengharapkan pahala kerja dan serahkanlah diri kepada Yang Maha Tahu dan bersatulah dengan Brahman. Dalam himne ketiga (Karma Yoga), Arjuna bertanya kepada Kresna mengapa orang harus bertindak kejam membunuh saudara-saudaranya, jika ilmu pengetahuan adalah lebih tinggi dari pada perbuatan. Kresna menjawab bahwa tindakan dan kerja merupakan hukum alam. Bekerjalah dengan penuh bakti dan pengabdian kepada Brahman tanpa mengharapkan keuntungan pribadi demi kesejahteraan umat manusia. Himne keempat (Jnana Yoga) berisikan penyingkapan diri Kresna bahwa dia adalah penjelmaan (avatara) Brahman dan dialah yang mengajarkan Yoga untuk pertama kali. Kresna menjelaskan kepada Arjuna bahwa ilmu pengetahuan menuntun manusia untuk bekerja tanpa hawa nafsu, tanpa motif kepentingan diri. Dengan pikiran yang terpusat pada ilmu pengetahuan, manusia dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh kepercayaan dan pengabdian kepada Brahman. Himne kelima (Karma Samnyasa Yoga) berisikan jawaban Kresna atas pertanyaan Arjuna: “Manakah yang lebih baik, membebaskan diri dari kerja (samnyasa) atau bekerja (karma Yoga) tanpa didasari pada kepentingan pribadi.” Kresna menjawab bahwa kedua-keduanya penting, tapi bekerja tanpa didasari kepentingan pribadi adalah lebih baik. Dan dalam himne keenam (Dhyana Yoga) Kresna menegaskan bahwa seorang yang melakukan Yoga terus menerus memusatkan perhatian penuh pada Atman (jiwa) di tempat yang aman, sendirian, sunyi dan bersih dalam proses untuk menyucikan diri.

Bagian kedua (himne 7-12) berisikan persiapan diri Arjuna untuk menempuh jalan ketiga yang disebut “Bhakti-Yoga”, yaitu penyerahan diri total kepada Yang Maha Tinggi, yang dipandang sebagai “tuan dunia yang personal” (Isvara). Pada bagian terakhir, yaitu himne 11, Kresna mewahyukan dirinya sebagai Visnu, sang Realitas Mutlak. Himne ketujuh berbicara tentang penjelasan Kresna menyangkut Brahman yang terdiri dua unsur, yaitu unsur alam (tanah, air, api, udara dan ether, pikiran, ego, akal budi, dan unsur hidup atau jiwa. Dalam himne kedelapan, Kresna memberi keterangan lebih lanjut tentang renungan meditasi menuju Brahman dan identitas Brahman ditunjuk. Himne kesembilan berisi tentang penjelasan Kresna menyangkut ilmu pengetahuan tertinggi dan rahasia terbesar. Pengetahuan tertinggi tidak lain dari pada pencapaian persatuan dengan Brahman. Identitas alam semesta juga ditunjuk di sana. Himne kesepuluh memuat penjelasan tentang manifestasi Brahman ke dalam banyak wujud. Himne kesebelas berisi tentang pengertian dan pengetahuan tertinggi yang dimiliki Arjuna tentang


(6)

manifestasi Brahman berkat penjelasan penuh kasih sayang dari Kreshna. Himne keduabelas

berbicara tentang orang yang berbakti menyembah wujud Brahman dan yang berbakti menyembah Brahman. Kedua-duanya menurut Krisna sama-sama jalan menuju Brahman, hanya yang terbaik adalah orang yang menyatukan pikiran dan berbakti menyembah wujud Brahman.

Bagian ketiga BG (Himne 13-18) memuat penjelasan tentang hakekat Realitas Mutlak (purusha) dan relasi Brahman dengan alam semesta. Himne ketigabelas memuat penjelasan Kresna tentang ilmu pengetahuan yang sesungguhnya, yaitu pengetahuan tentang jiwa (purusha), tentang alam semesta (prakriti) dan tentang badan (kshetra). Himne keempatbelas adalah himne tentang Brahman yang melahirkan prakriti, dan prakriti yang melahirkan guna (sifat-sifat), yaitu sattva (baik-mulia); rajas (aktif bernafsu) dan tamas (gelap dan bodoh). Himne kelimabelas memuat penjelasan Krisna tentang dua macam purusha: Purusha yang termusnahkan dan Purusha yang tak termusnakan. Himne keenambelas berisi tentang penjelasan Kresna menyangkut ciri-ciri orang yang baik dan ciri-ciri orang yang jahat. Himne ketujuhbelas memuat penjelasan Krisna tentang tiga macam kepercayaan yang bergantung pada setiap individu sesuai dengan guna (sifat dan watak) individu itu: sattva (baik-mulia); rajas (aktif-bernafsu) dan tamas (bodoh-gelap). Himne kedelapanbelas memuat kesimpulan BG tentang tidak melakukan pekerjaan yang didorong oleh hawa nafsu (samnyasa) dan menolak semua pahala kerja (tyaga).

Gagasan dasar filsafat BG terletak dalam pergumulannya tentang “apa itu Yang Real” dan apa kedudukan alam semesta, manusia dan sejarah. Yang Real itu adalah Brahman dan di luar itu hanyalah “semu”. Tetapi konsep tentang Brahman dalam BG sudah merupakan perpaduan konsep-konsep sebelumnya dari tradisi Veda dan Upanishad. Hal yang baru dalam perpaduan itu ialah bahwa Brahman sudah bersifat personal. Istilah-istilah seperti Brahman sebagai yang tak dapat binasa dan yang tidak menjelma, Atman dan Purusha memperlihatkan karakter personal Brahman. Karakter personal Brahman dalam BG menyata dalam diri Kresna yang memandang diri sebagai penjelmaan Brahman, Visnu dan Siva, tiga bentuk penjelmaan dari satu Realitas Allah. Sifat personal Allah yang menjelma dalam Kreshna memiliki dinamikanya. Dia adalah Realitas “Ada” yang bersifat dinamis, dan itu berarti bahwa dia bergerak dan berubah sambil tidak kehilangan sifat tetapnya; dia merupakan asal dan tujuan terakhir segala sesuatu; dia bersifat transenden dan immanen; penjelmaannya merupakan satu tindakan dinamis yang menyelamatkan; dia memiliki kekuatan kreatif (maya); dia membangkitkan dinamisme cinta. Untuk mencapai Brahman diperlukan kerja (karma), pengetahuan (jajna) dan bakti (bhakti).

