Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(1)

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

OLEH

HAMIDANSYAH PUTRA 127005011 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

T e s i s

JUDUL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

NAMA : Hamidansyah Putra

N I M : 127005011

PROGRAM STUDI : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui :

Komisi Pembimbing

K e t u a

(Prof. Dr. HM. Hasballah Thaib, MA)

(Dr.Hasim Purba, SH.M.Hum) (Dr.Edy Ikhsan, SH. MA

) A n g g o t a A n g g o t a


(3)

ABSTRAK

Pengaturan pengangkatan anak yang jelas dan tegas sangat dibutuhkan baik pengaturan dan perlindungannya saat ini telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat. Pembahasan mengenai pengangkatan anak sering dikaitkan dengan hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat di dalam pelaksanaannya masyarakat mempunyai cara pengangkatan anak yang berbeda pada satu daerah dengan daerah yang lain yang membuat pengangkatan anak ini menarik untuk digali.

Penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak ditinjau dari hukum Islam dan undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan jenis penelitian deskriptif analitis di suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan, sifat penelitian ini merupakan penelitian yurisis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sumber data penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Penelitian ini dilakukan utuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa Perbedaan yang utama antara Hukum Islam dan hukum nasional mengenai pengangkatan anak dapat dilihat melalui proses pengangkatan anak, dalam hal warisan, dalam hal hubungan darah, serta implikasi hukum orang tua dalam menjadi wali nikah anak angkatnya. Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Anak yang telah diangkat dapat mengajukan pembatalan pengangkatan dengan alasan-alasan yang tepat seperti ditelantarkan, sering mendapat kekerasan dan penganiayaan, pelecehan seksual, perbudakan terhadap anak, eksploitasi, perdagangan anak dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tua angkat terhadap anak angkat.


(4)

ABSTRACT

Transparent and resolute regulation on adoption is highly needed, both in its regulation and in its protection. Today, the Government Regulation No. 54/2007 on the Implementation of Adoption, Law No. 23/2002 on Child Protection, and the Compilation of the Islamic Law regulate wajibah will for an adopted child. Discussion about adoption is usually related to adat (customary) law, the Islamic law, and western law in which people have different methods in different places in its implementation so that it is interesting to be analyzed.

A research on child protection law about the implementation of adoption, viewed from the Islamic Law and Law No. 23/2002 on Child Protection, is a descriptive analysis which describes, explains, and analyzes laws theoretically and practically from the field. The research used judicial normative approach which was referred to legal norms in the legal provisions. The data consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials in order to find out the legal protection for the implementation of adoption.

The result of the research shows that the basic difference between the Islamic Law and the National Law on adoption can be seen from the process of adoption in inheritance, consanguinity, and the implication of the parent who becomes a wali nikah (male next of kin whose consent in required for the marriage of a girl) for his adopted child. An adopted child can cancel the adoption by strong evidence such as being neglected, abused and molested, sexually abused, treated like a slave, exploited, traded, and other deviations by the adoptive parents.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-nya sehingga Tesis ini apat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.. Adapun judul penelitian ini adalah : “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”. Tesis ini ditulis dalam rangka

memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum Pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik berupa masukan maupun saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih yang mendalam penulis Sampaikan secara khusus kepada yang terhormat para komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. H.Hasballah Thaib, M.A, selaku pembimbing utama penulis, Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku pembimbing II penulis, Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, M.A, selaku pembimbing III penulis yang telah dengan tulus iklas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat Ibu Dr. Idha

Aprilyana, S.H, M.Hum dan Ibu Dr. Yefrizawaty. S.H, M.Hum yang telah

berkenan member masukan dan arahan dalam penulisan tesis ini sejak kolukium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan


(6)

kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu hukum fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tinggkat Magister Ilmu Hukum. 5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Bapak Abdul Hamid dan Ibunda Idawati yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik, dan membesarkan penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat dan menyampaikan permintan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan membangun dan menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Agustus 2014 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Keaslian Penelitian ... 5

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 5

1. Kerangka Teori ... 5

2. Konseptual ... 8

G. Metode Penelitian ... 8

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 8

2. Sumber Data ... 9

3. Metode Pengumpulan Data ... 10

4. Analisis Data ... 10

BAB II : PENGANGKATAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 DAN HUKUM ISLAM A. Tradisi atau Budaya Mengangkat Anak di Indonesia ... 11

B. Pengangkatan Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 12

1. Tata Cara Pengangkatan Anak ... 12

2. Syarat-syarat Pengangkatan Anak ... 13


(8)

C. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam ... 15

1. Pengertian Pengangkatan Anak ... 15

2. Hukum Pengangkatan Anak ... 16

3. Tujuan Pengangkatan Anak Dalam Islam ... 18

4. Syarat Pengangkatan Anak Dalam Islam ... 19

BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGANGKATAN ANAK YANG TIDAK SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian dan Latar Belakang Pengangkatan Anak yang Tidak Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ... 21

B. Proses Pengangkatan Anak yang Tidak Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan ... 23

C. Perlindungan Hukum Terhadap Pengangkatan Anak yang Tidak Sesuai Dengan Peraturan Perundang-undangan ... 25

BAB IV : PERMINTAAN PEMBATALAN OLEH ANAK ANGKAT SETELAH DEWASA A. Alasan Permohonan Pembatalan ... 27

B. Proses Permohonan Pembatalan ... 29

C. Akibat Hukum Pembatalan ... 31

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 32

B. Saran ... 34


(9)

ABSTRAK

Pengaturan pengangkatan anak yang jelas dan tegas sangat dibutuhkan baik pengaturan dan perlindungannya saat ini telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat. Pembahasan mengenai pengangkatan anak sering dikaitkan dengan hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat di dalam pelaksanaannya masyarakat mempunyai cara pengangkatan anak yang berbeda pada satu daerah dengan daerah yang lain yang membuat pengangkatan anak ini menarik untuk digali.

Penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak ditinjau dari hukum Islam dan undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan jenis penelitian deskriptif analitis di suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan, sifat penelitian ini merupakan penelitian yurisis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sumber data penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Penelitian ini dilakukan utuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa Perbedaan yang utama antara Hukum Islam dan hukum nasional mengenai pengangkatan anak dapat dilihat melalui proses pengangkatan anak, dalam hal warisan, dalam hal hubungan darah, serta implikasi hukum orang tua dalam menjadi wali nikah anak angkatnya. Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Anak yang telah diangkat dapat mengajukan pembatalan pengangkatan dengan alasan-alasan yang tepat seperti ditelantarkan, sering mendapat kekerasan dan penganiayaan, pelecehan seksual, perbudakan terhadap anak, eksploitasi, perdagangan anak dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tua angkat terhadap anak angkat.


(10)

ABSTRACT

Transparent and resolute regulation on adoption is highly needed, both in its regulation and in its protection. Today, the Government Regulation No. 54/2007 on the Implementation of Adoption, Law No. 23/2002 on Child Protection, and the Compilation of the Islamic Law regulate wajibah will for an adopted child. Discussion about adoption is usually related to adat (customary) law, the Islamic law, and western law in which people have different methods in different places in its implementation so that it is interesting to be analyzed.

A research on child protection law about the implementation of adoption, viewed from the Islamic Law and Law No. 23/2002 on Child Protection, is a descriptive analysis which describes, explains, and analyzes laws theoretically and practically from the field. The research used judicial normative approach which was referred to legal norms in the legal provisions. The data consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials in order to find out the legal protection for the implementation of adoption.

