Personal hygiene Toileting Berhias Makan

42

5.1.2 Perawatan diri narapidana wanita

Tabel 5.2 dibawah ini menunjukkan bahwa gambaran perawatan diri narapidana wanita sebagian besar berada dalam kategori baik yaitu sebanyak 76 orang 97,4 , dan kategori cukup baik sebanyak 2 orang 2,6, sedangkan kategori kurang baik tidak ada. Tabel 5.1.2 Distribusi frekuensi dan persentase perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan n=78 Karakteristik Frekuensi Persentase  Baik 76 97.4 Cukup baik 2 2.6 Kurang baik Perawatan diri narapidana wanita terdiri dari beberapa komponen yakni personal hygiene, toileting, berhias, dan makan dapat dijabarkan sebagai berikut:

5.1.2.1 Personal hygiene

Komponen perawatan diri yang pertama yaitu personal hygiene. Komponen personal hygiene terdiri dari 23 pernyataan dengan 17 pernyataan positif dan 6 pernyataan negatif. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki personal hygiene yang baik yaitu sebanyak 76 orang 97,4. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.3.

5.1.2.1. Toileting

Komponen toileting terdapat 4 pernyataan dengan 3 pernyataan positif dan 1 pernyataan negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki aktivitas toileting yang baik yaitu sebanyak 74 orang 94,9. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.3. Universitas Sumatera Utara 43

5.1.2.2 Berhias

Komponen berhias terdapat 4 pernyataan dengan 2 pernyataan positif dan 2 pernyataan negatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari setengah responden memiliki aktivitas berhias yang baik yaitu sebanyak 52 orang 66,7. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.3.

5.1.2.3 Makan

Komponen ini terdapat 4 pernyataan dengan 2 pernyataan positif dan 2 pernyataan negatif. Hasil penelitian menujukkan bahwa dari keseluruhan responden, 71 orang 91 memiliki aktivitas makan yang baik. hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.3. Tabel 5.1.3 Distribusi frekuensi dan persentase gambaran perawatan diri berdasarkan empat komponen perawatan diri pada narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan n=78 No Karakteristik Frekuensi Persentase 1 Personal hygiene Baik 76 97.4 Cukup baik 2 2.6 2 Toileting Baik 74 94.9 Cukup baik 4 5.1 3 Berhias Baik 52 66.7 Cukup baik 23 29.5 Kurang baik 3 3.8 4 Makan Baik 71 91 Cukup baik 6 7.7 Kurang baik 1 1.3 Universitas Sumatera Utara 44