Bagaimana konsep BG tentang manusia? Manusia menurut BG adalah perpaduan antara roh yang disebut “Purusha” dan materi yang disebut “Prakrti”. Istilah lain yang digunakan dalam BG, adalah atman yang disebut purusha dan anatman yang disebut prakrti. Istilah lain lagi yaitu “Self tertinggi” yang adalah Brahman dan “self” kecil yang masih diliputi materi (aku empiris) adalah prakrti. Prakrti memiliki untaian energi materi dengan tendensinya yang berbeda-beda, dan untaian energi itu disebut guna; ia tetap membalut “atman”. Energi materi tersebut dikenal tiga macam: sattva (kecenderungan yang mengarahkan manusia kepada kegiatan intelektual, kebajikan); rajas (kecenderungan yang mengarahkan manusia untuk berkobar-kobar bertindak; rangsangan; semangat yang menggelora); tamas (kecenderungan buta, gelap dan irrasional, devosional). Setiap manusia individual terikat pada guna ini, meskipun individu yang satu lebih cenderung kepada jenis guna yang satu dari pada yang lain. Untuk mencapai Self tertinggi, yaitu atman, manusia harus membebaskan diri dari guna itu, dan untuk tujuan itu yang dilihat sebagai tujuan hidup manusia BG mengemukakan disiplin diri melalui tiga jalan: yoga pengetahuan (jnana-yoga), yoga karya (karma-yoga) dan yoga devosi (bakhti-yoga).

Di dalam prakrti dan purusha ada karakter dinamis yang mempunyai pengaruh besar dalam realisasi diri manusia menuju persatuan dengan Brahman. Di dalam prakrti ada unsur budi yang dari kodratnya adalah kesadaran, unsur “ego” (ahamkara: pusat kepribadian yang keluar dari


(7)

budhi, unsur “pikiran” (manas: imaginasi, konsep, determinasi) yang menentukan bagaimana indra bekerja, dan unsur indrawi (BG menyebut 11 indra: 5 indra biasa; 5 organ tindakan (tangan, kaki, suara, anus dan alat kelamin) dan ditambah “pikiran”. Indra-indra ini bila tidak dikontrol akan menghasilkan kemarahan, nafsu dan kelobaan. Sementara itu, purusha sendiri di dalam dirinya bersifat kekal, statis dan pasif. Purusha adalah Self yang masih terbelenggu dalam materi, tetapi dia tidak mati dan tidak pernah lahir. Dia bersifat kekal. Dia tidak aktif, artinya tidak bertindak dan tidak juga berinisiatif untuk bertindak. Dia bersifat pasif, dan hanya bisa bertindak sejauh bersatu padu dengan tubuh (konsep psychosomatik organisme).

Alam semesta dalam BG masih dipahami sama seperti konsep Upanishad. Alam semesta berubah-ubah dan bermacam-macam. Dia dari kodratnya buta, dan memiliki unsur: ether, udara, api, air, tanah. Tetapi di dalamnya terdapat hakekat tertinggi yang disebut “Atman” yang bersifat tetap dan tidak berubah. Atman ini tidak pernah dikenal secara benar karena manusia selalu dilingkupi oleh ketidaktahuannya akan kodratnya yang benar, yaitu Brahman. Sejarah tidak dimengerti seperti dalam konsep barat, tetapi satu totalitas perjalanan hidup manusia baik individual maupun kollektif sejak penciptaannya sampai kepada peperangan besar Bharata ketika Kresna mendesak Arjuna untuk berperang menuju persatuan kembali dengan Brahman. Sejarah dalam arti seperti ini tidak pernah berakhir. Sesudah kematian, manusia akan kembali lagi memulai satu fase hidup baru di bawah tuntunan Kresna. Roda perjalanan hidup manusia tidak berakhir.

Poin yang penting di sini dalam BG adalah diri Arjuna dan Kresna. Arjuna mewakili sosok manusia yang masih terbelenggu dalam self yang lebih rendah. Kresna adalah manusia ideal yang menjadi tokoh panutan Arjuna. Arjuna menemukan dirinya sebagai manusia yang tidak mampu menentukan manakah hal yang benar untuk dilakukan. Pertanyaan khas ini tentu menyentuh keputusan mendesak Arjuna untuk berperang atau tidak berperang melawan saudaranya. Kreshna yang menyamar sebagai kusir kereta Arjuna mendesak Arjuna untuk berperang, tapi desakan Kresna sebetulnya punya maksud yang lebih luas: mengajarkan Arjuna tentang manusia, tentang Atman, tentang tujuan hidup dan tentang kodrat. Arjuna keliru dalam mengambil keputusannya. Ini dilihat sebagai ketidaktahuan Arjuna akan Selfnya yang sejati. Selfnya yang lebih rendah (aku empiris) telah membutakan dia untuk mengenal Selfnya yang sebenarnya, yaitu Atman yang menjelma dalam diri Kresna. Karena itu, dia harus dibebaskan dari selfnya yang lebih rendah. Untuk tujuan itu, Kresna mengajarkan Arjuna untuk disiplin diri melalui jalan pembebasan: jnana-yoga; karma-yoga dan bhakti-yoga.

Meskipun BG tidak berbicara secara khusus tentang masyarakat, tapi pemahamannya tentang masyarakat masih berada pada jalur tradisi sejak masa Brahmana, Upanishad sampai pada saat itu. Masyarakat dilihat dalam konteks tujuan hidup manusia. Itu berarti bahwa manusia baik secara individual maupun secara kollektif dalam relasi satu sama lain (keluarga, masyarakat dan kerajaan) diatur dalam satu tatanan-hidup yang bertujuan untuk mencapai persatuan dengan Brahman atau mencapai pembebasan (moksa) dari belenggu hidup. Tatanan masyarakat itu sudah tersusun dalam klas-klas (jatis=kasta) seperti Brahmana, ksatrya, vaisya, sudra, dan mekanisme kehidupan bersama diatur menurut tujuan dasar hidup bersama, yaitu dharma (kewajiban dan kebajikan yang harus dihayati seseorang dalam masyarakat sesuai dengan kastanya); artha (keberhasilan dan kekayaan yang harus dikejar); kama (kebahagiaan dan kenikmatan yang hendak dicapai), dan moksa (pembebasan sebagai tujuan akhir).

3. Titik Temu Sistematis 3. 1. Roh Mutlak dan Brahman

Di dalam buku Romo Rekso disebut Roh Mutlak dan Kresna. Di sini kita menyebut Roh Mutlak dan Brahman. Konsep Hegel tentang roh mutlak dan konsep BG tentang Brahman tentu


(8)

berbeda, tapi pemahaman keduanya yang berbeda sebenarnya menunjuk kepada satu persoalan metafisis yang mendasar: Apa realitas yang sesungguhnya? Realitas yang sesungguhnya itu ditemukan dalam Roh mutlak yang menjelma dalam dunia, manusia dan sejarah, dan dalam BG realitas itu ditemukan dalam Brahman yang dari padanya munculnya dunia, manusia dan sejarah. Realitas mutlak itu berevolusi dan berdinamis. Dunia, manusia dan sejarah pada Hegel merupakan medan kegiatan Roh yang secara bertahap berada dalam gerak kembali untuk bersatu dengan diriNya sendiri sebagai Roh mutlak, sementara dunia, manusia dan sejarah pada BG merupakan self yang lebih rendah atau aku-empiris yang membaluti Self yang lebih tinggi (Atman) dan dengan petunjuk Kresna sebagai penjelmaan Brahman, manusia bisa membebaskan diri dari self yang lebih rendah untuk bersatu kembali dengan Brahman. Manusia ideal yang menjalankan proses ini dengan baik adalah manusia yang menyadari diri untuk mencapai persatuan dengan roh mutlak atau persatuan dengan Brahman. Manusia Yesus Kristus” pada Hegel dan “manusia Arjuna di bawah bimbingan Kresna” pada BG merupakan penjelmaan Roh atau Allah.