The result of the research shows that the basic difference between the Islamic Law and the National Law on adoption can be seen from the process of adoption in inheritance, consanguinity, and the implication of the parent who becomes a wali nikah (male next of kin whose consent in required for the marriage of a girl) for his adopted child. An adopted child can cancel the adoption by strong evidence such as being neglected, abused and molested, sexually abused, treated like a slave, exploited, traded, and other deviations by the adoptive parents.


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 1 disebutkan bahwa ” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1

Anak adalah karunia Allah SWT. Tidak semua mahligai perkawinan dianugerehi keturunan, generasi penerus, hingga suami istri tutup usia. Allah SWT mengaruniai anak kepada Nabi Ibrahim yaitu Isma’il dan Ishaq pada usia senja, yang pertama di usia 99 tahun, yang terakhir 112 tahun.

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa dari perkawinan diharapkan akan lahir keturunan (anak) sebagai penerus dalam keluarganya, sehingga orang tua berkewajiban memelihara serta mendidiknya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

2

1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , Pasal 1

Itu terjadi tatkala usia senja dan harapan untuk mendapatkan keturunan sampai pada titik putus. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alami akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur oleh takdir illahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak tercapai. Akan tetapi semua kuasa ada di tangan Tuhan. Apapun yang mereka usahakan apabila Tuhan tidak menghendaki, maka

2 Hermadut. http://hermadut.blogspot.com/2013/02/ kisah-nabi-ibrahim-as.html. Diakses


(12)

keinginan merekapun tidak akan terpenuhi, hingga jalan terakhir semua usaha tidak membawa hasil, maka diambil jalan dengan pengangkatan anak.

Kehadiran seorang anak adalah suatu yang sangat diidam-idamkan. Kebahagiaan dan keharmonisan suatu keluarga ditandai dengan lahirnya seorang anak, karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk meneruskan keturunan. Pengangkatan anak disini merupakan alternatif untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga.

Definisi anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam jika dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan pembesaran anak tersebut kelingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.3

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Pasal 2) disebutkan bahwa pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

Anak dalam keluarga adalah buah hati belahan jiwa. Untuk anak orang tua bekerja memeras keringat membanting tulang. Anak merupakan harapan utama bagi sebuah mahligai perkawinan. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga, keturunan dan bangsa setelah agama.


(13)

anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.4

Hadist shahih oleh Muttafaqun Alaih disebutkan “Kullu mauludin yuladu’alal

fitrah”setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci bersih (fitrah).

5

Dalam syariat Islam, anak angkat tidak mendapatkan warisan. Dikarenakan bahwa pengangkatan anak tidak mengubah nasab seorang anak. Hal ini didasarkan pada Q.S Al-Ahzab : 4-5

anak adalah generasi penerus, baik bagi orang tua, bangsa maupun agama baik buruknya anak, akan menjadi apa mereka kelak tergantung bagaimana orang tua, bangsa maupun agama mendidik mereka.

ﱠﻖَﺤْﻟﺍ

ُﻝﻮُﻘَﻳ

ُﱠﷲَﻭ

ُﻜِﻫﺍَﻮْﻓَﺄِﺑ ْﻢ

ْﻢُﻜُﻟْﻮَﻗ

ْﻢُﻜِﻟَﺫ

ْﻢُﻛَءﺎَﻨْﺑَﺃ

ْﻢُﻛَءﺎَﻴِﻋْﺩَﺃ

َﻞَﻌَﺟ

ﺎَﻣَﻭ

ِﱠﷲ

َﺪْﻨِﻋ

ُﻂَﺴْﻗَﺃ

َﻮُﻫ

ْﻢِﻬِﺋﺎَﺑَ ِﻵ

ْﻢُﻫﻮُﻋْﺩﺍ

َﻞﻴِﺒﱠﺴﻟﺍ

ﻱِﺪْﻬَﻳ

َﻮُﻫَﻭ

yang artinya :

Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.

Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah Mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan. Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah.6

4 Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

(Pasal 2)

5

Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, 2006, Yayasan Shalat Khusu’, Jakarta Selatan, hal.313.


(14)

Dalam kitab perundang-undangan Majapahit, yang dikenal dengan nama kitab Perundang-undangan Agama atau Kutara Manawa, pada Pasal 216 dan Pasal

217, dapat di temui perkataan “anak pungut dari orang lain”7 yang mengindikasikan pada masa itu sudah di kenal lembaga pengangkatan anak. Pada berbagai kebudayaan kuno lembaga pengangkatan anak berpungsi sebagai cara untuk melanjutkan keturunan, dan memang seperti yang dikemukakan oleh Subekti bahwa “pada pengangkatan anak yang asli pertimbangannya adalah untuk mendapatkan anak laki-laki untuk meneruskan keturunan.” 8

Di antara sekian banyak negara di dunia pada umumnya mengenal lembaga pengangkatan anak dalam sistem hukum mereka, bahkan menurut Subekti “lebih banyak yang mengenal lembaga pengangkatan anak dari pada yang tidak mengenalnya”.9 Lembaga pengangkatan anak dikenal dalam Code Civil Prancis, Burgerliches Gezetzbuch Jerman, Hukum Anglo Saxon, Hukum Perdata China, juga Civil Code Jepang.

Mengambil anak untuk dipelihara, dibimbing dan dibiayai pendidikannya dalam hukum Islam itu dibolehkan. Terutama anak-anak yang memang membutuhkan bantuan seperti anak yatim piatu, anak dari keluarga miskin, anak yang tidak diketahui orang tuanya, dan sebagainya.

7

Slamet Mulyana, Perundang-undangan Madjapahit, Bharatara, Jakarta 1967, hal.153; Slamet Mulyana (1979). Nagara kertagama dan Tafsir Sejatahnya. Bharatara, Jakarta, hal.214

8

R.Subekti, Perbandingan Hukum perdata, (Jakarta: Pramya Paramita, 1997), hal. 19

9


(15)

Berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, syarat formal dalam pengangkatan anak adalah bahwa anak tersebut harus didaftarkan sebagai anak yang diangkat termasuk dalam hal perwalian. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 diatur Tentang Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat, juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah atau belum menikah (single parent adoption). Dijelaskan bahwa konsekuensi hukum dari pengangkatan anak

khususnya hal perwalian dan waris.

Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang dapat menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya, di dalam hal waris, Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang dapat memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.