5.2 Pembahasan

5.2.1Perawatan diri narapidana wanita Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan didapatkan bahwa mayoritas narapidana memiliki perawatan diri yang baik sebanyak 76 orang 97,4, perawatan diri cukup baik sebanyak 2 orang 2,6, dan tidak ada narapidana yang memiliki perawatan diri kurang baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa narapidana memiliki perawatan diri yang baik dalam personal hygiene, toileting, berhias, dan makan. Hal ini tampak dari hasil pengumpulan data dimana mayoritas narapidana menjawab selalu melakukan perawatan diri. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Acoca 1998 yang menyatakan bahwa narapidana di Amerika kesulitan untuk merawat dirinya sendiri,mereka telah kehilangan kebebasan untuk melakukannya karena fasilitas penjara yang tidak memadai sehingga narapidana sangat rentan mengalami penyakit. Hal senada disampaikan oleh Anderson 2003 bahwa kelalaian yang terjadi di lapas mengakibatkan narapidana defisit akan perawatan. Perawatan diri responden yang baik kemungkinan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah tingkat pendidikan responden. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden kebanyakan adalah lulusan SMA 46,2. Menurut Notoadmojo 2003 tingkat pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi pemahaman seseorang terhadap suatu pengetahuan dalam hal ini pengetahuan tentang perawatan diri itu sendiri. Pengetahuan tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik hygiene. Individu dengan pengetahuan tentang pentingnya personal hygiene akan selalu menjaga Universitas Sumatera Utara 45 kebersihan dirinya untuk mencegah dari kondisi atau keadaan sakit. Dengan kata lain, pengetahuan seseorang akan mempengaruhi kemampuan dalam merawat diri untuk membantu meningkatkan kesehatan dan kualitas hidupnya. Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup. Seseorang juga harus termotivasi untuk memelihara perawatan diri Potter Perry, 2005. Dari hasil observasi peneliti responden memiliki motivasi yang baik untuk melakukan perawatan diri, meskipun berada dalam penjara, memiliki penyakit dan dengan fasilitas yang ada mereka berjuang untuk menjaga kesehatan dirinya. Bagi mereka hidup terus berlanjut sehingga kesehatan harus tetap dijaga meskipun berada di lapas. Berbeda halnya dengan narapidana yang ada di penjara Texas. Salah seorang mantan narapidana bernama Renaud mengatakan bahwa kebersihan diri bukan suatu kekhawatiran besar selama mereka di penjara dan itu bukan hal yang harus dikeluhkan. Menurut pendapatnya, jika mereka tidak bersih dan bau itu tidak masalah karena itu tidak mengancam jiwa Chammah, 2013. Usia responden juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perawatan diri. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas usia responden adalah dewasa awal 20-40 tahun yaitu sebanyak 54 orang 69,2 . Pada umumnya, masa usia dewasa awal adalah masa paling sehat dalam kehidupan manusia Delaune Ladner, 2002. Usia tersebut merupakan usia dimana individu mendapatkan tuntutan dari lingkungan sekitar keluarga dan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya. Kegagalan untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan sekitar dan melaksanakan tugas perkembangannya sering diartikan sebagai ketidakmampuan yang akan mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri Universitas Sumatera Utara 46 sendiri, perhatian pada orang lain berkurang, menyalahkan diri dan orang lain yang akhirnya ditunjukkan dengan penurunan motivasi untuk merawat diri atau defisit perawatan diri Rochmawati, Keliat, Wardani, 2013. Masa dewasa muda telah memiliki kematangan secara fisik, mereka harus terus menggali dan mematangkan hubungan emosional, sedangkan masa dewasa tengah terdapat perubahan fisiologis dan menghadapi realitas kesehatan tertentu, persepsinya tentang kesehatan, dan perilaku sehat. Usia dewasa menuruti pengajaran kesehatan karena takut akan akibatnya. Kondisi fisik mempengaruhi praktik perawatan diri. Dengan tubuh yang sehat seseorang dapat dengan mudah melakukan perawatan diri dengan baik Potter Perry, 2005. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa 48 orang 61,5 responden tidak menderita penyakit. Kondisi ini menunjukkan bahwa napi tidak memiliki keterbatasan dan mampu melakukan perawatan diri secara mandiri tanpa bantuan dari teman atau pihak lapas. Kebudayaan dan nilai pribadi juga mempengaruhi kemampuan perawatan diri. Seseorang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda mengikuti praktek perawatan diri yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur sering menentukan defenisi tentang kesehatan dan perawatan diri. Responden pada penelitian ini adalah mayoritas suku Jawa sebanyak 36 orang 46,2. Sejak zaman dahulu, praktik keperawatan dalam keluarga Jawa dipengaruhi oleh nilai-nilai pra-Islam dan Islam, yaitu sangat mementingkan kebersihan diri sebagaimana diatur didalam kitab suci agama Islam Sudiharto, 2007. Dalam suku Jawa juga dikenal beberapa aktivitas kebersihan seperti padusan ritual mandi dan kramasan Universitas Sumatera Utara 47 mencuci rambut yang merupakan upacara membersihkan diri masyarakat Jawa secara simbolis Dijk Taylor, 2011. Salah satu faktor yang juga sangat mempengaruhi narapidana dalam melakukan perawatan diri adalah fasilitas yang tersedia di lapas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidir dan Kartikowati 2012 di Lapas provinsi Riau, bahwa di dalam lapas tersebut semua narapidana diperlakukan seperti layaknya masyarakat pada umumnya yang memiliki hak asasi sesuai prinsip-prinsip demokrasi dan anti-diskriminasi. Lapas menyediakan fasilitas-fasilitas fisik dan berusaha memenuhi kebutuhan napi, termasuk pemenuhan kebebasan beribadah, fasilitas kesehatan, pendidikan dan kebutuhan utama lainnya. Fasilitas tersebut merupakan hak napi sebagai warga binaan Lapas sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang RI No 12 tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan Pasal 14 ayat 1.Berbeda dengan apa yang terjadi di penjara Texas, di penjara tersebut para narapidana harus membeli barang-barang kebersihan seperti perlengkapan mandi dan perlengkapan berhias sebab fasilitas itu tidak disediakan oleh pemerintah. Hal itu dianggap bukan kebutuhan oleh pemerintah, tetapi dari waktu ke waktu muncul berbagai keluhan dari para narapidana dan anggota keluarga mereka Chammah, 2013. Berdasarkan wawancara dan observasi peneliti kepada narapidana dan petugas lapas, Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta menyediakan fasilitas untuk perawatan diri kepada narapidana setiap bulannya meskipun hanya beberapa perlengkapan saja seperti perlengkapan mandi, perawatan kuku. Namun,beberapa narapidana masih mengeluhkan kurangnya sarana dan prasarana di lapas seperti Universitas Sumatera Utara 48 air yang sangat sedikit karena tidak meratanya pembagian jatah air kepada setiap narapidana. Sehingga membuat beberapa dari mereka kesulitan untuk mandi bahkan mereka harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air. Keluhan tersebut juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nelli 2003 tentang pelaksanaan hak-hak narapidana di Lapas Wanita Klas IIA Tanjung Gusta, didapatkan bahwa banyak narapidana wanita yang menyampaikan keluhannya tentang kurangnya sarana dan prasarana di lapas seperti air minum, air mandi, makanan dan fasilitas kamar. Hanya sebagian saja dari perlengkapan tersebut yang dapat dibagi-bagikan kepada para narapidana sedangkan perlengkapan lainnya harus dipenuhi sendiri oleh masing-masing narapidana wanita. Hidir dan Kartikowati 2012 juga mendapatkan dari hasil penelitian yang mereka lakukan, karena setiap napi perempuan memiliki tingkat status yang berbeda, setidaknya ada tiga pola besar bagaimana napi perempuan mendapatkan kebutuhan perawatan diri setiap bulannya. Pertama, tergantung dari tingkat kedekatan hubungan sangat baik dengan petugas Lapas; kedua, tergantung dari lamanya napi telah menghuni Lapas; dan ketiga, tergantung pada kunjungan rutin keluarga napi ke Lapas. Namun dari hasil penelitian, narapidana yang ada di Lapas Wanita Klas IIA Tanjung Gusta tetap melakukan perawatan diri dengan baik dengan fasilitas yang ada. Salah satu poin yang penting disini adalah bahwa semua manusia memiliki kehidupan hygienenya masing-masing, namun beberapa orang melakukannya lebih baik dari yang lainnya, dan sebagian besar hal ini tergantung pada budaya, sosial, dan norma keluarga masing-masing Hassan, 2012. Ini dikarenakan dalam Universitas Sumatera Utara 49 diri setiap narapidana mempunyai pandangan dan perasaan yang berbeda-beda, serta adanya perbedaan kepercayaan atau keyakinan, kehidupan emosional, dan kecenderungan untuk bertindak. Disebutkan oleh Azwar 2009 dalam Astriyanti dkk, 2010 bahwa pandangan dan perasaan dipengaruhi oleh ingatan masa lalu, oleh apa yang diketahui, dan kesan terhadap apa yang sedang terjadi. Hal tersebut dapat membentuk sikap yang berbeda-beda antara narapidana yang satu dengan yang lain. Sejalan pula dengan yang dikemukakan oleh Notoatmodjo 2003 bahwa perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh kepercayaan, keyakinan, kehidupan emosional dan kecenderungan untuk berperilaku yang semua itu merupakan komponen sikap yang dapat membentuk sikap secara utuh. Astriyanti dkk, 2010. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa ada narapidana yang memiliki perawatan diri yang cukup baik, dan ada juga yang kurang baik jika dilihat dari tiap komponen perawatan diri.