Maka di sini, manusia tidak menemukan autonomitas dan keberdikariannya yang mutlak. Manusia sebagai perpaduan antara purusha dan prakrti pada BG dan sebagai roh mutlak yang sadar akan dirinya melalui tubuh manusia tidak menyandang unsur esensial murni. Dia menjadi dependen dan tergantung pada realitas mutlak yang melingkupi hidupnya. Dan dalam kedudukan seperti ini, manusia menyadari asal usulnya, proses hidupnya dan tujuan hidupnya. Dia berasal dari Roh, hidup dalam roh dan berjalan menuju persatuan dengan roh. Bahasa teologis menyebut kedudukan manusia seperti itu sebagai yang berada dalam “penyelenggaraan ilahi”.

3. 2. Manusia Dalam Masyarakat

Titik temu sistematis yang kedua terletak dalam ide dasar Hegel dan BG tentang masyarakat yang ideal. Masyarakat ideal pada Hegel adalah negara dan wadah yang mengakomodasi semua bangsa dalam relasi satu sama lain, karena dalam bentuk seperti ini roh mutlak mencapai perkembangan tertinggi. Manusia individual mengalami kebebasan. Perbuatan manusia individual sudah sejalan dengan cita-cita negara. Sementara itu, masyarakat ideal pada BG adalah masyarakat yang tersusun atas dasar tujuan hidup bersama (persatuan dengan Brahman=moksa) melalui perwujudan dharma, artha, kama. Manusia individual terikat pada kastanya sendiri sebagai elemen konstitutif masyarakat.

Masyarakat ideal pada Hegel dan pada BG, meskipun dikonsepkan secara berbeda, berbicara tentang satu realitas sosial yang merupakan satu keharusan dalam hidup. Realitas sosial itu mewujud dalam satu bentuk kehidupan bersama yang memiliki tujuan hidup bersama dan tata aturan yang menjadi milik bersama. Baik masyarakat modern maupun masyarakat kuno memiliki tujuan hidup bersama dan tata aturan yang menjadi milik bersama. Hal itu bersifat universal. Tetapi kekhasan pada ide dasar Hegel dan BG tentang masyarakat ialah bahwa masyarakat yang mereka gambarkan adalah bukan masyarakat sekular. Masyarakat dalam gambaran mereka bersifat religius (theokratis), karena masyarakat seperti itu hanya menjadi medan penjelmaan roh. Kehidupan individual sedapat mungkin harus sejalan dengan cita-cita dan tata-aturan masyarakat, karena masyarakat yang menjamin kesejahteraan individu tidak pernah berada di luar lingkungan roh atau Brahman. Bentuk dan tata-aturan masyarakat dengan demikian mendapat legitimasinya dari roh.

3. 3. Relasi Antara Realitas Mutlak dan Manusia

Roh mutlak yang bekerja sebagai roh subyektif manusia individual dan sebagai roh obyektif masyarakat memiliki kesadaran dirinya untuk berusaha keluar dari belenggu alam yang membalutinya dalam manusia. Tingkah laku manusia individual dan tata tertib yang mengatur relasi manusia yang satu dengan yang lain dalam masyarakat merupakan bentuk kesadaran roh.


(9)

Roh seperti ini bukan merupakan satu kekuatan dari luar, tapi kekuatan dari dalam manusia itu sendiri untuk bergulat membebaskan diri dari genggaman alam. Dalam fase historis tertentu, peperangan dipandang sebagai satu keharusan untuk proses pembebasan roh itu. Dalam BG, manusia adalah perpaduan antara purusha dan prakrti. Si pengenal yang sejati adalah Atman, subyek murni yang sadar akan dirinya. Manusia belum mencapai pengenal sejati, karena masih terbalut oleh prakrti. Peperangan yang dianjurkan Kresna kepada Arjuna dalam fase historis tertentu merupakan satu keharusan demi tercapainya pembebasan sejati dari belenggu materi.

Gagasan Hegel dan BG tentang relasi antara manusia dengan roh tertinggi merujuk kepada satu titik temu sistematis yang berdiri di atas satu gagasan universal, yaitu realitas universal yang mutlak menjadi rujukan hidup manusia. Ketergantungan manusia pada realitas ini merupakan keharusan, tetapi ketergantungan ini ditandai oleh satu karakter relasi antara manusia dan realitas mutlak. Karakter relasi itu boleh dilukiskan sebagai satu karakter “pergulatan” atau karakter perjuangan” manusia untuk membaca dan mengikuti sinyal-sinyal yang berasal dari kehendak dan pikiran realitas mutlak. Bahasa teologis mengartikulasikan karakter relasi itu sebagai perjuangan manusia untuk membaca dan mengenal kehendak Allah. Peperangan seperti pengalaman Arjuna dalam fase historis tertentu bisa dipandang sebagai satu keharusan, apabila situasi menuntut manusia untuk berperang demi satu tujuan yang lebih luhur.

3. 4. Perkembangan Realitas Mutlak Di dalam Diri Manusia

Hegel menjelaskan perkembangan roh mutlak di dalam manusia melalui tiga tingkatan: perkembangan roh di dalam manusia individual; perkembangan roh di dalam keluarga dan masyarakat dan perkembangan roh di dalam negara. Di dalam manusia individual, roh mutlak mengambil bentuk pengungkapan dirinya dalam tiga jenjang: jiwa (Seele); kesadaran dan roh (spirit). Jiwa adalah tidurnya roh di dalam alam; dia masih didominasi oleh alam. Kesadaran adalah fase kesadaran ego dalam konfrontasinya dengan alam materi. Kesadaran berfungsi dalam bentuk “pengertian” (Verstand). Roh pada jenjang berikut adalah perpaduan antara jiwa dan kesadaran, dan bentuk tertinggi perpaduan itu adalah akal budi yang dapat memadukan segala pertentangan. Sementara itu, BG menjelaskan realitas mutlak sebagai Brahman, dan Brahman yang menjelma dalam manusia tampil dalam sosok Kresna. Arjuna adalah sosok manusia yang masih terbelenggu dalam self-empiris. Di dalam manusia individual seperti Arjuna, roh yang menjelma dalam alam materi disebut purusha, sementara tubuh material sendiri adalah prakrti. Di dalam prakrti terdapat unsur: budi (kesadaran); ego (ahamkara: pusat kepribadian); pikiran (manas: konsep, imaginasi) dan indra. Manusia masih terbelenggu dalam prakrti, sementara roh statis dan tak berdaya dalam belenggu itu. Untuk mencapai persatuann manusia dengan Brahman, manusia harus membebaskan diri dari prakrti.