(16)

Dilihat dari calon orang tua angkat, adanya peraturan pengangkatan anak yang jelas dan pasti adalah suatu yang menguntungkan dan sangat dibutuhkan. Berbicara tentang pihak pengangkat anak akan berhadapan dengan persoalan seberapa jauh lembaga pengangkatan anak masih diperlukan, Hingga sekarang ketidak punyaan anak masih merupakan dorongan yang utama untuk melakukan pengangkatan anak, meskipun pemikirannya tidak sejauh sampai pada rasa takut musnahnya keturunan (seperti pada pengangkatan anak yang asli), terutama di daerah perkotaan

(Khususnya di kota-kota besar) yang menempatkan keluarga sebagai unit masyarakat yang terkecil dan bersifat otonom, sehingga perhatiannya berkisar pada keluarga tersebut.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menempatkan soal “mendapat keturunan” sebagai salah satu faktor yang penting dalam perkawinan. Sedemikian pentingnya, sehingga dalam hal ”istri tidak dapat melahirkan keturunan” dapat menjadi alasan bagi suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami) yang merupakan suatu pengecualian terhadap asas monogami.10

10 Undang-undang No 1Tahun 1974 (LN.1974 No.1),Pasal 4 ayat (1) sub.c. jo.Pasal 3.

Dari uraian di atas dapat dimengerti betapa beban psikis yang harus ditanggung oleh pasangan-pasangan yang tidak atau belum dapat memperoleh anak atau keturunan karena berbagai sebab, terutama sebab-sebab yang terletak dalam bidang medis, sehingga pembahasan tentang ketidak


(17)

punyaan anak ini sudah selayaknya diserahkan kepada mereka yang membidangi atau mendalami bidang tersebut.

Kenyataannya tidak semua anak dapat mendapatkan kasih sayang dan kebahagiaan dari orang tuanya. Bagi anak-anak yatim piatu maupun anak-anak terlantar jarang yang bisa mendapat kasih sayang bahkan ada juga yang belum pernah mendapatkannya, karena sejak kecil orang tua mereka ada yang sudah meninggal dunia. Mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan dari orang tuanya sendiri. Mereka juga banyak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Lingkunganlah yang membentuk dan mempengaruhi karakter anak-anak tersebut. Mereka akan mencari jati dirinya sesuai dengan lingkungan luar yang kadang kurang baik untuk membentuk karakter anak. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka ada yang menjadi pengemis, pemulung, pengamen jalanan, dan sebagainya. Bahkan ada juga yang melakukan tindakan-tindakan yang negatif, seperti mencuri.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (pasal 35) dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, dengan kata lain pemerintah berperan aktif dalam proses pengangkatan anak melalui pengawasan dan perizinan. Adanya beberapa kepercayaan yang masih kuat di beberapa daerah, yang menyatakan bahwa dengan jalan mengangkat anak nantinya akan mendapat keturunan atau dengan perkataan lain mengangkat anak hanya sebagai pancingan untuk mendapat keturunan sendiri.


(18)

Umat Islam diwajibkan mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam Kitab Ahkam Al-awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim.11

Anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.

Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaa kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian, dipandang masih sangat diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala

11

Amira. http://amiramira404.bloqspot.com/2013/01/01/archive.html. Diakses pada pukul 10.35 WIB. Tanggal 11 Maret 2014.


(19)

aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda, sesuai dengan sistem hukum adat dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan. Pemerintah melalui menteri sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan kehidupan sosial tidak semua orang tua mempunyai kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Pengangkatan anak juga dapat dilakukan secara ilegal, artinya

pengangkatan yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang yang akan mengangkat anak dengan orang tua anak yang diangkat, rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat.


(20)

Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum pada anak, sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Padahal, berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung,12

H.A.R. Gibb dalam bukunya Muhammadanisme, An Historical Survey, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Muslehuddin

Eksistensi anak

sebagai pelanjut pengembangan misi agama dan misi negara perlu dikawal dengan penegakan aturan yang melindunginya, sebab anak-anak termasuk kelompok lemah dan rawan dari perlakuan eksploitatif kaum dewasa.

13

12 Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan Antara Norma dan Realitas (Cet. I ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.

122.

bahwa hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat yang efektif dalam membentuk tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat Islam. Keluasan jangkauan hukum Islam ini menjadi potensi besar untuk dilahirkannya fiqih anak yang adabtable (mampu beradaptasi) dengan kemajuan zaman.

13

Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 58.


(21)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian Tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perbedaan antara pengangkatan anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Hukum Islam ?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia ? 3. Bagaimana bila anak yang telah diangkat meminta pembatalan setelah

dia dewasa ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian Tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui perbedaan pengangkatan anak menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2. Untuk mengetahui bagai mana perlindungan hukum terhadap pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui akibat hukum bila anak yang telah diangkat meminta pembatalan setelah dia dewasa.


(22)

D. Manfaat Penelitian

Maka penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu atau memberi manfaat dibidang praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi kalangan akademisi hukum yang mendalami bidang kajian penelitian ini, khususnya diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan hukum perdata dibidang pengangkatan anak dari perspektif Islam dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk mewujudkan kesadaran masyarakat yang berdasarkan hukum, sehingga didalam pengangkatan anak, hak-hak anak dapat terlindungi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang telah dilakukan keperpustakaan Universitas Sumatera Utara dan kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara oleh peneliti, maka penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya, namun ada


(23)

beberapa tesis terdahulu yang menyangkut dengan masalah pengangkatan anak yaitu :

1. Tesis atas nama Edison, NIM : 037011020, dengan judul, “Pengangkatan Anak Dalam Lingkungan Hukum Adat Minangkabau. Tinjauwan atas Beberapa Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Lubukbasung”, Fokus kajian permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

(1) Faktor-faktor apakah yang melatar belakangi meningkatnya kebutuhan pengangkatan anak pada masyarakat suku Minangkabau. (2) Apakah yang menjadi pertimbangan hukum Pengadilan Negeri

Lubukbasung dalam mengabulkan permohonan pengesahan pengangkatan anak dilingkungan masyarakat suku Minangkabau (3) Bagaimana penerapan hukum adat Minangkabau dalam penetapan

Pengadilan Negeri Lubukbasung tentang pengangkatan anak.

2. Tesis atas nama Pita Christin Suzanne Aritonang, NIM : 067011065, dengan judul “ Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Stusi: Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara)”. Fokus Kajian permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

(1) Kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Toba di Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

(2) Bagaimanakah syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung.


(24)

(3) Apakah motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung Melakukan pengangkatan anak.

3. Tesis atas nama Rahmat Jhowanda, NIM : 087011012, dengan judul “ Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh, (Studi Kabupaten Aceh Barat)”. Fokus Kajian permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

(1) Hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandungnya pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.

(2) Bagaimana cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh.

(3) Bagaimana hak mewaris dari anak angkat dalam hukum waris adat, pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.

4. Tesis atas nama Erwansyah, NIM : 057011028, dengan judul “ Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Staatsblad 1917 No.192 (Penelitian pada Pengadilan Agama Medan)”. Fokus Kajian permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

(1) Bagaimana kewarisan anak menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Staatsblad 1917 No.129

(2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatblad 1917 No.129

(3) Bagaimana kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatblad 1917 No.129

5. Tesis atas nama Ahmad Ridha, NIM : 097011147, dengan judul “Pelaksanaan Pengangkatan Anak Melalui Penetapan Hakim Mahkamah


(25)

Syar’iah di Banda Aceh” Fokus Kajian permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

(1) Apakah yang menjadi Pertimbangan Hukum Pengadilan Hakim Mahkamah Syar’iah di Banda Aceh dalam mengabulkan permohonan, pengesahan pengangkatan anak.

(2) Bagaimana prosedur pelaksanaan pengangkatan anak melalui penetapan hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.

(3) Bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak di Banda Aceh.

6. Tesis atas nama Yufika Al Sandra, NIM : 127005067, dengan judul “Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap Status anak yang berubah menjadi anak kandung berdasarkan Akta Kelahiran” Fokus Kajian Permasalahan penelitian ini yaitu :

(1) Bagaimana Peraturan hukum pengangkatan anak dalam Hukum Positif dan Hukum Islam.