5.2.1.1 Personal hygiene

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas narapidana memiliki personal hygiene dalam kategori baik sebanyak 76 orang 97,4, kategori cukup baik 2 orang 2,6, dan tidak ada responden yang memiliki personal hygiene yang kurang baik. Hasil ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astriyanti dkk 2010 bahwa narapidana di Lapas Klas IIA Kupang yang menderita penyakit kulit memiliki praktek hygiene perorangan yang baik sebanyak 16 orang 57.14, sedangkan narapidana bukan penderita penyakit kulit memiliki praktek hygieneperorangan yang baik sebanyak 21 orang 75. Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Rahimah dkk 2014 bahwa sebagian besar Universitas Sumatera Utara 50 narapidana di Rutan Klas I Makassar 56 kebersihan kulitnya dalam kategori kurang bersih sehingga kecenderungan narapidana untuk menderita penyakit kulit tinggi. Personal hygiene adalah konsep dasar dari kebersihan, perawatan dan langkah awal dari kesehatan yang baik. Disamping itu, personal hygiene merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dirumah maupun ditempat kerja yang membantu kita untuk melindungi diri dan menjaga kita tetap sehat baik fisik maupun mental. Personal hygiene yang baik juga akan menolong kita untuk menjaga perasaan yang baik tentang diri kita. Menjaga personal hygienedapat dilakukan dengan mandi, merawat kuku, rambut, mulut, mata telinga dan alat kelamin. Responden 78,2 memiliki aktivitas mandi yang baik. Hal yang sama ditemukan oleh Wirawan dkk 2011 dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa warga binaan sebagian besar frekuensi mandinya dua kali sehari 52,9. Menurut Tarwoto dan Wartonah 2003 kebersihan diri termasuk kebersihan kulit sangat penting dalam usaha pemeliharaan kesehatan seperti mandi 2 kali sehari menggunakan sabun agar terhindar dari penyakit menular. Bagi kenyamanan tubuh kita sendiri, mandi 2 kali sehari merupakan suatu keharusan. Selain untuk membersihkan diri, mandi juga membuat segar dan melepaskan diri dari rasa gelisah dan bau badan serta menhindarkan kita dari penyakit. Disamping tujuan membersihkan tubuh, mandi akan sangat menyegarkan dan melepaskan diri dari rasa gelisah, tidak enak dan bau badan yang kurang sedap serta tubuh akan terhindar dari penyakit infeksi kulit Hassan, 2012. Universitas Sumatera Utara 51 Sebagian besar responden 83.3 mempunyai kebersihan tangan dan kuku yang baik. Menurut Stevens 2000 adapun tujuan perawatan kuku yaitu membersihkan kuku, mengembalikan batas-batas kulit ditepi kuku ke keadaan normal serta mencegah terjadinya perkembangan kuman penyakit maka dari itu perlu perawatan kuku dengan cara menggunting kuku sekali seminggu dan menyikat kuku menggunakan sabun. Penyakit yang bisa timbul akibat tidak memperhatikan kebersihan tangan dan kuku yaitu: diare, tifus, kolera, cacingan, hepatitis, leptospirosis, jamur kulit, muntaber, gastroenteritis, dan polio. Salah satu faktor yang mempengaruhi responden memiliki personal hygiene yang baik adalah agama. Responden mayoritas beragama Islam yaitu sebanyak 66 orang 84,6. Hygiene adalah topik penting dalam agama Islam. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa Islam memberi tekanan yang kuat dalam hal personal hygiene. Personal hygiene tidak sekedar penting tapi merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Selain kebutuhan untuk bersih saat melakukan ibadah, ada sejumlah besar aturan terkait hygiene yang mengatur kehidupan umat Islam. Secara umum, kitab suci agama Islam menyarankan umat Islam untuk menjunjung tinggi norma kebersihan fisik dan kebersihan saat melakukan ibadah bila memungkinkan, sebab bersih adalah sebahagian dari iman Stacey, 2009. Untuk melakukan perawatan diriyang baik juga dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta perlengkapan mandi yang cukup misalnya sabun, sikat gigi, sampo, dll. Itu semua tentu membutuhkan biaya. Sesuai dengan pernyataan Friedman 1998 dalam Pratiwi, 2008, pendapatan keluarga akan mempengaruhi kemampuan Universitas Sumatera Utara 52 keluarga untuk menyediakan fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang hidup dan kelangsungan hidup keluarga. Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan tingkatan praktik perawatan diri. Mayoritas responden dalam penelitian ini tidak bekerja ibu rumah tangga sebelum masuk ke lapas 44,9sehingga tidak memiliki pendapatan yang tetap untuk mencukupi kebutuhannya. Disini peran keluargasangat penting dalam tahap-tahap perawatan kesehatan, terutama untuk membantu memenuhi kebutuhan perawatan diri narapidana. Responden pada penelitian ini juga kebanyakan sudah menikah 48,7 dan memiliki keluarga, sehingga kebutuhan yang tidak disediakan di lapas dapat mereka peroleh dari keluarga yang berkunjung. Tidak hanya dari keluarga, pihak lapas juga menyediakan fasilitas bagi narapidana untuk menyalurkan bakat dan kemampuannya seperti membuka salon, merajut, jasa laundry, membuat kerajinan tangan, dan lain-lain. Kegiatan ini membantu narapidana untuk menghasilkan uang terutama bagi narapidana yang tidak jarang dikunjungi keluarga, sehingga mereka tetap memiliki pendapatan untuk membantu mencukupi kebutuhannya di lapas khususnya perlengkapan hygiene.