Gagasan dasar Hegel dan BG tentang tujuan akhir hidup manusia dan tentang perkembangan roh menuju diriNya sendiri memuat satu pemahaman universal tentang tujuan hidup manusia dan perkembangan roh di dalam diri manusia. Di dalam filsafat manusia, tujuan hidup manusia adalah puncak pengalaman kristalisasi, yaitu satu pengalaman kepenuhan, keutuhan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan puncak kristalisasi ini tidak bisa ditetapkan secara definitif, tapi hanya dapat diwujudkan dalam bentuk harapan manusia, bahwa sesudah kematian, puncak kristalisasi itu dicapai. Bahasa teologis membahasakan puncak kristalisasi itu sebagai pengalaman eskatologis pada saat ketika manusia kembali bersatu dengan Allah. Satu hal yang menarik dan bersifat universal dari gagasan dasar Hegel dan BG adalah perkembangan roh dalam manusia. Perkembangan roh dalam manusia menggambarkan adanya proses “spiritualisasi” hidup manusia, satu proses penyadaran hidup manusia untuk selalu berusaha membaharui hidupnya menuju ke hidup yang lebih baik dan lebih luhur. Manusia dalam keyakinan apa pun termasuk


(10)

manusia atheist membutuhkan “spiritualitas” yang membingkai hidupnya untuk menghayati hidupnya menuju tujuan yang ia konsepkan.

4. Membaca Realitas Sosial Bangsa Indonesia Dalam Perspektif Hegel dan BG

“Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapa itu orang atau manusia Indonesia? Apa memang dia ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?”, demikian tulis Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”. Tulisannya ini diangkat dari ceramahnya di Taman Izmail Marzuki pada tanggal 6 April 1977. Beliau melukiskan sosok manusia Indonesia berdasarkan pengalaman dan fakta: Manusia Indonesia itu artistik dan hipokrit; manusia Indonesia itu segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya; manusia Indonesia itu berjiwa feodal; manusia Indonesia itu percaya akan takhyul; manusia Indonesia itu berwatak lemah dan kurang kuat memperjuangkan keyakinannya; manusia Indonesia itu tidak hemat dan tidak bekerja keras, mau kaya seketika dan sebagainya. Dalam harian Kompas, Selasa 5 Juli 2005, hlm. 15, Budiarto Shambazy menambahkan lagi 5 ciri tambahan: manusia Indonesia itu mengutamakan gengsi; pemalas; manusia konsumtif; angkuh dan pandai berekayasa. Lima ciri tambahan itulah menjadi topeng kita. Itulah realitas konkrit manusia Indonesia.

Kita kembali kepada filsafat Hegel dan BG tentang manusia ideal yang mereka gambarkan. Manusia ideal, yang menyata dalam masyarakat ideal atau kerajaan ideal, adalah subyek-subyek yang berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu roh, yaitu belenggu material yang menghalangi pencapaian jati diri subyek baik dalam arti individual maupun dalam arti kollektif. Ketika kita konfrontasikan konsep manusia ideal ini dengan realitas historis konkrit pada masa Hegel dan pada masa BG, maka realitas historis-konkrit manusia pada masa mereka sama sekali tidak sesuai dengan manusia ideal mereka. Manusia ideal mereka hanyalah satu cita-cita yang membantu mengobarkan semangat manusia konkrit untuk tetap “berjuang” melawan belenggu material yang menindas realitas manusia historis-konkrit.

Pada masa BG antara tahun 400-200 seb. M. (masa epos dan lanjutan dari masa Upanishad), masyarakat India berada dalam situasi penuh konflik antara kelompok Brahman dan kelompok ksatrya, malah mungkin juga ada peperangan antara mereka. Kelompok Brahmana menguasai seluruh bidang kehidupan, terutama bidang keagamaan yang menyentuh upacara korban. Kenyataan ini menimbulkan irih hati dan menyebabkan ketiadaan autoritas kelompok lain, khususnya kaum ksatrya, untuk berperan aktif dalam membangun hidup bersama. Banyak Ksatrya memberontak, tapi mereka diteror dan ditumpas oleh kaum Brahmana. Banyak kaum ksatrya menyingkir dan menyepi, dan di sana mereka menemukan kebijaksanaan hidup. Arjuna melambangkan manusia yang kalah dalam politik kekuasaan dan mengungsi ke pembuangan, dan di sana dia menemukan kebijaksanaan yang diajarkan Kresna. Dia harus kembali ke tengah masyarakat untuk berperang melawan kezaliman.

Situasi sosial-historis Hegel bukan juga merupakan cerminan masyarakat ideal seperti yang digambarkan Hegel. Hegel yang hidup dari tahun 1770-1831 hidup dalam kerajaan Prusia, yang pada awal abad 19 sedang berjuang untuk memperoleh kemerdekaan penuh dan kedaulatan penuh bangsa Jerman dari kekuatan asing, khususnya kerajaan Austria. Melalui kongres di Wina pada tahun 1815 sesudah kekalahan Napoleon, satu ikatan kesatuan Jerman di bawah kerajaan Prusia didirikan dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan politik Jerman secara lebih luas. Konflik di dalam masyarakat Jerman sudah ada pada masa ini, teristimewa konflik antara kekuasaan Prusia yang protestan dan gereja katolik yang menyata dalam kekaiseran Austria. Tujuan ini tercapai ketika terjadi revolusi Maret 1848 yang dijalankan oleh kelompok cendekiawan Jerman dan rakyat banyak untuk menuntut pembentukan satu kerajaan Jerman atas dasar kebebasan dan kedaulatan rakyat. Kerajaan Jerman baru terbentuk pada tahun 1871 di bawah raja Wilhem I dari Prusia dan perdana mentrinya Otto von Bismarck. Hegel tentu sangat


(11)

dipengaruhi oleh situasi historis-konkrit masyarakatnya yang sedang berada dalam konflik dengan kekuatan asing, dan roh kollektif yang beroperasi dalam gagasan filosofisnya adalah ide kebebasan dan kedaulatan yang menuntut kesadaran subyek untuk membebaskan diri dari belenggu asing.

Melihat kenyataan historis-konkrit manusia pada zaman BG dan Hegel dan kemudian realitas historis-konkrit manusia Indonesia seperti yang dilukiskan oleh Mochtar Lubis, tampaknya tidak ada hubungan, tapi gagasan filosofis Hegel dan BG tentang manusia ideal memberi inspirasi bahwa ada satu titik temu sistematis antara gagasan mereka dengan konsep pemahaman konsep pemahaman manusia ideal Indonesia. Titik temu itu adalah titik temu meta-historis. “Historis” menunjuk kepada realitas historis-konkrit yang berbeda-beda, tetapi “meta” menunjuk kepada sesuatu di balik situasi historis-konkrit, sesuatu yang melampaui situasi historis-konkrtit. Dan sesuatu yang melampaui situasi historis konkrit hanya bisa dikenakan bukan pada hal partikular dan khas, tapi pada “hal universal” yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Hal universal yang ditunjuk oleh Hegel dan BG adalah manusia ideal sebagai manusia yang merdeka dan yang berada dalam proses perjuangan untuk keluar dari belenggunya. Elemen universal inilah yang berlaku juga di Indonesia dewasa ini.