(2) Bagaimana hukum merubah status anak angkat menjadi anak kandung melalui Akte Kelahiran.

(3) Bagaimana Akibat Hukum dari perubahan status tersebut.

Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian tersebut, oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun dan apabila


(26)

dikemudian hari ternyata penelitian ini telah melanggar asas-asas keilmuan, maka Peneliti bertanggungjawab dengan ketentuan yang berlaku.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Di setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesipik atau proses tertentu terjadi.14 Menurut M.Solly Lubis, kerangka teori merupakan landasan teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.15 Sedangkan Soejono Soekanto menyatakan bahwa, kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.16

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.17 Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.18

14

J.J.JM.Wuiman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1996, hal. 203. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk

15 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 80. 16 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 6. 17 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 2000, hal. 54. 18 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia , Surabaya: PT.


(27)

penanganannya dilembaga peradilan.19 Menurut Lili rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.20

Lawrence M. Friedman dalam legal system mendeskripsikan tentang keberlakuan hukum atau efektivitas hukum, di mana ia menegaskan bahwa keberlakuan kaidah hukum dipengaruhi olah 3 (tiga) elemen dasar yaitu structure,

substance dan culture.21

adanya pengaturan yang rinci dalam mengikuti proses dalam batas yang jelas. Struktur sebagai suatu sistem berkaitan dengan lembaga penegakan hukum itu sendiri, seperti hakim, yurisdiksi pengadilan dan lain sebaginya. Dengan kata lain,

Struktur itu sendiri menurut Friedman adalah suatu

sistem hukum berkaitan dengan sistem sebagai kerangka dalam bentuk yang kuat,

struktur dalam hukum sebagai suatu sistem lebih menekankan pada aspek kelembagaan yang terlibat dari suatu proses penegakan hukum itu sendiri. Oleh karena itu lembaga ini akan sangat strategis sekali dalam “mewarnai” implementasi suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan substansi hukum dalam suatu sistem hukum menurut Friedman adalah berkaitan dengan aturan-aturan hukum yang sesungguhnya dan aturan tentang bagaimana institusi harus bertindak. Dari makna substansi tersebut jelaslah bahwa substansi suatu aturan itu harus jelas dan mempunyai value

19

Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk

masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor,

Malang: Universitas Brawijaya, 2010, hal.18.

20 Lili rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Remaja

Rusdakarya, 1993, hal. 118.

21 Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, (New


(28)

sebagaimana dinyatakan oleh Bruggink. Jika suatu substansi hukum sudah memiliki nilai, pada saat itu pulalah nilai itu dapat dievaluasi tentang keberlakuan atau efektivitasnya. 22

Begitu pula dengan budaya hukum (legal culture), di mana Friedman menegaskan bahwa budaya hukum ini sendiri merupakan bagian dari budaya dalam arti umum yang meliputi kebiasaan, opini, cara melakukan dan berpikir tentang sesuatu hal dan lain sebagainya. Dengan demikian, budaya hukum ini akan mendeskripsikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri, sehingga keberlakuan atau efektivitas hukum amat tergantung pada budaya hukum dari masyarakat atau komunitas tersebut. Melalui budaya hukum ini pulalah, bisa dilihat tingkat kepatuhan dan ketaatan masyarakat atau komunitas tertentu menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang tercermin dari sikap dan perilaku mereka sendiri. Dari ketiga elemen dasar dari sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman, akan mampu melihat sejauh mana keberlakuan atau efektivitas dari suatu produk hukum masyarakat.23

22 Ibid .

Fungsi hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali anak-anak.


(29)

Terhadap bentuk pengertian pengangkatan anak yang pertama sebagai mana di utarakan oleh Mahmud Syaltut, Fathurrahman memberikan komentar : “Pengangkatan anak dalam pengertian ta’awun, dengan menanggung nafkah anak sehari-hari, memelihara dengan baik, memberikan pakaian, pelayanan kesehatan, demi masa depan anak yang lebih baik, justru merupakan amal baik yang dilakukan sebagian orang yang mampu menggantikan baik hati yang tidak dianugerahi anak oleh Allah SWT. Mereka menjadikan perbuatan anak sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan mendidik, memelihara anak-anak dari kalangan fakir miskin yang terabaikan hak-haknya sebagai anak karena kekafiran dan kemiskinan orang tuanya. Tidak diragukan lagi, bahwa usaha-usaha semacam ini merupakan suatu amal yang disukai dan dipuji oleh Islam.24

Definisi kedua menggambarkan tentang pengangkatan anak sebagai mana yang dipraktikkan pada zaman Jahiliyah, dan pengangkatan anak yang dikenal masyarakat Tionghoa yang mempersamakan status anak angkat sebagai anak kandung dan memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, serta masuk Klan (suku) keluarga orang tua angkat dengan memakai nama orang tua angkatnya. Oleh karena itu anak angkat berhak menjadi ahli waris dan memperoleh warisan sebagai mana hak warisan yang diperoleh anak kandung, sedangkan syariat Islam menetapkan tentang ketentuan pembagian harta warisan, yang telah digariskan secara qath’i bahwa hanya kepada orang-orang yang ada Dengan demikian teori yang digunakan dalam teori ini adalah teori Taawun artinya saling tolong menolong.


(30)

pertalian darah, keturunan, dan perkawinan yang dapat masuk dalam kelompok ahli waris.25 Pengertian pengangkatan anak semacam inilah yang dilarang dalam Islam. Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa dalam lembaga pengangkatan anak yang bertentangan dengan agama Islam adalah pengangkatan anak yang dengan sengaja menjadikan anak angkat sebagai anaknya sendiri dengan hak-hak dan kewajiban yang disamakan dengan anak kandung; diberikan hak waris sama dengan hak waris anak kandung, dan orang tua angkat menjadi orang tua kandung anak yang diangkatnya. Tetapi dalam pengangkatan anak dalam pengertian terbatas dengan menekankan aspek kecintaan, perlindungan, dan pertolongan terhadap hak pendidikan anak, nafkah sehari-hari, kesehatan, dan lain-lain, adalah termasuk dalam ajaran ta’awun yang oleh Islam justru sangat di anjurkan.26

“Bertolong-tolonglah kamu dalam hal kebajikan dan takwa, tetapi jangan bertolong-tolongan dalam hal kemaksiatan dan permusuhan”.

Allah SWT, berfirman yang artinya :

27

Penetapan Pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam oleh Pengadilan Agama tidak memutuskan hubungan hukum atau hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Anak angkat secara hukum tetap diakui sebagai anak kandung dari orang tua kandungnya. Adanya justifikasi terhadap anak angkat dalam Hukum Islam tidak menjadikan anak angkat itu sebagai anak kandung atau anak

25 Departemen Agama RI, Trasliterasi Arab-Latin QS. An-Nisa/4: 11. 12, 2000, Asy

Syfa’,Semarang, hal. 168-170.

26 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika,

2002, hal. 53.