5.2.1.2 Toileting

Aktivitas toileting responden yang didapat dari hasil penelitian adalah 94,9 dalam kategori baik dan 5,1 cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa narapidana selalu BAK dan BAB di toilet, selalu menyiram toilet sampai bersih dan tidak bau setelah BAKBAB, selalu mencuci tangan dengan sabun sesudah BAKBAB, dan selalu merapikan pakaian setelah BAKBAB. Menurut Wolf Universitas Sumatera Utara 53 2000 tangan harus dicuci sebelum dan sesudah melakukan kegiatan apapun seperti sebelum makan, sesudah makan, sesudah buang air besar ataupun buang air kecil, ini dapat mencegah terjadinya perkembangan kuman penyakit dan mengurangi kesempatan infeksi. Sejalan dengan pernyataan Hassan 2012 yang menyatakan bahwa cuci tangan, menggosok, dan perawatan kulit yang benar dapat mencegah penularan penyakit dan membantu memindahkan bahan kimia, kuman penyakit, dan kontaminasi. Sanitasi adalah tantangan yang besar di beberapa penjara. Sudah menjadi hal yang biasa bagi pegawai dan narapidana untuk terbiasa menggunakan kakus dengan tepat. Toilet menjadi sumber penyakit karena terbatasnya pengetahuan tentang pentingnya kebersihan yang teratur dan tepat dan merupakan jalannya penularan penyakit. Kekurangan dana, fasilitas yang buruk dan prasarana sanitasi yang tidak memadai merupakan faktor yang mempengaruhi masalah ini. Toilet dan fasilitas sanitasi lainnya merupakan bagian yang penting dari proses evakuasi sisa cairan. Luapan kotoran yang disebabkan oleh tersumbatnya atau tidak memadainya saluran adalah hal yang sering terjadi di lapas. Penyebabnya kemungkinan adalah prasarana yang tidak memadai, narapidana yang tidak menyiram toilet dengan bersih setelah menggunakan toilet, atau pada beberapa kasus disebabkan oleh kerusakan yang disengaja Chammah, 2013.