Maka dalam konteks Indonesia, manusia yang merdeka dan yang berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu apa pun direfleksikan dan direkonstruksikan. Manusia Indonesia yang merdeka merupakan realitas diri manusia Indonesia, yaitu “kediriannya yang terbentuk dalam proses perkembangannya, dalam sejarahnya”. Kedirian Indonesia bukanlah sesuatu yang statis, tapi dinamis dan berkembang dalam proses. Di bawah payung NKRI, realitas kedirian Indonesia adalah realitas perpaduan berbagai macam tradisi budaya dan pandangan hidup yang ada di bumi Indonesia sejak dulu sampai sekarang, baik yang tumbuh dari dalam maupun yang berasal dari luar dan telah menyerap ke dalam diri manusia Indonesia. Secara ideal, kedirian itu masih tercermin bagus di dalam motto “bhineka tunggal ika”: berbeda-beda tapi tetap satu, juga dalam Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, realitas kedirian manusia Indonesia terumus dalam figur “manusia pancasilais” yang berusaha mewujudkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi gambaran jati-diri manusia Indonesia yang disebut terakhir itu hanyalah gambaran ideal yang harus dikonfrotasikan dengan realitas historis-konkrit. Realitas historis konkrit manusia Indonesia berbicara lain dan dapat mengubah gambaran ideal itu menjadi satu figur jati-diri yang lain. Perkataan Mochtar Lubis “wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas” menyingkapkan sedikit realitas diri manusia Indonesia. Dalam bahasa psikologi, wajah yang demikian memperlihatkan satu realitas diri manusia Indonesia “yang bermuka dua” antara manusia lama yang wajahnya penuh borok dan manusia baru yang wajahnya adalah topeng yang menyembunyikan sosok diri yang sejati. Manusia Indonesia yang bermuka dua ini, yaitu wajah lama yang penuh borok dan wajah baru yang bertopeng (manusia wayang) betul dipelihara dalam satu strategi yang canggih, yaitu politik rekayasa yang dipraktekkan manusia Indonesia di segala bidang kehidupan seperti yang disinyalir oleh Budiarto Shambazy tentang pandai berekayasa pada manusia Indonesia. Politik seperti ini justru menyembunyikan kebenaran dan menggerogoti kebebasan dan keadilan yang menjadi hak dan milik semua manusia.

Penutup

Makalah di atas merupakan hasil dari satu usaha pendalaman terhadap tema yang dibahas Romo Reksosusilo dalam hubungan dengan perbandingan filsafat timur dan filsafat barat. Pada akhir dari artikel yang beliau tulis, beliau berkata: “I end this work, with the hope that it will stimulate further comparisions between Eastern and Western philosophical writings, and by so doing contribute to a closes unity between East and West”.


(12)

K E P U S T A K A A N

Bhaktivedanta Swami Prabhupāda, Śrī Śrīmad, A. C.: Bhagavad-Gītā. Menurut Aslinya.

Jakarta: Penerbit Hanuman Sakti, 1986.

Coreth, Emerich & Ehlen, Peter & Schmidt, Joseph: George Wilhem Friedrich Hegel. Dalam: Philosophie des 19. Jahrhunderts. Stuttgart: Verlag W.

Kohlhammer, 1989.

D’souza, Rudolf V.: The Bhagavadgītā and St. John of the Cross. Gujarat: Gujarat Sahitya Prakash, 1997.

Edwards, Paul (Ed.): Hegel, George Wilhelm Friedrich. Dalam: The Encyclopedia of Philosophy. Volume Three. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.& The Free Press, 1967, hlm. 441-443.

Hegel, G. W. F: Phaenomenologie des Geistes. Hamburg: Verlag von Felix Meiner, 1952.

Pendit, Nyoman S.: Bhagavadgita. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2002. Reksosusilo, S. Dr., CM: Sejarah Awal Filsafat Timur. Malang: Lumen Christi, 2008. Sequeira, Ronald: Die Philosophien Indiens. Aachen: Ein-Fach-Verlag, 1996. Sermada, Donatus: Filsafat Bhattacharya: Sumbangan untuk Filsafat Kebudayaan. Dalam: Mengabdi Kebenaran. Ceunfin, Frans & Baghi, Felix (ed.). Maumere: Penerbit Ledalero, 2005.

&&&&&


(1)

budhi, unsur “pikiran” (manas: imaginasi, konsep, determinasi) yang menentukan bagaimana indra bekerja, dan unsur indrawi (BG menyebut 11 indra: 5 indra biasa; 5 organ tindakan (tangan, kaki, suara, anus dan alat kelamin) dan ditambah “pikiran”. Indra-indra ini bila tidak dikontrol akan menghasilkan kemarahan, nafsu dan kelobaan. Sementara itu, purusha sendiri di dalam dirinya bersifat kekal, statis dan pasif. Purusha adalah Self yang masih terbelenggu dalam materi, tetapi dia tidak mati dan tidak pernah lahir. Dia bersifat kekal. Dia tidak aktif, artinya tidak bertindak dan tidak juga berinisiatif untuk bertindak. Dia bersifat pasif, dan hanya bisa bertindak sejauh bersatu padu dengan tubuh (konsep psychosomatik organisme).

Alam semesta dalam BG masih dipahami sama seperti konsep Upanishad. Alam semesta berubah-ubah dan bermacam-macam. Dia dari kodratnya buta, dan memiliki unsur: ether, udara, api, air, tanah. Tetapi di dalamnya terdapat hakekat tertinggi yang disebut “Atman” yang bersifat tetap dan tidak berubah. Atman ini tidak pernah dikenal secara benar karena manusia selalu dilingkupi oleh ketidaktahuannya akan kodratnya yang benar, yaitu Brahman. Sejarah tidak dimengerti seperti dalam konsep barat, tetapi satu totalitas perjalanan hidup manusia baik individual maupun kollektif sejak penciptaannya sampai kepada peperangan besar Bharata ketika Kresna mendesak Arjuna untuk berperang menuju persatuan kembali dengan Brahman. Sejarah dalam arti seperti ini tidak pernah berakhir. Sesudah kematian, manusia akan kembali lagi memulai satu fase hidup baru di bawah tuntunan Kresna. Roda perjalanan hidup manusia tidak berakhir.

Poin yang penting di sini dalam BG adalah diri Arjuna dan Kresna. Arjuna mewakili sosok manusia yang masih terbelenggu dalam self yang lebih rendah. Kresna adalah manusia ideal yang menjadi tokoh panutan Arjuna. Arjuna menemukan dirinya sebagai manusia yang tidak mampu menentukan manakah hal yang benar untuk dilakukan. Pertanyaan khas ini tentu menyentuh keputusan mendesak Arjuna untuk berperang atau tidak berperang melawan saudaranya. Kreshna yang menyamar sebagai kusir kereta Arjuna mendesak Arjuna untuk berperang, tapi desakan Kresna sebetulnya punya maksud yang lebih luas: mengajarkan Arjuna tentang manusia, tentang Atman, tentang tujuan hidup dan tentang kodrat. Arjuna keliru dalam mengambil keputusannya. Ini dilihat sebagai ketidaktahuan Arjuna akan Selfnya yang sejati. Selfnya yang lebih rendah (aku empiris) telah membutakan dia untuk mengenal Selfnya yang sebenarnya, yaitu Atman yang menjelma dalam diri Kresna. Karena itu, dia harus dibebaskan dari selfnya yang lebih rendah. Untuk tujuan itu, Kresna mengajarkan Arjuna untuk disiplin diri melalui jalan pembebasan: jnana-yoga; karma-yoga dan bhakti-yoga.