27 Departemen Agama RI, Trasliterasi Arab-Latin QS. Al-Ma’idah /5: 2., 2000, Asy


(31)

yang dipersamakan hak-hak dan kewajibannya seperti anak kandung dari orang tua angkatnya, hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak asuh dengan orang tua asuh yang diperluas. Oleh karena itu, tidak bisa dianggap bahwa seolah-olah anak angkat itu sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga orang tua angkatnya dengan segala hak dan kewajiban seperti anak kandung. Kalau demikian halnya, maka Akta Kelahiran anak angkat tersebut tidak gugur atau hapus dengan sendirinya setelah ditetapkannya Penetapan Pengangkatan anak oleh Pengadilan Agama. Konsekuensi logisnya tidak perlu adanya pencatatan anak angkat yang ditetapkan berdasarkan Hukum Islam oleh orang tua angkatnya ke Kantor Catatan Sipil.

Dengan lahirnya Surat “Akta Kelahiran Anak” dari Kantor Catatan Sipil, maka “Akta Kelahiran Anak” tersebut dari orang tua Kandungnya (orang tua asal) secara serta merta menjadi gugur atau hapus dengan sendirinya. Karena aspek administrasi, tidak mungkin seorang anak memiliki dua akta kelahiran dengan dua orang tua kandung. Dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang berlaku mulai tanggal 21 Maret 2006, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam. Sebagaimana produk hukum yang dikeluarkan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak yang berbentuk “penetapan”, maka produk hukum Pengadilan Agama tentang Pengangkatan Anak yang dilakukan berdasarkan hukum Islam juga berbentuk “penetapan”.


(32)

Berbicara masalah pengangkatan anak, yang oleh hukum telah diberikan hak bagi masyarakat untuk melakukan pengangkatan anak, namun yang paling penting dengan terjadinya pengangkatan anak tersebut harus dapat memberikan manfaatnya baik bagi orang tua angkat itu maupun bagi si anak angkat. Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang mengatur tentang pengangkatan anak, yaitu pasal 39, 40, dan 41 hukum pengangkatan anak yang digunakan oleh Pengadilan Negeri bersumber dari hukum perdata barat yang akibat hukumnya bertentangan dengan hukum Islam.28

Dalam hukum Islam tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya ia tetap menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya. Dalam arti berlaku larangan kawin dan tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia melangsungkan perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya. Adapun pada pengangkatan anak yang diiringi oleh akibat hukum lainnya terjadi perpindahan

Nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Konsekwensinya, antara dirinya

dengan ayah angkatnya dan keluarga kandung ayah angkatnya berlaku larangan kawin serta kedua belah pihak saling mewarisi. Jika ia akan melangsungkan pernikahan nantinya, maka yang berhak menjadi walinya adalah ayah angkatnya Tata Cara Pengangkatan Anak, menurut ulama fikih, untuk mengangkat anak atas dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut dapat mandiri di masa yang akan datang.

28 Muhamad Isna Wahyudi, http://pa-kotabumi.go.id/karya-ilmiah/214-


(33)

tersebut, bukan ayah kandungnya. Ada dua hal yang terkait dengan suatu hukum anak angkat, yaitu dalam hal kewarisan, dan dalam hal perkawinan.

Dilihat dari aspek perlindungan dan kepentingan anak, lembaga pengangkatan anak (tabani) memiliki konsepsi yang sama dengan pengangkatan anak (adopsi) yang dikenal dalam hukum. Perbedaannya terletak pada aspek mempersamakan anak angkat dengan anak sendiri, menjadikan anak angkat menjadi anak sendiri, memberikan hak waris yang sama dengan hak waris anak kandung.29 Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa status anak angkat itu hanya sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan hak-hak asasi sebagai anak lainnya, tampa harus disamakan hak-haknya dengan status anak kandung, karena hati nurani orang tua angkat tetap akan sulit memandang sama anak angkat dengan anak kandungnya. Oleh karena itu, Pengertian anak angkat menurut Mahmud Syaltut lebih dekat pengertiannya kepada pengertian anak asuh yang lebih di dasari oleh perasaan seorang yang menjadi anak angkat.30

2. Konseptual

Konsep merupakan unsur pokok dalam suatau penelitian atau untuk membuat karya Ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsep adalah “ suatu pengertian mengenai suatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang ditentukan sesuai dengan judul

29

Adrianus Khatib. Kedudukan anak asuh Ditinjau dari Hukum Islam, Problematika

Hukum Islam Konteporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). hal. 158.


(34)

penelitian ini yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Pengangkatan Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-undang No 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” Penjelasan Konsepsionalnya yaitu :

1. Anak adalah amanah dari Allah SWT, karena itu setiap anak yang lahir wajib dilindungi hak-haknya. Hal ini juga berarti, para orang tua tidak akan menelantarkan atau menyia-nyiakan anak-anaknya. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya orang tua yang belum memiliki anak setelah lama berkeluarga berusaha mengangkat anak sebagai pengganti anak kandungnya, atau ada orang tua yang ingin mengangkat anak orang lain sebagai bentuk kepedulian sosial, meskipun mereka memiliki anak kandung sendiri. Umumnya mereka mengangkat anak-anak saudara mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Meskipun demikian, ada juga kasus di mana anak-anak yang diangkat tidak memiliki hubungan persaudaran secara langsung dengan calon orang tua angkatnya.

2. Pengangkatan Anak dalam Islam adalah Pengambilan atau pengangkatan anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri. Istilah tabani yang berarti seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah terhadap anak tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung orang tua angkat,31

3. Anak angkat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Pasal 1 Ayat 9) adalah anak yang haknya dialihkan pengertian demikian yang identik dengan istilah “Adopsi” yang dilarang Hukum Islam.

31 Muhammad Ali Al-Sayis. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali


(35)

dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

4. Anak Angkat dalam Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Pasal 1 Ayat 2) adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang orang dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

5. Kedudukan anak angkat dalam KHI Pasal 171 Huruf h yang berbunyi: “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasar putusan pengadilan.32

6.

32 M. Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1995. hal. 156.

Perlindungan Hukum, perlindungan adalah tempat berlindung hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun


(36)

dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi data yang telah dikumpulkan.33 Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodelogi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.34

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis, di suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan yaitu dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Agama Kota Medan dan Komisi Perlindungan Anak Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan. Jadi, sifat penelitian ini adalah yuridis normatif,

33

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hal. 5-6.

34 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan


(37)

yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.35

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer dan Data Sekunder. Data Primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan, sedangkan data sekunder terdiri atas :

1. Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang mengikat digunakan dalam penelitian ini,36

a. Al-Qur’an, Al-Hadits, ijtihad serta kaidah ushul fiqh.

terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan berkaitan dengan Pengangkatan Anak yaitu :

b. Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. c. Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak.

d. Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak Anak. e. Undang-undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

2. Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku hukum, surat kabar, tulisan ilmiah, televisi dan internet.

3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam

35

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal.13.

36 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo


(38)

penelitian ini digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Kamus Bahasa Belanda.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan teknik studi dokumen, seluruh data dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (Liberaly research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dipandang relevan, dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya dilakukan wawancara untuk menunjang data sekunder artinya data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian.

4. Analisis Data

Analisis Data, yaitu menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian tersebut dengan cara data yang telah dikumpulkan akan disajikan dalam uraian dan dijelaskan berdasarkan logika, sehingga kemudian diperoleh suatu kesimpulan yang bersifat deduktif, yaitu kesimpulan diuraikan dari hal yang umum ke hal-hal yang khusus dan disajikan dalam bentuk tesis. Keseluruhan data ini akan dianalisis secara kualitatif.