5.2.1.3 Berhias

Aktivitas berhias responden pada penelitian menunjukkan bahwa 66,7 baik, 29,5 cukup baik, dan 3,8 kurang baik. Sebagian besar responden selalu mengganti pakaian minimal 2x sehari, tidak pernah meminjam dan meminjamkan Universitas Sumatera Utara 54 pakaian dengan teman sekamar selalu memakai lotion, bedak, deodoran, dan alat make up lainnya setelah mandi, dan tidak pernah mencukur bulu ketiak ketika sudah sangat panjang dan menimbulkan bau. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Wirawan dkk 2011 bahwa warga binaan di Lapas Wanita Kelas IIA Semarang sebagian besar frekuensi ganti pakaian satu kali dalam sehari 54,9. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Depkes 1988, yakni pakaian sebaiknya diganti setelah beraktivitas atau bekerja. Saat bekerja atau beraktivitas badan akan mengeluarkan keringat sehingga harus dibersihkan dan menggantinya dengan yang bersih. Karena keringat yang berlebihan menyebabkan badan berkelembaban tinggi dan menimbulkan bau yang tidak enak, sehingga kuman- kuman penyakit lebih mudah untuk berkembang biak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat orang yang berpraktek hygiene perorangan yang buruk diketahui sering meminjam atau meminjamkan pakaian dan handuk kepada orang lain. Sejalan pula dengan pernyataan Dharmojono 2001 dalam Astriyanti dkk, 2010 yang mengungkapkan bahwa cara penularan penyakit jamur pada manusia adalah melalui kontak langsung dengan penderita atau kontak langsung dengan peralatan, baju, dan sisir. Hidir dan Kartikowati 2012 juga mendapatkan dari hasil penelitiannya bahwakebanyakan napi perempuan tidak berpakaian secara sopan, baju yang seadanya, pendek dan perilaku yang tidak patut dijadikan contoh bagi anakanak remaja. 2 terbatasnya jumlah petugas Lapas perempuan menyebabkan posisi tawar-menawar yang rendah bagi napi perempuan, terutama dalam mendapatkan Universitas Sumatera Utara 55 hak kesehatan. 3 kebutuhan alat-alat mandi, alat mencuci, mencuci pakaian, dan alat untuk kebersihan ruangan yang sangat minim. Akibatnya mengesankan kamar terutama untuk keperluan mandi cuci kakus - MCK berbau pengap dan pakaian yang dicuci ala kadar nya menyebabkan mereka juga rawan dihinggapi berbagai jenis penyakit. Handayani 2012 menyatakan bahwa bila pakaian tidak pernah dicuci ataupun dijemur dalam jangka waktu yang lama, maka kemungkinan jumlah kuman skabies yang ada di pakaian itu banyak sekali dan sangat besar resiko untuk menularkan pada orang lain. Adapun penularan penyakit skabies dapat secara kontak tidak langsung yaitu melalui benda-benda terkontaminasi karena telah berhubungan dengan penderita seperti pakaian, handuk, sprei, bantal dan sebagainya. Dampak yang sering dijumpai karena tidak memperhatikan kebersihan pakaian adalah penyakit kulit skabies, jamur, panu, infeksi bakteri. Faktor usia dengan mayoritas usia dewasa muda 20-40 tahun dan kelompok sosial wadah narapidana berhubungan dapat mempengaruhi praktik higiene pribadi. Teman-teman dan kelompok kerja membentuk harapan orang mengenai penampilan pribadi mereka dan perawatan yang dilakukan dalam mempertahankan hygiene yang adekuat. Penampilan umum seseorang dapat menggambarkan pentingnya kebersihan diri pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang tentang penampilan fisiknya Potter Perry, 2005. Narapidana wanita di Lapas Tanjung Gusta Medan tampak segar, rapi dan menggunakan make-up setiap harinya, menunjukkan bahwa narapidana tersebut memiliki citra tubuh yang baik. Universitas Sumatera Utara 56 Hal ini berarti narapidana memiliki persepsi, perasaansikap, dan tingkah laku yang baik dan positif terhadap penampilan tubuhnya.

5.2.1.4 Makan

Hasil penelitian menunjukkan 91 responden memiliki aktivitas makan yang baik, 7,7 cukup baik, dan 1,3 kurang baik. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa 41 orang 52,6 tidak pernah mengunyah makanan sambil berbicara, 50 orang 64,1 selalu menghabiskan makanan yang sudah disediakan baginya, 71 orang 91 tidak pernah makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, dan 74 orang 94,9 selalu berdoa sebelum makan. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di penjara Jepang. Berdasarkansurvei yang dilakukan oleh Japanese Association of Correctional Medicine, 1162,7 dari4.240narapidanadi seluruh sistempenjarawanita Jepangdidiagnosisdengan gangguan makanpada1 Oktober 2011. Hal ini disebabkan oleh narapidana yang mogok makan, dan napi perempuan dilaporkan rentan terhadap gangguan perilaku makan karena perasaan marah yang mereka rasakan ditambah dengan keterbatasan lingkungan penjara Asami dkk, 2015. Perilaku makan respondenyang baik tersebut besar kemungkinan dipengaruhi oleh pihak lapas yang mengajarkan narapidana untuk tidak berbicara sambil makan, menghabiskan makanan yang sudah disediakan dan didukung oleh penyediaan makanan yang baik di lapas yaitu narapidana diberi jatah makan 3 kali sehari dengan menu yang berbeda. Arali 2011 mengungkapkan pengaruh psikologis berhubungan dengan perilaku makan yang kadang ditentukan oleh kondisi lingkungan, sosial dan mental yang dapat dikendalikan secara sadar Universitas Sumatera Utara 57 misalnya kebiasaan makan dalam sehari, makan karena kelezatan makanan yang disajikan dengan meningkatkan selera, kondisi stress, cemas dan depresi yang dengan mudah mengubah pola makan. Universitas Sumatera Utara 58

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan pada 78 orang narapidana wanita di Lapas Klas IIA wanita Tanjung Gusta Medan menggambarkan bahwa hampir seratus persen responden memiliki perawatan diri yang baik 97.4 dan perawatan diri cukup baik 2,6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas narapidana memiliki personal hygiene yang baik 97,4, toileting yang baik 94,9, berhias yang baik 66,7, dan makan yang baik 91.

6.2 Saran

6.2.1 Pendidikan Keperawatan