Meskipun BG tidak berbicara secara khusus tentang masyarakat, tapi pemahamannya tentang masyarakat masih berada pada jalur tradisi sejak masa Brahmana, Upanishad sampai pada saat itu. Masyarakat dilihat dalam konteks tujuan hidup manusia. Itu berarti bahwa manusia baik secara individual maupun secara kollektif dalam relasi satu sama lain (keluarga, masyarakat dan kerajaan) diatur dalam satu tatanan-hidup yang bertujuan untuk mencapai persatuan dengan Brahman atau mencapai pembebasan (moksa) dari belenggu hidup. Tatanan masyarakat itu sudah tersusun dalam klas-klas (jatis=kasta) seperti Brahmana, ksatrya, vaisya, sudra, dan mekanisme kehidupan bersama diatur menurut tujuan dasar hidup bersama, yaitu dharma (kewajiban dan kebajikan yang harus dihayati seseorang dalam masyarakat sesuai dengan kastanya); artha (keberhasilan dan kekayaan yang harus dikejar); kama (kebahagiaan dan kenikmatan yang hendak dicapai), dan moksa (pembebasan sebagai tujuan akhir).

3. Titik Temu Sistematis 3. 1. Roh Mutlak dan Brahman

Di dalam buku Romo Rekso disebut Roh Mutlak dan Kresna. Di sini kita menyebut Roh Mutlak dan Brahman. Konsep Hegel tentang roh mutlak dan konsep BG tentang Brahman tentu


(2)

berbeda, tapi pemahaman keduanya yang berbeda sebenarnya menunjuk kepada satu persoalan metafisis yang mendasar: Apa realitas yang sesungguhnya? Realitas yang sesungguhnya itu ditemukan dalam Roh mutlak yang menjelma dalam dunia, manusia dan sejarah, dan dalam BG realitas itu ditemukan dalam Brahman yang dari padanya munculnya dunia, manusia dan sejarah. Realitas mutlak itu berevolusi dan berdinamis. Dunia, manusia dan sejarah pada Hegel merupakan medan kegiatan Roh yang secara bertahap berada dalam gerak kembali untuk bersatu dengan diriNya sendiri sebagai Roh mutlak, sementara dunia, manusia dan sejarah pada BG merupakan self yang lebih rendah atau aku-empiris yang membaluti Self yang lebih tinggi (Atman) dan dengan petunjuk Kresna sebagai penjelmaan Brahman, manusia bisa membebaskan diri dari self yang lebih rendah untuk bersatu kembali dengan Brahman. Manusia ideal yang menjalankan proses ini dengan baik adalah manusia yang menyadari diri untuk mencapai persatuan dengan roh mutlak atau persatuan dengan Brahman. Manusia Yesus Kristus” pada Hegel dan “manusia Arjuna di bawah bimbingan Kresna” pada BG merupakan penjelmaan Roh atau Allah.

Maka di sini, manusia tidak menemukan autonomitas dan keberdikariannya yang mutlak. Manusia sebagai perpaduan antara purusha dan prakrti pada BG dan sebagai roh mutlak yang sadar akan dirinya melalui tubuh manusia tidak menyandang unsur esensial murni. Dia menjadi dependen dan tergantung pada realitas mutlak yang melingkupi hidupnya. Dan dalam kedudukan seperti ini, manusia menyadari asal usulnya, proses hidupnya dan tujuan hidupnya. Dia berasal dari Roh, hidup dalam roh dan berjalan menuju persatuan dengan roh. Bahasa teologis menyebut kedudukan manusia seperti itu sebagai yang berada dalam “penyelenggaraan ilahi”.

3. 2. Manusia Dalam Masyarakat

Titik temu sistematis yang kedua terletak dalam ide dasar Hegel dan BG tentang masyarakat yang ideal. Masyarakat ideal pada Hegel adalah negara dan wadah yang mengakomodasi semua bangsa dalam relasi satu sama lain, karena dalam bentuk seperti ini roh mutlak mencapai perkembangan tertinggi. Manusia individual mengalami kebebasan. Perbuatan manusia individual sudah sejalan dengan cita-cita negara. Sementara itu, masyarakat ideal pada BG adalah masyarakat yang tersusun atas dasar tujuan hidup bersama (persatuan dengan Brahman=moksa) melalui perwujudan dharma, artha, kama. Manusia individual terikat pada kastanya sendiri sebagai elemen konstitutif masyarakat.

Masyarakat ideal pada Hegel dan pada BG, meskipun dikonsepkan secara berbeda, berbicara tentang satu realitas sosial yang merupakan satu keharusan dalam hidup. Realitas sosial itu mewujud dalam satu bentuk kehidupan bersama yang memiliki tujuan hidup bersama dan tata aturan yang menjadi milik bersama. Baik masyarakat modern maupun masyarakat kuno memiliki tujuan hidup bersama dan tata aturan yang menjadi milik bersama. Hal itu bersifat universal. Tetapi kekhasan pada ide dasar Hegel dan BG tentang masyarakat ialah bahwa masyarakat yang mereka gambarkan adalah bukan masyarakat sekular. Masyarakat dalam gambaran mereka bersifat religius (theokratis), karena masyarakat seperti itu hanya menjadi medan penjelmaan roh. Kehidupan individual sedapat mungkin harus sejalan dengan cita-cita dan tata-aturan masyarakat, karena masyarakat yang menjamin kesejahteraan individu tidak pernah berada di luar lingkungan roh atau Brahman. Bentuk dan tata-aturan masyarakat dengan demikian mendapat legitimasinya dari roh.

3. 3. Relasi Antara Realitas Mutlak dan Manusia

Roh mutlak yang bekerja sebagai roh subyektif manusia individual dan sebagai roh obyektif masyarakat memiliki kesadaran dirinya untuk berusaha keluar dari belenggu alam yang membalutinya dalam manusia. Tingkah laku manusia individual dan tata tertib yang mengatur relasi manusia yang satu dengan yang lain dalam masyarakat merupakan bentuk kesadaran roh.


(3)

Roh seperti ini bukan merupakan satu kekuatan dari luar, tapi kekuatan dari dalam manusia itu sendiri untuk bergulat membebaskan diri dari genggaman alam. Dalam fase historis tertentu, peperangan dipandang sebagai satu keharusan untuk proses pembebasan roh itu. Dalam BG, manusia adalah perpaduan antara purusha dan prakrti. Si pengenal yang sejati adalah Atman, subyek murni yang sadar akan dirinya. Manusia belum mencapai pengenal sejati, karena masih terbalut oleh prakrti. Peperangan yang dianjurkan Kresna kepada Arjuna dalam fase historis tertentu merupakan satu keharusan demi tercapainya pembebasan sejati dari belenggu materi.