(39)

BAB II

PENGANGKATAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 DAN HUKUM ISLAM

A. Tradisi atau Budaya Mengangkatan Anak di Indonesia

Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak dulu pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang didaerah yang bersangkutan, di Indonesia pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan karena menyangkut kepentingan orang perorangan dalam keluarga oleh karena itu lembaga pengangkatan anak yang telah menjadi bagian dari budaya dari masyarakat akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.

Proses pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan perundang-undangan pada masyarakat Indonesia yang bhinneka (plural) tidak mudah dan mengalami banyak pertentangan. Sejak pasca proklamasi sampai awal era reformasi, yang mengatur tentang pengangkatan anak yang ketentuan pasalnya sebatas tujuan pengangkatan anak.37

37 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 12.

Sejak melewati pintu gerbang proklamasi sampai memasuki pintu gerbang reformasi, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara memadai pelaksanaaan pengangkatan anak di Indonesia. Di era reformasi, pengaturan pengangkatan anak tersebut mulai


(40)

terwujud dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang di dalamnya juga mengatur tentang pengangkatan anak dalam beberapa pasal. Kini, untuk melaksanakan ketentuan pengangkatan anak tersebut telah ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Realita masyarakat dan sistem hukum yang pluralistik (berbeda) berimplikasi pada beragamnya konsep pengangkatan anak di Indonesia,Terdapat banyak metode pengangkatan anak menurut hukum adat di Indonesia. Setiap daerah yang memiliki ciri khas berbeda dan unik yang membuat pengangkatan anak dalam kehidupan masyarakat adat sangat menarik. berikut beberapa contoh tentang pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia, antara lain :

1. Di Jawa dan Sulawesi Pengangkatan Anak jarang dilakukan dengan sepengetahuan kepala desa. Mereka mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan. Lazimnya mengangkat anak keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang atau penyerahan barang kepada orang tua si anak.

2. Di Bali, sebutan pengangkatan anak disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa (pancer laki-laki) . Tetapi akhir-akhir ini dapat pula diambil dari keluarga istri (pradana).


(41)

3. Dalam masyarakat Nias, Lampung dan Kalimantan. Pertama-tama anak harus dilepaskan dari lingkungan lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantiannya, yaitu berupa benda magis, setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung anak yang dipungut itu masuk ke dalam kerabat yang memungutnya, itulah perbuatan ambil anak sebagai suatu perbuatan tunai. Pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan suatu upacara-upacara dengan bantuan penghulu atau pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan lain perbuatan itu harus terang.38

4. Di Pontianak, syarat-syarat untuk dapat mengangkat anak adalah:

Disaksikan oleh pemuka-pemuka adat, disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu orang tua kandung dan orang tua angkat, sianak telah meminum setetes darah dari orang tua angkatnya, membayar uang adat sebesar dua ulun (dinar) oleh si anak dan orang tuanya sebagai tanda pelepas atau pemisah anak tersebut, yakni bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orangtua kandung anak tersebut. Sebaliknya bila pengangkatan anak tersebut dikehendaki oleh orang tua angkatnya maka ditiadakan dari pembayaran adat. Tetapi apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak maka harus membayar adat sebesar dua ulun.39

38 Ter Haar,Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal.

182.

39 Amir Mertosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara :


(42)

5. Dalam masyarakat Rejang pada Provinsi Bengkulu dikenal adanya lembaga pengangkatan anak, yang diangkat disebut “Anak Aket” dengan cara calon orang tua angkat mengadakan selamatan atau kenduri yang dihadiri oleh ketua Kutai dan pemuda-pemuda masyarakat lainnya. Di dalam upacara itu ketua Kutai mengumumkan terjadinya pengangkatan anak yang kemudian disusul dengan upacara penyerahan anak yang akan diangkat oleh orang tua kandung dan penerimaan oleh orang tua angkat (semacam ijab kabul), maka secara adat resmilah pengangkatan anak tersebut.

Masih banyak lagi bentuk-bentuk pengangkatan anak dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Keanekaragaman pengangkatan tersebutlah yang membuat hukum adat di Indonesia semakin menarik untuk digali dan dipelajari secara lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan tentang pengangkatan anak dalam hukum adat dengan lebih baik.

Pentingnya seorang anak bagi sebuah keluarga dalam kehidupan masyarakat adat sehari-hari. Anak yang mempunyai banyak fungsi dalam sebuah keluarga membuatnya sangat penting. Terdapat berbagai alasan yang menjadi arti penting sebuah pertimbangan dalam pengangkatan seorang anak. Ada beberapa yang mengangkat anak untuk kepentingan pemeliharaan keluarga di hari tua, melestarikan harta kekayaan keluarga.


(43)

1.

Umumnya di Indonesia, motivasi pengangkatan anak menurut hukum adat ada 14 macam, antara lain :

2.

Karena tidak mempunyai anak. Hal ini adalah suatu motivasi yang bersifat umum karena jalan satu-satunya bagi mereka yang belum atau tidak mempunyai anak, di mana dengan pengangkatan anak sebagai pelengkap kebahagiaan dan kelengkapan serta menyemarakkan rumah tangga.

3.

Karena belas kasihan terhadap anak-anak tersebut, disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. Hal ini adalah motivasi yang sangat positif, karena di samping mambantu si anak juga membantu beban orang tua kandung si anak asal didasari oleh kesepakatan yang ikhlas antara orang tua angkat dengan orang tua kandung.

4.

Karena belas kasihan di mana anak tersebut tidak mempunyai orang tua. Hal ini memang suatu kewajiban moral bagi yang mampu, di samping sebagai misi kemanusiaan.

5.

Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini adalah juga merupakan motivasi yang logis karena umumnya orang ingin mempunyai anak perempuan dan anak laki-laki.

6.

Sebagai pemancing bagi yang tidak punya anak, untuk dapat mempunyai anak kandung. Motivasi ini berhubungan erat dengan kepercayaan yang ada pada sebagian anggota masyarakat.

Untuk menambah jumlah keluarga. Hal ini karena orang tua angkatnya mempunyai banyak kekayaan.


(44)

7.

8.

Dengan maksud agar anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik. Motivasi ini erat hubungannyaa dengan misi kemanusiaan.

9.

Karena faktor kekayaan. Dalam hal ini, disamping motivasi sebagai pemancing untuk dapat mempunyai anak kandung, juga sering pengangkatan anak ini dalam rangka untuk mengambil berkat baik bagi orang tua angkat maupun dari anak yang diangkat demi untuk bertambah baik kehidupannya.

10.

Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris bagi yang tidak mempunyai anak kandung. Hal ini berangkat dari keinginan agar dapat memberikan harta dan meneruskan garis keturunan.

11.

Adanya hubungan keluarga, maka orang tua kandung dari si anak tersebut meminta suatu keluarga supaya dijadikan anak angkat. Hal ini juga mengandung misi kemanusiaan.

12.

Diharapkan anak dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. Dari sini terdapat motivasi timbal balik antara kepentingan si anak dan jaminan masa tua bagi orang tua angkat.

13.

Ada perasaan kasihan atas nasib si anak yang tidak terurus. Pengertian tidak terurus, dapat saja berarti orang tuanya hidup namun tidak mampu atau tidak bertanggung jawab, sehingga anaknya menjadi terkatung-katung. Di samping itu, juga dapat dilakukan terhadap orang tua yang sudah meninggal dunia.