Gagasan Hegel dan BG tentang relasi antara manusia dengan roh tertinggi merujuk kepada satu titik temu sistematis yang berdiri di atas satu gagasan universal, yaitu realitas universal yang mutlak menjadi rujukan hidup manusia. Ketergantungan manusia pada realitas ini merupakan keharusan, tetapi ketergantungan ini ditandai oleh satu karakter relasi antara manusia dan realitas mutlak. Karakter relasi itu boleh dilukiskan sebagai satu karakter “pergulatan” atau karakter perjuangan” manusia untuk membaca dan mengikuti sinyal-sinyal yang berasal dari kehendak dan pikiran realitas mutlak. Bahasa teologis mengartikulasikan karakter relasi itu sebagai perjuangan manusia untuk membaca dan mengenal kehendak Allah. Peperangan seperti pengalaman Arjuna dalam fase historis tertentu bisa dipandang sebagai satu keharusan, apabila situasi menuntut manusia untuk berperang demi satu tujuan yang lebih luhur.

3. 4. Perkembangan Realitas Mutlak Di dalam Diri Manusia

Hegel menjelaskan perkembangan roh mutlak di dalam manusia melalui tiga tingkatan: perkembangan roh di dalam manusia individual; perkembangan roh di dalam keluarga dan masyarakat dan perkembangan roh di dalam negara. Di dalam manusia individual, roh mutlak mengambil bentuk pengungkapan dirinya dalam tiga jenjang: jiwa (Seele); kesadaran dan roh (spirit). Jiwa adalah tidurnya roh di dalam alam; dia masih didominasi oleh alam. Kesadaran adalah fase kesadaran ego dalam konfrontasinya dengan alam materi. Kesadaran berfungsi dalam bentuk “pengertian” (Verstand). Roh pada jenjang berikut adalah perpaduan antara jiwa dan kesadaran, dan bentuk tertinggi perpaduan itu adalah akal budi yang dapat memadukan segala pertentangan. Sementara itu, BG menjelaskan realitas mutlak sebagai Brahman, dan Brahman yang menjelma dalam manusia tampil dalam sosok Kresna. Arjuna adalah sosok manusia yang masih terbelenggu dalam self-empiris. Di dalam manusia individual seperti Arjuna, roh yang menjelma dalam alam materi disebut purusha, sementara tubuh material sendiri adalah prakrti. Di dalam prakrti terdapat unsur: budi (kesadaran); ego (ahamkara: pusat kepribadian); pikiran (manas: konsep, imaginasi) dan indra. Manusia masih terbelenggu dalam prakrti, sementara roh statis dan tak berdaya dalam belenggu itu. Untuk mencapai persatuann manusia dengan Brahman, manusia harus membebaskan diri dari prakrti.

Gagasan dasar Hegel dan BG tentang tujuan akhir hidup manusia dan tentang perkembangan roh menuju diriNya sendiri memuat satu pemahaman universal tentang tujuan hidup manusia dan perkembangan roh di dalam diri manusia. Di dalam filsafat manusia, tujuan hidup manusia adalah puncak pengalaman kristalisasi, yaitu satu pengalaman kepenuhan, keutuhan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan puncak kristalisasi ini tidak bisa ditetapkan secara definitif, tapi hanya dapat diwujudkan dalam bentuk harapan manusia, bahwa sesudah kematian, puncak kristalisasi itu dicapai. Bahasa teologis membahasakan puncak kristalisasi itu sebagai pengalaman eskatologis pada saat ketika manusia kembali bersatu dengan Allah. Satu hal yang menarik dan bersifat universal dari gagasan dasar Hegel dan BG adalah perkembangan roh dalam manusia. Perkembangan roh dalam manusia menggambarkan adanya proses “spiritualisasi” hidup manusia, satu proses penyadaran hidup manusia untuk selalu berusaha membaharui hidupnya menuju ke hidup yang lebih baik dan lebih luhur. Manusia dalam keyakinan apa pun termasuk


(4)

manusia atheist membutuhkan “spiritualitas” yang membingkai hidupnya untuk menghayati hidupnya menuju tujuan yang ia konsepkan.

4. Membaca Realitas Sosial Bangsa Indonesia Dalam Perspektif Hegel dan BG

“Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapa itu orang atau manusia Indonesia? Apa memang dia ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?”, demikian tulis Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”. Tulisannya ini diangkat dari ceramahnya di Taman Izmail Marzuki pada tanggal 6 April 1977. Beliau melukiskan sosok manusia Indonesia berdasarkan pengalaman dan fakta: Manusia Indonesia itu artistik dan hipokrit; manusia Indonesia itu segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya; manusia Indonesia itu berjiwa feodal; manusia Indonesia itu percaya akan takhyul; manusia Indonesia itu berwatak lemah dan kurang kuat memperjuangkan keyakinannya; manusia Indonesia itu tidak hemat dan tidak bekerja keras, mau kaya seketika dan sebagainya. Dalam harian Kompas, Selasa 5 Juli 2005, hlm. 15, Budiarto Shambazy menambahkan lagi 5 ciri tambahan: manusia Indonesia itu mengutamakan gengsi; pemalas; manusia konsumtif; angkuh dan pandai berekayasa. Lima ciri tambahan itulah menjadi topeng kita. Itulah realitas konkrit manusia Indonesia.

Kita kembali kepada filsafat Hegel dan BG tentang manusia ideal yang mereka gambarkan. Manusia ideal, yang menyata dalam masyarakat ideal atau kerajaan ideal, adalah subyek-subyek yang berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu roh, yaitu belenggu material yang menghalangi pencapaian jati diri subyek baik dalam arti individual maupun dalam arti kollektif. Ketika kita konfrontasikan konsep manusia ideal ini dengan realitas historis konkrit pada masa Hegel dan pada masa BG, maka realitas historis-konkrit manusia pada masa mereka sama sekali tidak sesuai dengan manusia ideal mereka. Manusia ideal mereka hanyalah satu cita-cita yang membantu mengobarkan semangat manusia konkrit untuk tetap “berjuang” melawan belenggu material yang menindas realitas manusia historis-konkrit.

Pada masa BG antara tahun 400-200 seb. M. (masa epos dan lanjutan dari masa Upanishad), masyarakat India berada dalam situasi penuh konflik antara kelompok Brahman dan kelompok ksatrya, malah mungkin juga ada peperangan antara mereka. Kelompok Brahmana menguasai seluruh bidang kehidupan, terutama bidang keagamaan yang menyentuh upacara korban. Kenyataan ini menimbulkan irih hati dan menyebabkan ketiadaan autoritas kelompok lain, khususnya kaum ksatrya, untuk berperan aktif dalam membangun hidup bersama. Banyak Ksatrya memberontak, tapi mereka diteror dan ditumpas oleh kaum Brahmana. Banyak kaum ksatrya menyingkir dan menyepi, dan di sana mereka menemukan kebijaksanaan hidup. Arjuna melambangkan manusia yang kalah dalam politik kekuasaan dan mengungsi ke pembuangan, dan di sana dia menemukan kebijaksanaan yang diajarkan Kresna. Dia harus kembali ke tengah masyarakat untuk berperang melawan kezaliman.

Situasi sosial-historis Hegel bukan juga merupakan cerminan masyarakat ideal seperti yang digambarkan Hegel. Hegel yang hidup dari tahun 1770-1831 hidup dalam kerajaan Prusia, yang pada awal abad 19 sedang berjuang untuk memperoleh kemerdekaan penuh dan kedaulatan penuh bangsa Jerman dari kekuatan asing, khususnya kerajaan Austria. Melalui kongres di Wina pada tahun 1815 sesudah kekalahan Napoleon, satu ikatan kesatuan Jerman di bawah kerajaan Prusia didirikan dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan politik Jerman secara lebih luas. Konflik di dalam masyarakat Jerman sudah ada pada masa ini, teristimewa konflik antara kekuasaan Prusia yang protestan dan gereja katolik yang menyata dalam kekaiseran Austria. Tujuan ini tercapai ketika terjadi revolusi Maret 1848 yang dijalankan oleh kelompok cendekiawan Jerman dan rakyat banyak untuk menuntut pembentukan satu kerajaan Jerman atas dasar kebebasan dan kedaulatan rakyat. Kerajaan Jerman baru terbentuk pada tahun 1871 di bawah raja Wilhem I dari Prusia dan perdana mentrinya Otto von Bismarck. Hegel tentu sangat


(5)

dipengaruhi oleh situasi historis-konkrit masyarakatnya yang sedang berada dalam konflik dengan kekuatan asing, dan roh kollektif yang beroperasi dalam gagasan filosofisnya adalah ide kebebasan dan kedaulatan yang menuntut kesadaran subyek untuk membebaskan diri dari belenggu asing.

Melihat kenyataan historis-konkrit manusia pada zaman BG dan Hegel dan kemudian realitas historis-konkrit manusia Indonesia seperti yang dilukiskan oleh Mochtar Lubis, tampaknya tidak ada hubungan, tapi gagasan filosofis Hegel dan BG tentang manusia ideal memberi inspirasi bahwa ada satu titik temu sistematis antara gagasan mereka dengan konsep pemahaman konsep pemahaman manusia ideal Indonesia. Titik temu itu adalah titik temu meta-historis. “Historis” menunjuk kepada realitas historis-konkrit yang berbeda-beda, tetapi “meta” menunjuk kepada sesuatu di balik situasi historis-konkrit, sesuatu yang melampaui situasi historis-konkrtit. Dan sesuatu yang melampaui situasi historis konkrit hanya bisa dikenakan bukan pada hal partikular dan khas, tapi pada “hal universal” yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Hal universal yang ditunjuk oleh Hegel dan BG adalah manusia ideal sebagai manusia yang merdeka dan yang berada dalam proses perjuangan untuk keluar dari belenggunya. Elemen universal inilah yang berlaku juga di Indonesia dewasa ini.

Maka dalam konteks Indonesia, manusia yang merdeka dan yang berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu apa pun direfleksikan dan direkonstruksikan. Manusia Indonesia yang merdeka merupakan realitas diri manusia Indonesia, yaitu “kediriannya yang terbentuk dalam proses perkembangannya, dalam sejarahnya”. Kedirian Indonesia bukanlah sesuatu yang statis, tapi dinamis dan berkembang dalam proses. Di bawah payung NKRI, realitas kedirian Indonesia adalah realitas perpaduan berbagai macam tradisi budaya dan pandangan hidup yang ada di bumi Indonesia sejak dulu sampai sekarang, baik yang tumbuh dari dalam maupun yang berasal dari luar dan telah menyerap ke dalam diri manusia Indonesia. Secara ideal, kedirian itu masih tercermin bagus di dalam motto “bhineka tunggal ika”: berbeda-beda tapi tetap satu, juga dalam Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, realitas kedirian manusia Indonesia terumus dalam figur “manusia pancasilais” yang berusaha mewujudkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi gambaran jati-diri manusia Indonesia yang disebut terakhir itu hanyalah gambaran ideal yang harus dikonfrotasikan dengan realitas historis-konkrit. Realitas historis konkrit manusia Indonesia berbicara lain dan dapat mengubah gambaran ideal itu menjadi satu figur jati-diri yang lain. Perkataan Mochtar Lubis “wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas” menyingkapkan sedikit realitas diri manusia Indonesia. Dalam bahasa psikologi, wajah yang demikian memperlihatkan satu realitas diri manusia Indonesia “yang bermuka dua” antara manusia lama yang wajahnya penuh borok dan manusia baru yang wajahnya adalah topeng yang menyembunyikan sosok diri yang sejati. Manusia Indonesia yang bermuka dua ini, yaitu wajah lama yang penuh borok dan wajah baru yang bertopeng (manusia wayang) betul dipelihara dalam satu strategi yang canggih, yaitu politik rekayasa yang dipraktekkan manusia Indonesia di segala bidang kehidupan seperti yang disinyalir oleh Budiarto Shambazy tentang pandai berekayasa pada manusia Indonesia. Politik seperti ini justru menyembunyikan kebenaran dan menggerogoti kebebasan dan keadilan yang menjadi hak dan milik semua manusia.

Penutup

Makalah di atas merupakan hasil dari satu usaha pendalaman terhadap tema yang dibahas Romo Reksosusilo dalam hubungan dengan perbandingan filsafat timur dan filsafat barat. Pada akhir dari artikel yang beliau tulis, beliau berkata: “I end this work, with the hope that it will stimulate further comparisions between Eastern and Western philosophical writings, and by so doing contribute to a closes unity between East and West”.


(6)

K E P U S T A K A A N

Bhaktivedanta Swami Prabhupāda, Śrī Śrīmad, A. C.: Bhagavad-Gītā. Menurut Aslinya. Jakarta: Penerbit Hanuman Sakti, 1986.

Coreth, Emerich & Ehlen, Peter & Schmidt, Joseph: George Wilhem Friedrich Hegel. Dalam: Philosophie des 19. Jahrhunderts. Stuttgart: Verlag W.

Kohlhammer, 1989.

D’souza, Rudolf V.: The Bhagavadgītā and St. John of the Cross. Gujarat: Gujarat Sahitya Prakash, 1997.

Edwards, Paul (Ed.): Hegel, George Wilhelm Friedrich. Dalam: The Encyclopedia of Philosophy. Volume Three. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.& The Free Press, 1967, hlm. 441-443.

Hegel, G. W. F: Phaenomenologie des Geistes. Hamburg: Verlag von Felix Meiner, 1952.

Pendit, Nyoman S.: Bhagavadgita. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2002. Reksosusilo, S. Dr., CM: Sejarah Awal Filsafat Timur. Malang: Lumen Christi, 2008. Sequeira, Ronald: Die Philosophien Indiens. Aachen: Ein-Fach-Verlag, 1996. Sermada, Donatus: Filsafat Bhattacharya: Sumbangan untuk Filsafat Kebudayaan. Dalam: Mengabdi Kebenaran. Ceunfin, Frans & Baghi, Felix (ed.). Maumere: Penerbit Ledalero, 2005.

&&&&&