Untuk mempererat hubungan keluarga. Di sini terdapat misi untuk mempererat pertalian famili dengan orang tua si anak angkat.


(45)

14.Karena anak kandung sakit-sakitan atau selalu meninggal dunia, maka untuk menyelamatkan si anak, diberikannya anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak, dengan harapan anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang usia. Dari motivasi ini terlihat adanya unsur kepercayaan dari masyarakat kita.40

Sangat jelas bila seorang anak telah diangkat atau diadopsi oleh orang tua angkatnya, maka akan timbul akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak tersebut. pada hukum di Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh keluarga angkatnya, maka anak tersebut akan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung orang tuanya. Anak angkat akan mendapatkan kewajiban seperti menghormati orang tua atau walinya, sedangkan hak anak tersebut akan di dapatkan ketika telah diangkat adalah warisan dari keluarga angkatnya, yang dapat berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi yang dapat diwariskan lainnya.

Dalam hukum adat, Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing.41

40 Mudaris Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta. 1992),hal.61.

Sepanjang perbuatan pengangkatan anak telah menghapuskan peranannya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya sebangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat.

41 Sunarmi, Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba, (Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat). Universitas Sumatera Utara. hal. 6.


(46)

1.

Pengangkatan anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan. Pengadilan Negeri dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut :

2.

Hubungan darah: mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.

3.

Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.

4.

Hubungan perwalian: dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung berlaih kepada orang tua angkat.

Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat

Selain akibat hukum yang mengaitkan hak dan kewajiban anak setelah diangkat oleh orang tua angkatnya, terdapat juga akibat anak tersebut dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perbuatan pengangkatan anak tersebut seperti akibat hukum dengan orang tua kandung dan orang tua angkat.


(47)

a. Dengan orang tua kandung

Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.

b. Dengan orang tua angkat.

Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung.42


(48)

Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan hubungan dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya.43

Terdapat sebuah pengaturan khusus tentang hak waris anak angkat yang diatur dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan bahwa tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa keputusan Mahkamah Agung, antara lain:

1) Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959

Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.

2) Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957

Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini kembali kepada waris keturunan darah.

3) Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959

43

Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat

Hukumnya di Kemudian Hari, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hal. 117.

Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.


(49)

B. Pengangkatan Anak Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Secara garis besar akibat hukum tentang perbuatan pengangkatan anak sudah sangat jelas pengertiannya karena telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Akibat hukum tersebut akan selalu muncul apabila sebuah keluarga memutuskan untuk mengangkat seorang anak, karena perbuatan tersebut akan menciptakan hak dan kewajiban kepada anak yang telah diangkat.

Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut adopsi. Dalam Kamus Hukum kata adopsi yang berasal dari bahasa latin

1. Tata cara Pengangkatan Anak

adoptio diberi arti Pengangkatan anak sebagai anak sendiri.44

Sebagaimana ketentuan dalam PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa

Rifyal Ka'bah, mengemukakan bahwa adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua dan anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan atau keluarga.

Pengangkatan anak

44 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Bandung, , PT Ghalia, 1986. hal. 28.

adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.


(50)

Pengaturan tentang penangkatan anak di atur antara lain di KUHPerdata (Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing) dan juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Selain dalam pengangkatan anak itu juga perlu diperhatikan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) nomor 2 tahun 1979 jo SEMA 6 tahun 1983 jo SEMA 4 tahun 1989.

1.

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak membedakan antara Anak angakat dan anah asuh

Anak angkat (Pasal 1 angka 9) adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

2.

Pengertian anak angkat sama dengan pengertian anak angkat dalam PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 1

Anak asuh (Pasal 1 angka 10) adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.


(51)

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 14) dapat diambil sebuah prinsip bahwa Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya

sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

1.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal domisili anak yang akan diangkat. Pengangkatan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu Pasal 39 - 41 jo PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak pasal 6 dapat diambil prinsip-prinsip dalam pengangkatan anak :

2.

Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Orang tua angkat wajib


(52)

memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. Dan pemberitahuannya haruslah memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

3.

4.

Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

2. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak

1.

Dalam ketentuan PP No 54 Tahun 2007 Pasal 12 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan bahwa anak yang hendak dijadikan anak angkat atau di adopsi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

2.

belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

3.

merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.

4.

berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak. dan memerlukan perlindungan khusus.

1.

Berkaitan umur si anak, ada beberapa pembagain yaitu :

2.

anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama.

anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak.


(53)

3. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

3. Pihak yang Dapat Mengajukan Pengangkatan Anak

1.

Pihak yang dapat mengajukan pengangangkatan anak sebagai Calon orang tua angkat harus memenuhi kententuan dalam PP No 54 Tahun 2007 Pasal 13 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu :

2.

sehat jasmani dan rohani.

3.

berumur paling rendah 30 tahun dan paling tinggi 55 tahun.

4.

beragama sama dengan agama calon anak angkat.

5.

berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan.

6.

berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.

7.

tidak merupakan pasangan sejenis.

8.

tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.

9.

dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial.

10.

memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak.

11.

membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.

12.

adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.

telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan.


(54)

13. memperoleh izin Menteri dan atau kepala instansi sosial.

SEMA No 2 tahun 1979 jo SEMA No 6 tahun 1983 jo SEMA No 4 tahun 1989, permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukummnya meliputi tempat anak yang akan diangkat itu berada.

Sejak berlakuknya UU Nomor 3 Tahun 2006, membolehkan Pengadilan Agama untuk menangani Pengangkatan Anak. Kewenangan itu diatur dalam penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20, yang menyebutkan bahwa PA berwenang mengadili "penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam". Dengan aturan itu terkesan ada dua badan peradilan yang berwenang mengurusi adopsi anak, yaitu PA dan Pengadilan Negeri (PN). Akan tetapi jelas Perbedaan Pengangkatan anak atau adopsi yang dijaukan ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, Perbedaannya yaitu sebagai berikut :

" Permohonan Anak Angkat yang ditujukan oleh Pemohon yang beragama Islam

dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat sebagai anak kandung dan dapat mewaris, maka Permohonan diajukan Ke Pengadilan Negeri, sedangkan apabila dimaksudkan untuk dipelihara, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama “

1.

Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam meliputi 2 hal , yaitu :


(55)

2. pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia.

1.

Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing dilakukan melalui putusan pengadilan. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana harus memenuhi syarat:

2.

memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia.

3.

memperoleh izin tertulis dari Menteri. melalui lembaga pengasuhan.

1.

Selain memenuhi persyaratan calon orang tua angkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 PP No 54 Tahun 2007, calon orang tua angkat Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat tambahan, yaitu:

2.

telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun.

3.

mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon.

membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.


(1)

Crowther, Jonathan. 1996. Oxford Advanced Leaner’s Dictionary, Oxford University.

Departemen Agama RI, 2000. Trasliterasi Arab-Latin QS. Al-Ma’idah /5: 2.Asy Syfa’,Semarang.

---, 2000. Trasliterasi Arab-Latin QS. An-Nisa/4: 11. 12, Asy Syfa’,Semarang.

---, 2000. Trasliterasi Arab-Latin, Asy Syfa’,Semarang.

Depdikbud, 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dikdik, Arief M. 2007. Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realitas (Cet. I ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

---, 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Fathurrahman, 1984. Ilmu Waris. Bandung; Al-Ma’arif.

Friedman, Lawrence M. 1975 The Legal System, A Social Science Perspective, New York:Russell Sage Foundation.

Gosita, Arif. 1984. Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademika Pressindo CV.

---. 2004. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Poluler.

Hadjon, Phillipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia , Surabaya: PT. Bina Ilmu.


(2)

Hamzah, Andi. 1986. Kamus Hukum, Bandung, ,

Jhoni Muhammad dan Zulchaini Z.Tanamas, 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bandung, Citra Aditya Bakti.

PT Ghalia.

Kamil, Ahmad dan Fauzan, 2008. Hukum Perlindungan dan pengangkatan Anak di Indonesia, Rajawali Pers.

Khatib, Adrianus. 2002. Kedudukan anak asuh Ditinjau dari Hukum Islam, Problematika Hukum Islam Konteporer, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Kusdarini, Eny. 2005. Perlindungan Anak di Indonesia Sebagai Perwujudan HAM di Era Otonomi Daerah, dalam Jurnal Civics Volume 2 Nomor 1, Juni.

Lubis, M Solly. 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju. Mahjuddin, 2003. Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia.

Mertosedono, Amir. 1987. Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara : Prize, Semarang.

Mulyana, Slamet. 1967. Perundang-undangan Madjapahit, Bharatara, Jakarta. ---. 1979. Nagara Kertagama dan Tafsir Sejatahnya. Bharatara,

Jakarta.

Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nasir, Haidar. 1997. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modren, cet-I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pioner Jaya.

Prinst Darwan, 1997. Hukum Anak Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Raharjo, Satijipto. 2000. Ilmu Hukum, Bandung: PT. CitraAditya Bakti.

Rasjidi, Lili dan I.B Wysa Putra. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Remaja Rusdakarya.

Sangkan, Abu. 2006. Berguru Kepada Allah, Yayasan Shalat Khusu’, Jakarta Selatan.


(3)

Simorangkir. 1987. JCT. Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru.

Soekanto, Soerjono.1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.

---. dan Sri Mamudji. 1996. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

---. 2005. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.

Soemitro, Irma Setyowati. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Bumi Aksara.

Subekti, R. 1997. Perbandingan Hukum perdata, Jakarta: Pramya Paramita. Soepomo. 1994. Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Sunggono, Bambang. 1997. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sunarmi. Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Batak Toba, Suatu Analisis Berdasarkan Hukum Adat. Universitas Sumatera Utara.

Susilowati, Ima. 2003. Pengertian Konvensi Hak Anak, UNICEF Indonesia.

Tamakiran, 2000. Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Bandung.

Tafal, Bastian. 1989. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, Rajawali Pers, Jakarta.

Waluyo, Bambang. 1996. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika , Jakarta. Wuiman, JM.J.J. 1996. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta: UI Press.

---. 2002. Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika.

Zaini, Mudaris. 1992. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta.


(4)

B. Peraturan Perundang-undangan

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-hak Anak. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana

Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

C. Website

Agustinanto, http://www.icmc.net/pubs/trafficking-women-and-children-indonesia. Diakses pada Pukul 10.30 WIB. Tanggal 17 Juni 2014.

Amira, Mira. http:/amira404.blogspot.com. Diakses pada pukul 06.08 WIB. Tanggal 28 Mei 2014.

Agusti Pertiwi, Arum http://arum-pertiwi.blogspot.com/2013/04/faktor-terjadinya-human-trafficking-dan.html. Diakses pada pukul 09.45 WIB. Tanggal 30 Mei 2014.

Amira. http ://amiramira404.bloqspot.com/2013/01/01/archive.html. Diakses pada pukul 10.35 WIB. Tanggal 11 Maret 2014.


(5)

Assidiq Yusuf dan Heri Ruslan. http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/06/13/119639-mengadopsi-anak-menurut-hukum-islam. Diakses pada pukul 09.45 WIB. Tanggal 11 Mei 2014.

dalih-adopsi/. Diakses pada pukul 23.00 WIB. Tanggal 15 Juni 2014. Devita, Irma.

http://irmadevita.com/2012/apakah-anak-angkat-anak-adopsi-berhak-mewaris. Diakses pada pukul 09.00 WIB. Tanggal 31 Mei 2014. Emmy,

2014.

Hamid, Patilima. http://m.indosiar.com/ragam/pencegahan-trafiking-anak-apa-mengapa-dan-bagaimana_47681.html. Diakses pada pukul 09.17 WIB. Tanggal 04 Juli 2014.

Hermadut. http ://hermadut.blogspot.com/2013/02/ kisah-nabi-ibrahim-as.html. Diakses pada pukul 09.40 WIB. Tanggal 11 Maret 2014.

Kurniawan, Rafli .http://adopsianak.blogspot.com/2012/04/aku-rawat-anakmu.html. Diakses pada pukul 09.20 WIB. Tanggal 31 Mei 2014. Kurniawan.http://ramsen.blogspot.com/2013/06/definisi-anak-terlantar.html.

Diakses pada pukul 09.00 WIB. Tanggal 12 Juni 2014.

Buddiarto, M. http://www.lbh-apik.or.id/adopsi.htm. Diakses pada pukul 03.00 WIB. Tanggal 21 Mei 2014.

Metafora, Arik. http://arikmetafora.blogspot.com/2013/08/pekerja-anak-di-bawah-umur.html. Diakses pada pukul 11.45 WIB. Tanggal 15 Juni 2014. Pertiwi, Arum Agusti.

http://arum-pertiwi.blogspot.com/2013/04/faktor-terjadinya-human-trafficking-dan.html. Diakses pada pukul 09.45 WIB. Tanggal 30 Mei 2014.

Republika Online. http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/rambu-adopsi-anak-dalam-islam. Diakses pada pukul 06.26 WIB. Tanggal 28 Mei 2014.


(6)

Ridwan.

http://ridwanaz.com/islami/fiqih/pahami-bagaimana-hukum-mengadopsi-anak-dalam-islam. Diakses pada pukul 03.40 WIB. Tanggal 14 Maret 2014.

Sofyan, Ahmad. http://indonesiahaveanews.blogspot.com/2008/04/women-and-children-trafficking-in-west.html. Diakses pada Pukul 10.20 WIB. Tanggal 17 Juni 2014.

Setyawan, David. http://www.kpai.go.id/artikel/organ-trafficking-kanibalisme-modern-terhadap-ham-anak. Diakses pada pukul 10.20 WIB. Tanggal 29 Mei 2014.

Suartiningsih, Rika. http://komunitas-mawaddah.blogspot.com/2012/03/kasus-sri-purwati-ditengarai-adopsi.html, Diakses pada pukul 04.18 WIB. Tanggal 14 Juni 2014.

Sukampto, Bambang. http://setanon.blogspot.com/2010/03/diktat-hukum-perlindungan-anak.html. Diakses pada pukul 10.32 WIB tanggal 14 Maret 2014.

Wahyudi, Muhamad Isna. http ://pa-kotabumi.go.id/karya-ilmiah/214-itsbat-pengangkatan-anak.html. Diakses pada pukul 05.14 WIB. Tanggal 14 Maret 2014.

Wulansari, Suci.

http://forumadopsianak.wordpress.com/2012/04/11/pengangkatan-anak. Diakses pada pukul 09.00 WIB. Tanggal 30 Mei 2014.